Bagaimana pandangan Muhammadiyah terhadap NKRI

Ilham Ibrahim-Setelah membaca pernyataan pers PP Muhammadiyah tentang RUU Haluan Ideologi Pancasila (RUU HIP), saya kembali membuka buku karangan Haedar Nashir: Memahami Ideologi Muhammadiyah. Saya mencoba untuk mencari keselarasan antara pernyataan pers PP Muhammadiyah dengan ideologi persyarikatan. Adakah yang saling tumpang tindih atau justru saling menguatkan?

Dalam bukunya tersebut terutama pada Bab I, Haedar menyadari bahwa Muhammadiyah saat ini berada dalam pusaran berbagai ideologi dan proses perubahan demografi besar-besaran. Dalam konteks Indonesia, terutama sejak terbukanya pintu reformasi, berbagai ideologi bermunculan. Artinya, Muhammadiyah tidak mengabaikan dengan fakta bahwa begitu banyak arus ideologi yang masuk ke Indonesia. Bagaimana dengan sikap Muhammadiyah terhadap kemunculan berbagai ideologi tersebut?

Menurut Haedar, Muhammadiyah sebagai gerakan Islam mengemban misi dakwah dengan bi al-hikmah (bijaksana), wa al-mauidhat al-hanasah (pendidikan yang baik), wa jadilhum bi-llati hiya ahsan (dialog terbaik). Pikiran yang lahir dengan mengutip QS. Al-Nahl ayat 25 tersebut merupakan cara Muhammadiyah dalam merespon kemunculan berbagai ideologi.

Kalau kita membaca secara saksama poin-poin pernyataan pers PP Muhammadiyah tentang RUU HIP, kebijaksaan begitu tergambar jelas. Muhammadiyah memandang bahwa RUU HIP alih-alih sesuai dengan semangat kebangsaan justru malah menurunkan derajat Pancasila itu sendiri. Selain itu, Muhammadiyah berusaha membendung konflik horizontal di tengah masyarakat yang akan berakibat pada kontra produktif kalau seandainya RUU HIP tetap dipaksa untuk disahkan menjadi UU.

Protes yang ditunjukkan Muhammadiyah pada RUU HIP bukan sebagai sikap pembangkangan terhadap Pancasila sebagai Dasar Negara. Kalau sekiranya ada netizen yang meragukan kecintaan Muhammadiyah pada NKRI berarti orang tersebut merupakan contoh paling aktual manusia yang benar-benar kurang piknik. Kepedulian Muhammadiyah pada bangsa dan negara tidak hanya pada kerja-kerja sosial tetapi juga pada kritik yang membangun.

Munir Mulkhan dalam bukunya menyebutkan bahwa Muhammadiyah memiliki konsistensi yang sangat tinggi dalam penerimaan dan pengakuan kepada Pancasila. Ditunjukkan dengan sikap dan pandangan para tokoh Muhammadiyah sepanjang sejarah kemerdekaan Indonesia yang terlibat secara langsung dalam perumusan Pancasila (UUD 1945), di antaranya: Ki Bagus Hadikusumo, Kasman Singadimedja, dan Kahar Muzakkir.

Komitmen Muhammadiyah terhadap Pancasila secara tegas disusun dan dibahas dalam Muktamar Muhammadiyah 47 di Makasar 2015 yang lalu. Keputusan Muktamar yang tertuang dalam Tanfidz Keputusan Muktamar Muhammadiyah ke-47 tersebut menyebutkan secara jelas bahwa Pancasila sebagai Darul Ahdi Wa Syahadah. Konsep Darul Ahdi Wa Syahadah ini sesungguhnya menegaskan komitmen keislaman dan keindonesiaan yang dipahami Muhammadiyah.

Pancasila sebagai Darul Ahdi berarti negeri yang bersepakat pada kemasalahatan. Artinya Darul Ahdi juga dapat dimaknai sebagai Darussalam yang berarti negeri yang penuh dengan kedamaian. Sedangkan Pancasila sebagai Wa Syahadah berarti negeri kesaksian dan pembuktian bahwa umat harus berperan aktif dalam pemahaman, penghayatan, dan laku hidup sehari-hari. Dalam arti luas, Pancasila sebagai Darul Ahdi Wa Syahadah bermakna bahwa setiap kelompok harus berlomba-lomba meraih kemajuan dan keunggulan berdasarkan etika sportifitas.

