Lihat Foto KOMPAS.com - Demokrasi Liberal berlangsung di Indonesia dari tahun 1949 hingga 1959. Saat itu Indonesia baru merdeka. Perekonomian belum tertata dan tersendat-sendat. Apalagi setelah merdeka, Belanda masih berusaha menguasai Indonesia. Melansir buku Demokrasi Liberal (1950-1959) dan Demokrasi Terpimpin (1959-1966) (2018), Belanda akhirnya mengakui kedaulatan Indonesia pada 27 Desember 1949. Namun pengakuan itu didasarkan pada syarat Indonesia harus membayar utang kepada Belanda seperti hasil Konferensi Meja Bundar. Baca juga: Konferensi Meja Bundar: Latar Belakang, Tujuan, Hasil, dan Dampaknya Utang tersebut sebesar Rp 1,5 triliun utang luar negeri dan Rp 2,8 triliun utang dalam negeri. Defisit yang harus ditanggung pemerintah saat itu sebesar Rp 5,1 miliar. Indonesia saat itu hanya mengandalkan ekspor pertanian dan perkebunan. Jika permintaan ekspor itu turun, maka perekonomian akan melemah secara signifikan. Upaya menggerakkan sektor lain terhambat keterbatasan dana dan sumber daya manusia. Baca juga: Penyebab Kegagalan Demokrasi Parlementer
Lihat Foto Pertumbuhan penduduk melejit. Namun tak ada tenaga ahli untuk membangkitkan industri. Pemerintah akan terus menjaga kebijakan fiskal dan defisit APBN sesuai aturan perundang-undangan. Oleh karena itu pengelolaan utang selalu dilakukan secara prudent dan profesional. Laman ini berisi informasi tentang pengelolaan utang pemerintah, agar masyarakat dapat memahami dan turut mengawasi pengelolaan utang pemerintah. Bagaimana rencana strategis pemerintah membayar utang? Simak Bicara Utang Pemerintah dengan Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati pada video berikut:
Utang adalah hal yang baik apabila dikelola dengan baik. Setiap rupiah utang yang dilakukan pemerintah dimanfaatkan untuk membiayai kegiatan yang sifatnya produktif dan investasi dalam jangka panjang seperti membangun infrastruktur, membiayai pendidikan dan kesehatan yang dalam jangka panjang akan menghasilkan dampak berlipat untuk generasi mendatang.
Ketertinggalan infrastruktur dan masalah konektivitas menimbulkan tingginya biaya ekonomi yang harus ditanggung oleh masyarakat hingga rendahnya daya saing nasional. Inilah yang menjadi dasar pemerintah mengakselerasi pembangunan infrastruktur demi mengejar ketertinggalan dan meningkatkan pertumbuhan ekonomi. Saat ini pemerintah mengambil kebijakan fiskal ekspansif dimana Belanja Negara lebih besar daripada Pendapatan Negara untuk mendorong perekonomian tetap tumbuh. Selain mengejar ketertinggalan infrastruktur, kebijakan fiskal ekspasif ini dilakukan untuk meningkatkan kualitas Sumber Daya Manusia melalui alokasi anggaran pendidikan, kesehatan dan perlindungan sosial.
Dari penjelasan diatas, terdapat kebutuhan masyarakat yang mendesak dan tidak dapat ditunda. Namun demikian, Pendapatan Negara belum cukup untuk memenuhi seluruh kebutuhan tersebut sehingga menimbulkan defisit yang harus ditutupi melalui pembiayaan/utang. Utang tersebut aman karena digunakan untuk belanja produktif.
Apabila kita bandingkan dalam kurun waktu 2012-2014 dan 2015-2017, utang pemerintah bertambah dari Rp609,5 triliun menjadi Rp1.166 triliun yang mengalami kenaikan sebesar 191%. Angka yang sangat besar namun berdampak positif dalam alokasi belanja produktif Indonesia. Belanja infrastruktur naik 200% dari Rp456,1 triliun menjadi Rp921,9 triliun. Belanja pendidikan naik 120% dari Rp983,2 triliun menjadi Rp1.176,6 triliun. Belanja kesehatan naik 180% dari Rp145,9 triliun menjadi Rp263,3 triliun. Belanja perlindungan sosial naik 849% dari Rp35,3 triliun menjadi Rp299,6 triliun dan Dana Alokasi Khusus (DAK) Fisik dan Dana Desa naik 357% dari Rp88,6 triliun menjadi Rp315,9 triliun. Walaupun, akhir-akhir ini utang pemerintah meningkat, namun tidak melanggar amanat Undang-Undang Nomor 17 tahun 2003 tentang Keuangan Negara dimana defisit APBN masih terjaga kurang dari 3% terhadap PDB dan rasio utang kurang dari 60% dari PDB. Amanat dari UU tersebut merupakan batasan dalam pengelolaan utang pemerintah yang bertujuan untuk mengantisipasi risiko pemerintah dalam berutang.
