Apakah pengemis dan pengamen di pinggir jalan itu tergolong fakir miskin?

Zakat adalah kewajiban seorang muslim untuk mengeluarkan sebagian dari harta yang dimiliki jika telah mencapai jumlah dan waktu yang ditentukan. Zakat merupakan bukti nyata Islam mendukung kehidupan sosial manusia. Menjadi salah satu hikmah zakat adalah kekayaan dapat berputar dan menyebar sehingga dapat bermanfaat bagi banyak orang. Allah tidak menyukai harta yang tertimbun lama dan tidak bermanfaat. Selain zakat ada juga shodaqoh dan infak yang memberikan harta tanpa ketentuan tertentu seperti zakat. Kemudian menjadi pertanyaan dalam masyarakat muslim apakah boleh memberi pengemis dengan niat zakat?

 Orang-orang yang mendapatkan zakat ditetapkan dalam surat at-Taubah ayat 60:

إِنَّمَا الصَّدَقَاتُ لِلْفُقَرَاءِ وَالْمَسَاكِينِ وَالْعَامِلِينَ عَلَيْهَا وَالْمُؤَلَّفَةِ قُلُوبُهُمْ وَفِي الرِّقَابِ وَالْغَارِمِينَ وَفِي سَبِيلِ اللَّهِ وَابْنِ السَّبِيلِ ۖ فَرِيضَةً مِّنَ اللَّهِ ۗ وَاللَّهُ عَلِيمٌ حَكِيمٌ

Artinya : “Sesungguhnya zakat-zakat itu, hanyalah untuk orang-orang fakir, orang-orang miskin, pengurus-pengurus zakat, para mu’allaf yang dibujuk hatinya, untuk (memerdekakan) budak, orang-orang yang berhutang, untuk jalan Allah dan untuk mereka yang sedang dalam perjalanan, sebagai suatu ketetapan yang diwajibkan Allah, dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.” (Q.S. At-Taubah:60)

Para pengemis, pengamen, yayasan cacat, yayasan yatim piatu, dan yang sejenis dengan itu dapat dimasukkan ke dalam kelompok fakir miskin. Sedangkan untuk pembangunan masjid/musalla, sekolah swasta atau sebagainya oleh sebagian ulama ahli tafsir dimasukkan ke dalam kelompok sabilillah. Fakir miskin dan sabillah termasuk kelompok yang berhak menerima zakat. Dengan demikian, sebagian zakat boleh diberikan kepada orang-orang yang ditanyakan seperti di atas. Karena mereka tergolong kepada fakir miskin dan sabilillah, dengan diniatkan untuk membayar zakat.

Akan tetapi tentu akan lebih utama jika dapat diambilkan dari dana di luar bagian zakat karena akan menambah amal shadaqah. Kemudian juga dapat memberikan manfaat yang lebih banyak lagi jika diberikan dari luar bagian zakat karena menambah jumlah yang dikeluarkan di jalan Allah.

Allahu A’lam Bishowwab

https://fatwatarjih.or.id/memberi-para-peminta-pengemis-sumbangan-dari-zakat-perdagangan/ dengan penyesuaian

Apakah pengemis dan pengamen di pinggir jalan itu tergolong fakir miskin?

Apakah pengemis dan pengamen di pinggir jalan itu tergolong fakir miskin?
Lihat Foto

KOMPAS.com/GARRY LOTULUNG

Pengrajin saat memakai boneka ondel-ondel di Jalan Kembang Pacar, Senen, Jakarta Pusat, Rabu (2/9/2020). Pandemi Covid-19 dianggap menjadi tantangan terberat bagi para pengrajin ondel-ondel di Kramat Pulo setelah bertahan hidup di ibukota lebih dari lima dekade.

JAKARTA, KOMPAS.com - Kepala Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP) DKI Jakarta Arifin menegaskan bahwa memberikan uang kepada pengemis dan pengamen di Ibu Kota merupakan tindakan yang dilarang.

Larangan ini tertuang dalam peraturan daerah (Perda) DKI Jakarta Nomor 8 Tahun 2007 tentang Ketertiban Umum.

"Orang yang memberikan uang kepada pengemis itu bisa dikenakan sanksi di dalam peraturan daerah," kata Arifin, Sabtu (27/3/2021), seperti dilansir Tribun Jakarta.

Pasal 40 Perda Nomor 8 Tahun 2007 mengatur bahwa setiap orang atau badan dilarang untuk:

  1. menjadi pengemis, pengamen, pedagang asongan, dan pengelap mobil;
  2. menyuruh orang lain untuk menjadi pengemis, pengamen, pedagang asongan, dan pengelap mobil;
  3. membeli kepada pedagang asongan atau memberikan sejumlah uang atau barang kepada pengemis, pengamen, dan pengelap mobil.

Baca juga: Wagub DKI: Larangan Ondel-ondel untuk Ngamen sebagai Bentuk Apresiasi Budaya

Adapun sanksi bagi orang yang melanggar peraturan tersebut adalah pidana kurungan paling singkat 10 hari dan paling lama 60 hari, serta denda paling sedikit Rp 100.000 dan paling banyak Rp 20 juta.

Arifin mengakui bahwa saat ini Satpol PP masih mengutamakan penindakan persuasif berupa edukasi agar masyarakat sadar bahwa tindakan memberi uang kepada pengemis dan pengamen itu dilarang.

Larangan pengamen ondel-ondel

Sebelumnya, Satpol PP DKI Jakarta mengimbau warga untuk tidak menggunakan ondel-ondel sebagai sarana untuk mengamen.

Pinterest.com

Keberadaan anak jalanan, gelandangan, dan pengemis tidak dapat dipisahkan dari kehidupan sosial masyarakat. Depsos (2001:20) mendefinisikan bahwa anak jalanan adalah anak yang sebagian besar menghabiskan waktunya untuk mencari nafkah atau berkeliaran di jalanan atau tempat-tempat umum lainnya. Menurut Depsos (2007:5) pengemis adalah orang-orang yang mendapat penghasilan dari meminta-minta di muka umum dengan berbagai alasan untuk mengharapkan belas kasihan dari orang lain. Sedangkan, gelandangan adalah orang-orang yang hidup dalam keadaan tidak sesuai dengan norma-norma kehidupan yang layak dalam masyarakat setempat serta tidak mempunyai tempat tinggal dan pekerjaan yang tetap di wilayah tertentu dan hidup mengembara di tempat umum.

