Dalam perjanjian hudaibiyah setiap orang quraisy yang menganut islam harus

tirto.id - Isi perjanjian Hudaibiyah disepakati oleh Nabi Muhammad SAW dan kaum Quraisy Makkah pada bulan Dzulqa'dah, tahun ke-6 Hijriyah, atau sekitar bulan Maret 628 M. Salah satu poin isi perjanjian Hudaibiyah adalah kesepakatan gencatan senjata antara umat Islam dan kaum Quraisy selama 10 tahun.

Poin itulah yang kemudian dilanggar oleh kaum Quraisy, saat sekutu mereka Kabilah Bani Bakr menyerang Kabilah Khuza’ah yang beraliansi dengan umat Islam. Pelanggaran tersebut memicu peristiwa akbar dalam sejarah Islam di masa kenabian Rasulullah Muhammad SAW, yakni Fathul Makkah.

Advertising

Advertising

Menyitir catatan Mahdi Rizqullah Ahmad, dalam terjemahan karyanya, Biografi Rasulullah: Sebuah Studi Analitis Berdasarkan Sumber-sumber yang Otentik (2017:631), Hudaibiyah sebenarnya nama sebuah sumber air. Lokasi Hudaibiyah berjarak sekitar 22 km arah barat laut dari Kota Makkah. Di sekitar sumber air itu, tumbuh banyak taman dan berdiri masjid bernama Ar-Ridhwan.

Persitiwa terbentuknya Perjanjian Hudaibiyah terjadi setelah meletup rentetan bentrok militer antara umat Islam dengan kaum Quraisy, termasuk perang Badar, Uhud, hingga Khandaq. Sebelum perjanjian itu diteken, hubungan Madinah-Makkah dalam situasi menegangkan sehigga kedua kubu saling bersiaga.

Latar Belakang Perjanjian Hudaibiyah

Rangkaian peristiwa yang berujung pada perjanjian Hudaibiyah berawal dari mimpi Rasulullah SAW pada tahun ke-6 setelah beliau hijrah ke Madinah. Dalam mimpinya itu, Rasulullah SAW bersama para sahabat memasuki Makkah dengan aman, menginjakkan kaki di Masjidil Haram, mengambil kunci Ka'bah, dan melaksanakan ibadah umrah.

Rasulullah SAW lantas menceritakan mimpi itu kepada para sahabatnya. Nabi Muhammad SAW pun bilang ke para sahabat soal rencananya menunaikan ibadah umrah ke Makkah. Para sahabat setuju dan segera bersiap melakoni perjalanan yang penuh risiko itu.

Maka itu, pada awal bulan Dzulqa'dah tahun ke 6 Hijriyah, Rasulullah SAW bersama 1500-an sahabat berangkat ke Makkah. Adapun kepemimpinan di Madinah dipasrahkan untuk sementara kepada Abdullah bin Ummi Maktum.

Menyitir catatan Amin Iskandar dalam "Hikmah di Balik Perjanjian Hudaibiyah" yang termuat di Jurnal Studi Hadis Nusantara (Vol. 1, No. 1, 2019), Nabi Muhammad dan semua sahabatnya yang berangkat ke Makkah sama sekali tidak membawa senjata, kecuali pedang dan sarungnya sebagaimana para musafir di masa itu.

Baca juga:

Dalam rombongan Rasulullah SAW, juga ada puluhan unta dengan tanda di lambung kanannya sebagai petunjuk bahwa hewan-hewan itu untuk kurban, bukan kendaraan perang. Pesan terang benderang ditunjukkan Rasulullah SAW bahwa kedatangannya ke Makkah bukan untuk bertempur dengan kaum Qurays.

Bahkan saat sampai di tempat bernama Dzul Hulaifah, Rasulullah SAW meminta para sahabatnya segera memakai pakain ihram, berniat melaksanakan umrah, dan membaca talbiah sepanjang perjalanan.

Meskipun begitu, kaum Qurays di Makkah tetap curiga dan bahkan berusaha menghalangi rombongan Rasulullah SAW agar tidak bisa masuk ke Kota Makkah. Mereka pun sempat mengirim pasukan di bawah pimpinan Khalid bin Walid untuk melakukan pengadangan, tapi Rasulullah SAW memutuskan untuk melewati jalur berbeda agar tidak terjadi konfrontasi.

Peristiwa itu, seperti dikutip dari buku SKI

(Kemenag, 2019), terjadi beberapa bulan setelah berlangsung perang Khandaq yang terjadi pada tahun ke-5 Hijriyah. Artinya, situasi tegang antara kedua kubu belum mereda. Banyak kaum Qurays menganggap kedatangan Rasulullah SAW sebagai serbuan mendadak, meski ada sinyal jelas bahwa rombongan dari Madinah berniat menjalankan ibadah.

Baca juga:

Sementara itu, di tengah perjalanan menuju Makkah, Rasulullah SAW meminta rombongannya untuk berhenti dan berkemah di sebuah lembah yang lantas jadi lokasi perundingan Hudaibiyah. Di tempat itu pula, Nabi Muhammad SAW menerima beberapa utusan dari kaum Qurays.

