Bagaimana keputusan kmb tentang irian barat

Konfrensi Meja Bundar, 1949. Sumber: Arsip Nasional Belanda dan papuaweb.

Mohammad Hatta, ketua delegasi Indonesia dalam Konferensi Meja Bundar (KMB) boleh bernapas lega. Hari itu, 27 Desember 1949, pemerintah Kerajaan Belanda bersedia mengakui kedaulatan negeri jajahannya yang telah merdeka: Republik Indonesia. Seremonial yang berlangsung di Istana Kerajaan Belanda di Amsterdam itu menyudahi konflik kolonial antara kedua negara.

“Konferensi Meja Bundar adalah salah satu konferensi yang besar, yang memakan waktu beberapa bulan, dimana lebih dari 250 orang anggota delegasi dan penasihat atas salah satu cara terlibat,” tulis Pieter Drooglever dalam Tindakan Pilihan Bebas: Orang Papua dan Penentuan Nasib Sendiri.

Perundingan yang pelik telah digelar sejak 23 Agustus sampai 2 November 1949. Ada tiga pihak yang menjadi delegasi dalam perundingan: Indonesia, Belanda, dan United Nations Commissions for Indonesia (UNCI) sebagai penengah. Delegasi Indonesia terdiri dari dua kelompok yaitu Republik Indonesia yang dipimpin oleh Perdana Menteri Mohammad Hatta dan Badan Permusyawaratan Federal (BFO) dengan Sultan Hamid II sebagai ketuanya. Sementara delegasi Belanda dipimpin oleh Menteri Wilayah Seberang Lautan Mr. Johannes Henricus van Maarseven.

Advertising

Advertising

Baca juga: Demi Pengakuan Kedaulatan

Meski demikian, kesepakatan damai itu tak serta merta mengakhiri sengketa. Pengakuan tersebut mengecualikan Irian Barat dari peta teritorial Indonesia. Pemerintah Belanda menangguhkan penyerahan wilayah itu ke dalam kekuasaan Indonesia.

Kepentingan Belanda

Ide Anak Agung Gde Agung adalah satu delegasi Indonesia dalam KMB dari kelompok BFO. Dalam buku Dari Negara Indonesia Timur ke Republik Indonesia Serikat, Agung mencatatkan pengalamannya mengenai perdebatan dan situasi KMB. Sebagai tuan rumah, Perdana Menteri Belanda William Drees memimpin perundingan itu yang bertempat di Gedung Parlemen Rideerzaal (Bangsal para Ksatria) di Den Haag.

Dari berbagai kesepakatan yang tercapai hingga tanggal 29 Oktober, perundingan terbentur pada pembicaraan tentang penentuan status kenegaraan wilayah Irian Barat. Keesokan harinya, persoalan Irian Barat kembali dirundingkan sebagai agenda pembicaraan terakhir. Perdebatan bermula ketika Menteri Maarseveen menerangkan bahwa masyarakat Irian Barat bukanlah bagian dari lingkungan Indonesia secara etnologis dan kultural. Selain itu, Maarseveen juga meragukan kemampuan Indonesia sebagai negara yang baru merdeka dalam membangun kesejahteraan rakyat Papua.

“Dengan mengacu kepada keadaan penduduk asli yang masih terbelakang, ia (Maarseveen) menyatakan bahwa kepemimpinan Belanda di wilayah itu akan lebih baik dalam mengembangkan martabat masyarakat Irian Barat,” tulis Agung.

Baca juga: Papua dan Ambisi Presiden Pertama

Menurut Agung, sikap politik yang kuat dari pemerintah Belanda mempertahankan Irian Barat dipengaruhi situasi dalam parlemen Belanda. Partai Katolik yang saat itu menguasai parlemen Belanda menginginkan penguasaan Irian Barat di bawah kendali pemerintah Belanda yang juga didukung oleh golongan Protestan dan Partai Liberal. Hal ini dapat dipahami mengingat sejak tahun 1855 telah dimulai aktivitas penyebaran agama Kristen melalui missi (Katolik) dan zending (Protestan) di Irian Barat. Tetap dipertahankannya Irian Barat di bawah penguasaan Belanda dianggap sebagai bentuk tanggung jawab moral (politik etis) terhadap masyarakat asli.

“Jika Irian Barat dimasukan ke dalam agenda penyerahan kedaulatan, dapat dipastikan ratifikasi hasil KMB di parlemen tidak akan mendapat dua pertiga suara mayoritas menurut ketentuan konstitusi Kerajaan Belanda,” ungkap Agung.

