Bagaimana Cara menyusun shaf Shalat jenazah apabila pesertanya lebih dari 5 orang

Terdapat pemahaman di masyarakat untuk selalu menyusun 3 shaf sholat dalam sholat jenazah. Akibatnya, pelaksanaan sholat jenazah sering kali tidak efektif, jika jamaah banyak maka akan dibagi beberapa kloter sehingga memakan waktu lebih, sebaliknya jika jamaah sedikit maka akan menunggu lama agar bisa mencapai 3 shaf tersebut. Lalu bagaimanakah sebenarnya aturan sebebarnya dalam pembuatan shaf sholat jenazah?

 Ada beberapa hadits yang terkait dengan pengaturan shaf untuk sholat janazah. Berikut ini kami uraikan hadits-hadits tersebut:

حَدَّثَنَا أَبُو كُرَيْبٍ حَدَّثَنَا عَبْدُ اللهِ بْنُ الْمُبَارَكِ وَيُونُسُ بْنُ بُكَيْرٍ عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ إِسْحَاقَ عَنْ يَزِيدَ بْنِ أَبِى حَبِيبٍ عَنْ مَرْثَدِ بْنِ عَبْدِ اللهِ الْيَزَنِىِّ قَالَ كَانَ مَالِكُ بْنُ هُبَيْرَةَ إِذَا صَلَّى عَلَى جَنَازَةٍ فَتَقَالَّ النَّاسَ عَلَيْهَا جَزَّأَهُمْ ثَلاَثَةَ أَجْزَاءٍ ثُمَّ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : مَنْ صَلَّى عَلَيْهِ ثَلاَثَةُ صُفُوفٍ فَقَدْ أَوْجَبَ (رواه ابن ماجه و ابو داود و الترمذى و الرويانى و ابو يعلى و ابو بكر الشافعى و الحاكم و البيهقى).

Artinya: al-Tirmidzi meriwayatkan (lafal ini miliknya) bahwa Abu Kuraib menceritakan kepada kami, Abdullah ibn al-Mubarak dan Yunus ibn Bukair menceritakan kepada kami, dari Muhammad ibn Ishaq dari Yazid ibn Abi Habib, dari Martsad ibn Abdullah al-Yazaniy. Ia berkata: Malik Ibn Hubairah apabila mensholatkan janazah dan dianggapnya sedikit orang-orang yang ikut mensholatkan itu, maka mereka itu dibaginya menjadi tiga bagian (tiga baris). Kemudian ia berkata: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Barangsiapa yang disholati oleh tiga shaf, maka ia telah wajib  (mendapatkan surga)”.

Hadits ini ditakhrij oleh Ibnu Majah (w. 273 H) dalam al-Sunan , Abu Dawud (w. 275 H) al-Sunan , al-Tirmidzi (w. 279) dalam al-Sunan ; menurutnya hadits ini Hasan, al-Ruyani (w. 307 H) dalam Musnad al-Ruyani , Abu Ya’la (w. 307 H), dalam Musnad Abi Ya’la , Abu Bakar al-Syafii (w. 354 H) dalam al-Fawaid al-Syahir bi al-Ghailaniyyat, al-Hakim (w. 405 H) dalam al-Mustadrak dan al-Baihaqi (w. 458 H) dalam Sunan al-Baihaqi .

Status hadits:

Tokoh hadits kontemporer, Nashiruddin al-Albani (w. 1419 H / 1999 M) dalam Dlaif Sunan Abi Dawud mendaifkan hadits ini. Dalam kitab Ahkamul Janaiz alasan pendaifan tersebut menurutnya adalah keberadaan perawi yang bernama Muhammad ibn Ishaq. Ia adalah seorang mudallis (orang yang suka kecacatan hadits) , yang dalam hadits menggunakan redaksi ‘an . Menurut Albani, hadits ini daif sesuai dengan kaidah: hadits mu’an’an yang diriwayatkan oleh mudallis adalah hadits yang daif.

Berdasarkan penelusuran kami, ada satu versi riwayat tentang Muhammad ibn Ishaq (perawi yang dipermasalahkan) yang tidak menggunakan redaksi ‘an tetapi haddatsana . Riwayat tersebut ditakhrij oleh al-Ruyani dalam al-Musnad . Namun, tidak dapat dipastikan mana lafal periwayatan yang benar-benar otentik yang digunakan oleh Muhammad ibn Ishaq, apakah versi yang paling mukharrij yang menggunakan ‘an atau versi al-Ruyani yang menggunakan ( haddatsana ). Melihat jumlah mukharrij yang meriwayatkan lafal ‘ an dari Muhammad Ibn Ishaq lebih banyak, kebanyakan kita cenderung mengabaikan versi al-Ruyani.