Fenomena anak jalanan, gelandangan, dan pengemis memang sudah biasa ditemukan apalagi di perkotaan salah satunya di Kecamatan Ciledug Kota Tangerang, tidak jarang dari mereka terdapat di lampu merah, pusat perbelanjaaan, di bawah kolong jembatan, di pinggir-pinggir ruko, dan berbagai tempat yang sekiranya ramai didatangi atau dilewati masyarakat. Banyak faktor yang melatar belakangi keberadaan mereka, salah satunya pembangunan yang tidak merata sehingga mengakibatkan banyak kesenjangan sosial. Pembangunan yang tidak merata di setiap daerah mempengaruhi seluruh bidang kehidupan masyarakat mulai dari perekonomian, pendidikan, maupun kesehatan. Faktor penyebab keberadaan mereka yang paling utama merupakan masalah perekonomian, susahnya mencari lapangan pekerjaan ditambah dengan semakin hari semakin mahalnya kebutuhan-kebutuhan yang harus dipenuhi membuat mereka yang merasa sudah tidak memiliki cara lain lagi terpaksa untuk turun ke jalanan. Dampak urbanisasi selain kotanya yang semakin padat, membuat persaingan dalam mencari pekerjaan semakin meningkat. Hal ini diperparah dengan banyaknya masyarakat desa yang melakukan urbanisasi tetapi hanya bermodalkan nekat saja, tanpa memikirkan kemampuan dan soft skill yang harus dimiliki agar dapat bersaing dengan yang lain. Kasus seperti ini justru dapat meningkatkan angka pengangguran di kota-kota.

Pada anak jalanan di Kecamatan Ciledug beberapa ditemui mereka terpaksa turun ke jalan sebagai pengamen, peminta sumbangan, bahkan menjadi 'manusia silver'. Kebanyakan dari mereka harus merelakan berhenti dari bangku sekolah, meskipun beberapa dari mereka masih ada yang dapat melanjutkan pendidikannya. Alasan putus sekolah yang paling utama disebabkan masalah biaya namun beberapa dari mereka ada yang memang sengaja ingin putus sekolah agar dapat lebih lama lagi berada dijalanan untuk mendapatkan uang. Selain karena masalah perekonomian, faktor kekerasan dalam keluarga juga mempengaruhi anak untuk turun ke jalan. Beberapa anak mengakui bahwa mereka turun ke jalanan karena mereka melarikan diri dari rumah, mereka mengatakan bahwa tidak betah dirumah karena selalu menjadi korban kekerasan dari orang tuanya. Jalanan menjadi tempat pelarian bagi para anak-anak yang merasa tidak aman dan nyaman berada dirumah, keluarga yang tidak harmonis dan keluarga yang berasal dari pernikahan ketika usia belum matang sangat rentan untuk memicu keberadaan mereka.

Kemudian, gelandangan dan pengemis yang berada di sekitaran Kecamatan Ciledug kebanyakan mengatakan bahwa mereka malu melakukan hal seperti ini, tetapi mereka tidak memiliki kemampuan lain untuk dapat bertahan hidup. Gelandangan dan pengemis rata-rata merupakan seorang yang sudah paruh baya yang menganggap dirinya sudah sangat kesulitan untuk mendapatkan pekerjaan yang lain selain menunggu belas kasihan dari masyarakat sekitar. Mereka yang menggelandang rata-rata mereka yang hidup sebatang kara dan tidak memiliki tempat tinggal serta biasanya memiliki kecacatan fisik, sedangkan mereka yang mengemis beberapa masih memiliki tempat tinggal dan sanak saudara. Tak jarang ditemukan, dalam melakukan kegiatan mengemisnya mereka membawa pasangan (seperti sepasang suami istri) atau membawa anaknya yang berusia balita maupun anak-anak.

Fenomena anak jalanan, gelandangan, dan pengemis yang berada di sekitar Kecamatan Ciledug sering kali terjaring razia, beberapa dari mereka bahkan terjaring lebih dari satu kali. Ketika terjaring razia mereka mengatakan hanya mendapatkan nasihat dan arahan untuk tidak turun ke jalan lagi karena dapat mengganggu ketertiban dan keindahan kota, namun yang sebenarnya mereka harapkan adalah adanya pelatihan-pelatihan meningkatkan kemampuan yang nantinya dapat dimanfaatkan untuk mendapatkan penghasilan dan diberikan bantuan modal usaha agar tidak perlu lagi turun ke jalanan. Keberadaan mereka di jalanan disebabkan karena tingkat perekonomiannya yang lemah, ditambah pada saat pandemi Covid-19 seperti sekarang ini mereka mengeluhkan kehidupannya yang semakin sulit. Bantuan pemerintah yang dinilai tidak merata dan tidak jelas kapan akan diterima membuat mereka harus tetap turun ke jalanan agar dapat memenuhi kebutuhan hidupnya. Bahkan beberapa dari mereka mengakui bahwa belum pernah mendapatkan bantuan apapun dari pemerintah khususnya selama pandemi Covid-19. Hal ini juga dapat disebabkan karena memang kebanyakan dari mereka tidak memiliki kartu atau surat identitas yang resmi seperti kasus salah seorang pengemis yang berada di lampu merah Kecamatan Ciledug, selain tidak memiliki kartu tanda kependudukan (KTP) dan kartu keluarga (KK) yang membuatnya susah terdaftar dalam nama-nama penerima bantuan sosial dan ternyata anaknya juga tidak memiliki akta kelahiran yang membuatnya susah untuk mendaftar sekolah sehingga tidak bisa bersekolah.

Sebenarnya terdapat pasal didalam undang-undang yang mengatur tentang keberadaan mereka yaitu Pasal 34 ayat 1 UUD 1945 yang berbunyi "fakir miskin dan anak-anak yang terlantar dipelihara oleh negara" berdasarkan pasal tersebut, negara lah yang memiliki peran paling penting dalam menangani keberadaan mereka. Terdapat pula Peraturan Daerah Kota Tangerang No. 5 Tahun 2012 Tentang Pembinaan Anak Jalanan, Gelandangan, Pengemis dan Pengamen yang didalamnya menyatakan bahwa menjadi seorang yang bekerja atau mencari penghidupan di jalanan sangat berbahaya untuk mereka sendiri dikarenakan dapat menjadi sasaran dari pengeksploitasian sehingga perlu adanya pencegahan, pengrehabilitasan, dan pemberdayaan agar mereka dapat hidup mandiri secara layak. Walaupun sudah ada kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah, baik dari pemerintah pusat maupun pemerintah daerah namun keberadaan anak jalanan, gelandangan, dan pengemis masih belum bisa dituntaskan secara efektif. Hal ini dikarenakan keikut sertaan masyarakat dalam membantu melancarkan kebijakan tersebut masih rendah, dapat dilihat masih banyak masyarakat sekitar yang memberikan barang atau uang untuk anak jalanan, gelandangan, dan pengemis. Jika dipikir memang rasanya tidak tega untuk tidak menolong terhadap sesama apalagi terkadang penampilan dari anak jalanan, gelandangan, dan pengemis sangat membuat iba. Namun, ternyata perasaan tersebutlah yang membuat keberadaan mereka masih terjaga eksistensinya sampai sekarang. Selain itu, masyarakat juga merasa tergganggu dengan keberadaan mereka seperti misalnya sedang berada di pusat perbelanjaan atau sebuah rumah makan tiba-tiba didatangi oleh anak jalanan yang mengamen, pengemis, maupun gelandangan sehingga agar mereka cepat pergi masyarakat memberikan sedikit uang maupun membelikan makanan. Adapula, para pengamen yang terkadang suka memaksa dalam meminta uang yang membuat masyarakat merasa risih.