Tak dapat dikesampingkan pula nilai strategis Irian Barat sebagai motif tersembunyi di pihak Belanda. Arti penting Irian Barat bagi pemerintah Belanda adalah untuk mengatasi masalah kepadatan penduduknya. Pemerintah Belanda merasa terbebani dengan banyaknya repatriasi orang Belanda dari Indonesia terutama kaum Indo-Belanda. Dalam surat-menyuratnya yang dibukukan berjudul Melintasi Dua Jaman, Elien Utrecht menyebutkan transmigrasi ke Irian Barat sebagai ruang hidup baru bagi kaum Indo-Belanda merupakan alternatif terbaik untuk mengatasi persoalan demografi ini.

Ditinjau dari segi ekonomi, Irian Barat menawarkan daya tarik yang menjanjikan. Sejak tahun 1935, Belanda telah mengusahakan eksplorasi minyak bumi oleh perusahaan swasta NNGPM (Nederlandsche Nieuw Guinea Petroleum Maatschaapiij). Pusat pertambangan minyak NNGPM berada di Sorong yang disebut-sebut sebagai ibu kota kongsi minyak di Irian Barat. Usaha ini telah membawa hasil yang baik namun harus terhenti ketika Perang Dunia meletus di Eropa.

“NNGPM sudah memulai kembali kegiatannya sesudah perang. Apalagi terdapat juga petunjuk-petunjuk kuat bahwa terdapat bauksit di pegunungan Syklop,” tulis Drooglever.

Baca juga: Silang Pendapat tentang Irian Barat

Menurut Drooglever, Menteri Maarseveen telah menyadari potensi ekonomi Irian Barat setelah menerima laporan dari kepala residen Irian Barat, J. P. K van Echoud dalam ‘Nota inzake de economische toekomst van Nieuw-Guinea’ (nota mengenai masa depan ekonomi Nieuw-Guinea). Nota itu menyebutkan bahwa tim geologi telah menemukan jejak-jejak mineral berupa nikel dan tembaga dengan konsentrasi tinggi di pegunungan sekitar ibu kota, Hollandia. Dengan demikian, Irian Barat menjadi harapan bagi Belanda untuk memperbaiki perekonomiannya yang terpuruk akibat Perang Dunia II sekaligus kompensasi atas kehilangan Hindia Belanda.

Akhirnya, pada penandatanganan KMB, dikompromikan bahwa persoalan Irian Barat akan diselesaikan setahun kemudian. Selama masa jeda tersebut, Irian Barat berada dalam status quo di bawah penguasaan sementara Belanda. Pada kenyataannya, masalah Irian Barat kian berlarut-larut. Kedua negara berdaulat ini saling mengklaim bahwa Irian Barat merupakan wilayah kekuasaannya yang sah. Adu klaim ini berbuntut panjang. Untuk bertahun-tahun kemudian, Irian Barat menjadi duri dalam daging hubungan bilateral Indonesia dan Belanda.

Jakarta -

Konferensi Meja Bundar (KMB) berlangsung tanggal 23 Agustus - 2 November 1949 di Den Haag, Belanda. Pada 2 November 1949, sidang penutup Konferensi Meja Bundar dibuka di De Ridderzaal oleh Perdana Menteri Belanda Dr. Willem Drees.

Konferensi Meja Bundar adalah sebuah pertemuan antara pemerintah Republik Indonesia dan Belanda. Persengketaan yang dibawa ke konferensi di antaranya yaitu masalah utang Belanda hingga masalah Irian Barat.

Jika terjadi kesepakatan akan tiga hal tersebut, Belanda akan mengakui kedaulatan atas Indonesia pada Republik Indonesia Serikat, seperti dikutip dari jurnal Sejarah Pemikiran Diplomatik: Konflik Indonesia Belanda pada KMB dan Isu yang Belum Terselesaikan oleh Epa Juliarni dan Mestika Zed.

Tujuan Konferensi Meja Bundar atau KMB yaitu untuk menyelesaikan persengketaan Indonesia-Belanda untuk mencapai kesepakatan antara peserta tentang cara pengakuan kedaulatan penuh dan tanpa syarat pada Republik Indonesia serikat.

