Berikan dua contoh dalam kehidupan sehari-hari yang menggunakan istishab sebagai sumber hukum islam

Khasanah keilmuan Islam yang begitu mendalam seringkali diabaikan oleh umat Islam dalam menggali produk hukum, sehingga mereka lebih memilih hukum Barat sebagai rujukan hukum. Kegundahan penulis melihat realita lapangan yang ada menggerakkan penulis untuk menulis ranah kajian usul fiqh, sebab pada ranah inilah kajian hukum Islam bisa belaku sangat aplikatif. Namun penyajian usul fiqih secara eksklusif dengan contoh yang terdominasi “urusan agama” menjadikan sebagian masyarakat awam menganggap bahwa usul fiqih adalah ilmu yang hanya perlu dikuasai para akademisi muslim di pesantren atau perguruan tinggi, dan tidak memungkinkan bagi mereka “masyarakat awam” untuk menyentuhnya. Istihsan dan istishhab adalah salah satu cabang ilmu dalam usul fiqh yang disajikan para ulama usul dengan segala objektifitasnya sebagai piranti menuju istinbathu-l-hukm yang elegan dan menjaman untuk menjawab perkembangan peristiwa hukum yang terjadi yang banyak belum tercover secara jelas dalam dalil-dalil hukum yang rajih.

Penulis berupaya menyajikan judul di atas tidak seperti kebanyakan penyajian materi usul fiqih yang kurang menyentuh perkara kekinian. Dengan harapan makalah ini bisa dijadikan bahan refensi dalam menyikapi perkembangan peristiwa hukum yang terjadi, dan menjadikannya jembatan penghubung dengan pemikiran para ‘ulama usul ar-rasikhiin al-mukhlisin dengan apa yang sedang dihadapi ummat Islam, hingga usul fiqih tidak sekedar menjadi ilmu dalam peti yang tersimpan rapi dalam kepustakaan Islam tapi bisa diaplikasikan lebih riil.

ISTIHSAN
PENGERTIAN, PENDAPAT PARA ‘ULAMA DAN PENGARUHNYA TERHADAP PERKEMBANGAN HUKUM ISLAM

A. Pengertian Istihsan 1. Secara bahasa Berikut ini beberapa pengertian istihsan menurut bahasa: • (استحسن- يَسْتَحْسِنُ: عدُّه حسناً) Menganggap atau meyakini sesuatu itu baik. • Istihsan berasal dari kata (إِسْتَحْسَنَ – يَسْتَحْسِنُ – إِسْتِحْسَاًنا) yang berarti (طَلَبُ الْحَسَنِ) mencari kebaikan. • Menghitung-hitung sesuatu dan menganggapnya kebaikan.

• (الاستحسان لغة عدُّ الشيء حسناً، كقولهم: أستحسن كذا أي اعتبره حسناً ) Menganggap atau meyakini sesuatu itu baik. Meninggalkan kias jaly (analogi yang jelas) dan mengamalkan kiyas khafy (analogi yang samar), atau dengan kata lain meninggalkan hukum yang kully (umum) dan mengamalkan hukum juzy (khusus) karena ada dalil yang lebih kuat dalam mewujudkan tujuan hukum.

Dari berbagai pengertian di atas, maka penulis menyimpulkan, bahwa istihsan adalah keputusan untuk menganggap atau meyakini sesuatu itu baik, dengan cara meninggalkan kias jaly (analogi yang jelas) dan memilih kiyas khafy (analogi yang samar) sebagai jalan untuk menyikapi peristiwa hukum yang berlangsung, atau meninggalkan hukum yang kully (umum) untuk kemudian mengamalkan hukum juzy (khusus) yang hal tersebut di atas ditempuh disebabkan adanya dalil yang lebih kuat dalam mewujudkan tujuan pelaksanaan hukum. 2. Secara istilah Secara istilah istihsan dimaknai para ahli usul sebagai berikut: • Dalam buku Usul Fiqih karangan Prof DR. Rachmat Syafe’i, istilah istihsan diartikan para ahli usul sebagai berikut: – Imam al-Ghazali: Istihsan adalah semua hal yang dianggap baik oleh mujtahid berdasarkan akalnya. – Al-Muwafiq Ibnu Qadamah Al-Hambali: Istihsan adalah keadilan terhadap hukum dan pandangannya karena adanya dalil Qur’an dan Hadits. – Abu Ishaq Asy Syatiby dalam Mazhab Maliky: Istihsan adalah pengambilan kemaslahatan yang bersifat juzy (parsial) dalam menanggapi dalil yang bersifat kully (global). – Hasan Al-Kurkhy al-Hanafy: Istihsan adalah perbuatan adil terhadap suatu permasalahan hukum dengan memandang hukum yang lain, karena adanya sesuatu yang lebih kuat yang membutuhkan keadilan. • Dalam buku Usul Fiqih jilid 1 karangan Drs. Khoirul Umam, dkk pengertian istihsan diartikan sebagai berikut: – Imam Al-Bazwadi (400-482 H/1010-1079 M): Berpaling dari kehendak qiyas kepada qiyas yang lebih kuat berdasarkan dalil yang lebih kuat. – Imam As-Sarakhsy dari mazdhab Hanafi (w 483 H/1090 M): Meninggalkan qiyas dan mengamalkan yang lebih kuat dari padanya karena adanya dalil yang menghendaki dan lebih sesuai dengan kemaslahatan ummat. – Imam Malik yang dinukil Asy-Syatiby: Memberlakukan kemaslahatan juzy (khusus) ketika berhadapan dengan kaidah kully (umum). • Pengertian istihsan menurut para ulama’ usul dalam buku Ensiklopedi Islam jilid 2 adalah sebagai berikut: – Ibnu ‘Araby: mengamalkan dalil yang terkuat dari dua dalil yang kuat, dengan mendevinisikannya sebagai rukhsah hukum karena beberapa alasan (urf/kebiasaan, Ijmak/kesepakatan ulama’, menghindarkan hukum yang memberatkan dengan mengambil yang member kelapangan, adanya al-maslahah al-mursalah/mashlahat yang tidak ada ketentuannya dalam syara’). – Ibnu Rusyd: mengamalkan syari’at dengan menginggalkan sesuatu yang menyulitkan untuk menuju sesuatu yang memudahkan namun tetap sesuai dengan tujuan syari’at. – Mazdhab Maliky: istihsan adalah metode istinbat hukum yang diakui yang diambil secara istiqrai (induktif) dari sejumlah dalil keseluruhan. – Mazdhab Hanafi: pengamalan istihsan adalah mengamalkan dalil syar’i, bukan berdasar nafsu dan subejtifitas.