Kemudian kebijakan tentang adanya rumah singgah atau panti sosial pun masih belum memberikan perubahan yang signifikan dikarenakan masih banyak anak jalanan, gelandangan, dan pengemis yang ketika terjaring razia tidak dialihkan untuk berada di rumah singgah. Seperti yang diketahui dibangunnya rumah singgah untuk menangani permasalahan tersebut, akan tetapi banyak dari mereka yang justru tidak tahu bagaimana caranya bisa berada disana untuk mendapatkan pembinaan dan pelatihan-pelatihan keterampilan. Larangan terhadap mereka untuk tidak menjadikan kolong jembatan, pinggiran rel kereta, dan tempat lainnya yang berpotensi merusak keindahan dan ketertiban namun tidak diimbangi dengan pemberian tempat tinggal yang layak dan berharga sewa murah.

Jika dikaitkan dengan teori sosiologi Sturuktural Fungsional milik Robert K. Merton, masing-masing memiliki peran dan fungsi yang harus dijalankan dengan baik dan sesuai jika tidak maka akan menimbulkan ke disfungsian. Sama halnya dengan menangani kasus anak jalanan, gelandangan, dan pengemis, dari mulai pemerintah pusat, pemerintah daerah, RT maupun RW, dan masyarakat punya peran yang harus dijalankan agar masalah ini dapat tertangani. Dari pemerintah pusat dan pemerintah daerah membuat kebijakan atas fenomena keberadaan anak jalanan, gelandangan, dan pengemis, dalam membuat kebijakan sebaiknya dilakukan survey dan pengkajian apakan sekiranya sudah tepat dan efektif, apakah dapat dijalankan dengan baik. Karena seperti yang kita tahu sudah terdapat kebijakan yang dibuat oleh pemerintah namun ternyata dalam kebijakan tersebut tidak memperhatikan bahwa didalamnya masih terdapat beberapa hambatan yang harus dicari terlebih dahulu solusinya, seperti contohnya adanya larangan untuk menjadikan kolong jembatan, pinggiran rel kereta atau pinggir-pinggir ruko untuk dijadikan rumah atau tempat istirahat bagi para anak jalanan, gelandangan, dan pengemis maka seharusnya pemerintah menyiapkan tempat tinggal layak yang gratis atau mungkin dengan harga sewa yang murah agar mereka tidak terlalu dibebankan lagi dengan harga sewa yang semakin hari semakin mahal. Kemudian, adanya tempat-tempat pembinaan atau pelatihan-pelatihan soft skill yang merata di tiap-tiap daerah, baik untuk para remajanya yang akan memasuki usia produktif maupun untuk masyarakat dewasa agar tidak selalu mengandalkan lapangan pekerjaan melainkan dapat membuka peluang usaha yang nantinya berpotensi untuk membuka lapangan usaha. Selanjutnya dalam Undang-undang No. 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia Pasal 12: "Setiap orang berhak atas perlindungan bagi pengembangan pribadinya, untuk memperoleh pendidikan, mencerdaskan dirinya, dan meningkatkan kualitas hidupnya agar menjadi manusia yang beriman, bertaqwa, bertanggungjawab, berakhlak mulia, bahagia dan sejahtera sesuai dengan hak asasi manusia" sehingga seharusnya dalam pendidikan ada kebijakan untuk pendidikan gratis secara merata, karena faktanya banyak pula sekolah negeri yang masih memungut biaya, walaupun tidak terlalu mahal namun untuk sebagian kalangan mungkin itu cukup memberatkan dan dalam melakukan pembagian bantuan sosial harus dilaksanakan secara berkala dan jelas serta adanya pengawasan yang ketat agar dana bantuan tersebut tidak disalahgunakan oleh pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab. Selanjutnya, untuk peran dan fungsi kepala RT RW setempat untuk dapat mendata warga-warganya secara berkala dan membantu mereka yang tidak memiliki surat-surat ataupun kartu identitas yang lengkap dan jelas serta menyalurkan bantuan yang diberikan pemerintah kepada warganya dengan jelas dan transparan agar tidak ada kecemburuan sosial yang menyebabkan konflik antar warga. Kemudian, dari sisi masyarakatnya harus adanya motivasi diri untuk memiliki kehidupan yang layak dengan cara meningkatkan skill dan kemampuan agar dapat bersaing dalam memperoleh pekerjaan, menghilangkan sikap pasrah terhadap nasib dan putus asa karena akan menimbulkan pemikiran bahwa nasib tidak bisa dirubah. Selain itu, upaya pencegahan sangat perlu dilakukan, seperti sosialisasi, pendekatan persuasif dan bimbingan kepada masyarakat, khususnya pengarahan akan pentingnya pendidikan orangtua terhadap anak serta pentingnya memiliki pengetahuan dan keterampilan agar dapat bersaing ketika memasuki usia produktif. Dengan begitu diharapkan dapat mengatasi persoalan anjal gepeng mulai dari akarnya, sehingga terwujud perubahan menuju kota yang lebih tertib.

Dengan masing-masing lapisan menjalankan peran dan fungsinya masing-masing secara baik sesuai dengan apa yang dinyatakan dalam teori Struktural Fungsional maka akan menimbulkan keselarasan antar kehidupan di masyarakat, mungkin fenomena anak jalanan, gelandangan, dan pengemis memang tidak dapat diselesaikan sampai benar-benar menghilang secara instan, tetapi dapat diupayakan secara perlahan agar eksistensi keberadaannya dapat berkurang.

DAFTAR PUSTAKA


Page 2

Keberadaan anak jalanan, gelandangan, dan pengemis tidak dapat dipisahkan dari kehidupan sosial masyarakat. Depsos (2001:20) mendefinisikan bahwa anak jalanan adalah anak yang sebagian besar menghabiskan waktunya untuk mencari nafkah atau berkeliaran di jalanan atau tempat-tempat umum lainnya. Menurut Depsos (2007:5) pengemis adalah orang-orang yang mendapat penghasilan dari meminta-minta di muka umum dengan berbagai alasan untuk mengharapkan belas kasihan dari orang lain. Sedangkan, gelandangan adalah orang-orang yang hidup dalam keadaan tidak sesuai dengan norma-norma kehidupan yang layak dalam masyarakat setempat serta tidak mempunyai tempat tinggal dan pekerjaan yang tetap di wilayah tertentu dan hidup mengembara di tempat umum.