Menurut Hasnan Bachtiar, penekanan Pancasila sebagai Darul Ahdi Wa Syahadah memiliki tujuan untuk memberikan pedoman bagi para aktivis, kader, dan simpatisan Muhammadiyah mengenai hubungan negara dan persyarikatan. Selain itu, kata Hasnan, sebagai fondasi pertahanan ideologis, alat harmonisasi politik, dan manifestasi intelektual dan politik yang menekankan pentingnya nasionalisme kebangsaan.

Sedangkan Sekretaris PP Muhammadiyah Abdul Mu’ti mengatakan bahwa Pancasila sebagai Darul Ahdi Wa Syahadah, berangkat dari tiga latar belakang utama: (1) adanya golongan—terutama masyarakat muslim yang masih mempersoalkan relasi antara Islam dengan negara yang berdasarkan Pancasila; (2) adanya realitas bahwa sebagai bangsa ini secara ideologis belum merumuskan dengan sangat eksplisit dan membuat satu penjelasan akademik mengenai negara Pancasila itu; (3) adanya ancaman dari kelompok Islam yang lain yang dianggap sebagai ancaman terhadap negara Pancasila.

Dengan adanya konsep Pancasila sebagai Darul Ahdi Wa Syahadah, Muhammadiyah telah berhasil menemukan titik temu antara keislaman dan kehidupan berbangsa. Muhammadiyah sadar, jika agama Islam harus menjadi ruh spiritual dalam kehidupan bernegara. Namun juga tidak menafikkan jika dalam berbangsa Indonesia juga mendapati sebuah kenyataan “Bhineka Tunggal Ika”. Sekali lagi, dengan adanya pemahaman Pancasila sebagai Darul Ahdi Wa Syahadah, Muhammadiyah telah berhasil membangun watak anak bangsa sebagai seorang muslim sekaligus sebagai penduduk tanah air.

Dengan demikian, salah satu poin dalam pernyataan pers PP Muhammadiyah tentang RUU HIP menyebutkan bahwa perdebatan dan polemik ideologis dalam sejarah perumusan Pancasila harus diakhiri karena telah tercapai kesepakatan luhur, arif dan bijaksana dari para pendiri bangsa. Ketika para pendiri bangsa telah “Darul Ahdi”, telah bersepakat, kita sebagai penerus perjuangan mereka jangan sampai menjadikan Indonesia sebagai “Darul Harb”, negeri yang penuh dengan konflik.

re-Post from.http://m.muhammadiyah.or.id/id/news-19239-detail-pancasila-sebagai-darul-ahdi-wa-syahadah.html

Bagaimana pandangan Muhammadiyah terhadap NKRI

YOGYA, KRJOGJA.com - Nasionalisme dan pembelaan Muhammadiyah terhadap NKRI, Pancasila, UUD 1945, dan Kebhinekaan tidak dengan retorika. Muhammadiyah melakukan semua itu  dengan karya nyata sebagai bentuk kesaksian (syahadah) untuk mewujudkan Indonesia sebagai negara dan bangsa yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil, dan makmur sebagaimana cita-cita para pejuang dan pendiri Indonesia.

Siaran pers PP Muhammadiyah disampaikan Ketua Umum PP Muhammadiyah Dr Haedar Nashir, Selasa (2/4/2019) malam. Haedar tegas menyebutkan, adalah  opini yang gegabah jika ada tuduhan  Muhammadiyah dimasuki anggota organisasi lain yang mengusung ideologi Negara Khilafah. Karena hal ini mengesankan  Muhammadiyah membiarkan dan menyetujui ideologi yang bertentangan dengan prinsip Negara Pancasila Darul Ahdi Was-Syahadah.

Dalam Muktamar ke-47 tahun 2015 di Makassar secara resmi diputuskan pandangan dan sikap organisasi Muhammadiyah tentang ‘Negara Pancasila Darul Ahdi Wasyahadah’. Pemikiran dan sikap resmi Muhammadiyah tersebut ke luar di era kepemimpinan Prof Dr HM Din Syamsuddin. Semua ini sebagai bukti dan aktualisasi warga dan institusi Muhammadiyah meletakkan NKRI berdasarkan Pancasila sebagai hasil kesepakatan atau konsensus nasional (Darul Ahdi) seluruh komponen bangsa termasuk umat Islam selaku penduduk mayoritas. Sekaligus sebagai wujud kesaksian (Darus Syahadah) Muhammadiyah serta seluruh kekuatan bangsa agar Negara Pancasila tersebut benar-benar dibangun menuju cita-citanya.