– Madzhab Hanbali: Meninggalkan hukum suatu masalah pada hukum lain karena ada dalil syara’ tertentu.

Mazdhab asy-Syafi’i tidak mengenal istilah istihsan, sebab mereka menolak istihsan sebagai salah satu perangkat dasar hukum. Imam Asy-Syafi’i berpendapat: مَن اسْتَـحْسَنَ فَـقَدْ شَرَعَ

“Barangsiapa yang beristihsan, maka ia telah mengada-adakan hukum syara’.”

Maka dapat disimpulkan, bahwa istihsan adalah memilih menggunakan qiyas al-khafi dari pada qiyas al-jaly dengan dasar dalil yang mendukung. Dan pemberlakuan hukum juz’iy dari hukum kully dengan dasar hukum dari dalil yang mendukung. Dan ranah istihsan adalah wilayah yang hukum Islam tersentuh oleh metode istinbat yang disepakati kalangan Madzhab Maliki, Hanafi dan Hanbali yang diambil secara istiqray (induktif) dari sejumlah dalil syara’ dengan mengesampingkan keinginan nafsu dan subjektifitas mujtahid.

B. Sumber Hukum Istihsan 1. Dalil dari al-Qur’an • (الزمر: 18) “Yang mendengarkan perkataan lalu mengikuti apa yang paling baik di antaranya . mereka Itulah orang-orang yang telah diberi Allah petunjuk dan mereka Itulah orang-orang yang mempunyai akal.” (Az-Zumar: 18) • (الحج: 78) “Dan berjihadlah kamu pada jalan Allah dengan Jihad yang sebenar-benarnya. Dia telah memilih kamu dan Dia sekali-kali tidak menjadikan untuk kamu dalam agama suatu kesempitan. (Ikutilah) agama orang tuamu Ibrahim. Dia (Allah) telah menamai kamu sekalian orang-orang Muslim dari dahulu , dan (begitu pula) dalam (Al Quran) ini, supaya Rasul itu menjadi saksi atas dirimu dan supaya kamu semua menjadi saksi atas segenap manusia, Maka dirikanlah sembahyang, tunaikanlah zakat dan berpeganglah kamu pada tali Allah. Dia adalah Pelindungmu, Maka Dialah Sebaik-baik pelindung dan sebaik- baik penolong.” (Al-Hajj: 78) • (البقرة: 185) “Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu.” (Al-Baqarah: 185) • (الزمر: 55)

Dan ikutilah Sebaik-baik apa yang telah diturunkan kepadamu dari Tuhanmu. (Az-Zumar: 55)