Pada tahun 2045 nanti Indonesia diproyeksikan menjadi salah satu dari 7 negara dengan kekuatan ekonomi terbesar di dunia. Salah satu faktornya adalah Indonesia memiliki bonus demografi. Hal ini akan berhasil apabila ditunjang dengan penyiapan dan investasi Sumber Daya Manusia (SDM) serta pembangunan infrastruktur. Sebagai ilustrasi, seorang anak akan menyelesaikan proses pendidikan sampai dengan pendidikan tinggi minimal 16 tahun. Selama 16 tahun tersebut, generasi muda Indonesia berhak untuk mendapatkan pendidikan dan kesehatan sebagai modal untuk memperoleh pekerjaan dan kehidupan yang layak nantinya. Pada tahun 2017 dan 2018, sebanyak 19,7 juta siswa mendapatkan Kartu Indonesia Pintar. Indonesia akan dapat mengoptimalkan bonus demografi di 2045 nanti, apabila generasi muda Indonesia saat ini memperoleh pendidikan dan kesehatan yang baik. Begitu juga hasil dari pembangunan infrastruktur, yang tidak dapat dirasakan dalam waktu singkat. Sebagai contoh pembangunan jembatan yang membutuhkan 2-3 tahun, manfaat dari jembatan ini dapat dinikmati setelah jembatan selesai dibangun. Infrastruktur akan menggerakkan ekonomi, menciptakan pemerataan dan berujung pada pengentasan kemiskinan. Beberapa contoh infrastruktur yang dibiayai dari utang pemerintah adalah sebagai berikut:
Utang negara dalam hal ini adalah Utang Pemerintah tidak termasuk Utang Swasta. Posisi per Februari 2018 Utang Pemerintah sebesar Rp3.958,6 triliun dan Utang Swasta sebesar Rp2.351,7 triliun yang ketika keduanya dijumlahkan sebesar Rp6.310,36 T. Jadi, tidak benar apabila disebutkan utang pemerintah sebesar Rp7.000 triliun.
Utang pemerintah dikelola sedemikian baiknya agar bermanfaat bagi Indonesia. Indonesia dengan defisit yang rendah, menjadi salah satu negara dengan pertumbuhan ekonomi yang paling tinggi. Dengan kata lain, tambahan utang menjadi lebih kecil apabila dibandingkan tambahan manfaat yang diperoleh. Inilah yang disebut utang dikelola dengan baik, terjaga dan hati-hati. Terbukti dari rata-rata defisit Indonesia selama 10 tahun terakhir termasuk yang paling kecil di dunia. Dapat dibandingkan dengan negara lain, rata-rata defisit Indonesia sebesar -1,6% per PDB dengan pertumbuhan ekonomi sebesar 5,6%, sedangkan Turki, Mexico dan Brazil memiliki rata-rata defisit sebesar -2,1%, -3,3% dan -4,3% dengan pertumbuhan ekonomi sebesar 4,8-%, 2,2%, dan 2,1%. Ini artinya, pertumbuhan ekonomi Indonesia mampu tumbuh dengan relatif tinggi dengan defisit yang kecil. Bila dibandingkan dengan negara lain, rasio utang terhadap PDB dan tingkat per kapita tahun 2016, Indonesia menjadi salah satu negara yang paling rendah nilainya. PDB Indonesia pada tahun 2018 menjadi sebesar Rp13.798,91 triliun. Jumlah PDB yang cukup besar ini selain mendudukan Indonesia pada posisi ke-16 dari negara-negara dengan perekonomian terbesar atau G-20, juga menunjukkan kekuatan perekonomian Indonesia untuk menutup total utang Pemerintah yang mencapai 29,24 persen dari PDB per akhir bulan Februari 2018. Hal ini masih sesuai dengan amanat Undang-Undang Nomor 17 tahun 2003 tentang Keuangan Negara dimana defisit APBN masih terjaga kurang dari 3% terhadap PDB dan rasio utang kurang dari 60% dari PDB. Masyarakat diharapkan turut mengawasi pengelolaan utang pemerintah melalui dokumen publikasi #APBNkita yang dapat diunduh pada tautan www.kemenkeu.go.id/APBNkita. Rasio utang Pemerintah saat ini masih aman, jauh dari batas yg ditetapkan dalam undang-undang keuangan Indonesia bahkan Uni Eropa juga menerapkan batas yg sama dengan Indonesia.Dan Pemerintah selalu menjaga agar pertambahan utang atau defisit tidak melebihi batas amannya setiap tahun.