Fenomena anak jalanan, gelandangan, dan pengemis memang sudah biasa ditemukan apalagi di perkotaan salah satunya di Kecamatan Ciledug Kota Tangerang, tidak jarang dari mereka terdapat di lampu merah, pusat perbelanjaaan, di bawah kolong jembatan, di pinggir-pinggir ruko, dan berbagai tempat yang sekiranya ramai didatangi atau dilewati masyarakat. Banyak faktor yang melatar belakangi keberadaan mereka, salah satunya pembangunan yang tidak merata sehingga mengakibatkan banyak kesenjangan sosial. Pembangunan yang tidak merata di setiap daerah mempengaruhi seluruh bidang kehidupan masyarakat mulai dari perekonomian, pendidikan, maupun kesehatan. Faktor penyebab keberadaan mereka yang paling utama merupakan masalah perekonomian, susahnya mencari lapangan pekerjaan ditambah dengan semakin hari semakin mahalnya kebutuhan-kebutuhan yang harus dipenuhi membuat mereka yang merasa sudah tidak memiliki cara lain lagi terpaksa untuk turun ke jalanan. Dampak urbanisasi selain kotanya yang semakin padat, membuat persaingan dalam mencari pekerjaan semakin meningkat. Hal ini diperparah dengan banyaknya masyarakat desa yang melakukan urbanisasi tetapi hanya bermodalkan nekat saja, tanpa memikirkan kemampuan dan soft skill yang harus dimiliki agar dapat bersaing dengan yang lain. Kasus seperti ini justru dapat meningkatkan angka pengangguran di kota-kota.

Pada anak jalanan di Kecamatan Ciledug beberapa ditemui mereka terpaksa turun ke jalan sebagai pengamen, peminta sumbangan, bahkan menjadi 'manusia silver'. Kebanyakan dari mereka harus merelakan berhenti dari bangku sekolah, meskipun beberapa dari mereka masih ada yang dapat melanjutkan pendidikannya. Alasan putus sekolah yang paling utama disebabkan masalah biaya namun beberapa dari mereka ada yang memang sengaja ingin putus sekolah agar dapat lebih lama lagi berada dijalanan untuk mendapatkan uang. Selain karena masalah perekonomian, faktor kekerasan dalam keluarga juga mempengaruhi anak untuk turun ke jalan. Beberapa anak mengakui bahwa mereka turun ke jalanan karena mereka melarikan diri dari rumah, mereka mengatakan bahwa tidak betah dirumah karena selalu menjadi korban kekerasan dari orang tuanya. Jalanan menjadi tempat pelarian bagi para anak-anak yang merasa tidak aman dan nyaman berada dirumah, keluarga yang tidak harmonis dan keluarga yang berasal dari pernikahan ketika usia belum matang sangat rentan untuk memicu keberadaan mereka.

Kemudian, gelandangan dan pengemis yang berada di sekitaran Kecamatan Ciledug kebanyakan mengatakan bahwa mereka malu melakukan hal seperti ini, tetapi mereka tidak memiliki kemampuan lain untuk dapat bertahan hidup. Gelandangan dan pengemis rata-rata merupakan seorang yang sudah paruh baya yang menganggap dirinya sudah sangat kesulitan untuk mendapatkan pekerjaan yang lain selain menunggu belas kasihan dari masyarakat sekitar. Mereka yang menggelandang rata-rata mereka yang hidup sebatang kara dan tidak memiliki tempat tinggal serta biasanya memiliki kecacatan fisik, sedangkan mereka yang mengemis beberapa masih memiliki tempat tinggal dan sanak saudara. Tak jarang ditemukan, dalam melakukan kegiatan mengemisnya mereka membawa pasangan (seperti sepasang suami istri) atau membawa anaknya yang berusia balita maupun anak-anak.

Fenomena anak jalanan, gelandangan, dan pengemis yang berada di sekitar Kecamatan Ciledug sering kali terjaring razia, beberapa dari mereka bahkan terjaring lebih dari satu kali. Ketika terjaring razia mereka mengatakan hanya mendapatkan nasihat dan arahan untuk tidak turun ke jalan lagi karena dapat mengganggu ketertiban dan keindahan kota, namun yang sebenarnya mereka harapkan adalah adanya pelatihan-pelatihan meningkatkan kemampuan yang nantinya dapat dimanfaatkan untuk mendapatkan penghasilan dan diberikan bantuan modal usaha agar tidak perlu lagi turun ke jalanan. Keberadaan mereka di jalanan disebabkan karena tingkat perekonomiannya yang lemah, ditambah pada saat pandemi Covid-19 seperti sekarang ini mereka mengeluhkan kehidupannya yang semakin sulit. Bantuan pemerintah yang dinilai tidak merata dan tidak jelas kapan akan diterima membuat mereka harus tetap turun ke jalanan agar dapat memenuhi kebutuhan hidupnya. Bahkan beberapa dari mereka mengakui bahwa belum pernah mendapatkan bantuan apapun dari pemerintah khususnya selama pandemi Covid-19. Hal ini juga dapat disebabkan karena memang kebanyakan dari mereka tidak memiliki kartu atau surat identitas yang resmi seperti kasus salah seorang pengemis yang berada di lampu merah Kecamatan Ciledug, selain tidak memiliki kartu tanda kependudukan (KTP) dan kartu keluarga (KK) yang membuatnya susah terdaftar dalam nama-nama penerima bantuan sosial dan ternyata anaknya juga tidak memiliki akta kelahiran yang membuatnya susah untuk mendaftar sekolah sehingga tidak bisa bersekolah.

Sebenarnya terdapat pasal didalam undang-undang yang mengatur tentang keberadaan mereka yaitu Pasal 34 ayat 1 UUD 1945 yang berbunyi "fakir miskin dan anak-anak yang terlantar dipelihara oleh negara" berdasarkan pasal tersebut, negara lah yang memiliki peran paling penting dalam menangani keberadaan mereka. Terdapat pula Peraturan Daerah Kota Tangerang No. 5 Tahun 2012 Tentang Pembinaan Anak Jalanan, Gelandangan, Pengemis dan Pengamen yang didalamnya menyatakan bahwa menjadi seorang yang bekerja atau mencari penghidupan di jalanan sangat berbahaya untuk mereka sendiri dikarenakan dapat menjadi sasaran dari pengeksploitasian sehingga perlu adanya pencegahan, pengrehabilitasan, dan pemberdayaan agar mereka dapat hidup mandiri secara layak. Walaupun sudah ada kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah, baik dari pemerintah pusat maupun pemerintah daerah namun keberadaan anak jalanan, gelandangan, dan pengemis masih belum bisa dituntaskan secara efektif. Hal ini dikarenakan keikut sertaan masyarakat dalam membantu melancarkan kebijakan tersebut masih rendah, dapat dilihat masih banyak masyarakat sekitar yang memberikan barang atau uang untuk anak jalanan, gelandangan, dan pengemis. Jika dipikir memang rasanya tidak tega untuk tidak menolong terhadap sesama apalagi terkadang penampilan dari anak jalanan, gelandangan, dan pengemis sangat membuat iba. Namun, ternyata perasaan tersebutlah yang membuat keberadaan mereka masih terjaga eksistensinya sampai sekarang. Selain itu, masyarakat juga merasa tergganggu dengan keberadaan mereka seperti misalnya sedang berada di pusat perbelanjaan atau sebuah rumah makan tiba-tiba didatangi oleh anak jalanan yang mengamen, pengemis, maupun gelandangan sehingga agar mereka cepat pergi masyarakat memberikan sedikit uang maupun membelikan makanan. Adapula, para pengamen yang terkadang suka memaksa dalam meminta uang yang membuat masyarakat merasa risih.