2. Dalil dari al-Hadits • عَنْ أَنَس رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ: قَالَ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ: “خَيْرُ دِيْنِكُمْ أَيْـسَرَهُ وَ خَيْرَ الْعِـبَادَةِ الْفِقْهُ.” (رواه ابن عبد البر) “Anas ra berkata: Rasulullah SAW bersabda: “Sebaik-baiknya agamamu adalah yang lebih mudah ajarannya, dan sebaik-baiknya ibadah adalah yang dipahami syarat-rukunya.” • مَا رَآهُ الْمُسْلِمُوْنَ حَسَناً فَهُوَ عِنْدَ اللهِ حَسَنٌ (رواه ان حنبل من ابن مسعود) “Sesuatu yang dipandang baik oleh ummat Islam, maka ia juga baik di hadapan Allah.” C. Pandangan Ulama’ Seputar Aplikasi Istihsan Sebagai Hujjah Dan Pengaruhnya Terhadap Perkembangan Hukum Islam Berikut ini adalah pandangan para ‘ulama dalam menyikapi istihsan sebagai salah satu piranti yang digunakan hujjah hukum. 1. Al-Hanafiyah Kalangan ulama usul fiqih sepakat bahwa Imam Abu Hanifah adalah salah satu madzhab empat yang sering menggunakan istihsan dalam memutuskan perkara, berfatwa dan mengistinbati hukum, namun pengertian istihsan tidak berasal darinya, muridnya-lah yang kemudian memberikan rumusan sebagaimana yang masyhur di kalangan Hanafiyah. Banyak dikenal di kalangan para ulama’ Hanafiyah, bahwa Imam Abu Hanifah sering menggunakan istihsan dalam berfatwa, begitluah yang disampaikan oleh Abu Zahrah. Maka tidak mengherankan bila dalam fiqh Hanafiyah banyak hal yang menyangkut istihsan. Mazhab ini membagi istihsan dalam dua qiyas: jaly (jelas) namun lemah pengaruhnya, dan qiyas khafy (sama) namun memiliki perenan yang kuat dalam mewujudkan tujuan hukum, dan yang kedua inilah yang menjadi pilihan bagi mereka. Dari pembagian qiyas di atas, maka kemudian Madzhab ini membagi istihsan menjadi empat: a. Istihsan dengan nash Contoh hadits yang menerangkan sahnya puasa bagi orang yang makan minum akibat lupa. Qiyas jaly : Puasa batal disebabkan makan minum. Qiyas khafy : Puasa tidak batal, bila disebabkan oleh lupa berdasarkan Hadits: “Berpuasalah atas puasamu! Karena sesungguhnya Allah member makan-minum kepadamu.” (HR. Ahmad) b. Istihsan atas dasar ijma’ Contoh mandi di kamar mandi umum yang disewakan tanpa ada tarif yang ditentukan dan tidak ada ketentuan yang mengatur lamanya di kamar mandi. Hukum sewa : Hal ini termasuk ketentuan sewa yang semestinya memiliki ketentuan yang jelas untuk harga dan waktunya. Ijma’ : Tapi berdasar kebiasaan yang ada, maka ijma’ sepakat ketentuan tersebut tidak perlu diadakan. c. Istihsan karena darurat atau karena adanya pertentangan dua qiyas. Contoh pada pengharaman bangkai, darah, daging babi, dan binatang yang disembelih dengan nama selain Allah. Hukum asal : Bangkai, darah, daging babi, dan binatang yang disembelih dengan nama selain Allah adalah diharamkan untuk dimakan. Dua qiyas yang bertentangan: 1. (الضرر لا يزال بالضرر) Bahaya tidak boleh dihilangkan dengan bahaya yang lain. 2. (الضرر يزال) Bahaya harus dihilangkan. Darurat : Bila hukum ini diterapkan pada orang yang dalam kondisi darurat (tidak menemukan makanan kecuali yang diharamkan) maka dikhawatirkan bahaya yang lebih besar, kematian. Maka ia dibolehkan untuk memakannya dengan wajar. d. Istihsan dengan mengutamakan qiyas khafy Contoh seorang penjual dan pembeli bertengkar mengenai harga barang yang belum disepakati oleh pembeli. Pembeli merasa harga barang telah ditentukan Rp 90.000,-, sedangkan penjual menuntut harga tambahan menjadi Rp 100.000,- sebab ia merasa belum menentukan harga Rp 90.000,-. Karena kedua belah pihak sama-sama menuntut, menurut qiyas jaly penjual harus mengemukakan bukti (bayyinah) yang membuktikan bahwa penjual belum menentukan harga Rp 90.000,- (sebagaimana yang diklaim pembeli) dan pembeli diperintahkan mengucapkan sumpah yang menerangkan bahwa harga yang disepakati adalah Rp 90.000,-. Bila kemudian penjual tidak bisa membuktikkan bahwa harga barang yang disepakati adalah Rp 100.000,-. Menurut qiyas khafy yang dikuatkan adalah harga Rp 90.000,- sebab si penjual juga mengucapkan sumpah. 2. Al-Malikiyah Asy-Syatibi sebagai salah satu pemuka Madzhab Maliki berpendapat, bahwa istihsan adalah dalil kuat yang bisa digunakan sebagai landasan hukum. Hal ini dikuatkan dengan pernyataan Abu Zahrah yang mengatakan bahwa Imam Malik sering berfatwa menggunakan istihsan. 3. Al-Hanabilah Madzhab ini mengakui keberadaan istihsan sebagaimana ditegaskan oleh Imam Al-Amudi dan Imam Abu Hanifah. Namun Al-Jalal Al-Mahlli engatakan dalam kitab Syarh Jam’i al-Jawami’, bahwa istihsan hanya diakui oleh Imam Abu Hanifah dan diingkari oleh ulama’ lain. Madzhab Hanbali, yang diwakili pemikiran Ibnu Qudamah, ia membagi arti istihsan menjadi tiga pengertian: a. Meninggalkan hukum suatu masalah secara teoritis karena ada dalil dari Qur’an atau sunnah. b. Sesuatu yang dianggap baik menurut akal seorang mujtahid. c. Meninggalkan dalil yang dipandang cacat oleh seorang mujtahid dan mengambil dalil lain yang lebih tepat. 4. Asy-Syafi’iyah Tidak ada keraguan dalam berbagai karya seputar usul fiqh, bahwa Imam Asy-Syafi’ tidak mengakui adanya istihsan dan menjahuinya dari penggunakannya sebagai dalil hukum. Hal in bisa dilihat dari pendapat Imam Asy-Syafi’i sebagaimana diterangkan sebelumnya oleh penulis. Imam Asy-Syafi’i berpendapat, bahwa pemberlakuan ijtihad terhadap suatu masalah hukum tidak dapat dilakukan kecuali ada dalil yang mendukung, dan salah satu dari dalil-dalil tersebut adalah qiyas. Dalam hal penggunaan qiyas, Imam Asy-Syafi’i terkenal sering menggunakannya sebagai metode pemecahan hukum, sepertihalnya prinsip ‘ain qaimah atau tasybih ‘ain qaimah (nilai umum yang menjadi sandaran analogi), maka ia menyimpulkan bahwa istihsan tidak lebih dari membuat hukum dengan dasar taladzudz (kesenangan) dan ta’assuf (mengada-ada) sesuai keinginan hawa nafsu. Dalil-dalil yang dikemukakan Imam Asy-Syafi’i dalam menolak istihsan adalah sebagai berikut: a. Firman Allah • (المائدة:3) “….Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Aku cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu Jadi agama bagimu….” (Al-Maidah: 3) • (القيامة: 36) “Apakah manusia mengira, bahwa ia akan dibiarkan begitu saja (tanpa pertanggung jawaban)?” (Al-Qiyamah: 36) • (النحل: 44) “Keterangan-keterangan (mukjizat) dan kitab-kitab. dan Kami turunkan kepadamu Al Quran, agar kamu menerangkan pada umat manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka dan supaya mereka memikirkan.” (An-Nahl: 44) • (النحل: 89) “(Dan ingatlah) akan hari (ketika) Kami bangkitkan pada tiap-tiap umat seorang saksi atas mereka dari mereka sendiri dan Kami datangkan kamu (Muhammad) menjadi saksi atas seluruh umat manusia. dan Kami turunkan kepadamu Al kitab (Al Quran) untuk menjelaskan segala sesuatu dan petunjuk serta rahmat dan kabar gembira bagi orang-orang yang berserah diri.” (An-Nahl: 89) b. Hadits Sabda Nabiyullah Muhammad SAW: “Aku tidak meninggalkan sesuatupun dari apa-apa yang Allah perintahkan (untuk dikerjakan), (dan juga tidak meninggalkan) sesuatu yang Allah melarangnya kecuali aku juga telah melarangnya.” (HR Ahmad) c. Allah memerintahkan Nabiyullah ntuk mengikuti apa yang diperintahkan kepadanya. Selain itu Allah juga melarang menentukan hukum berdasarkan tuntutan hawa nafsu. d. Nabiyullah Muhammad menentukan hukum tidak berdasar hawa nafsu dan tidak melewatkan sesuatu dari urusan agama. Beliau selalu mengikuti wahyu untuk menentukan urusan hukum. Maka selayaknya, orang muslim menggunakan landasan hukum seperti Nabi Muhammad, jika tidak menemukannya maka ia disarankan menggunakan qiyas dengan tetap berdasar kepada Qur’an dan Sunnah. e. Bila seorang mujtahid diterima ijtihad hukumnya tanpa berdasar Qur’an, Sunnah, ijma’ atau qiyas, maka orang non-mujtahid bila memiliki kepandaian juga boleh melakukan istihsan (padahal bisa jadi ia tidak memiliki pengetahuan agama yang baik dalam urusan tersebut). Padahal telah disepakati oleh para ‘ulama, bahwa ijtihad tidak boleh dilakukan kecuali oleh seseorang yang memiliki pengetahuan yang baik tentang Qur’an, Sunnah, ijma’, dan qiyas.