Terdapat 3 indikator risiko yang menunjukkan bahwa utang pemerintah dikelola dengan baik, antara lain:
Dunia internasional memberikan kepercayaan yang semakin kuat terhadap APBN dan perekonomian Indonesia. Hal ini dikonfirmasi oleh peringkat investasi dari lima lembaga pemeringkat dunia (S&P, Moodys, Fitch, JCR, dan R&I). Indonesia termasuk dalam kelompok negara yang menjaga disiplin APBN (fiscal responsibility rules) dan konsisten menjalankannya sehingga masuk dalam kategori negara layak investasi atau Investment Grade. Investment Grade adalah sebuah peringkat (rating) yang menunjukkan apakah utang pemerintah atau perusahaan memiliki risiko yang relatif rendah dari peluang default atau gagal bayar, sehingga memiliki tingkat kepercayaan yang berkelanjutan dalam jangka panjang. Sekarang seluruh lembaga rating terkemuka telah menyatakan bahwa Indonesia adalah negara layak Investasi. Belum lama ini laporan dari US News (media internasional) menyebutkan bahwa Indonesia kini berada pada peringkat 2 sebagai negara terbaik untuk investasi di dunia. Indikator lainnya adalah Global Competitiveness Index yaitu ukuran seberapa produktif kemampuan sebuah negara menggunakan sumber daya yang tersedia untuk menyediakan kemakmuran tingkat tinggi bagi warga negaranya. Menurut World Economic Forum, Global Competitiveness Index Indonesia naik dari posisi 41 menjadi 36 di tahun 2017 diatas Rusia (38), Polandia (39), India (40) dan Italia (43). Kenaikan peringkat ini dikarenakan adanya perbaikan di sektor Infrastruktur, kesehatan, dan pendidikan dasar serta teknologi. Ini merupakan bukti bahwa belanja produktif pemerintah memiliki hasil nyata dan diakui oleh lembaga internasional seperti World Economic Forum.
Ekonomi Indonesia tumbuh cukup baik sehingga tahun ini keseimbangan primer pada APBN 2019 sudah mendekati nol. Itu artinya ke depan, jika ekonomi kita terus tumbuh maka keseimbangan primer kita dapat menjadi surplus. Faktanya, keseimbangan primer APBN 2019 mencapai Rp1.84 triliun.
Defisit anggaran tahun 2019 adalah yang terendah sejak 2015. Itu artinya Ekonomi Indonesia mengalami pertumbuhan positif. Kita berharap ke depannya dengan infrastruktur yang semakin memadai dapat membuat perekonomian kita semakin tumbuh sehingga angka deficit semakin kecil.
Kondisi perekonomian semakin membaik di tengah pertumbuhan perekonomian dunia yang secara umum cenderung melambat, pertumbuhan ekonomi Indonesia tahun 2018 mengalami peningkatan, diperkirakan sebesar 5,15%. Pertumbuhan ekonomi ini didukung oleh stabilitas pertumbuhan konsumsi rumah tangga (5,01%), konsumsi pemerintah (4,92%), dan peningkatan investasi. Inflasi sepanjang tahun 2018 juga terjaga sebesar 3,13% yang didukung oleh tidak adanya kebijakan harga energi domestik dan masih terkendalinya harga pangan. Tingkat inflasi yang rendah dapat menjaga daya beli masyarakat dan pertumbuhan konsumsi serta peningkatan aktivitas ekonomi. Peningkatan aktivitas ekonomi domestik ini mendorong pertumbuhan ekspor impor tetap positif di tahun 2018. Nilai ekspor dan impor sampai dengan November 2018 mencapai USD165,8 miliar dan USD173,3 miliar, atau masing-masing tumbuh 7,7% dan 22,2% dibanding kumulatif Januari-November 2017. Dengan membaiknya ekonomi yang terjaga sehat, kesejahteraan masyarakat secara umum terus membaik.