Kemudian kebijakan tentang adanya rumah singgah atau panti sosial pun masih belum memberikan perubahan yang signifikan dikarenakan masih banyak anak jalanan, gelandangan, dan pengemis yang ketika terjaring razia tidak dialihkan untuk berada di rumah singgah. Seperti yang diketahui dibangunnya rumah singgah untuk menangani permasalahan tersebut, akan tetapi banyak dari mereka yang justru tidak tahu bagaimana caranya bisa berada disana untuk mendapatkan pembinaan dan pelatihan-pelatihan keterampilan. Larangan terhadap mereka untuk tidak menjadikan kolong jembatan, pinggiran rel kereta, dan tempat lainnya yang berpotensi merusak keindahan dan ketertiban namun tidak diimbangi dengan pemberian tempat tinggal yang layak dan berharga sewa murah.

Jika dikaitkan dengan teori sosiologi Sturuktural Fungsional milik Robert K. Merton, masing-masing memiliki peran dan fungsi yang harus dijalankan dengan baik dan sesuai jika tidak maka akan menimbulkan ke disfungsian. Sama halnya dengan menangani kasus anak jalanan, gelandangan, dan pengemis, dari mulai pemerintah pusat, pemerintah daerah, RT maupun RW, dan masyarakat punya peran yang harus dijalankan agar masalah ini dapat tertangani. Dari pemerintah pusat dan pemerintah daerah membuat kebijakan atas fenomena keberadaan anak jalanan, gelandangan, dan pengemis, dalam membuat kebijakan sebaiknya dilakukan survey dan pengkajian apakan sekiranya sudah tepat dan efektif, apakah dapat dijalankan dengan baik. Karena seperti yang kita tahu sudah terdapat kebijakan yang dibuat oleh pemerintah namun ternyata dalam kebijakan tersebut tidak memperhatikan bahwa didalamnya masih terdapat beberapa hambatan yang harus dicari terlebih dahulu solusinya, seperti contohnya adanya larangan untuk menjadikan kolong jembatan, pinggiran rel kereta atau pinggir-pinggir ruko untuk dijadikan rumah atau tempat istirahat bagi para anak jalanan, gelandangan, dan pengemis maka seharusnya pemerintah menyiapkan tempat tinggal layak yang gratis atau mungkin dengan harga sewa yang murah agar mereka tidak terlalu dibebankan lagi dengan harga sewa yang semakin hari semakin mahal. Kemudian, adanya tempat-tempat pembinaan atau pelatihan-pelatihan soft skill yang merata di tiap-tiap daerah, baik untuk para remajanya yang akan memasuki usia produktif maupun untuk masyarakat dewasa agar tidak selalu mengandalkan lapangan pekerjaan melainkan dapat membuka peluang usaha yang nantinya berpotensi untuk membuka lapangan usaha. Selanjutnya dalam Undang-undang No. 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia Pasal 12: "Setiap orang berhak atas perlindungan bagi pengembangan pribadinya, untuk memperoleh pendidikan, mencerdaskan dirinya, dan meningkatkan kualitas hidupnya agar menjadi manusia yang beriman, bertaqwa, bertanggungjawab, berakhlak mulia, bahagia dan sejahtera sesuai dengan hak asasi manusia" sehingga seharusnya dalam pendidikan ada kebijakan untuk pendidikan gratis secara merata, karena faktanya banyak pula sekolah negeri yang masih memungut biaya, walaupun tidak terlalu mahal namun untuk sebagian kalangan mungkin itu cukup memberatkan dan dalam melakukan pembagian bantuan sosial harus dilaksanakan secara berkala dan jelas serta adanya pengawasan yang ketat agar dana bantuan tersebut tidak disalahgunakan oleh pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab. Selanjutnya, untuk peran dan fungsi kepala RT RW setempat untuk dapat mendata warga-warganya secara berkala dan membantu mereka yang tidak memiliki surat-surat ataupun kartu identitas yang lengkap dan jelas serta menyalurkan bantuan yang diberikan pemerintah kepada warganya dengan jelas dan transparan agar tidak ada kecemburuan sosial yang menyebabkan konflik antar warga. Kemudian, dari sisi masyarakatnya harus adanya motivasi diri untuk memiliki kehidupan yang layak dengan cara meningkatkan skill dan kemampuan agar dapat bersaing dalam memperoleh pekerjaan, menghilangkan sikap pasrah terhadap nasib dan putus asa karena akan menimbulkan pemikiran bahwa nasib tidak bisa dirubah. Selain itu, upaya pencegahan sangat perlu dilakukan, seperti sosialisasi, pendekatan persuasif dan bimbingan kepada masyarakat, khususnya pengarahan akan pentingnya pendidikan orangtua terhadap anak serta pentingnya memiliki pengetahuan dan keterampilan agar dapat bersaing ketika memasuki usia produktif. Dengan begitu diharapkan dapat mengatasi persoalan anjal gepeng mulai dari akarnya, sehingga terwujud perubahan menuju kota yang lebih tertib.

Dengan masing-masing lapisan menjalankan peran dan fungsinya masing-masing secara baik sesuai dengan apa yang dinyatakan dalam teori Struktural Fungsional maka akan menimbulkan keselarasan antar kehidupan di masyarakat, mungkin fenomena anak jalanan, gelandangan, dan pengemis memang tidak dapat diselesaikan sampai benar-benar menghilang secara instan, tetapi dapat diupayakan secara perlahan agar eksistensi keberadaannya dapat berkurang.

DAFTAR PUSTAKA


Apakah pengemis dan pengamen di pinggir jalan itu tergolong fakir miskin?

Lihat Ilmu Sosbud & Agama Selengkapnya


Page 3

Keberadaan anak jalanan, gelandangan, dan pengemis tidak dapat dipisahkan dari kehidupan sosial masyarakat. Depsos (2001:20) mendefinisikan bahwa anak jalanan adalah anak yang sebagian besar menghabiskan waktunya untuk mencari nafkah atau berkeliaran di jalanan atau tempat-tempat umum lainnya. Menurut Depsos (2007:5) pengemis adalah orang-orang yang mendapat penghasilan dari meminta-minta di muka umum dengan berbagai alasan untuk mengharapkan belas kasihan dari orang lain. Sedangkan, gelandangan adalah orang-orang yang hidup dalam keadaan tidak sesuai dengan norma-norma kehidupan yang layak dalam masyarakat setempat serta tidak mempunyai tempat tinggal dan pekerjaan yang tetap di wilayah tertentu dan hidup mengembara di tempat umum.