Namun, selain al-Albani para ulama cenderung menilai hadits di atas sebagai hadits yang hasan. Seperti pengiriman al-Tirmidzi, Ibnu Rajab dan Ibnu Hajar. Namun, sayang sekali, di sini tidak ada keterangan yang dapat mengandung alasan terkait para ulama yang menaikkan hadits di atas asalnya yang daif (karena keberadaan Muhammad ibn Ishaq) menjadi hasan. Kami telah melakukan penelusuran pada kitab Siyar A’lam al-Nubalayang memuat biografi para perawi. Ditemukan sejumlah komentar negatif para ulama hadits tentang Muhammad ibn Ishaq. Menurut Yahya ibn Main dia adalah orang yang daif. Menurut Abu Zurah dia orang jujur, tetapi tidak bisa dijadikan hujjah. Begitu pula dengan komentar imam al-Nasai dan al-Daruquthni. Bahkan ada pula komentar yang disebut sebagai pendusta. Seperti komentar Yahya al-Qatthan. Sehingga kami menganggap bahwa pesanan al-Albani cukup beralasan untuk kita pilih.

Jika pun hadits di atas dapat mengambil hasan, maka menurut kami pemahamannya bukan secara harfiyah; bahwa jamaah sholat janazah harus disusun menjadi tiga shaf. Hadits di atas sebenarnya mengaruhi agar memperbanyak jamaah sholat janazah ( al-hatssu li iktsaril jama’ah ). Sebab, seperti diterangkan oleh hadits lain yang kami uraikan di bawah nanti, banyaknya jamaah pada saat sholat janazah dapat memberikan syafaat kepada janazah yang disholatkan. Mengutip pendapat Syamsul Haq Abadi dalam Aunul Ma’bud bahwa hadits di atas seharusnya tidak boleh sebaiknya dilakukan oleh orang yang sholat janazah dilakukan secara berjamaah, bukan sholat itu sendiri-sendiri.

Maka, Hadits yang melayani Jamaah Menjadi 3 shaf adalah hadits yang daif

Selain hadits di atas, ada pula hadits yang menceritakan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam pernah membina jamaah yang sedikit menjadi 3 shaf. Hadits tersebut adalah:

حدثنا عمرو بن أبي الطاهر بن السرح المصري, حدثنا أبو صالح عبد الغفار بن داود الحراني, حدثنا ابن لهيعة, عن سليمان بن عبد الرحمن الدمشقي, عن القاسم, عن أبي أمامة, قال:”صلى النبي صلى الله عليه وسلم على جنازة, ومعه سبعة نَفَرٍ ، فَجَعَلَ ثَلاثَةً صَفًّا ، وَاثْنَيْنِ صَفًّا ، وَاثْنَيْنِ صَفًّا ”(رواه الطبرانى و السهمى).

Artinya: al-Tabrani meriwayatkan (lafal ini): Amru ibn Abi Thahir ibn al-Sarh al-Mishriy menceritakan kepada kami, Abu Shalil Abdul Ghaffar ibn Dawud al-Harraniy memberitahukan kepada kami, Ibnu Lahiah kepada kami, dari Sulaiman ibn Abdurrahman al-Dimasyqi, dari Qasim, dari Abu Umamah, ia berkata: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam mensholati janazah bersama tujuh orang. Kemudian beliau menyusun shaf: tiga orang di shaf pertama, dua orang di shaf kedua, dan dua orang lagi di shaf ke tiga.

Hadits ini ditakhrij oleh al-Thabrani (w. 360 H) dalam al-Mu’jam al-Kabir danHamzah al-Sahmiy (w. 427 H) dalam Tarikh Jurjan ).

Status hadits:

Hadits di atas adalah hadits yang daif. Dalam hadits di atas terdapat seorang perawi yang bernama Ibnu Lahiah. Nama perawi ini tidak asing lagi dalam Ilmu Rijalul Hadits. Namanya dikupas panjang lebar dalam kitab-kitab biografi perawi. Secara singkat, reliabilitas (keterpercayaan) Ibnu Lahiah ditulis oleh pernyataan Ibnu Hajar dalam Taqrib al-Tahdzib: “ia adalah orang yang jujur, namun hafalannya tercampur setelah buku-bukunya terbakar”.