Fakta: utang negara terjaga. Dalam memenuhi target APBN, pemerintah senantiasa menjaga level utang dalam batas yang aman. Dalam target APBN 2018 yang ditarget sebesar Rp399,2 triliun, pemerintah mengadakan utang sebesar Rp366,7 triliun atau sebesar 91,8% dari target. Turunnya pembiayaan anggaran sebesar Rp20,3 triliun dari target APBN terutama didukung oleh pengurangan pembiayaan utang sebesar Rp27,0 triliun. Dibandingkan dengan tahun 2017, pembiayaan anggaran tahun 2018 tumbuh negatif sebesar 16,6% dengan didukung oleh penurunan pembiayaan SBN hingga 18,9%. Secara umum, utang pemerintah masih dalam batas aman seperti yang diamanatkan dalam Undang-Undang tentang Keuangan Negara dan menjaga rasio utang terhadap PDB di kisaran 30% Selain itu kebijakan utang Pemerintah sekarang adalah pendalaman pasar domestik, sehingga lebih terjaga dari fluktuasi mata uang luar. Sisi positif lain dari pendalaman pasar domestik adalah menimbulkan “sense of belonging” rakyat Indonesia terhadap proyek-proyek yang akan diadakan oleh pemerintah melalui penerbitan surat utang bervaluta domestik. Kebijakan Pemerintah lain adalah mengurangi ketergantungan terhadap utang melalui pembiayaan kreatif (creative financing) melalui KPBU/PPP (Kerjasama Pemerintah Badan Usaha/Public Private Partnership) dan tahun 2018 telah diluncurkan platform SDG One demi mendukung pembiayaan kreatif tersebut. Hasil nyata dari KPBU adalah Proyek Penyediaan Air Umbulan (SPAM Umbulan), Jaringan Komunikasi Palapa Ring serta beberapa proyek lainnya.
Secara fundamental perekonomian Indonesia cukup kuat, tercermin dari indikator-indikator perekonomian yang baik, seperti:
Di samping itu pengelolaan APBN 2018 juga semakin kredibel tanpa adanya APBN perubahan yang mencatatkan beberapa keberhasilan seperti :
Menguatnya fundamental perekonomian Indonesia mendapat apresiasi positif dari lembaga credit rating dunia dengan tetap mempertahankan peringkat kredit Indonesia pada level Investment Grade di tengah kondisi perekonomian yang rentan (volatile). Adanya apresiasi ini turut mendorong terjaganya kepercayaan investor terhadap Indonesia. Hal ini terbukti dengan lelang SBN yang selalu mengalami oversubscribe selama tahun 2018 karena besarnya demand investor terhadap SBN kita. Pada tahun 2018, Pemerintah memang pernah tidak mengambil tawaran di lelang tertentu karena yield atas tawaran yang masuk (incoming bids) tidak mencerminkan kondisi pasar saat itu. Adapun saat itu pelaku pasar masih wait-and-see, sehingga memberikan penawaran yang tidak wajar. Dengan kuatnya faktor fundamental Indonesia dan tetap apresiatifnya lembaga credit rating tersebut terhadap Indonesia, kenaikan yield SBN sebenarnya lebih disebabkan oleh tekanan global, terutama kenaikan FFR dan yield UST. Dengan demikian, peningkatan yield yang terjadi di tahun 2018 tidak bisa hanya dilihat dari faktor inflasi dan nilai tukar saja.
Kita memiliki kebutuhan belanja yang tidak bisa ditunda, seperti penyediaan fasilitas kesehatan dan ketahahan pangan. Penundaan pembiayaan justru akan mengakibatkan biaya/kerugian yang lebih besar di masa mendatang. Kesempatan pembiayaan pembangunan saat ini dioptimalkan untuk menutup gap penyediaan infrastruktur dan meningkatkan Indeks Pembangunan Manusia (IPM) Indonesia yang masih relative tertinggal dibanding negara lain. Peningkatan IPM dapat dipenuhi antara lain melalui peningkatan sektor pendidikan, kesehatan, dan perlindungan sosial.