f. Jika hakim boleh memutuskan perkara berdasarkan istihsan, maka hal ini juga akan ditempuh oleh hakim lain. Dan sangat mungkin akan timbul keputusan hukum yang berbeda untuk perkara yang sama, sebab keputusan hakim terhadap masalah hukum tidan dilandasi sumber hukum yang sama, tapi berdasar selera dan pengetahuan masing-masing hakim yang sangat mungkin untuk berbeda.

5. Imam al-Ghazali Ia dikenal dari kelompok Asy-Syafi’iyah (kalangan yang menolak istihsan), namun secara subtansial menerima konsep istihsan. Maka ia mengupas empat bentuk istihsan seperti yang dikemukakan Imam al-Kharakhi (tokoh usul fiqih Hanafiyah): a. Meninggalkan qiyas jally menggunakan qiyas khafy dengan syarat ada kondisi yang menguatkan. b. Meninggalkan qiyas dan lebih mengikuti pendapat shahabat. c. Meninggalkan qiyas bila ada hadits yang lebih tepat. d. Meninggalkan qiyas sebab ‘urf (adat kebiasaan) mengkondisikan demikian.

Maka kemudian Imam Al-Ghazaly mengambil sikap, bahwa tiga urutan teratas bisa diterima, namun menganggap yang ke-empat (istihsan ‘urfy) adalah istihsan bathil.

BAB II ISTISHHAB

PENGERTIAN, PENDAPAT PARA ‘ULAMA DAN PENGARUHNYA TERHADAP PERKEMBANGAN HUKUM ISLAM

A. Pengertian Istishhab 1. Secara bahasa Berikut ini beberapa pengertian istihsan menurut bahasa: • Menurut Abu Luis: (استصحب- يَسْتَصحب – استصحبه: لازمه و لينه) yang berarti menuntut kebersamaan atau terus menerus bersama. • Dalam kitab Al-Masbah al-Munir diartikan:

(كل شيئ لازم شيئا فقد استصحبه) segala sesuatu yang menetapi sesuai maka ia menemaninya.

2. Secara istilah Secara istilah istishab dimaknai para ahli usul sebagai berikut: • Dalam kitab ‘Abdul Wahab Khalaf mengartikan: (الحكم على الشيء بالحال التي كان عليها من قبل، حتى يقوم دليل على تغير تلك الحال) Hukum atas sesuatu yang sesuai atas kondisi tertentu yang disesuaikan dengan kondisi hukum atasnya pada hal yang sama sebelumnya, dan status hukum atas sesuatu tersebut akan berubah jika kondisi yang memunculkan hukum tersebut juga berubah. • Imam al-Asnawi memberikan devinisi: أن الإستصحاب عبارةٌ عن الحكمِ يـُثْبِتُوْن أمرًا في الزمان الثاني بناءً على ثبوته في الزمان الأوّل لعدم وجود ما يصلح للتغيـير “Istishab ialah melanjutkan keberlangsungan hukum yang telah ada dan yang telah ditetapkan karena adanya dalil, dan (bisa diubah) bila ada dalil lain yang mengubah hukum-hukum tersebut.” • Imam Ibnu Qayyim: إن الإستصحاب استدامه إثباتٌ ما كان ثابتا أو نَفْيَ ما كان مُنْتَفِياً حتى يقومَ دليلٌ على تغيّر الحالة. “Istishab adalah menetapkan berlakunya hukum yang telah ada, atau meniadakan apa yang memang tiada sampai adanya dalil yang dapat mengubah kedudukan berlakunya hukum tersebut.”

Mengharuskan tetapnya (hukum) sesuatu yang sudah nyata adanya atau tidak nyata adanya dalam suatu hal yang berlaku karena tidak adanya ketetapan perubahan. Dengan kata lain, istishab adalah tetap berlakunya suatu hukum yang sudah ada di masa lalu karetetap berlakunya suatu hukum yang sudah ada di masa lalu karena tidak adanya hukum baru sesudahnya. Istishab merupakan suatu istilah baku dalam ilmu ushul fikih, khususnya ketika membicarakan dalil-dalil hukum Imam Syafi’i. Oleh ulama Madzhab Syafi’i, Maliki, Hanbali, dan ulama-ulama Syi’ah, istishab digunakan sebagai salah satu dalil syarak (hukum Islam) sedangkan Madzhab Imam Hanafi tidak menerima istishab dalam mengehujahi hukum.