Fenomena anak jalanan, gelandangan, dan pengemis memang sudah biasa ditemukan apalagi di perkotaan salah satunya di Kecamatan Ciledug Kota Tangerang, tidak jarang dari mereka terdapat di lampu merah, pusat perbelanjaaan, di bawah kolong jembatan, di pinggir-pinggir ruko, dan berbagai tempat yang sekiranya ramai didatangi atau dilewati masyarakat. Banyak faktor yang melatar belakangi keberadaan mereka, salah satunya pembangunan yang tidak merata sehingga mengakibatkan banyak kesenjangan sosial. Pembangunan yang tidak merata di setiap daerah mempengaruhi seluruh bidang kehidupan masyarakat mulai dari perekonomian, pendidikan, maupun kesehatan. Faktor penyebab keberadaan mereka yang paling utama merupakan masalah perekonomian, susahnya mencari lapangan pekerjaan ditambah dengan semakin hari semakin mahalnya kebutuhan-kebutuhan yang harus dipenuhi membuat mereka yang merasa sudah tidak memiliki cara lain lagi terpaksa untuk turun ke jalanan. Dampak urbanisasi selain kotanya yang semakin padat, membuat persaingan dalam mencari pekerjaan semakin meningkat. Hal ini diperparah dengan banyaknya masyarakat desa yang melakukan urbanisasi tetapi hanya bermodalkan nekat saja, tanpa memikirkan kemampuan dan soft skill yang harus dimiliki agar dapat bersaing dengan yang lain. Kasus seperti ini justru dapat meningkatkan angka pengangguran di kota-kota.

Pada anak jalanan di Kecamatan Ciledug beberapa ditemui mereka terpaksa turun ke jalan sebagai pengamen, peminta sumbangan, bahkan menjadi 'manusia silver'. Kebanyakan dari mereka harus merelakan berhenti dari bangku sekolah, meskipun beberapa dari mereka masih ada yang dapat melanjutkan pendidikannya. Alasan putus sekolah yang paling utama disebabkan masalah biaya namun beberapa dari mereka ada yang memang sengaja ingin putus sekolah agar dapat lebih lama lagi berada dijalanan untuk mendapatkan uang. Selain karena masalah perekonomian, faktor kekerasan dalam keluarga juga mempengaruhi anak untuk turun ke jalan. Beberapa anak mengakui bahwa mereka turun ke jalanan karena mereka melarikan diri dari rumah, mereka mengatakan bahwa tidak betah dirumah karena selalu menjadi korban kekerasan dari orang tuanya. Jalanan menjadi tempat pelarian bagi para anak-anak yang merasa tidak aman dan nyaman berada dirumah, keluarga yang tidak harmonis dan keluarga yang berasal dari pernikahan ketika usia belum matang sangat rentan untuk memicu keberadaan mereka.

Kemudian, gelandangan dan pengemis yang berada di sekitaran Kecamatan Ciledug kebanyakan mengatakan bahwa mereka malu melakukan hal seperti ini, tetapi mereka tidak memiliki kemampuan lain untuk dapat bertahan hidup. Gelandangan dan pengemis rata-rata merupakan seorang yang sudah paruh baya yang menganggap dirinya sudah sangat kesulitan untuk mendapatkan pekerjaan yang lain selain menunggu belas kasihan dari masyarakat sekitar. Mereka yang menggelandang rata-rata mereka yang hidup sebatang kara dan tidak memiliki tempat tinggal serta biasanya memiliki kecacatan fisik, sedangkan mereka yang mengemis beberapa masih memiliki tempat tinggal dan sanak saudara. Tak jarang ditemukan, dalam melakukan kegiatan mengemisnya mereka membawa pasangan (seperti sepasang suami istri) atau membawa anaknya yang berusia balita maupun anak-anak.

Fenomena anak jalanan, gelandangan, dan pengemis yang berada di sekitar Kecamatan Ciledug sering kali terjaring razia, beberapa dari mereka bahkan terjaring lebih dari satu kali. Ketika terjaring razia mereka mengatakan hanya mendapatkan nasihat dan arahan untuk tidak turun ke jalan lagi karena dapat mengganggu ketertiban dan keindahan kota, namun yang sebenarnya mereka harapkan adalah adanya pelatihan-pelatihan meningkatkan kemampuan yang nantinya dapat dimanfaatkan untuk mendapatkan penghasilan dan diberikan bantuan modal usaha agar tidak perlu lagi turun ke jalanan. Keberadaan mereka di jalanan disebabkan karena tingkat perekonomiannya yang lemah, ditambah pada saat pandemi Covid-19 seperti sekarang ini mereka mengeluhkan kehidupannya yang semakin sulit. Bantuan pemerintah yang dinilai tidak merata dan tidak jelas kapan akan diterima membuat mereka harus tetap turun ke jalanan agar dapat memenuhi kebutuhan hidupnya. Bahkan beberapa dari mereka mengakui bahwa belum pernah mendapatkan bantuan apapun dari pemerintah khususnya selama pandemi Covid-19. Hal ini juga dapat disebabkan karena memang kebanyakan dari mereka tidak memiliki kartu atau surat identitas yang resmi seperti kasus salah seorang pengemis yang berada di lampu merah Kecamatan Ciledug, selain tidak memiliki kartu tanda kependudukan (KTP) dan kartu keluarga (KK) yang membuatnya susah terdaftar dalam nama-nama penerima bantuan sosial dan ternyata anaknya juga tidak memiliki akta kelahiran yang membuatnya susah untuk mendaftar sekolah sehingga tidak bisa bersekolah.

Sebenarnya terdapat pasal didalam undang-undang yang mengatur tentang keberadaan mereka yaitu Pasal 34 ayat 1 UUD 1945 yang berbunyi "fakir miskin dan anak-anak yang terlantar dipelihara oleh negara" berdasarkan pasal tersebut, negara lah yang memiliki peran paling penting dalam menangani keberadaan mereka. Terdapat pula Peraturan Daerah Kota Tangerang No. 5 Tahun 2012 Tentang Pembinaan Anak Jalanan, Gelandangan, Pengemis dan Pengamen yang didalamnya menyatakan bahwa menjadi seorang yang bekerja atau mencari penghidupan di jalanan sangat berbahaya untuk mereka sendiri dikarenakan dapat menjadi sasaran dari pengeksploitasian sehingga perlu adanya pencegahan, pengrehabilitasan, dan pemberdayaan agar mereka dapat hidup mandiri secara layak. Walaupun sudah ada kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah, baik dari pemerintah pusat maupun pemerintah daerah namun keberadaan anak jalanan, gelandangan, dan pengemis masih belum bisa dituntaskan secara efektif. Hal ini dikarenakan keikut sertaan masyarakat dalam membantu melancarkan kebijakan tersebut masih rendah, dapat dilihat masih banyak masyarakat sekitar yang memberikan barang atau uang untuk anak jalanan, gelandangan, dan pengemis. Jika dipikir memang rasanya tidak tega untuk tidak menolong terhadap sesama apalagi terkadang penampilan dari anak jalanan, gelandangan, dan pengemis sangat membuat iba. Namun, ternyata perasaan tersebutlah yang membuat keberadaan mereka masih terjaga eksistensinya sampai sekarang. Selain itu, masyarakat juga merasa tergganggu dengan keberadaan mereka seperti misalnya sedang berada di pusat perbelanjaan atau sebuah rumah makan tiba-tiba didatangi oleh anak jalanan yang mengamen, pengemis, maupun gelandangan sehingga agar mereka cepat pergi masyarakat memberikan sedikit uang maupun membelikan makanan. Adapula, para pengamen yang terkadang suka memaksa dalam meminta uang yang membuat masyarakat merasa risih.