Utusan-utusan itu dikirim oleh kaum Qurays untuk mengonfimasi maksud rombongan Rasulullah SAW datang ke Kota Makkah. Ada 4 utusan yang dikirim secara bergilir oleh kaum Qurays, yaitu Badil bin Warqa (Bani Khuzaah), Makraz bin Haf, Hulais (Kabilah Ahabsy), Urwah bin Mas’ud as-Saqaf. Namun, kaum Qurays masih tidak percaya bahwa rombongan Nabi Muhammad SAW datang ke Makkah untuk umrah.

Karena itu, Rasulullah SAW kemudian mengutus Khurasy bin Umayyah al-Khuza’i untuk menegaskan keterangan ke kaum Qurays bahwa tidak ada niat perang. Akan tetapi, unta yang dikendarai Khurasy dibunuh dan ia sendiri nyaris kehilangan nyawa.

Setelah insiden tersebut, dikutip dari situs Kemenag, Rasulullah mengutus Utsman bin Affan untuk menyampaikan pesan kepada kaum Qurays terkait niat rombongan dari Madinah yang hendak melaksanakan umrah. Utsman jadi pilihan, terutama karena dia dikenal memiliki sikap yang lunak dan banyak kerabat berpengaruh di kalangan kaum Qurays Makkah.

Ketika tiba di Makkah, Utsman segera menemui perundingan yang alot. Sekalipun banyak pembesar kaum Qurays, seperti Abu Sufyan, adalah kerabat Utsman, izin bagi rombongan Rasulullah SAW untuk masuk Makkah tetap tidak diberikan. Akibat perundingan yang alot itu, Utsman terpaksa tinggal lebih lama di Makkah dari rencana semula.

Di tengah situasi yang demikian meresahkan para sahabat, tersiar isu bahwa Utsman dibunuh oleh kaum Quraisy. Mendengar kabar itu, Rasulullah SAW segera memerintahkan para sahabat untuk berkumpul dan menyampaikan sumpah setia, bahwa mereka tidak akan pulang sebelum memerangi kaum Qurays.

Maka, seluruh sahabat kemudian berikrar akan memerangi kaum Qurays. Usai baiat itu berlangsung, Utsman baru datang kembali dari Makkah, dan segera ikut berbaiat. Peristiwa yang dikenal dengan sebutan Bai’at ar-Ridwan itu diabadikan dalam firman Allah SWT QS Al-Fath ayat 48.

Baca juga:

Menyadari situasi semakin genting, Kaum Quraisy mengutus Suhail bin Amr untuk membahas perjanjian damai dengan Rasulullah SAW. Perundingan Suhail dengan Nabi Muhammad yang disaksikan oleh para sahabat tersebut berlangsung lama. Apalagi, Suhail ngotot menyodorkan poin yang tidak bisa ditawar, seperti rombongan Rasulullah SAW harus kembali ke Madinah, dan baru boleh datang ke Makkah untuk umrah pada tahun berikutnya.

Akhirnya, dalam perundingan tersebut, muncul kesepakatan yang disebut dengan Perjanjian Hudaibiyah.

Isi Perjanjian Hudaibiyah

Sebenarnya, banyak sahabat yang keberatan dengan sejumlah poin dalam Perjanjian Hudaibiyah. Meski demikian, Rasulullah SAW berbesar hati untuk menyetujuinya, demi tercipta perdamaian.

Bahkan, mengutip buku SKI (Kemenag, 2014), Rasulullah SAW tidak menolak saat Suhail meminta teks perjanjian Hudaibiyah tidak diawali kata Bismillaahirrahmanirrahiim, melainkan Bismika Allahumma (atas nama ya Allah).

Suhail juga menolak pencantuman nama "Muhammad Rasulullah" dan memintanya dengan diganti Muhammad bin Abdullah. Usul yang terakhir ini juga diterima oleh Rasulullah SAW, sekalipun banyak sahabat keberatan.

Dikutip dari buku SKI (Kemenag, 2014), isi perjanjian Hudaibiyah adalah sebagai berikut:

1. Kedua belah pihak sepakat mengadakan gencatan senjata selama 10 tahun

2. Setiap orang diberi kebebasan bergabung dan mengadakan perjanjian dengan Nabi Muhammad, atau dengan Kaum Quraisy.

3. Setiap orang Quraisy yang menyeberang ke kubu Nabi Muhammad tanpa seizin walinya, harus dikembalikan, sedangkan jika pengikut Nabi Muhammad bergabung dengan Quraisy tidak dikembalikan.

4. Nabi Muhammad dan sahabatnya harus kembali ke Madinah dan tidak boleh masuk Makkah, dengan ketentuan bisa kembali pada tahun berikutnya. Mereka dapat memasuki kota dan tinggal selama 3 hari di Makkah dan tidak dibenarkan membawa senjata kecuali pedang tersarung.

Hikmah Perjanjian Hudaibiyah

Awalnya sempat timbul kekhawatiran di kalangan para sahabat mengenai perjanjian Hudaibiyah. Mereka mengira perjanjian ini hanya menguntungkan kaum Quraisy dan merugikan umat Islam.