Maka dapat disimpulkan bahwa istishhab adalah menetapkan sesuatu hukum atas suatu peristiwa hukum berdasarkan keadaan yang menyertainya yang sudah berlangsung sebelumnya, hingga ditemukan dalil yang menunjukkan perubahan adanya perubahan status hukum atas peristiwa hukum tersebut. Maka status awal hukum multi level marketing, sewa-menyewa, jasa toilet umum, bursa saham, dll adalah boleh (إباحة) sebab landasan teorinya adalah (الأصل في الشيء إباحة) asal hukum dari segala sesuatu adalah dibolehkan, hingga ditemukan dalil yang mengharamkannya.

B. Sumber Hukum Istihhab 1. Dalil dari al-Qur’an •                              (الإعراف: 32)

“Katakanlah: “Siapakah yang mengharamkan perhiasan dari Allah yang telah dikeluarkan-Nya untuk hamba-hamba-Nya dan (siapa pulakah yang mengharamkan) rezki yang baik?” Katakanlah: “Semuanya itu (disediakan) bagi orang-orang yang beriman dalam kehidupan dunia, khusus (untuk mereka saja) di hari kiamat .” Demikianlah Kami menjelaskan ayat-ayat itu bagi orang-orang yang mengetahui.” (Al-‘Araf: 32)

2. Dalil dari al-Hadits • “إِذَا وَجَـدَ أَحَدُكُمْ فِي بَـطْبه شيئاً فَأَشْكَلَ عَلَـيْهِ أَخْرَجَ شَيْءٌ مِنْهُ أَمْ لاَ فَلاَ يَخْرُجَنَّ مِنَ الْمَسْجِدِ حَتَّى يَسْمَعَ صَوْتاً أَوْ يَجِدَ رِيْـحاً.”

“Jika seseorang merasakan sakit perutnya lalu ragu apakah ada sesuatu yang keluar atau tidak, maka jangan sekali-kali keluar dari masjid (membatalkan shalat) sampai kamu mendengar suara atau mencium baunya.”

C. Pandangan Ulama’ Seputar Aplikasi Istishab Dan Pengaruhnya Terhadap Perkembangan Hukum Islam 1. Boleh Tidaknya Istishab dijadikan sebagai istinbath al-hukum asy-syar’i a. Mayoritas ulama’ dari kalangan Malikiyah, Hanbaliyah dan Syafi’iyah memandang bahwa istihab bisa dijadikan landasan untuk istinbat-l-hukm, dengan catatan belum ada dasar/dalil yang bisa merubahnya. b. Kalangan ‘ulama mutakallimin, seperti Hasan al-Bishri berpendapat, bahwa istishhab tidak boleh digunakan sebagai hujjah hukum dalam beristinbath, hal ini dikarenakan penentuan ada tidaknya hukum yang terdahulu harus dibuktikan kebenaran dan keberadaannya dengan dalil.

c. Ulama mutaakhirin sebagian besar dari kelompok al-Hanafiyah berpendapat bahwa istishhab bukanlah hujjah yang tidak tetap yang digunakan dalam mengistinbathi perkara hukum, namun ia hanya alat yang digunakan untuk melestarikan keputusan hukum atas tersebut. Hal ini disebabkan dari pendapat mereka yang menyatakan bahwa istishhab adalah hujjah dari ketetapan hukum yang sudah ada pada awalnya.

Maka penulis menyimpulkan istishhab bisa dijadikan sebagai hujjah dalam sebuah istinbathu-lhukm, baik yang perkara yang menyangkut ibadah, mu’amalah, social kemasyarakatan, dan lain sebagainya. Hal ini akan menghasilkan peluang bagi pelaku hukum dalam mengeluarkan fatwa secara mudah tanpa harus terpenjara dengan perangkat hukum yang kaku, sehingga berbagai perkembembangan kehidupan beragama kekinian bisa tercover secara memadai dalam Islam, dan menjadikan Islam sebagai agama yang menjaman dengan keputusan hukum yang up to date.

2. Pembagian Istishhab dan aplikasinya terhadap peristiwa hukum a. (إستصحاب حكم ثابت بالإجماع في محل الخلاف بين علماء) Istishhab terhadap perkara hukum yang telah tetap yang dihasilkan dari ijma’ yang dalam perkembangannya berpotensi memicu timbulnya perselisihan. Contoh:

Seorang pembeli pulsa elektrik mengkomplain kepada pihak counter, bahwa pulsa yang ia beli belum masuk, dan pihak counter menyatakan bahwa pulsa telah terkirim. Maka istinbath hukum yang diambil adalah pulsa belum masuk/terkirim. Kecuali pihak counter bisa menunjukkan bukti pengiriman elektrik bahwa pulsa telah terkirim kepada nomor Hp si pembeli dengan benar, baik nominal, hari/tanggal dan waktunya.