Kemudian kebijakan tentang adanya rumah singgah atau panti sosial pun masih belum memberikan perubahan yang signifikan dikarenakan masih banyak anak jalanan, gelandangan, dan pengemis yang ketika terjaring razia tidak dialihkan untuk berada di rumah singgah. Seperti yang diketahui dibangunnya rumah singgah untuk menangani permasalahan tersebut, akan tetapi banyak dari mereka yang justru tidak tahu bagaimana caranya bisa berada disana untuk mendapatkan pembinaan dan pelatihan-pelatihan keterampilan. Larangan terhadap mereka untuk tidak menjadikan kolong jembatan, pinggiran rel kereta, dan tempat lainnya yang berpotensi merusak keindahan dan ketertiban namun tidak diimbangi dengan pemberian tempat tinggal yang layak dan berharga sewa murah.

Jika dikaitkan dengan teori sosiologi Sturuktural Fungsional milik Robert K. Merton, masing-masing memiliki peran dan fungsi yang harus dijalankan dengan baik dan sesuai jika tidak maka akan menimbulkan ke disfungsian. Sama halnya dengan menangani kasus anak jalanan, gelandangan, dan pengemis, dari mulai pemerintah pusat, pemerintah daerah, RT maupun RW, dan masyarakat punya peran yang harus dijalankan agar masalah ini dapat tertangani. Dari pemerintah pusat dan pemerintah daerah membuat kebijakan atas fenomena keberadaan anak jalanan, gelandangan, dan pengemis, dalam membuat kebijakan sebaiknya dilakukan survey dan pengkajian apakan sekiranya sudah tepat dan efektif, apakah dapat dijalankan dengan baik. Karena seperti yang kita tahu sudah terdapat kebijakan yang dibuat oleh pemerintah namun ternyata dalam kebijakan tersebut tidak memperhatikan bahwa didalamnya masih terdapat beberapa hambatan yang harus dicari terlebih dahulu solusinya, seperti contohnya adanya larangan untuk menjadikan kolong jembatan, pinggiran rel kereta atau pinggir-pinggir ruko untuk dijadikan rumah atau tempat istirahat bagi para anak jalanan, gelandangan, dan pengemis maka seharusnya pemerintah menyiapkan tempat tinggal layak yang gratis atau mungkin dengan harga sewa yang murah agar mereka tidak terlalu dibebankan lagi dengan harga sewa yang semakin hari semakin mahal. Kemudian, adanya tempat-tempat pembinaan atau pelatihan-pelatihan soft skill yang merata di tiap-tiap daerah, baik untuk para remajanya yang akan memasuki usia produktif maupun untuk masyarakat dewasa agar tidak selalu mengandalkan lapangan pekerjaan melainkan dapat membuka peluang usaha yang nantinya berpotensi untuk membuka lapangan usaha. Selanjutnya dalam Undang-undang No. 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia Pasal 12: "Setiap orang berhak atas perlindungan bagi pengembangan pribadinya, untuk memperoleh pendidikan, mencerdaskan dirinya, dan meningkatkan kualitas hidupnya agar menjadi manusia yang beriman, bertaqwa, bertanggungjawab, berakhlak mulia, bahagia dan sejahtera sesuai dengan hak asasi manusia" sehingga seharusnya dalam pendidikan ada kebijakan untuk pendidikan gratis secara merata, karena faktanya banyak pula sekolah negeri yang masih memungut biaya, walaupun tidak terlalu mahal namun untuk sebagian kalangan mungkin itu cukup memberatkan dan dalam melakukan pembagian bantuan sosial harus dilaksanakan secara berkala dan jelas serta adanya pengawasan yang ketat agar dana bantuan tersebut tidak disalahgunakan oleh pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab. Selanjutnya, untuk peran dan fungsi kepala RT RW setempat untuk dapat mendata warga-warganya secara berkala dan membantu mereka yang tidak memiliki surat-surat ataupun kartu identitas yang lengkap dan jelas serta menyalurkan bantuan yang diberikan pemerintah kepada warganya dengan jelas dan transparan agar tidak ada kecemburuan sosial yang menyebabkan konflik antar warga. Kemudian, dari sisi masyarakatnya harus adanya motivasi diri untuk memiliki kehidupan yang layak dengan cara meningkatkan skill dan kemampuan agar dapat bersaing dalam memperoleh pekerjaan, menghilangkan sikap pasrah terhadap nasib dan putus asa karena akan menimbulkan pemikiran bahwa nasib tidak bisa dirubah. Selain itu, upaya pencegahan sangat perlu dilakukan, seperti sosialisasi, pendekatan persuasif dan bimbingan kepada masyarakat, khususnya pengarahan akan pentingnya pendidikan orangtua terhadap anak serta pentingnya memiliki pengetahuan dan keterampilan agar dapat bersaing ketika memasuki usia produktif. Dengan begitu diharapkan dapat mengatasi persoalan anjal gepeng mulai dari akarnya, sehingga terwujud perubahan menuju kota yang lebih tertib.

Dengan masing-masing lapisan menjalankan peran dan fungsinya masing-masing secara baik sesuai dengan apa yang dinyatakan dalam teori Struktural Fungsional maka akan menimbulkan keselarasan antar kehidupan di masyarakat, mungkin fenomena anak jalanan, gelandangan, dan pengemis memang tidak dapat diselesaikan sampai benar-benar menghilang secara instan, tetapi dapat diupayakan secara perlahan agar eksistensi keberadaannya dapat berkurang.

DAFTAR PUSTAKA


Apakah pengemis dan pengamen di pinggir jalan itu tergolong fakir miskin?