Namun, Rasulullah SAW menyikapi perjanjian ini dengan arif. Nabi Muhammad memanfaatkan situasi aman dan damai setelah perjanjian Hudaibiyah untuk semakin memperluas dakwah Islam.

Duta-duta Islam dikirim ke negara tetangga untuk mengajak mereka mengikuti seruan Nabi Muhammad. Ajakan itu diterima oleh beberapa penguasa negeri tetangga, meski ditolak oleh sebagian lainnya. Jumlah umat Islam pun segera bertambah banyak setelah perjanjian Hudaibiyah disepakati.

Setidaknya ada 2 hikmah di balik perjanjian Hudaibiyah.

Pertama, pemerintahan Islam di Madinah mendapatkan legitimasi. Perjanjian Hudabiyah secara tidak langsung mengakui status Nabi Muhammad SAW sebagai pemimpin umat Islam dan Kota Madinah. Artinya, perjanjian itu mencerminkan pengakuan kaum Qurays terhadap pemerintahan Islam di Madinah.

Kedua, salah satu kesepakatan di perjanjian Hudaibiyah adalah gencatan senjata selama 10 tahun. Kesepakatan ini memberi peluang kepada Nabi Muhammad SAW dan para sahabatnya untuk makin memperluas dakwah Islam tanpa harus disibukkan dengan urusan perang.

Baca juga artikel terkait SEJARAH ISLAM atau tulisan menarik lainnya Nurul Azizah
(tirto.id - azz/add)

Penulis: Nurul Azizah Editor: Addi M Idhom Kontributor: Nurul Azizah

Perjanjian Hudaibiyah (bahasa Arab:صلح الحديبية) adalah sebuah perjanjian damai antara pihak muslimin dengan musyrikin Mekkah. Perjanjian ini ditandatangani di daerah Hudaibiyah pada tahun ke-6 H/627. Peristiwa ini direkam dalam surah Al-Fath. Saat itu kaum muslimin bermaksud pergi ke Mekkah untuk melaksanakan ibadah haji, namun pihak musyrik Quraisy menahan mereka. Karenanya Rasulullah saw mengirim utusan kepada Quraisy untuk berunding.

Mulanya Rasulullah saw menunjuk Umar bin Khattab, namun dia menolak dan mengusulkan Utsman bin Affan sebagai penggantinya. Setelah keberangkatan Utsman terdengar isu di kalangan muslimin bahwa dia terbunuh. Rasulullah saw kemudian menyeru segenap kaum muslimin yang bersamanya untuk berikrar setia kepadanya, istilah itu dikenal dengan sebutan Baiat Ridhwan. Setelah perundingan antar kedua belah pihak, akhirnya muncul kesepakatan Pejanjian Hudaibiyah. Di antara isi perjanjian tersebut adalah; gencatan senjata antara muslimin Madinah dengan musyrik Mekkah selama 10 tahun, dan kaum muslimin harus kembali ke Madinah, tahun berikutnya baru boleh ke Mekkah untuk ibadah umrah.

Keinginan Kaum Muslimin untuk Berhaji

Pada bulan Dzulqaidah tahun ke-6 H/627 Rasulullah saw bermimpi pergi ke Mekkah bersama pengikutnya dan melakukan ibadah umrah. "Sesungguhnya Allah telah membuktikan kepada rasul-Nya tentang kebenaran mimpinya dengan sebenarnya; (yaitu) sesungguhnya kamu pasti akan memasuki Masjidil Haram, insya Allah dalam keadaan aman, dengan mencukur rambut kepala dan mengguntingnya, sedang kamu tidak merasa takut. Tetapi Allah mengetahui apa yang tidak kamu ketahui, dan Dia memberikan sebelum itu kemenangan yang dekat." (Qs. Al-Fath: 48)

Rasulullah saw menceritakan mimpinya kepada para sahabatnya sekaligus menjanjikan kepastian terjadinya peristiwa itu di waktu yang akan datang. [1]Beliau mengajak para sahabatnya untuk bersiap diri berangkat ke Mekkah guna ibadah umrah. Musyrikin Quraisy memiliki dendam kesumat pada Islam, karena itu sebagai antisipasi akan terjadinya perseteruan dan halangan yang bakal mereka timbulkan, Rasulullah saw mengajak kabilah-kabilah Arab sekitar Madinah untuk ikut pergi ke Mekkah. [2]

Namun tidak banyak kabilah yang menerima ajakan beliau. Kebanyakan dari pihak Muhajirin dan Anshar yang siap menyertai Rasulullah saw.

