Jawaban: Kaitan antara agama dan negara dalam penentuan dasar negara Indonesia adalah senantiasa menghadirkan sebuah konsekuensi hukum di Indonesia yang berlandaskan ketuhanan yang maha esa, menegaskan bahwa negara atas nama Konstitusi mengurusi urusan agama dan kepercayaan, sehingga menghadirkan pluralisme hukum di dalam menjalani politik hukum yang harmonis. negara secara aktif dan dinamis harus menyokong setiap individu-individu sehingga terciptanya kerukunan umat beragama dan tercapai lah hubungan ideal yang diharapkan oleh pendiri Negara. d. Bagaimana argumentasi para pendiri bangsa untuk menempatkan ajaran syariat Islam sebagai bagian dari dasar negara? Jawaban: Argumentasi para pendiri bangsa Indonesia untuk menempatkan ajaran syariat islam sebagai bagian dari dasar negara terjadi pada saat setelah proklamasi kemerdekaan Indonesia di bacakan tepatnya pada tanggal 17 Agustus 1945. Dimana sore hari di tanggal 17 Agustus 1945 tersebut, Drs. Mohammad Hatta kedatangan tamu seorang opsir angkatan laut Jepang yang berkuasa di wilayah kalimantan dan wilayah timur Indonesia. Dimana opsir tersebut memberitahukan bahwa masyarakat daerah tersebut keberatan terhadap bagian dari kalimat pembukaan Undang-Undang Dasar yang berbunyi : Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat islam bagi pemeluk-pemeluknya. Kalimat tersebut telah disetujui oleh BPUKPI dan dikenal sebagai Piagam Jakarta. Sehingga kalimat tersebut dianggap sensitif dan melukai hati orang-orang Indonesia yang beragama nonmuslim. Sehingga pada akhirnya setelah melalui rapat diputuskan bahwa kalimat pembukaan Undang-Undang Dasar diubah menjadi : Ketuhanan Yang Maha Esa, hal ini dikarenakan Wilayah Republik Indonesia harus menyertakan kawasan Indonesia timur juga. Page 2
Page 3
KOMPAS.com - Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia atau BPUPKI menggelar sidang pertama pada 29 Mei-1 Juni 1945. Agenda sidang kala itu adalah merumuskan dasar negara Indonesia merdeka. Namun, selama sidang berlangsung, terjadi perdebatan antara anggota BPUPKI dari wakil umat Islam dan pemimpin nasionalis. Alhasil, hingga akhir sidang pertama pada 1 Juni, belum dicapai kesepakatan tentang rumusan dasar negara. Oleh karena itu, dibentuk Panitia Sembilan yang berhasil merumuskan naskah Mukadimah UUD atau juga dikenal dengan istilah Piagam Jakarta. Namun, dalam Mukadimah ini, terdapat potongan kalimat penting dan cukup kontroversial berbunyi, "...ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya." Lantas, apa pandangan para pendiri bangsa terkait isi Mukadimah terutama frasa "ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya."? Baca juga: Piagam Jakarta: Sejarah, Isi, Tokoh Perumus, dan Kontroversi Perumusan Mukadimah UUDPerumusan Mukadimah atau Pembukaan UUD 1945 dibahas oleh Panitia Kecil BPUPKI yang dipimpin oleh Soekarno. Panitia Kecil yang beranggotakan delapan orang itu terdiri dari Soekarno, Moh Hatta, Moh Yamin, AA Maramis, Otto Iskandardinata, Soertadjo Kartohadikoesoemo, Ki Bagoes Hadikoesoemo, dan Wachid Hasjim. Sebagai ketua, Soekarno menganggap keanggotaan dari golongan Islam yang hanya diwakili oleh Ki Bagoes Hadikoesoemo dan Wachid Hasjim tidak proporsional. Oleh karena itu, Soekarno mengubah dan menambah jumlah anggota panitia menjadi sembilan orang sehingga disebut Panitia Sembilan. Anggota Panitia Sembilan di antaranya:
Lima orang pertama sebagai perwakilan golongan kebangsaan, sedangkan empat orang berikutnya mewakili golongan Islam. Baca juga: Tokoh-tokoh Panitia Sembilan Isi rancangan Mukadimah UUD atau Piagam JakartaPanitia Sembilan berhasil merumuskan naskah Mukadimah UUD atau kemudian dikenal sebagai Piagam Jakarta pada masa reses. Pada Sidang Kedua BPUPKI yang dimulai pada 10 Juli 1945, Soekarno sebagai ketua Panitia Sembilan melaporkan rumusan naskah Mukadimah atau preambule, sebagai berikut. Bahwa sesungguhnya kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa, dan oleh sebab itu maka penjajahan di atas dunia harus dihapuskan, karena tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan perikeadilan. Dan perjuangan pergerakan kemerdekaan Indonesia telah sampailah kepada saat yang berbahagia dengan selamat sentausa mengantarkan rakyat Indonesia ke depan pintu gerbang negara Indonesia yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur. Atas berkat rahmat Allah Yang Maha Kuasa dan dengan didorongkan oleh keinginan luhur, supaya berkehidupan kebangsaan yang bebas, maka rakyat Indonesia menyatakan dengan ini kemerdekaannya. Kemudian daripada itu untuk membentuk suatu pemerintah negara Indonesia Merdeka yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial, maka disusunlah kemerdekaan kebangsaan Indonesia itu dalam suatu hukum dasar negara Indonesia yang berbentuk dalam suatu susunan negara Republik Indonesia, yang berkedaulatan rakyat, dengan berdasarkan kepada: Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya, menurut dasar kemanusiaan yang adil dan beradab, persatuan Indonesia, dan kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan-perwakilan serta dengan mewujudkan suatu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Baca juga: Siapa yang Merumuskan Piagam Jakarta? Pandangan para pendiri bangsa terkait isi MukadimahRancangan Mukadimah atau preambule yang dibacakan Soekarno segera mendapatkan komentar dari para pendiri bangsa yang hadir dalam sidang kedua BPUPKI. Isi Mukadimah yang menjadi sorotan terutama frasa "ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya." Salah satu yang menyatakan keberatannya terhadap frasa tersebut adalah Latuharhary, yang menilai dapat menimbulkan kekacauan misalnya terhadap adat-istiadat. Menanggapi keberatan tersebut, Agus Salim menjawab bahwa pertikaian hukum agama dengan hukum adat bukan masalah baru dan pada umumnya sudah selesai. Lalu, ketua sidang Dr Radjiman Wedyodiningrat memberikan tanggapan bahwa preambule adalah hasil jerih payah antara golongan Islam dan kebangsaan. Sehingga apabila kalimat itu tidak dimasukkan, maka tidak bisa diterima oleh kaum Islam. Baca juga: Mengapa Pembukaan UUD 1945 Tidak Bisa Diubah? Wongsonegoro dan Djajadiningrat kemudian berkomentar, frasa itu mungkin menimbulkan fanatisme karena seolah-olah memaksa menjalankan syariat bagi orang-orang Islam. Wachid Hasyim juga memberikan komentar, “Mengingat kepada dasar permusyawaratan sebab paksaan-paksaan tidak bisa terjadi. Jika ada anggota yang menganggap kalimat ini tajam, ada juga yang menganggap kurang tajam.” Setelah itu, Dr Radjiman mengatakan karena pokok-pokok lain tidak ada yang menolak, maka preambule dianggap sudah diterima. Hadikoesoemo mencoba angkat bicara dan memberi masukan supaya "bagi pemeluk-pemeluknya" dihilangkan saja. Namun, Soekarno menolak usulan tersebut. Pada akhirnya, anggota sidang menerima dengan suara bulat Mukadimah atau yang kemudian disebut Piagam Jakarta. Baca juga: Berapa Kali Amandemen UUD 1945 Dilakukan? Meski telah disepakati pada sidang BPUPKI, frasa "ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya" terbukti menjadi masalah setelah proklamasi kemerdekaan dikumandangkan. Tersiar kabar bahwa rakyat Kristen di wilayah Indonesia timur akan menolak bergabung Republik Indonesia apabila syariat Islam masuk dalam UUD. Menanggapi hal itu, Moh Hatta mengumpulkan wakil golongan Islam seperti Wachid Hasjim, Ki Bagoes Hadikoesoemo, Kasman Singodimedjo, dan Teuku Mohammad Hasan untuk membicarakan persoalan itu. Dalam pembicaraan informal, akhirnya disepakati bahwa frasa "ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya" diganti dengan "Ketuhanan Yang Maha Esa" demi persatuan dan kesatuan. Piagam Jakarta setelah itu diubah menjadi Pembukaan UUD. Referensi:
Pada masa Orde Baru, Pancasila ditanamkan dengan dogmatis dan juga difungsikan untuk membungkam pihak-pihak yang mengkritik pemerintah saat itu, meskipun para pengkritik tersebut tidak ada hubungannya dengan paham anti-Pancasila. Semenjak jatuhnya Orde Baru, penggunaan Pancasila sebagai tameng rejim sudah tidak terjadi lagi. Masyarakat Indonesia menikmati kebebasan dalam berpendapat termasuk kebebasan untuk mengkritik pemerintah yang pada masa Orde Baru mengkritik biasanya akan berakhir dengan kurungan penjara atau kekerasan. Seriring dengan era kebebasan, pengajaran dogma Pancasila melalui Penataran P4 juga dihentikan yang secara relatif menimbulkan “kekosongan ideologi” pada generasi muda oleh karena pengajaran Pancasila yang sebelumnya dogmatis tersebut tidak digantikan oleh metode lain yang lebih komunikatif dan substantif. Pada saat yang bersamaan Indonesia menghadapi derasnya arus informasi dari seluruh dunia melalui internet. Berbagai jenis paham (termasuk paham radikal keagamaan) berseliweran dan berinteraksi dengan kalangan muda yang mengalami kekosongan ideologi. Meminjam istilah Melluci, mereka adalah pengembara-pengembara identitas yang mencari jati dirinya dalam pilihan-pilihan identitas yang dibawa oleh internet terutama melalui media sosial. Pembentukan identitas kelomopok radikal itu akan semakin kuat jika mereka bertemu dengan orang-orang yang memiliki pandangan yang serupa. Kelompok-kelompok radikal keagamaan tersebut menganut apa yang disebut oleh Melluci sebagai monisme totaliter yang memandang bahwa paham mereka adalah satu-satu paham yang akan membawa kebaikan. Orang-orang yang tidak sepaham dengan mereka dianggap sebagai manusia yang derajatlah lebih rendah. Kelompok-kelompok radikal ini ikut menunggangi kontestasi Pilkada DKI Jakarta di tahun 2017 yang diwarnai oleh penggunaan isu SARA secara masif pada level akar rumput untuk menjatuhkan kandidat tertentu. Ujaran-ujaran kebencian diutarakan untuk merendahkan kandidat yang memiliki latar belakang agama dan etnis tertentu. Fenomena tersebut mengajak kita untuk mengingat kembali kesepakatan-kesepakatan dasar dari para pendiri bangsa ketika mereka sepakat untuk mendirikan NKRI. Memandang rendah derajat orang lain yang memiliki suku, agama, dan ras yang berbeda tentu saja pengingkaran yang serius terhadap dasar dari yang paling dasar kesepakatan pendirian republik yaitu kesetaraan dan kebersamaan. Menurut Bung Karno, lima sila dari Pancasila jika diperas menjadi satu maka ia menjadi Eka Sila yaitu Gotong-Royong. Menurut Bung Karno, “Gotong Royong adalah pembantingan-tulang bersama, pemerasan-keringat bersama, perjuangan bantu-binantu bersama. Amal semua buat kepentingan semua, keringat semua buat kebahagiaan semua. Ho-lopis-kuntul-baris buat kepentingan bersama. Itulah gotong-royong!” Kekosongan ideologis akibat lemahnya pembumian Pancasila oleh apparatus sosial juga memunculkan kelompok-kelompok yang memunculkan kembali gagasan dasar negara dalam Piagam Jakarta tanggal 22 Juni 1945 yang sila pertamanya berbunyi: Ketuhanan, dengan kewajiban melaksanakan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya. Rumusan sila pertama itu kemudian diubah melalui sidang BPUPKI pada tanggal 18 Agustus 1945 menjadi rumusan Pancasila yang seperti yang tercantum dalam UUD 1945 yaitu Ketuhanan Yang Maha Esa. Meskipun demikian, masih terdapat kelompok-kelompok yang dengan lantang dan terbuka ingin kembali pada gagasan Piagam Jakarta. Kelompok-kelompok ini mengambil sebagian potongan dalam sejarah dan kemudian memaknai sendiri dengan bias kepentingan dan monisme totaliternya sehingga makna sejarah yang sesungguhnya tidak mereka indahkan, bahkan mungkin tak terlihat oleh mereka. Memang benar bahwa Piagam Jakarta pada tanggal 22 Juni 1945 telah ditandatangan oleh BPUPKI yang dipimpin oleh Soekarno. Pada saat itu sila “Ketuhanan, dengan kewajiban melaksanakan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya” tidak dianggap sebagai diskriminasi oleh karena hanya mengikat bagi pemeluk agama Islam. Bahkan anggota BPUPKI yang beragama Kristen yaitu A.A. Maramis tidak berkeberatan dengan sila tersebut. Namun yang dipikirkan oleh anggota BPUPKI tersebut tidak sama dengan yang pikirkan oleh kalangan masyarakat yang bergama lain. Adalah seorang perwira utusan Angkatan Laut Jepang yang bertemu Bung Hatta pada sore