“Dalam makna sebaliknya, Muhammadiyah termasuk para warganya, tidak bersetuju dan tidak memberi ruang untuk adanya ideologi, pemikiran, sikap, dan pandangan yang ingin mewujudkan bentuk dan ideologi lainnya yang bertentangan dengan pandangan Negara Pancasila Darul Ahdi Wasyahadah. Ideologi atau pandangan tentang negara khilafah sebagaimana halnya untuk negara komunis, negara sekuler, dan lainnya yang bertentangan dengan prinsip Negara Pancasila Darul Ahdi Wasyahadah tertolak di dalam Muhammadiyah,” jelas Haedar.

Disebutkan, dalam membela NKRI Muhammadiyah mewujudkannya dengan membangun kekuatan bangsa di bidang pendidikan, kesehatan,  ekonomi, social. Juga  usaha-usaha lainnya untuk mencerdaskan, menyejahterakan, dan memajukan kehidupan bangsa Indonesia di seluruh tanah air. Dikatakan, dengan pemikiran dan bukti sejarah yang terang benderang dan konkret itu maka Muhammadiyah sejak berdiri sampai saat ini dan kapanpun senantiasa menyatukan perjuangan dakwahnya di Indonesia dengan NKRI, Pancasila,  UUD 1945, dan Kebhinekaan sebagai satu napas pergerakan.

“Bagi Muhammadiyah ideologi Pancasila dengan segala kaitan Empat Pilar lainnya sudah selesai. Itu  tidak lagi menjadi bahan perdebatan baik secara teologis maupun ideologi dan politik. Muhammadiyah berikhtiar mengisi atau mewujudkan seluruh nilainya dalam kehidupan berbangsa dan bernegara,” tegas Haedar.(Fsy)

Pejabat dan elit negeri agar tidak menimbulkan kontroversi negatif dan kegaduhan,

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Muhammadiyah, sejak berdirinya, memperjuangkan Indonesia sebagai negara merdeka dengan nasionalisme Islam yang tinggi. Karena jasanyalah, kemudian Kiai Haji Ahmad Dahlan dan Nyai Ahmad Dahlan diangkat sebagai Pahlawan Nasional. 

Sementara Soekarno, Soedirman, Fakhruddin, Mas Mansur, Ki Bagus Hadikusumo, Kasman Singedimedjo, Djuanda, dan tokoh-tokoh Muhammadiyah lainnya, juga merupakan nasionalis Islam sejati yang membela Tanah Air.

"Mereka juga diangkat pemerintah sebagai Pahlawan Nasional. Pasca-kemerdekaan pun Muhammadiyah selalu di depan dalam membela Negara Kesatuan Republik Indonesia," kata Ketua Umum PP Muhammadiyah Haedar Nashir melalui keterangan tertulisnya yang diterima Republika.co.id, Selasa (2/4).

Haedar menyampaikan, Ki Bagus Hadikusomo waktu itu (1942-1953) menjadi Ketua Pimpinan Pusat Muhammadiyah bersama Mr Kasman Singodimedjo didukung para tokoh Islam lainnya mewakili umat Islam Indonesia menjadi penentu kompromi Piagam Jakarta sehingga lahir Sila pertama Pancasila, "Ketuhanan Yang Maha Esa" UUD 1945 yang di dalamnya mengandung lima sila Pancasila itu kemudian disahkan pada sidang PPKI tanggal 18 Agustus 1945.

"Inilah hadiah dan pengorbanan terbesar umat Islam untuk NKRI dengan dasar negara Pancasila dimana Muhammadiyah mengambil peran yang menentukan dalam sejarah Republik Indonesia  tersebut," katanya.

Pascakemerdekaan dalam membela NKRI Muhammadiyah mewujudkannya dengan membangun kekuatan bangsa di bidang pendidikan, kesehatan, ekonomi, sosial, dan usaha-usaha lainnya untuk mencerdaskan, menyejahterakan, dan memajukan kehidupan bangsa Indonesia di seluruh tanah air. 

“Nasionalisme dan pembelaan Muhammadiyah terhadap NKRI, Pancasila, UUD 1945, dan Kebinekaan tidak dengan retorika, tetapi dengan karya nyata sebagai bentuk kesaksian (syahadah) untuk mewujudkan Indonesia sebagai negara dan bangsa yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil, dan makmur sebagaimana cita-cita para pejuang dan pendiri Indonesia,” tutur Haedar.