Jumlah Kaum Muslimin

Pada hari Senin tanggal 1 Dzulqaidah tahun ke-6 H/627 rombongan muslimin yang terdiri dari golongan Muhajirin, Anshar dan beberapa kabilah Arab mulai meninggalkan Madinah menuju Mekkah. [3]Terdapat beberapa pendapat berbeda mengenai jumlah orang yang ikut serta dalam rombongan Rasulullah saw. [4]Paling masyhur adalah pendapat yang berpegang pada riwayat dari Jabir bin Abdullah al-Anshari, disebutkan bahwa peserta dalam Perjanjian Hudaibiyah adalah 1400 orang. [5]

Jumlah itu termasuk 4 perempuan, di antaranya Ummu Salamah, istri Nabi saw [6]. Selama meninggalkan Madinah, Rasulullah saw mewakilkan kepemimpinan Madinah kepada Abdullah bin Ummi Maktum [7]atau Numailah bin Abdullah Laitsi. [8]

Kaum Muslimin Melaksanakan Ihram

Atas perintah Nabi saw, saat itu kaum muslimin tidak membawa senjata kecuali pedang yang memang biasa dibawa kemana-mana. Begitu keluar dari wilayah Madinah dan sampai di Dzulhulaifah, sekarang tempat ini dijadikan nama masjid yang dikenal dengan sebutan Masjid Syajarah, Rasulullah saw dan pengikutnya mengenakan pakaian ihram. 70 ekor onta yang dibawa mereka tandai dengan cap hewan kurban dan digiring di depan rombongan. Tujuannya agar orang-orang, terlebih musyrikin Quraisy, tahu bahwa tujuan kedatangan mereka bukan untuk perang, namun umrah dan thawaf mengelilingi Kakbah. [9] Disebutkan, onta bekas milik Abu Jahal yang disita dari perang Badar juga dibawa dan akan dikurbankan. [10]

Perjalanan Rasulullah saw ke Hudaibiyah

Begitu sampai di Usfan, daerah sekitar Mekkah, Rasulullah saw diberi kabar bahwa kaum Musyrikin Mekkah telah mengetahui kedatangan kaum muslimin dan bertekad akan menghalangi masuknya kaum muslimin ke Mekkah. [11] Kafir Quraisy menaruh pasukan di luar kota Mekkah dan mengirim Khalid bin Walid beserta 200 pasukan berkuda ke Kira' al-Ghamim untuk menghadapi kaum muslimin. [12]

Mendengar kabar itu, Rasulullah saw bersabda, "Kasihan Quraisy, mereka menjadi korban perang". Ia lalu bertanya, "Siapa yang bisa menunjukkan jalan lain supaya kita tidak berhadapan dengan Quraisy?" [13]

Atas panduan beberapa orang dari kabilah bani Aslam, Rasulullah saw dan rombongannya melanjutkan perjalanannya ke Mekkah melalui jalan alternatif untuk menghindari pasukan Quraisy. [14] Dalam perjalanan tersebut, untuk pertama kalinya kaum muslimin melakukan Salat Khauf, [15] tujuannya untuk berjaga-jaga dari serangan musuh. [16]

Memasuki Daerah Hudaibiyah

Saat rombongan muslimin memasuki daerah Hudaibiyah tiba-tiba onta milik Rasulullah saw (Qashwa') berhenti dan duduk, Rasulullah saw lalu meyuruh pengikutnya di tempat itu. Dengan mukjizatnya, Rasulullah saw merubah sumur kering yang ada di sana menjadi bersumber kembali hingga penuh sehingga dapat mencukupi kebutuhan seluruh rombongan. Bahkan disebutkan waktu itu sempat turun hujan beberapa kali. [17]

Ketika Rasulullah saw berada di Hudaibiyah, Budail bin Warqa' al-Khuza'i bersama orang-orang dari kabilah Khuza'ah datang menemui beliau. Rasulullah saw menjelaskan maksud kedatangannya, bahwa beliau dan rombongannya hanya ingin mengunjungi Baitullah, bukan perang. Bani Khuza'ah lalu mengabarkan hal itu pada kafir Quraisy. Quraisy menjawab, "Meski jika Muhammad tidak datang untuk perang, dia tetap tidak akan kami ijinkan memasuki Mekkah karena itu akan membuat orang-orang Arab menertawakan kami." [18]

Setelah itu kafir Quraisy mengirim beberapa perwakilan menemui pihak Islam untuk berunding, namun kedua pihak tidak mendapatkan kesepakatan. [19] Alhasil, para pemuka Quraisy (termasuk Abu Sufyan yang pernah merasa malu di mata masyarakat Arab karena gagal menghadapi muslimin dalam perang Ahzab pada tahun ke-5 H/626) menganggap kedatangan kaum Muslimin ke Mekkah merupakan penghinaan dan sindiran tajam bagi mereka.