hari tanggal 17 Agustus 1945. Perwira itu menyampaikan bahwa wakil-wakil umat Protestan dan Katolik yang berada dalam wilayah kekuasaan Angkatan Laut Jepang sangat berkeberatan dengan bagian kalimat dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar, yang berbunyi, “Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya”. Mereka sadar bahwa bagian kalimat itu tidak mengikat mereka, namun dengan mencantumkan ketetapan seperti itu dalam pembukaan dan dasar berdirinya suatu negara merupakan “diskriminasi” terhadap mereka golongan minoritas. Dalam buku autobiografi Bung Hatta disebutkan bahwa jika “diskriminasi” itu ditetapkan juga, mereka lebih suka berdiri di luar Republik Indonesia. Bung Hatta adalah negarawan yang memiliki keterampilan memahami yang sangat baik. Horizonnya terhadap sila dalam Piagam Jakarta tersebut berdialog dengan horizon yang dimiliki oleh wakil-wakil dari umat Protestan dan Katolik dan kemudian menghasilkan yang disebut oleh ahli hermeneutik Gadamer, sebagai fusi horizon. Horizon dari Bung Hatta bersifat terbuka sehingga ia membuka diri terhadap berbagai kemungkinan makna yang muncul dan berbagai kemungkinan akibat yang muncul di kemudian hari. Keterbukaan horizonnya itu membuatnya melihat makna yang sebelumnya tidak terlihat. Dalam autobiografinya, Hatta menyatakan bahwa kalau Indonesia tidak bisa bersatu, maka bisa dipastikan daerah-daerah di luar Jawa dan Sumatera (tempat domisili penduduk non-Muslim) akan kembali dikuasai oleh Belanda. Tak lama waktu yang diperlukan oleh Hatta untuk memahami kekhawatiran dari kelompok-kelompok minoritas tersebut. Ia memutuskan untuk membahas masalah tersebus pada sidang PPKI keesokan harinya pada tanggal 18 Agustus 1945. Sebelum sidang dimulai, Hatta mengadakan pertemuan pendahuluan dengan 5 anggota PPKI lainya yaitu Ki Bagus Hadikoesoemo, Wahid Hasyim, Mr. Kasman Singodimedjo, dan Mr. Teuku Hasan. Pertemuan itu menyepakati untuk mengganti kalimat “Ketuhanan dengan kewajiban melaksanakan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya” dengan kalimat “Ketuhanan Yang Maha Esa”. Rapat pendahuluan atas inisiatif Hatta itu menyetujui bahwa peraturan dalam kerangka syariat Islam, yang hanya mengenai orang Islam, dapat diajukan sebagai rancangan undang-undang ke DPR, yang jika diterima oleh DPR maka mengikat umat Islam Indonesia. Rapat itu juga menyepakati bahwa hukum nasional berlaku untuk semua warga negara. Perbedaan hukum antara penduduk yang beragama Islam atau beragama Kristen akan terdapat terutama dalam bidang hukum keluarga. Dalam bidang hukum perdata lainnya seperti hukum perniagaan dan hukum dagang, berlaku hukum yang setara untuk semua penduduk. Ketika memasuki sidang pleno PPKI, usulah perubahan yang telah disetujui oleh 5 orang tadi dalam rapat pendahuluan sebelum sidang resmi, kemudian disetujui oleh sidang lengkap dengan suara bulat. Inisiatif dari Bung Hatta itu dapat dikatakan menjaga semangat inti sari dari Pancasila yaitu Gotong Royong seperti yang diutarakan oleh Sukarno. Dalam semangat kesetaraan dan kebersamaan, Hatta berjasa dalam memahami kehendak dari berbagai golongan masyarakat dan sehingga akhirnya dapat menghadirkan hukum publik yang bersifat nasional yang berlaku untuk seluruh penduduk. Kesetaraan hukum nasional itu tidak memandang mayoritas dan minoritas. Semangat dari pada pendiri bangsa dalam menyepakati nilai-nilai kesetaraan dan kebersamaan kini mendapat ancaman dari kelompok-kelompok yang memandang kelompok masyarakat lain sebagai warga yang statusnya lebih rendah sehingga harus dicaci maki jika warga dari kelompok ini ikut dalam pemilihan pejabat publik. Agar semangat gotong royong dalam Pancasila itu tetap terjaga ia harus dipertahankan dengan aktif. Sudah saat mayoritas yang diam masuk ke ruang publik untuk menjadi Bung Hatta yang baru yang menjawab tantangan kekininian sama seperti halnya Bung Hatta yang juga telah menunaikan tanggung jawab sejarahnya. I Made Anom Wiranata, SIP, MA Dosen Prodi Hubungan Internasional FISIP UNUD |