Rasulullah pernah mengimami jamaah kurang dari 3 shaf

Di sisi lain, terdapat sebuah hadits sahih yang menerangkan bahwa Nabi pernah mengimami sholat janazah untuk putra Abu Thalhah yang bernama Umair dengan jamaah kurang dari 3 shaf. Sholat yang dipimpin oleh Nabi hanya terdiri dari dua orang makmum, yaitu Abu Thalhah dan istrinya Ummmu Sulaim. Hadits tersebut adalah:

عن إسحاق بن عبد الله بن أبى طلحة عن أبيه: أن أبا طلحة دعا رسول الله صلى الله عليه وسلم إلى عمير بن أبى طلحة حين توفى فأتاه رسول الله صلى الله عليه وسلم فصلى عليه فى منزلهم فتقدم رسول الله صلى الله عليه وسلم وكان أبو طلحة وراءه وَأُمُّ سُلَيْمٍ وَرَاءَ أَبِى طَلْحَةَ وَلَمْ يَكُنْ مَعَهُمْ غَيْرُهُمُ (رواه الطحاوى و الطبرانى وحبيك الحبيك الحبيك الحب

Artinya : “Diriwayatkan d ari Ishaq ibn Abdullah ibn Abu Thalhah dari teriakan: bahwasanya Abu Thalhah pernah meminta maaf kepada Rasulullah (untuk mensholati janazah) Umair ibn Abu Thalhah ketika ia wafat. Rasulullah mendatangi janazah Umair dan mensholatinya di rumah mereka. Rasulullah maju (berada di posisi imam). Abu Thalhah di belakang beliau. Ummu Sulaim di belakang Abu Thalhah. Tidak ada jamaah selain mereka.”

Hadits ini ditakhij oleh al-Thahawi (w. 321 H) dalam Syarh Ma’anil Astar , al-Tabrani (w. 360 H) dalam al-Mu’jam al-Kabir , al-Hakim (w. 405 H) dalam al -Mustadrak dan al-Baihaqi (w. 458 H) dalam Sunan al-Baihaqi ).

Intinya adalah memperbanyak Jamaah

Dari uraian di atas, dapat dipahami bahwa pengaturan jamaah sholat janazah menjadi 3 shaf bukan merupakan suatu keharusan dan bukan pula suatu sunnah. Melainkan yang dikehendaki Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam adalah anjuran agar kita memperbanyak jumlah jamaah dalam sholat janazah. Pemahaman tersebut didukung oleh dua hadits Nabi yang sahih berikut ini:

عن ابن عباس قال: فإنى سمعت رسول الله صلى الله عليه وسلم يقول: ما من رجل مسلم يموت فيقوم على جنازته أربعون رجلا لا يشركون بالله شيئا إلا شفعهم الله فيه (رواه مسلم).

Artinya : “Diriwayatkan dari Ibnu Abbas, ia mengatakan: sebenarnya aku pernah mendengar Rasulullah bersabda: kapan seorang muslim meninggal dunia, lalu empat puluh orang berdiri mensholati janazahnya, mereka tidak menyekutukan sesuatu dengan Allah, melainkan Allah memberikan syafaat melalui mereka pada orang yang meninggal tersebut ” (HR. Muslim)

عن عائشة عن النبى صلى الله عليه وسلم قال: ما من ميت يصلى عليه أمة من المسلمين يبلغون مائة كلهم ​​يشفعون له إلا شفعوا فيه (رواه مسلم).

Artinya : “Diriwayatkan d ari Aisyah dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam . Beliau bersabda: seorang Muslim meninggal dunia, lalu sekumpulan orang mensholatinya, jumlah mereka mencapai seratus orang, mereka mendoakan orang yang meninggal tersebut, melainkan (Allah akan) memberikan syafaat melalui mereka pada orang yang meninggal tersebut ” ( HR. Muslim).

Tentang perbedaan jumlah orang yang dapat memberikan syafaat antara riwayat Ibnu Abbas (40 orang) dengan riwayat Aisyah (100 orang), Imam al-Nawawi dalam Syarh Muslim menjelaskan bahwa bilangan tersebut tidak berpengaruh. Hal ini karena intinya adalah memperbanyak jamaah. Penyebab perbedaan adalah karena dua hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam tersebut muncul sebagai respon atau jawaban dari pertanyaan yang diajukan oleh dua orang pada kesempatan yang berbeda kepada Nabi shallallahu’ alaihi wasallam Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam menjawab dua orang penanya tersebut, bahwa baik 100 maupun 40 orang yang melakukan sholat, akan memberikan syafaat kepada janazah yang disholatkan. Jawaban kami.

Wallahu a’lam bish-shawab.

Sumber: Majalah Suara Muhammadiyah No.13, 2014 Dengan Penyesuaian

Shalat Jenazah Harus 3 Shaf, Adakah Dalilnya?