Sekelompok Orang Quraisy Ditawan

Quraisy memerintah Mukriz bin Hafash, seorang yang dikenal pemberani dan nekad, beserta empat puluh sampai lima puluhan orang berkuda menyusul rombongan muslim untuk menggertak mereka. Bahkan mereka diharap bisa menangkap seorang muslim dan diserahkan ke pihak Quraisy untuk dijadikan sandera. Maksudnya agar mereka dapat memaksa pihak muslimin untuk memenuhi keinginan mereka. Namun kenyataannya tidak seperti yang diharapkan, Mukriz bin Hafash dan orang-orangnya gagal melaksanakan tugas, bahkan mereka sendiri yang akhirnya ditawan pasukan Islam. Ketika tawanan itu dibawa ke hadapan Rasulullah saw beliau menyuruh supaya mereka dilepaskan. Meski sebelumnya Mukriz bin Hafash dan orang-orangnya menyerang rombongan muslimin dengan panah, dikatakan sampai menyebabkan meninggalnya seorang muslim bernama Ibnu Zunaim, namun atas titah Rasulullah saw mereka semua dibebaskan dan dibiarkan kembali ke Quraisy dengan selamat. [20]

Mengirim Delegasi Ke Quraisy

Rasulullah saw memutuskan untuk mengirim delegasi ke pihak Quraisy. Awalnya Rasulullah saw menunjuk Umar bin Khattab, namun Umar mengatakan bahwa di Mekkah tidak ada ada orang yang bisa menolongnya, sedangkan orang-orang Quraisy sudah mengetahui bagaimana permusuhannya pada mereka, mungkin saja mereka bakal membunuhnya. Dengan alasan itu Umar menolak diutus ke Mekkah. Dia menyarankan Rasulullah saw supaya mengutus Utsman saja, karena dia berasal dari bani Umayyah dan memiliki banyak saudara berpengaruh di mata pemuka Quraisy. [21]

Rasulullah saw mengutus Utsman ke Mekkah. [22]Untuk kesekian kalinya Rasulullah saw menerangkan kepada orang-orang Mekkah tentang maksud kedatangannya ke Mekkah (yaitu berziarah ke Baitullah lalu segera kembali ke Madinah), tetap saja mereka tidak mau tahu. Begitu sampai di Mekkah, pihak Quraisy tidak membiarkan Utsman kembali ke rombongan Rasulullah saw. Akhirnya tersebar isu bahwa Quraisy telah membunuh Utsman. Isu itu tersebar luas di kalangan muslimin, sebab itu Rasulullah saw menyeru pengikutnya untuk berbaiat padanya. Baiat itu dikenal dengan istilah Baiat Ridhwan. Seluruh muslimin yang hadir di Hudaibiyah berbaiat pada Rasulullah saw, kecuali Jadd bin Qais. [23]

Kesepakatan Damai

Setelah beberapa waktu diketahui bahwa Utsman tidak dibunuh, dia hanya ditahan di Mekkah, [24] Pihak Quraisy mengutus wakil ke pihak muslimin untuk mengadakan perjanjian damai. Di antara kesepakatan dari perjanjian tersebut adalah, untuk tahun itu kaum muslimin harus pulang ke Madinah tanpa mengunjungi Baitullah di Mekkah, dan tahun berikutnya baru boleh datang kembali. Inginnya supaya Quraisy tidak merasa dipermalukan di hadapan kabilah Arab lain. Orang yang diutus Quraisy bernama Suhail bin Amr. Ketika Rasulullah saw melihatnya beliau bersabda, "Quraisy mengutus orang ini karena ingin berdamai." [25]

Setelah kedua pihak sepakat untuk membebaskan tawanan, Rasulullah saw dan perwakilan Quraisy lalu menandatangani kesepakatan damai. Rasulullah saw melihat, kesepakatan itu akan memberi keuntungan bagi kaum muslimin, karenanya beliau bersikap lunak. Contohnya adalah menerima permintaan Suhail bin Amr untuk mengganti kalimat "Bismillahirrahmanirrahim" pada pembukaan teks kesepakatan menjadi "Bismika Allahumma". Selain itu Rasulullah saw juga setuju untuk mengganti istilah "Rasulullah" di belakang nama beliau menjadi "Muhammad bin Abdullah." [26]

Penentangan Sebagian Sahabat

Sikap lunak yang ditunjukkan Rasulullah saw membuat sebagian sahabat tidak terima dan menyampaikan kritik tajam. Bahkan ada yang berbicara keras dan bertanya dengan cara tidak sopan pada Rasulullah saw. Di antaranya Umar bin Khattab, dia bersikap kasar pada Nabi saw. [27]

Menurutnya isi kesepakatan damai sangat menghina kaum muslimin.[28] [29]Dia bersikeras atas anggapannya itu, sampai-sampai Abu Ubaidah al-Jarrah berkata padanya supaya berlindung kepada Allah swt dari kejahatan bisikan setan dan merubah pandangannya yang keliru itu. [30] Di kemudian hari Umar sendiri mengakui bahwa saat di Hudaibiyah dia bahkan sampai ragu akan kenabian Nabi Muhammad saw. [31]

Dia juga menyatakan: "Dulu aku menolak titah Rasulullah saw atas pandangan pribadi". [32]

Isi Perjanjian Damai

Seusai perundingan Rasulullah saw bersabda pada Imam Ali as, "Tulislah 'Bismillahirrahmanirrahim'". Suhail bin Amr berkata, "Ini bukan cara kami, harus ditulis sebagaimana yang sudah biasa di kalangan kami, yaitu 'Bismika Allahumma'." Atas titah Rasulullah saw Imam Ali as menulis sebagaimana yang diminta Suhail.