b. (إستصحاب عدم الأصلي المعلوم بالعقل في الأحكام الشريعة) Kontinuitas hukum dasar ketiadaan berdasar argumentasi secara akal dalam kontek hukum-hukum syara’, dengan kata lain; status hukum atas suatu perkara hukum dinyatakan tiada yang dinyatakan oleh akal disebabkan tidak adanya landasan dalil yang menjelaskannya. Contoh: Seorang dept-collector menagih pelunasan kartu kredit senilai Rp 357.000.000,- (tiga ratus lima puluh juta rupiah) atas transaksi pada Hari Rabu, 6 April 2011 di Malang Jawa-Timur Indonesia pukul 09.30 WIB kepada Bapak Kasuwi Saiban sebagai pengguna credit-card premium (dimana pihak penyedia jasa credit-card menyiapkan sejumlah dana besar untuk penggunanya yang kemudian ditagihkan kepada pengguna sesuai dengan nominal transaksi yang ada), namun pengguna kartu (Bapak Kasuwi Saiban) membantah bahwa ia menggunakan kartu tersebut hingga ia menolak membayar nominal yang dimaksud. Pengguna (Bapak Kasuwi Syaiban) bisa membuktikan bahwa ia pada hari, tanggal dan jam tersebut berada di Makkah dalam rangka umrah, yang dia akui hanyalah belanja dengan kartu tersebut di mall yang dilesensikan oleh penyedia jasa kartu kredit dalam berbelanja sebesar Rp 3.000.000,- (tiga juta rupiah). Setelah memalui penelusuran yang cermat, ternyata ditemukan transaksi yang tidak sesuai dengan alibi pengguna kartu. Dan dinyatakan oleh pihak yang berwenang, bahwa kartu tersebut telah dicrakk oleh hacker untuk belanja mobil Toyota Innova Diesel sebesar Rp 353.000.000,- (tiga ratus lima puluh tiga juta rupiah). Maka istinbathu-l-hukm yang diambil adalah pengguna (Bapak Kasuwi Saiban) tidak wajib membayar kepada penyedia jasa kartu kredit kecuali apa yang diakui dan dinyatakan benar oleh pihak berwenang sebesar Rp 3.000.000,- (tiga juta rupiah). Hal ini didasari kaidah usul fiqh yang menyatakan (الأصل براءة الذمّة) asal hukum bagi sesuatu adalah terlepas dari tanggungjawab. c. (إستصحاب حكم إباحة الأشياء للأشياء) Penetapan berlakunya hukum yang menyatakan bolehnya asal segala sesuatu. Contoh: Segala bentuk makanan, minuman atau sesuatu yang dimaksudkan untuk dikonsumsi pada dasarnya adalah boleh. Sulitnya TKI-TKW menemukan makanan yang berlabel halal pada negara tempat mereka bekerja menjadikan bolehnya mereka untuk mengkonsumsi apapun jenis makanan-minuman yang secara nyata tidak mengandung sesuatu yang diharamkan. Hal ini juga didukung kaidah usul (المشقّة تجلب التيسير) kesulitan atas sesuatu menjadikan mudahnya menentukan status hukum atasnya. d. (إستصحاب المقلوب) Istishhab terhadap kondisi kekinian dalam menentukan status hukum pada masa lampau yang disebabkan pada bentuk istishhab sebelumnya merupakan penetapan sesuatu pada masa kedua berdasar pada penetapan masa pertama yang disebabkan tidak adanya dalil secara spesifik yang menerangkannya. Contoh: Herman Felani tertuduh sebagai cracker yang membobol scuritas penyedia layanan kartu kredit dan mengcrack (membobol skuritas) kartu kredit milik (Bapak Kasuwi Syaiban) sebesar Rp 357.000.000,- (tiga ratus lima puluh juta rupiah) atas transaksi pada Hari Rabu, 6 April 2011 di Malang Jawa-Timur Indonesia pukul 09.30 WIB, hal ini dibuktikan bahwa email Hacker yang ditemukan pada scuritas adalah milik Herman Felani, begitu juga kode pengacak pin yang digunakan untuk mengcrack kartu kredit juga ditemukan pada spam di email tersebut. Maka pihak berwajib menyita laptop tersebut sebagai barang bukti dan menjadikan Herman Felani sebagai tersangka. Dalam penyidikan Herman Felani mengaku baru menguasai teknologi informasi, email-pun dibuatkan oleh isterinya, ia mengaku meminjamkan laptop tersebut kepada Nur Rahmat dari Ahad, 3 April 2011 s/d Kamis, 7 April 2011, hal ini diperkuat kesaksian Isnu Cut Ali (teman sekamar Herman Felani) dan M. Syahni (teman sekamar Nur Rahmat), kesaksian isteri Herman Felani yang menyatakan suaminya (Herman Felani) pulang ke Pasuruan pada Ahad, 3 April 2011 dengan tidak membawa laptop yang dimaksud, dan kesaksian isteri Nur Rahmat yang menyatakan bahwa suaminya (Nur Rahmat) membawa laptop sesuai dengan ciri-ciri milik Herman Felani. Dan Herman menyatakan bahwa password email disimpan dalam laptop tersebut. Sedangkan Nur Rahmad tidak bisa menunjukkan alibi, bahwa ia tidak menggunakan laptop tersebut, dan terbukti dari penyidikan bahwa ia seorang yang menguasai teknologi informasi, hal ini terbukti bahwa ia adalah pengelola laboratorium computer sekolahnya. Maka istinbathu-l-hukm yang dicapai adalah Nur Rahmad dinyatakan sebagai tersangka pembobol skuritas kartu kredit milik Bapak Kasuwi Syaiban. Kenyataan yang menjadikan keyakinan keputusan hukum adalah: – Kondisi kekinian 1. Herman Felani tidak memegang laptopnya. 2. Nur Rahmad meminjam laptop Herman Felani. 3. Bukti pembobolan ditemukan pada email laptop Herman yang dipinjam. – Masa lampau: 1. Laptop dipinjam Nurrahmad sejak sebelum peristiwa pembobolan terjadi. 2. Password email dinyatakan tersimpan di laptop. 3. Herman tidak menguasai teknologi informasi secara baik. 4. Nurahmad menguasai teknoloi informasi sebab ia pengelola laboratorium computer sekolahnya. Kenyataan yang menjadikan keraguan keputusan hukum adalah: 1. Herman Felani memegang laptopnya. 2. Nur Rahmad tidak memanfaatkan laptop Herman Felani. 3. Nur Rahmad tidak mengetahui password email yang tersimpan di laptop. 4. Nur Rahmad tidak menguasai teknologi informasi secara baik.