Keadaan sekarang ini Pemerintah tidak dapat menunda kebutuhan-kebutuhan yang mendesak. Sebab jika ditunda maka di masa depan seiring dengan kenaikan harga maka, biaya untuk kebutuhan-kebutuhan tersebut aka semakin tinggi. Jadi Pemerintah tetap harus membayar biaya-biaya kebutuhan tersebut walau pendapatan kita terbatas. Utang menjadi alat untuk membayar kekurangan biaya-biaya tersebut. Jika nanti infrastruktur telah memadai dan SDM kita telah kompeten maka kita dapat bersaing dengan Negara tetanga bahkan dengan dunia.
Utang Pemerintah yang jatuh tempo tahun 2018 sebesar Rp396 triliun, Sebanyak 44% dari jumlah tersebut adalah utang yang dibuat pada periode sebelum 2015 (sebelum Presiden Jokowi). Untuk tahun 2019, dari jumlah Rp409 triliun utang yang jatuh tempo, 57% nya merupakan jatuh tempo dari pengadaan utang sebelum tahun 2015. Secara umum, terdapat tren peningkatan besarnya anggaran kesehatan dibandingkan jatuh tempo utang. Secara besaran, anggaran kesehatan terus mengalami kenaikan, dari Rp59,7 triliun di tahun 2014 hingga mencapai Rp122 triliun dianggarkan pada tahun 2019 yang sudah naik lebih dari 2 kali lipat (204%) selama 5 tahun. Pemerintah saat ini sangat memperhatikan dan memprioritaskan perbaikan kualitas sumber daya manusia. Sebagai contoh perbandingan, di tahun 2009, jumlah pembayaran pokok utang Indonesia sebesar Rp117,1 triliun, sedangkan anggaran kesehatan adalah Rp25,6 triliun. Sehingga perbandingan pembayaran pokok utang dan anggaran kesehatan adalah 4,57 kali lipat. Pada tahun 2018, pembayaran pokok utang adalah Rp396 triliun sedangkan anggaran kesehatan adalah Rp107,4 triliun, atau perbandingannya turun menjadi 3,68 kali. Demikian juga dengan Dana Desa, dalam 2 tahun terakhir ini rasio jatuh tempo utang terhadap Dana Desa meningkat, yang berarti peningkatan anggaran Dana Desa dibanding jatuh tempo utang mengalami tren yang meningkat. Nominal Dana Desa juga mengalami peningkatan dari Rp20,8 triliun di tahun 2015 menjadi lebih dari 3 kali lipatnya (351%) dianggarkan di tahun 2019 sebesar Rp73 triliun. Selama periode 2011 s.d. 2016 rata-rata jumlah utang yang jatuh tempo 1 tahun sebesar Rp200T. Sejak berlakunya kebijakan shortening duration tahun 2017, rata-rata meningkat menjadi Rp396T, dan per Juli 2018 sebesar Rp483T. Nominal outstanding utang meningkat, namun jatuh tempo 1 tahun (jangka pendek) tetap terkendali dengan memperhatikan kemampuan membayar kembali dan ketahanan fiskal. Instrumen pembiayaan Pemerintah saat ini terdiri dari Surat Berharga Negara (SBN) yang bersumber dari investor di pasar keuangan dan Pinjaman yang bersumber dari lembaga atau negara pemberi kredit (kreditur). SBN sendiri ada yang konvesional maupun yang berbasis Syariah, serta berjangka waktu panjang maupun pendek. Saat ini porsi utang Pemerintah lebih banyak pada SBN karena ketersediaannya yang relatif lebih besar dibandingkan Pinjaman. Dalam komposisi utang Pemerintah, porsi SBN yang diperdagangkan dalam Rupiah sebagian besar (sekitar 60%) dimiliki oleh investor dalam negeri. Demikian juga porsi SBN yang berbasis Syariah mengalami peningkatan selama satu dekade terakhir, hingga saat ini sudah hampir 20% dari jumlah SBN. SBN berbasis Syariah juga memiliki instrumen Project Financing Sukuk (PFS) yang langsung dapat ditelusuri terhadap belanja produktif di APBN (earmarked) dan semakin meningkat dari tahun ke tahun. Defisit APBN selalu dijaga di bawah 3% per PDB sesuai batas UU Keuangan Negara. Defisit APBN terus dijaga dari 2,59% per PDB tahun 2015, menjadi 2,49% tahun 2016, dan 