Saat Rasulullah saw melanjutkan, "Tulislah, 'Berikut adalah kesepakatan antara Muhammad Rasulullah dengan Suhail bin Amr'." Suhail kembali menyela, "Kalau kami menerimamu sebagai 'Rasulullah' tentunya kami tidak akan pernah bermusuhan dan berperang denganmu, bagian ini juga harus dihapus dan diganti dengan 'Muhammad bin Abdullah'." Rasulullah saw pun menerima permintaan itu. Rasulullah saw melihat Imam Ali as merasa tidak enak hati karena harus menghapus kata "Rasulullah" dari belakang nama Nabi Muhammad saw. Karenanya beliau bersabda pada Imam, "Ya Ali, tunjukkan di bagian mana, biar aku sendiri yang menghapusnya."

Berikut ini inti isi Perjanjian Hudaibiyah:

  1. Gencatan senjata antar kedua belah pihak selama 10 tahun supaya masyarakat hidup dengan aman dan damai. [33]
  2. Tahun itu kaum muslimin tidak diperbolehkan mengunjungi Baitullah, mereka harus pulang ke Madinah. Tahun berikutnya baru boleh kembali ke Mekkah untuk ibadah umrah. Dengan syarat, tidak membawa senjata kecuali yang biasa dibawa sehari-hari, dan diijinkan tinggal tidak lebih dari 3 hari. Selama 3 hari itu kaum Quraisy akan meninggalkan kota Mekkah.
  3. Kaum muslimin harus memulangkan warga Mekkah yang masuk Madinah kembali ke Mekkah, namun ketentuan itu tidak berlaku sebaliknya. Orang Madinah yang ke Mekkah tidak akan dikembalikan ke Madinah. (menurut ayat 10 dari surah Al-Mumtahanah, ditetapkan tidak boleh memulangkan para mukminah Mekkah yang datang ke Madinah kembali ke Mekkah. [34]
  4. Seluruh kabilah sekutu Quraisy maupun Islam harus bebas dan merdeka. [35]

Di dalam kitab Shahih Muslim tercatat ketika surah Al-Fath turun setelah peristiwa Perjanjian Hudaibiyah, Rasulullah saw mengirim orang untuk menemui Umar dan memperdengarkan wahyu yang turun itu padanya. [36]

Kembali ke Madinah

Menurut berbagai riwayat, kaum muslimin berada di Hudaibiyah selama 10 hari lebih, ada yang mengatakan hingga 20 hari. [37]Rasulullah saw mendirikan kemahnya di luar Haram, namun beliau melakukan salat di Haram. Begitu penulisan isi perjanjian selesai dan telah disetujui oleh masing-masing pihak, Rasulullah saw memerintahkan para sahabatnya untuk menyembelih onta-onta mereka sebagai kurban dan mencukur kepala. Banyak sahabat yang tidak mematuhi perintah itu. Alasannya mereka kecewa dan tidak senang karena batal menunaikan haji. Mereka juga menganggap Perjanjian Hudaibiyah adalah bentuk kekalahan bagi kaum muslimin. Namun setelah melihat Rasulullah saw melakukan sendiri apa yang beliau perintahkan tadi, mereka akhirnya mengikutinya. [38]Setelah itu Rasulullah saw beserta kaum muslimin kembali ke Madinah. [39]

Sesuai perjanjian, tahun berikutnya (tahun ke-7 H/628) Rasulullah saw beserta kaum muslimin berangkat ke Mekkah dan tinggal selama 3 hari untuk menunaikan ibadah umrah tanpa ada halangan dari kafir Quraisy. Peristiwa ini dikenal dengan Umrah al-Qadha. [40]

Dalam perjalanan pulang dari Hudaibiyah ke Madinah Allah swt menurunkan Surah Al-Fath kepada Rasulullah saw. Dalam surah tersebut Allah swt menyebut Perjanjian Hudaibiyah sebagai Fath Mubin (kemenangan yang nyata). Atas kesediaan kaum muslimin berbaiat pada Rasulullah saw, Allah swt menjanjikan pada mereka akan menganugerahi banyak kemenangan dan ghanimah berlimpah. [41] Menurut mayoritas mufasir, janji Allah swt itu menyangkut kemengan dalam Perang Khaibar yang terjadi pada tahun ke-7 H/628. Dari Perang Khaibar kaum muslimin memperoleh banyak harta rampasan. [42]

Namun menurut sebagian mufasir, maksud kemenangan yang dijanjikan Allah swt adalah penaklukan kota Mekkah. [43]

Quraisy Melanggar Isi Perjanjian

Tak lama setelah penandatanganan perjanjian, berdasarkan Perjanjian Hudaibiyah, salah seorang warga Mekkah yang telah masuk Islam bernama Abu Bashir dikembalikan ke Mekkah. Namun di tengah perjalanan dia berhasil melarikan diri dari para penjaga. Bukannya pergi ke Madinah, dia malah menuju kawasan persinggahan Quraisy. Lama-lama muslimin Mekkah mengikuti jejaknya. Bagi Quraisy itu akan menjadi ancaman serius. Karenanya Quraisy meminta Rasulullah saw agar membiarkan saja mereka datang ke Madinah. Dengan demikian, atas permohonan pihak Quraisy sendiri, pasal perjanjian tentang keharusan memulangkan pelarian menjadi tidak berlaku. [44]