Hal ini sesuai kaidah usul yang menyatakan (اليقين لا يزُوْل بالشك) keyakinan atas sesuatu tidak bisa digugurkan dengan keraguan atas sesuatu tersebut.

BAB IV
PENUTUP

A. Kesimpulan 1. Istihsan pengertian, pendapat para ‘ulama dan pengaruhnya terhadap perkembangan hukum islam a. Pengertian Istihsan 1. Istihsan secara bahasa dapat disimpulkan sebagai keputusan untuk menganggap atau meyakini sesuatu itu baik, dengan cara meninggalkan kias jaly (analogi yang jelas) dan memilih kiyas khafy (analogi yang samar) sebagai jalan untuk menyikapi peristiwa hukum yang berlangsung, atau meninggalkan hukum yang kully (umum) untuk kemudian mengamalkan hukum juzy (khusus) yang hal tersebut di atas ditempuh disebabkan adanya dalil yang lebih kuat dalam mewujudkan tujuan pelaksanaan hukum. 2. Istihsan secara istilah dapat disimpulkan sebagai upaya memilih menggunakan qiyas al-khafi dari pada qiyas al-jaly dengan dasar dalil yang mendukung. Dan pemberlakuan hukum juz’iy dari hukum kully dengan dasar hukum dari dalil yang mendukung. Dan ranah istihsan adalah wilayah yang hukum Islam tersentuh oleh metode istinbat yang disepakati kalangan Madzhab Maliki, Hanafi dan Hanbali yang diambil secara istiqray (induktif) dari sejumlah dalil syara’ dengan mengesampingkan keinginan nafsu dan subjektifitas mujtahid. b. Sumber Hukum Istihsan 1. al-Qur’an: Az-Zumar: 18, Al-Hajj: 78, Al-Baqarah: 185, Az-Zumar: 55 2. Dalil dari al-Hadits • عَنْ أَنَس رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ: قَالَ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ: “خَيْرُ دِيْنِكُمْ أَيْـسَرَهُ وَ خَيْرَ الْعِـبَادَةِ الْفِقْهُ.” (رواه ابن عبد البر) “Anas ra berkata: Rasulullah SAW bersabda: “Sebaik-baiknya agamamu adalah yang lebih mudah ajarannya, dan sebaik-baiknya ibadah adalah yang dipahami syarat-rukunya.” • مَا رَآهُ الْمُسْلِمُوْنَ حَسَناً فَهُوَ عِنْدَ اللهِ حَسَنٌ (رواه ان حنبل من ابن مسعود)

“Sesuatu yang dipandang baik oleh ummat Islam, maka ia juga baik di hadapan Allah.”

c. Pandangan Ulama’ Seputar Aplikasi Istihsan Sebagai Hujjah Dan Pengaruhnya Terhadap Perkembangan Hukum Islam 1. Al-Hanafiyah membagi istihsan dalam dua qiyas: jaly (jelas) namun lemah pengaruhnya, dan qiyas khafy (sama) namun memiliki perenan yang kuat dalam mewujudkan tujuan hukum, dan yang kedua inilah yang menjadi pilihan bagi mereka. Dari pembagian qiyas di atas. Kemudian Madzhab ini membagi istihsan menjadi empat: a. Istihsan dengan nash b. Istihsan atas dasar ijma’ c. Istihsan karena darurat atau karena adanya pertentangan dua qiyas. d. Istihsan dengan mengutamakan qiyas khafy 2. Al-Malikiyah berpendapat, bahwa istihsan adalah dalil kuat yang bisa digunakan sebagai landasan hukum. 3. Al-Hanabilah Madzhab ini mengakui keberadaan istihsan, dan arti istihsan menjadi tiga pengertian: a. Meninggalkan hukum suatu masalah secara teoritis karena ada dalil dari Qur’an atau sunnah. b. Sesuatu yang dianggap baik menurut akal seorang mujtahid. c. Meninggalkan dalil yang dipandang cacat oleh seorang mujtahid dan mengambil dalil lain yang lebih tepat. 4. Asy-Syafi’iyah adalah madzhab yang tidak mengakui istihsan, Imam Asy-Syafi’i berpendapat, bahwa pemberlakuan ijtihad terhadap suatu masalah hukum tidak dapat dilakukan kecuali ada dalil yang mendukung, dan salah satu dari dalil-dalil tersebut adalah qiyas. Dalam hal penggunaan qiyas, Imam Asy-Syafi’i terkenal sering menggunakannya sebagai metode pemecahan hukum, sepertihalnya prinsip ‘ain qaimah atau tasybih ‘ain qaimah (nilai umum yang menjadi sandaran analogi), maka ia menyimpulkan bahwa istihsan tidak lebih dari membuat hukum dengan dasar taladzudz (kesenangan) dan ta’assuf (mengada-ada) sesuai keinginan hawa nafsu. 5. Imam al-Ghazali Secara subtansial menerima konsep istihsan. Mengakui tiga bentuk konsep istihsan a. Meninggalkan qiyas jally menggunakan qiyas khafy dengan syarat ada kondisi yang menguatkan. b. Meninggalkan qiyas dan lebih mengikuti pendapat shahabat. c. Meninggalkan qiyas bila ada hadits yang lebih tepat.

Tapi menolak konsep istihsan “Meninggalkan qiyas sebab ‘urf (adat kebiasaan)”.