2,51% tahun 2017 dan tahun 2018 1,8%. Defisit keseimbangan primer semakin menurun dan menuju kearah surplus, dari tahun 2015 sebesar defisit Rp142,5 triliun hingga tahun 2017 menjadi sebesar defisit Rp129,3 triliun dan berlanjut tahun 2018 hanya defisit 1,76T. Selama tahun 2015-2018, pembiayaan APBN melalui utang mengalami pertumbuhan yang menurun dari 49,0% di tahun 2015 menjadi negatif 9,7% di 2018. Demikian juga dengan pembiayaan melalui SBN (Neto) yang mengalami pertumbuhan yang menurun dari 36,9% di tahun 2015 menjadi minus 12,2% di tahun 2018. Selama tahun 2015-2018, pertumbuhan pembiayaan APBN melalui utang justru negatif, artinya penambahan utang terus diupayakan menurun seiring dengan menguatkan penerimaan perpajakan dan penerimaan bukan pajak. Dalam menerbitkan utang, Pemerintah tidak memutuskan sendiri. Terdapat mekanisme anggaran negara dimana keputusan target penerimaan, belanja dan pembiaayaan ditetapkan bersama wakil Pemerintah, termasuk nominal pembayaran utang negara. Saat ini utang Pemerintah sebesar 29,98% terhadap PDB yang masih aman dan jauh lebih rendah dari ketentuan UU Keuangan Negara No. 17 tahun 2003 sebesar 60% per PDB. Nilai tersebut sebagian merupakan akumulasi dari utang yang diterbitkan oleh Pemerintah sebelumnya. Konsekuensi pembayaran cicilan pokok utang saat ini pun juga merupakan akumulasi dari utang yang diterbitkan oleh Pemerintah sebelumnya. Risiko pembayaran utang yang harus dilakukan dalam jangka waktu pendek (1-3 tahun) atau dikenal dengan refinancing risk Pemerintah, sebenarnya cukup kecil dan masih aman. Sebagaimana data dalam 5 tahun terakhir, rata-rata utang yang jatuh tempo dalam waktu 1-3 tahun masih di bawah 36% dari jumlah utang yang jatuh tempo, dimana pada tahun 2017 dan 2018 masing-masing sebesar 35,5%. Dengan rendahnya refinancing risk tersebut, kemampuan Pemerintah untuk membayar utang masih terjaga, termasuk juga untuk melakukan roll-over utangnya. Untuk memastikan bahwa pengadaan utang membawa manfaat bagi rakyat dan mendukung kemampuan Pemerintah dalam membayar utangnya, Pemerintah selalu berkomitmen untuk memastikan bahwa utang digunakan untuk membiayai belanja yang produktif. Hal ini terbukti dengan meningkatnya belanja yang sifat produktif dari tahun ke tahun, yaitu infrastruktur, pendidikan dan kesehatan yang berkaitan dengan pembangunan SDM serta perlindungan sosial. Jika dibandingkan antara periode 2011-2014 dan 2015-2018, pengadaan utang selama 2015-2018 sebesar 157% dari periode 2011-2014. Jumlah ini masih lebih kecil dari pertumbuhan belanja infrastruktur sebesar 226%, pertumbuhan belanja kesehatan 196%, dan pertumbuhan belanja pendidikan 380%, termasuk diatanranya PKH dan Bantuan Pangan Non Tunai. Ini karena pemerintah bersungguh-sungguh untuk terus meningkatkan kemampuan APBN yang mandiri. Ini juga bukti lain bahwa pemerintah sangat berhati-hati dalam mengelola APBN dan kebijakan utang. Upaya Pemerintah tersebut mendatangkan hasil berupa perbaikan rating menjadi “investment grade” dari semua lembaga pemeringkat dunia sejak 2016. Kedepan Pemerintah terus menerus melakukan pendalaman pasar keuangan dalam negeri, seperti misalnya penerbitan SBN Ritel untuk investasi bagi rakyat Indonesia. Pemerintah memanfaatkan pembiayaan pembangunan melalui utang yang bersumber dari dalam negeri, baik rakyat Indonesia maupun lembaga yang ada di Indonesia. Hal ini akan membawa kepada kemandirian pembiayaan pembangunan dari sumber dalam negeri dan memanfaatkan momentum untuk peningkatan kualitas Sumber Daya Manusia Indonesia.