Persengketaan yang dibahas delegasi ke Konferensi Meja Bundar dikutip dari buku Kronik Revolusi Indonesia Jilid V oleh Pramoedya Ananta Toer yaitu:

  • 1. Penyerahan kedaulatan oleh Belanda kepada Republik Indonesia Serikat
  • 2. Pembentukan Uni Indonesia-Belanda
  • 3. Persetujuan keuangan dan ekonomi antara anggota-anggota Uni
  • 4. Penarikan tentara Belanda dari Indonesia dan pembentukan satu tentara
  • 5. Kedudukan New Guinea

Isi Pokok Persetujuan Konferensi Meja Bundar / KMB

Beberapa isi persetujuan KMB di antaranya yaitu:

  • 1. Pengakuan kedaulatan atas Republik Indonesia (RI) dilaksanakan oleh Belanda selambat-lambatnya tanggal 30 Desember 1949.
  • 2. Pembentukan negara Republik Indonesia Serikat (RIS) yang berkewajiban menanggung utang Hindia Belanda (HB) sebesar 4,3 miliar gulden.
  • 3. Penyerahan kedaulatan atas wilayah bekas Hindia Belanda kepada Indonesia akan dilakukan oleh Belanda pada 27 Desember 1949, terkecuali kedaulatan atas Irian Barat yang akan ditentukan kemudian, berarti tetap berada dalam kekuasaan Belanda.
  • 4. Penarikan mundur pasukan Belanda dari Indonesia dan pembubaran KNIL. Eks anggota KNIL dapat masuk APRIS.
  • 5. Masalah Irian akan diselesaikan dalam waktu setahun setelah pengakuan kedaulatan.
  • 6. Kerajaan Belanda dan RIS membentuk Uni Indonesia-Belanda.

Ketua delegasi Indonesia, Perdana Menteri Mohammad Hatta menyatakan responsnya akan hasil persetujuan dalam pidato penutupan Konferensi Meja Bundar (KMB).

"Kegembiraan kami sedikiit tertekan karena tidak semua soal dapat diselesaikan pada KMB ini. Irian atau New Guinea masih dalam persengketaan dan akan diusahakan penyelesaiannya dalam satu tahun sesudah penyerahan kedaulatan kepada RIS," kata Moh. Hatta, seperti dikutip dari buku Kronik Revolusi Indonesia Jilid V oleh Pramoedya Ananta Toer.

J.L. Latumahina, Ketua Liga Kemerdekaan Rakyat Irian menyatakan kekecewaannya karena Irian tetap berada di bawah kekuasaan Belanda dan tidak masuk dalam Republik Indonesai Serikat. Ia menyatakan penyesalannya pada Delegasi Republik yang mengikuti Konferensi Meja Bundar karena tidak berpegang kuat pada wacana "kedaulatan harus diserahkan secara penuh dan tidak bersyarat."

Pemimpin Irian tersebut mengatakan, selama setahun Irian di bawah kekuasaan Belanda, Belanda akan berusaha untuk selama-lamanya mencengkeram negeri tersebut dengan memusatkan semua kekuatan untuk menghancurkan setiap organisasi rakyat yang berjuang memperoleh kemerdekaan.

Dampak KMB

Dampak Konferensi Meja Bundar bagi Indonesia di antaranya yaitu:

  • Indonesia mengakui dan harus membayar utang sebesar 4,3 miliar gulden sebagai harga penyerahan kedaulatan setelah perundingan cakupan utang sebelum kedaulatan.
  • Adanya ikatan Uni dalam Indonesia - Belanda yang kemudian menjadi perdebatan di antara pejabat Indonesia. Moh. Hatta menerangkan, Uni hanya sebagai lambang, dengan Ratu Belanda hanya memiliki kekedudukan seremonial. Uni setelah KMB merupakan forum kerja sama, bukan superstaat (negara di atas negara). Sementara itu, di perjanjian Linggarjati disebutkan bahwa keputusan Uni diambil 'atas nama Ratu'.
  • Irian Barat menjadi daerah sengketa setelah penyerahan kedaulatan atas Indonesia oleh pemerintah Belanda pada Republik Indonesia Serikat pada 27 Desember 1949. Alasan penundaan kedaulatan di Irian Barat di antaranya yaitu Indonesia dan Belanda sama-sama ingin mendapatkan Irian Barat sesuai kepentingan nasional masing-masing. Sementara itu, dokumen KMB terkait sengketa Irian Barat bersifat umum dengan niat agar lebih mudah mencapai kompromi. Alih-alih, hal tersebut menjadi sumber ketegangan Indonesia-Belanda karena memungkinkan perbedaan penafsiran pada dokumen tersebut.
  • Upacara penandatanganan naskah pengakuan kedaulatan Indonesia dilaksanakan serentak di Indonesia dan Belanda pada 27 Desember 1949.

Simak Video "Podium Perdana Maverick Vinales Bersama Aprilia"



(twu/pal)