Belum lewat dua tahun sejak penandatanganan perjanjian, pihak kafir Quraisy sudah melanggar perjanjian pasal pertama (gencatan senjata). Kabilah bani Khuza'ah merupakan sekutu kaum muslimin dan kabilah bani Bakr adalah sekutu kafir Quraisy. Pada pertempuran antara dua kabilah tersebut pada tahun ke-8 H/629, orang-orang Quraisy ikut campur membela bani Bakr dan membunuh orang-orang bani Khuza'ah. Ini artinya perjanjian telah dilanggar. Bermaksud memohon maaf, Abu Sufyan datang langsung ke Madinah, namun permohonannya ditolak. Atas kejadian itu, Rasulullah saw segera mendatangi Mekkah bersama pasukan yang sangat banyak. [45]

Berkah Perjanjian Hudaibiyah

Sejarah membuktikan, Perjanjian Hudaibiyah memberikan berkah yang luar biasa bagi kaum muslimin, persis sebagaimana perhitungan Rasulullah saw dan janji Alquran. Menurut para sejarawan, di masa awal Islam tidak ada kemenangan yang lebih besar dibanding Perjanjian Hudaibiyah. Sebab dengan adanya perjanjian itu peperangan dapat dihindari, dakwah Islam lebih meluas, dan Islam tersebar hingga seluruh Jazirah Arab. Sejak penandatanganan perjanjian hingga terjadinya pelanggaran perjanjian (22 bulan), jumlah orang yang memeluk agama Islam jauh melebihi jumlah seluruh muslimin yang sudah ada. Pasukan Rasulullah saw yang andil dalam penaklukan Mekkah pada tahun ke-8 H mencapai 10.000 orang. Pada kesempatan itu para tokoh Quraisy masuk Islam di antaranya, Abu Sufyan, Amr bin Ash dan Khalid bin Walid. [46]

Bekat adanya Perjanjian Hudaibiyah keadaan menjadi relatif stabil. Hal itu sangat membantu Rasulullah saw dalam memperkokoh dakwah di semenanjung Arab. Tak hanya itu, Rasulullah saw juga berhasil memperluas penyebaran Islam hingga luar wilayah. Misalnya pada tahun ke-7 H beliau menyeru para raja dan penguasa kawasan sekitar agar menerima Islam. Adapun berkah terbesar dari perjanjian tersebut adalah penaklukan Mekkah yang berhasil diraih dalam tempo singkat setelah Perjanjian Hudaibiyah.