Faktanya adalah utang Pemerintah digunakan untuk kegiatan yang sifatnya produktif. Secara umum utang Pemerintah digunakan membiayai defisit APBN dan kegiatan (proyek) yang langsung dibiayai dari utang (earmark). Untuk membiayai defisit APBN, utang Pemerintah diarahkan untuk membiayai kegiatan-kegiatan yang produktif seperti infrastruktur, pendidikan, dan kesehatan, bukan untuk membiayai impor bahan pangan. Sejak akhir tahun 2014 belanja kegiatan produktif dalam APBN semakin meningkat sedangkan belanja untuk kegiatan tidak produktif seperti subsidi BBM dan subsidi listrik menurun tajam.
Hal-hal ini menunjukkan bahwa utang Pemerintah melalui pembiayaan defisit digunakan dengan efisien untuk kesejahteraan rakyat, tidak hanya dalam jangka pendek (pengurangan subsidi) namun juga jangka panjang (infrastruktur, pendidikan, dan kesehatan). Jika kita bandingkan pemanfaatan utang secara periodik; selama periode 2012-2014 dibandingkan dengan 2015-2017, maka terlihat bahwa kenaikan jumlah utang yang dilakukan pada periode 2015-2017 dibandingkan periode 2012-2014, jauh lebih rendah dibandingkan dengan kenaikan jumlah belanja kegiatan-kegiatan yang sifatnya produktif tadi.
Aset negara merupakan akumulasi hasil dari belanja negara Pemerintah. Nilai aset negara tahun 2016 (audit BPK) adalah sebesar Rp5.456,88 triliun. Nilai ini masih belum termasuk nilai hasil revaluasi yang saat ini masih dalam proses pelaksanaan untuk menunjukkan nilai aktual dari berbagai aset negara mulai dari tanah, gedung, jalan, jembatan, sekolah, rumah sakit dan lain-lain. Hasil revaluasi aset tahun 2017 terhadap sekitar 40 persen aset negara menunjukkan bahwa nilai aktual aset negara telah meningkat sangat signifikan sebesar 239 persen, yaitu dari Rp781 triliun menjadi Rp2.648 triliun, atau naik sebesar Rp1.867 triliun. Tentu nilai ini masih akan diaudit oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) untuk tahun laporan 2017. Kenaikan kekayaan negara tersebut harus dilihat sebagai pelengkap dalam melihat utang pemerintah, karena kekayaan negara merupakan penambahan aset setiap tahun, termasuk yang berasal dari utang. Apabila utang untuk pembiayaan produktif artinya utang itu digunakan untuk belanja investasi/modal yang produktif bukan untuk belanja konsumtif/operasional, semakin banyak belanja investasi/modal maka akan semakin banyak pula aset negara yang dihasilkan. Tidak semua belanja modal pemerintah berada di Kementerian/Lembaga atau Pemerintah Pusat, namun juga dilakukan oleh Pemerintah Daerah. Alokasi Transfer ke daerah dan Dana Desa meningkat sangat besar dari Rp573,7 triliun pada 2015 menjadi Rp766,2 triliun pada 2018, dimana sebesar 25 persen dari dana ini diharuskan merupakan belanja modal, meski belum dilakukan oleh seluruh Pemerintah Daerah. Kemudian dalam kategori belanja infrastruktur, tidak seluruhnya merupakan belanja modal, karena untuk dapat membangun infrastruktur diperlukan institusi dan perencanaan yang dalam kategori belanja adalah masuk dalam belanja barang. Informasi lengkap mengenai APBN dapat diakses pada tautan www.kemenkeu.go.id/datapbn. Oleh karena itu, tidak dapat disimpulkan bahwa tambahan utang disebut sebagai tidak produktif karena tidak diikuti jumlah belanja modal yang sama besarnya. Kualitas institusi yang baik, efisien, dan bersih adalah jenis “soft infrastructure” yang sangat penting bagi kemajuan suatu perekonomian. Belanja institusi ini dimasukkan dalam kategori belanja barang dalam APBN kita. Dalam menilai utang kita juga harus melihat dari keseluruhan APBN dan perekonomian. Apabila diukur dari jumlah nominal dan rasio terhadap Produk Domestik Bruto (PDB), defisit APBN dan posisi utang Pemerintah terus dikendalikan (jauh) dibawah