2. Istishhab pengertian, pendapat para ‘ulama dan pengaruhnya terhadap perkembangan hukum Islam a. Pengertian Istihsan 1. Secara bahasa istishhab adalah segala sesuatu yang menetapi sesuai maka ia menemaninya. 2. Secara istilah dapat disimpulkan bahwa istishhab adalah menetapkan sesuatu hukum atas suatu peristiwa hukum berdasarkan keadaan yang menyertainya yang sudah berlangsung sebelumnya, hingga ditemukan dalil yang menunjukkan perubahan adanya perubahan status hukum atas peristiwa hukum tersebut. b. Sumber Hukum Istihhab 1. Dalil dari al-Qur’an Surah Al-‘Araf: 32 2. Dalil dari al-Hadits • “إِذَا وَجَـدَ أَحَدُكُمْ فِي بَـطْبه شيئاً فَأَشْكَلَ عَلَـيْهِ أَخْرَجَ شَيْءٌ مِنْهُ أَمْ لاَ فَلاَ يَخْرُجَنَّ مِنَ الْمَسْجِدِ حَتَّى يَسْمَعَ صَوْتاً أَوْ يَجِدَ رِيْـحاً.” c. Pandangan Ulama’ Seputar Aplikasi Istishab Dan Pengaruhnya Terhadap Perkembangan Hukum Islam 1. Boleh Tidaknya Istishab dijadikan sebagai istinbath al-hukum asy-syar’i Istishhab bisa dijadikan sebagai hujjah dalam sebuah istinbathu-l-hukm, baik yang perkara yang menyangkut ibadah, mu’amalah, social kemasyarakatan, dan lain sebagainya. Hal ini akan menghasilkan peluang bagi pelaku hukum dalam mengeluarkan fatwa secara mudah tanpa harus terpenjara dengan perangkat hukum yang kaku, sehingga berbagai perkembembangan kehidupan beragama kekinian bisa tercover secara memadai dalam Islam, dan menjadikan Islam sebagai agama yang menjaman dengan keputusan hukum yang up to date. 2. Pembagian Istishhab dan aplikasinya terhadap peristiwa hukum terbagi menjadi empat: a. (إستصحاب حكم ثابت بالإجماع في محل الخلاف بين علماء) Istishhab terhadap perkara hukum yang telah tetap yang dihasilkan dari ijma’ yang dalam perkembangannya berpotensi memicu timbulnya perselisihan. b. (إستصحاب عدم الأصلي المعلوم بالعقل في الأحكام الشريعة) Kontinuitas hukum dasar ketiadaan berdasar argumentasi secara akal dalam kontek hukum-hukum syara’, dengan kata lain; status hukum atas suatu perkara hukum dinyatakan tiada yang dinyatakan oleh akal disebabkan tidak adanya landasan dalil yang menjelaskannya. c. (إستصحاب حكم إباحة الأشياء للأشياء) Penetapan berlakunya hukum yang menyatakan bolehnya asal segala sesuatu.

d. (إستصحاب المقلوب) Istishhab terhadap kondisi kekinian alam menentukan status hukum pada masa lampau yang disebabkan pada bentuk istishhab sebelumnya merupakan penetapan sesuatu pada masa kedua berdasar pada penetapan pada masa pertama yang disebabkan tidak adanya dalil secara spesifik yang menerangkannya.

B. Saran
Penulis menyarankan agar penyajian usul fiqih yang kurang menyentuh perkara kekinian diubah dengan methode yang “nyaman” bagi kebanyakan ummat Islam. Dengan harapan usul fiqih dilirik ummat Islam untuk dijadikan bahan refensi dalam menyikapi perkembangan peristiwa hukum yang terjadi, dan menjadikannya jembatan penghubung dengan pemikiran para ‘ulama usul ar-rasikhiin al-mukhlisin dengan apa yang sedang dihadapi ummat Islam, hingga usul fiqih tidak sekedar menjadi ilmu dalam peti yang tersimpan rapi dalam kepustakaan Islam tapi bisa diaplikasikan lebih riil.

Kritikan yang membangun penulis harapkan agar makalah ini bisa dijadikan masukan keilmuan yang berarti bagi kaum akademisi khususnya dan ummat Islam pada umumnya.

DAFTAR PUSTAKA

Bahasa Arab أبو لويس، المنجد في اللغة، بيروت-لبنان: دار المشرق، 2005. قسم المنهج الدراسي بكلية المعلمين الإسلامية، أصوا الفقه، الجزء الثاني،كونتور: مطبعة دار السلام، 2009. عبد الرحمن الشربني، تكرير على الحسيّة البناني على الشرح جمع الجوامع، الجزء الثاني، بيروت-لبنين: دار الفكر، 1995. عبد الوهاب الخلاف، علم صول الفقه، الطبع الثانية العشرة، دار القلم، 1978. المكتبة الشاملة، 2009، الموطأ للإمام مالك، رواية يحيى الليثي، باب من أدرك ركعة من الصلاة، الجزء الأول. ________، 2009، صحيح البخاري، حسب ترقيم فتح، كتاب بدء الوحي، الجزء الثالث. ________، الموطأ للإمام مالك، رواية يحيى الليثي، باب من أدرك ركعة من الصلاة، الجزء الأول، 2009. ________، 2009، صحيح البخاري، حسب ترقيم فتح، كتاب بدء الوحي، الجزء الثالث.

وهبة الزهيلي، إصول الفقه الإسلامي، الجزء الثاني، بيروت-لبنان: دار الفكر، الطبعة الثالثة، 1989.

Bahasa Indonesia

Azra, Azumardi, dkk, Ensiklopedi Islam, jilid: 2, Jakarta: PT Ikrar Mandiri, 2002. Syafe’i, Rahmat, Ilmu Usul Fiqih untuk UIN, STAIN, PTASIS, Bandung: Pustaka Setia, 1998. Umam, Chaerul. Dkk, Usul Fiqih 1 (untuk Fakultas Syari’ah komponen MKDK), Bandung: Pustaka Setia, 1998.

Zein, Muhammad Ma’shum, Ilmu Usul Fiqh, Jombang: Darul Hikmah dan Maktabah Al-Syarifah Al-Khodijah, 2008.

-7.990100 111.425770