Dengan pemikiran dan bukti sejarah yang terang benderang dan konkret itu, maka Muhammadiyah sejak berdiri sampai saat ini dan kapanpun senantiasa menyatukan perjuangan dakwahnya di Indonesia dengan NKRI, Pancasila, UUD 1945, dan Kebinekaan sebagai satu napas pergerakan.

“Bagi Muhammadiyah ideologi Pancasila dengan segala kaitan Empat Pilar lainnya sudah selesai dan tidak lagi menjadi bahan perdebatan baik secara teologis maupun ideologi dan politk, kecuali bagaimana berikhtiar mengisi atau mewujudkan seluruh nilainya dalam kehidupan berbangsa dan bernegara,” tegas Haedar.

Karenanya, dalam Muktamar ke-47 tahun 2015 di Makassar secara resmi diputuskan pandangan dan sikap organisasi Muhammadiyah tentang "Negara Pancasila Darul Ahdi Wasyahadah".

Pemikiran dan sikap resmi Muhammadiyah tersebut keluar di era kepemimpinan Prof Dr HM Din Syamsuddin sebagai bukti dan aktualisasi warga dan institusi Muhammadiyah yang meletakkan NKRI berdasarkan Pancasila sebagai hasil kesepakatan atau konsensus nasional (Darul Ahdi) seluruh komponen bangsa termasuk umat Islam selaku penduduk mayoritas, sekaligus sebagai wujud kesaksian (Darus Syahadah) Muhammadiyah serta seluruh kekuatan bangsa agar Negara Pancasila tersebut benar-benar dibangun menuju cita-citanya. 

Dalam makna sebaliknya, Muhammadiyah termasuk para warganya, tidak bersetuju dan tidak memberi ruang untuk adanya ideologi, pemikiran, sikap, dan pandangan yang ingin mewujudkan bentuk dan ideologi lainnya yang bertentangan dengan pandangan Negara Pancasila Darul Ahdi Wasyahadah. "Ideologi atau pandangan tentang negara khilafah sebagaimana halnya untuk negara komunis, negara sekuler, dan lainnya yang bertentangan dengan prinsip Negara Pancasila Darul Ahdi Was-Syahadah tertolak di dalam Muhammadiyah,” ucap Haedar.

Karena itu merupakan opini yang gegabah jika ada orang atau pihak yang menuduh atau menyebutkan Muhammadiyah dimasuki anggota organisasi lain yang mengusung ideologi negara khilafah (Politik) Islam, yang mengandung kesan Muhammadiyah membiarkan dan menyetujui ideologi yang bertentangan dengan prinsip Negara Pancasila Darul Ahdi Was-Syahadah. 

“Tudingan tersebut dapat merugikan dan menimbulkan pandangan negatif terhadap Muhammadiyah sebagai organisasi modern dan moderat Islam terbesar yang telah terbukti komitmen dan jasanya untuk Negara Kesatuan Republik Indonesia dalam rentang lebih satu abad,” imbuh Haedar.

Bersamaan dengan itu, Haedar mengajak para pejabat dan elite negeri maupun para cendekiawan dan warga bangsa betul-betul seksama dalam beropini dan menyampaikan pendapat atau pandangan seputar kebangsaan dalam berbagai kaitannya agar tidak menimbulkan kontroversi negatif dan kegaduhan di negeri ini.  Karena, membawa-bawa isu ideologis yang kontraproduktif di tahun politik 2019 maupun dalam kehidupan kebangsaan secara umum hanya akan menambah suasana perselisihan ideologis yang tidak kondusif di tubuh bangsa ini. 

“Kedepankan isu, opini, dan pandangan yang positif dan konstruktif agar tahun politik berkembang suasana demokratis sekaligus cerdas, damai, dan menyatukan kebersamaan dalam perbedaan. Seraya jauhi segala isu dan pernyataan yang meresahkan, meretakkan, mengancam, dan menyebarkan perselisihan tajam yang membawa pada perpecahan di tubuh bangsa Indonesia. Semuanya menuntut kebesaran jiwa disertai kecerdasan, kearifan, empati, pengorbanan, dan hikmah kebijaksanaan dari seluruh elite dan warga bangsa!,” pungkas Haedar.

Yuk koleksi buku bacaan berkualitas dari buku Republika ...