ketentuan Undang-Undang Keuangan Negara. Defisit APBN tahun 2016 yang sempat dikhawatirkan akan melebihi 3 persen PDB, dikendalikan dengan pemotongan belanja secara drastis hingga mencapai Rp167 triliun. Demikian juga tahun 2017, defisit APBN yang diperkirakan mencapai 2.92 persen PDB, berhasil diturunkan menjadi sekitar 2.5 persen. Tahun 2018 ini target defisit APBN kembali menurun menjadi 2.19 persen PDB. Pemerintah tengah berfokus untuk mengembalikan keseimbangan primer ke posisi positif. Keseimbangan primer adalah Penerimaan Negara dikurangi Belanja Negara, di luar pembayaran bunga utang. Pada tahun 2015 keseimbangan primer mencapai defisit Rp142,5 triliun, menurun pada tahun 2016 menjadi Rp125,6 triliun, dan kembali menurun pada tahun 2017 sebesar Rp121,5 triliun. Untuk tahun 2018, Pemerintah menargetkan keseimbangan primer menurun lagi menjadi Rp87,3 triliun. Ini bukti bahwa pemerintah terus berupaya menurunkan defisit keseimbangan primer untuk mencapai nol atau bahkan surplus. Setiap langkah penyesuaian untuk mencapai satu tujuan, selalu berakibat pada tujuan yang lain. Ini yang dikenal sebagai “trade-off”. Namun Pemerintah terus melakukan penyesuaian untuk mencapai tujuan pembangunan dan terus menjaga APBN tetap sehat, kredibel dan berkelanjutan (sustainable). Hal ini telah menghasilkan kepercayaan yang makin kuat terhadap APBN dan perekonomian kita. Hal ini dikonfirmasi oleh peringkat invetasi dari lima lembaga pemeringkat dunia (S&P, Moodys, Fitch, JCR, dan R&I). Indonesia termasuk dalam kelompok negara yang menjaga disiplin APBN (fiscal responsibility rules) dan konsisten menjalankannya. Disiplin fiskal Pemerintah Indonesia ditunjukkan dengan kepatuhan terhadap besaran defisit dan rasio utang terhadap PDB sesuai amanat undang-undang. Sesuai amanat Undang-Undang Nomor 17 tahun 2003, defisit APBN masih terjaga kurang dari 3% terhadap PDB dan rasio utang kurang dari 60% dari PDB. Indikator positif lainnya adalah menurunnya imbal hasil (yield) Surat Utang Negara berjangka 10 tahun dari 7,93 persen pada Desember 2016, menurun menjadi 6,63 persen pada pertengahan Maret 2018. Ini prestasi yang tidak mudah, karena pada saat yang sama justru Federal Reserve Amerika melakukan kenaikan suku bunga pada akhir Desember 2016, dan dilanjutkan dengan kenaikan suku bunga tiga kali pada tahun 2017. Semua instrumen kebijakan ini sama pentingnya dalam pencapaian tujuan pembangunan. Semua kebijakan ini juga harus sama-sama bekerja secara efektif dan keras untuk mencapai tujuan nasional. Oleh karena itu, Pemerintah melakukan reformasi perpajakan dengan serius, karena pajak merupakan tulang punggung negara. Pemerintah juga serius dalam memperbaiki iklim investasi, agar investasi dan daya kompetisi ekonomi dan ekspor kita meningkat. Hasilnya skor kemudahan investasi kita sudah semakin baik dan Indonesia menjadi tempat investasi paling menarik di dunia. Perbaikan melalui pembangunan infrastruktur dan perbaikan pendidikan dan kesehatan serta jaminan sosial, baru akan menuai hasil pada jangka menengah. Misalnya, perbaikan kurikulum pendidikan, baru akan terlihat saat menyelesaikan proses pendidikan (12 tahun untuk SMA dan vokasi, serta 16 tahun untuk hasil pendidikan tinggi). Pemerintah setuju dengan anjuran bahwa kita perlu meningkatkan efektivitas kebijakan, mempertajam berbagai pilihan dan prioritas kebijakan dan memperbaiki tata kelola serta proses perencanaan, serta terus memerangi korupsi agar setiap instrumen kebijakan dapat menghasilkan dampak positif yang nyata dan cukup cepat.
Pertanyaan, Saran, dan Masukan: Direktorat Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko Email : Twitter : @DJPPRkemenkeuTelepon : Halo DJPPR 021 - 3505052 |