Lihat Juga

  • Hudaibiyah
  • Baiat Ridhwan
  • Surah Al-Fath

  1. Lih. Qs. Al-Fath: 27.
  2. Ibnu Hisyam, jld. 2, hlm. 776.
  3. Waqidi, jld. 2, hlm. 573. Ibnu Sa'ad, jld. 2, hlm. 95.
  4. Lih. Ibnu Sa'ad, jld. 2, hlm. 95. Thabari, Tarikh, jld. 2, hlm. 620.
  5. Lih. Ibnu Hisyam, jld. 2, hlm. 777.
  6. Waqidi, jld. 2, hlm. 574.
  7. Waqidi, jld. 2, hlm. 573. Ibnu Sa'ad, jld. 2, hlm. 95.
  8. Ibnu Hisyam, jld. 2, hlm. 776.
  9. Ibid. Ibnu Sa'ad, jld. 2, hlm. 95.
  10. Waqidi, jld. 2, hlm. 574.
  11. Ibnu Hisyam, jld. 2, hlm. 777.
  12. Ibnu Sa'ad, jld. 2, hlm. 95.
  13. Ibnu Hisyam, jld. 2, hlm. 777.
  14. Ibid.
  15. Lih. Qs. al-Nisa': 101-102.
  16. Lih. Waqidi, jld. 2, hlm. 582-583.
  17. Ibnu Hisyam, jld. 2, hlm. 778. Ibnu Sa'ad, jld. 2, hlm. 96.
  18. Ibnu Hisyam, jld. 2, hlm. 779.
  19. Lih. Ibnu Hisyam, jld. 2, hlm. 781. Ibnu Sa'ad, jld. 2, hlm. 96. Ya'qubi, jld. 2, hlm. 54.
  20. Waqidi, jld. 2, hlm. 602. Ibnu Hisyam, jld. 2, hlm. 781. Ibnu Sa'ad, jld. 2, hlm. 96-97.
  21. Ibnu Hisyam, jld. 2, hlm. 782. Ibnu Atsir, jld. 2, hlm. 203.
  22. Lih. Waqidi, jld. 2, hlm. 603. Ibnu Hisyam, jld. 2, hlm. 782. Thabari, Tarikh, jld. 2, hlm. 632.
  23. Ibnu Hisyam, jld. 2, hlm. 782.
  24. Ibnu Atsir, jld. 2, hlm. 203.
  25. Ibnu Hisyam, jld. 2, hlm. 783.
  26. Lih. Ya'quni, jld. 2, hlm. 54. Thabrisi, 1417, jld. 1, hlm. 371-372. Halabi, jld. 3, hlm. 20.
  27. Lih. Ibnu Hisyam, jld. 2, hlm. 783. Ibnu Sa'ad, jld. 2, hlm. 101.
  28. Baihaqi, Dalail al-Nubuah, jld. 4, hlm. 106.
  29. Dzahabi, Tarikh Islam, jld. 2, hlm. 371.
  30. Subul al-Huda wa al-Rusysysad fi Sirah Khair al-'Ibad, jld. 5, hlm. 53.
  31. Dzahabi, Syamsuddin, jld. 2, hlm. 371. Baihaqi, Abu Bakr, jld. 2, hlm. 106. Shalihi Dimasyqi, jld. 5, hlm. 53.
  32. Shalihi Dimasyqi, Muhammad bin Yusuf, jld. 5, hlm. 53.
  33. Ya'qubi, jld. 2, hlm. 54.
  34. Ibnu Hisyam, jld. 2, hlm. 790-791.
  35. Waqidi, jld. 2, hlm. 611-612. Ibnu Hisyam, jld. 2, hlm. 784. Ibnu Atsir, jld. 2, hlm. 204. Ya'qubi, jld. 2, hlm. 54.
  36. Muslim, Shahih, no. 1785.
  37. Lih. Waqidi, jld. 2, hlm. 616. Ibnu Sa'ad, jld. 2, hlm. 98.
  38. Waqidi, jld. 2, hlm. 613. Ya'qubi, jld. 2, hlm. 55. Ibnu Hisyam, jld. 2, hlm. 785.
  39. Ya'qubi, jld. 2, hlm. 55.
  40. Ibnu Atsir, jld. 2, hlm. 227.
  41. Waqidi, jld. 2, hlm. 617-623.
  42. Misalnya lih. Thabari, Jami'. Thabrisi, 1408. Thabathabai, surah al-Fath: 19.
  43. Lih. Thabathabai, surah al-Fath: 19.
  44. Lih. Waqidi, jld. 2, hlm. 624-629. Ibnu Hisyam, jld. hlm. 788-789. Syahidi, Tarikh Tahili Islami, hlm. 91.
  45. Ibnu Atsir, jld. 2, hlm. 239-244.
  46. Lih. Waqidi, jld. 2, hlm. 624. Ibnu Hisyam, jld. 2, hlm. 788.

  • Ahmad bin Ishaq Ya'qubi, Tarikh al-Ya'qubi, Beirut, Dar Shadir, tanpa tahun, cet. Offset, Qom, tanpa tahun.
  • Baihaqi, Abu Bakar, Dalail al-Nubuwah wa Ma'rifah Ahwal Shahib al-Syari'ah, Beirut, Darul Kutub al-Ilmiah, pertama, 1405 H.
  • Dzahabi, Syamsuddin, Tarikh al-Islam wa Wafayat al-Masyahir wa A'lam, Beirut, Darul Kitab al-Arabi, kedua, 1409 H.
  • Halabi, Ali bin Ibrahim, al-Sirah al-Halabiah, Beirut, [1320], cet. Offset, tanpa tahun.
  • Ibnu Atsir, al-Kamil fi al-Tarikh, Beirut, 1385-1386 H/1965-1966 M, cet. Offset 1399-1402 H/1979-1982 M.
  • Ibnu Hisyam, al-Sirah al-Nabawiah, cet. Suhail Zukar, Beirut, 1412 H/1992 M.
  • Ibnu Sa'ad, Kitab al-Thabaqat al-Kabir, cet. Eduard Sachau, Leiden, 1321-1347 H/1904-1940 M, cet. Offset Tehran, tanpa tahun.
  • Muhammad bin Jarir Thabari, Jami' al-Bayan 'an Ta'wil al-Qur'an, Mesir, 1373 H/1954 M.
  • Muhammad bin Jarir Thabari, Tarikh al-Thabari: Tarikh al-Umam wa al-Muluk, cet. Muhammad Abul Fadhl Ibrahim, Beirut, 1382-1387 H/1962-1967 M.
  • Muhammad Husain Thabathabai, al-Mizan fi Tafsir al-Qur'an, Beirut, 1390-1394 H/1971-1974 M.
  • Thabrisi, Fadhl bin Hasan, A'lamul Wafa bi A'lamil Huda, Qom, 1417 H.
  • Thabrisi, Fadhl bin Hasan, Majma' al-Bayan fi Tafsir al-Qur'an, cet. Hasyim Rasuli Mahalati dan Fadhlullah Yazdi Thabathabai, Beirut, 1408 H/1988 M.
  • Waqidi, Muhammad bin Umar, Kitab al-Maghazi, cet. Marsden Jones, London, 1966 M.
  • Yaqut Hamawi, Kitab Mu'jam al-Buldan, cet. Ferdinand dan Vestfold, Leipzig, 1866-1873, cet. Offset Tehran, 1965 M.