Lihat Ilmu Sosbud & Agama Selengkapnya


Page 4

Keberadaan anak jalanan, gelandangan, dan pengemis tidak dapat dipisahkan dari kehidupan sosial masyarakat. Depsos (2001:20) mendefinisikan bahwa anak jalanan adalah anak yang sebagian besar menghabiskan waktunya untuk mencari nafkah atau berkeliaran di jalanan atau tempat-tempat umum lainnya. Menurut Depsos (2007:5) pengemis adalah orang-orang yang mendapat penghasilan dari meminta-minta di muka umum dengan berbagai alasan untuk mengharapkan belas kasihan dari orang lain. Sedangkan, gelandangan adalah orang-orang yang hidup dalam keadaan tidak sesuai dengan norma-norma kehidupan yang layak dalam masyarakat setempat serta tidak mempunyai tempat tinggal dan pekerjaan yang tetap di wilayah tertentu dan hidup mengembara di tempat umum.

Fenomena anak jalanan, gelandangan, dan pengemis memang sudah biasa ditemukan apalagi di perkotaan salah satunya di Kecamatan Ciledug Kota Tangerang, tidak jarang dari mereka terdapat di lampu merah, pusat perbelanjaaan, di bawah kolong jembatan, di pinggir-pinggir ruko, dan berbagai tempat yang sekiranya ramai didatangi atau dilewati masyarakat. Banyak faktor yang melatar belakangi keberadaan mereka, salah satunya pembangunan yang tidak merata sehingga mengakibatkan banyak kesenjangan sosial. Pembangunan yang tidak merata di setiap daerah mempengaruhi seluruh bidang kehidupan masyarakat mulai dari perekonomian, pendidikan, maupun kesehatan. Faktor penyebab keberadaan mereka yang paling utama merupakan masalah perekonomian, susahnya mencari lapangan pekerjaan ditambah dengan semakin hari semakin mahalnya kebutuhan-kebutuhan yang harus dipenuhi membuat mereka yang merasa sudah tidak memiliki cara lain lagi terpaksa untuk turun ke jalanan. Dampak urbanisasi selain kotanya yang semakin padat, membuat persaingan dalam mencari pekerjaan semakin meningkat. Hal ini diperparah dengan banyaknya masyarakat desa yang melakukan urbanisasi tetapi hanya bermodalkan nekat saja, tanpa memikirkan kemampuan dan soft skill yang harus dimiliki agar dapat bersaing dengan yang lain. Kasus seperti ini justru dapat meningkatkan angka pengangguran di kota-kota.

Pada anak jalanan di Kecamatan Ciledug beberapa ditemui mereka terpaksa turun ke jalan sebagai pengamen, peminta sumbangan, bahkan menjadi 'manusia silver'. Kebanyakan dari mereka harus merelakan berhenti dari bangku sekolah, meskipun beberapa dari mereka masih ada yang dapat melanjutkan pendidikannya. Alasan putus sekolah yang paling utama disebabkan masalah biaya namun beberapa dari mereka ada yang memang sengaja ingin putus sekolah agar dapat lebih lama lagi berada dijalanan untuk mendapatkan uang. Selain karena masalah perekonomian, faktor kekerasan dalam keluarga juga mempengaruhi anak untuk turun ke jalan. Beberapa anak mengakui bahwa mereka turun ke jalanan karena mereka melarikan diri dari rumah, mereka mengatakan bahwa tidak betah dirumah karena selalu menjadi korban kekerasan dari orang tuanya. Jalanan menjadi tempat pelarian bagi para anak-anak yang merasa tidak aman dan nyaman berada dirumah, keluarga yang tidak harmonis dan keluarga yang berasal dari pernikahan ketika usia belum matang sangat rentan untuk memicu keberadaan mereka.

Kemudian, gelandangan dan pengemis yang berada di sekitaran Kecamatan Ciledug kebanyakan mengatakan bahwa mereka malu melakukan hal seperti ini, tetapi mereka tidak memiliki kemampuan lain untuk dapat bertahan hidup. Gelandangan dan pengemis rata-rata merupakan seorang yang sudah paruh baya yang menganggap dirinya sudah sangat kesulitan untuk mendapatkan pekerjaan yang lain selain menunggu belas kasihan dari masyarakat sekitar. Mereka yang menggelandang rata-rata mereka yang hidup sebatang kara dan tidak memiliki tempat tinggal serta biasanya memiliki kecacatan fisik, sedangkan mereka yang mengemis beberapa masih memiliki tempat tinggal dan sanak saudara. Tak jarang ditemukan, dalam melakukan kegiatan mengemisnya mereka membawa pasangan (seperti sepasang suami istri) atau membawa anaknya yang berusia balita maupun anak-anak.

Fenomena anak jalanan, gelandangan, dan pengemis yang berada di sekitar Kecamatan Ciledug sering kali terjaring razia, beberapa dari mereka bahkan terjaring lebih dari satu kali. Ketika terjaring razia mereka mengatakan hanya mendapatkan nasihat dan arahan untuk tidak turun ke jalan lagi karena dapat mengganggu ketertiban dan keindahan kota, namun yang sebenarnya mereka harapkan adalah adanya pelatihan-pelatihan meningkatkan kemampuan yang nantinya dapat dimanfaatkan untuk mendapatkan penghasilan dan diberikan bantuan modal usaha agar tidak perlu lagi turun ke jalanan. Keberadaan mereka di jalanan disebabkan karena tingkat perekonomiannya yang lemah, ditambah pada saat pandemi Covid-19 seperti sekarang ini mereka mengeluhkan kehidupannya yang semakin sulit. Bantuan pemerintah yang dinilai tidak merata dan tidak jelas kapan akan diterima membuat mereka harus tetap turun ke jalanan agar dapat memenuhi kebutuhan hidupnya. Bahkan beberapa dari mereka mengakui bahwa belum pernah mendapatkan bantuan apapun dari pemerintah khususnya selama pandemi Covid-19. Hal ini juga dapat disebabkan karena memang kebanyakan dari mereka tidak memiliki kartu atau surat identitas yang resmi seperti kasus salah seorang pengemis yang berada di lampu merah Kecamatan Ciledug, selain tidak memiliki kartu tanda kependudukan (KTP) dan kartu keluarga (KK) yang membuatnya susah terdaftar dalam nama-nama penerima bantuan sosial dan ternyata anaknya juga tidak memiliki akta kelahiran yang membuatnya susah untuk mendaftar sekolah sehingga tidak bisa bersekolah.

Sebenarnya terdapat pasal didalam undang-undang yang mengatur tentang keberadaan mereka yaitu Pasal 34 ayat 1 UUD 1945 yang berbunyi "fakir miskin dan anak-anak yang terlantar dipelihara oleh negara" berdasarkan pasal tersebut, negara lah yang memiliki peran paling penting dalam menangani keberadaan mereka. Terdapat pula Peraturan Daerah Kota Tangerang No. 5 Tahun 2012 Tentang Pembinaan Anak Jalanan, Gelandangan, Pengemis dan Pengamen yang didalamnya menyatakan bahwa menjadi seorang yang bekerja atau mencari penghidupan di jalanan sangat berbahaya untuk mereka sendiri dikarenakan dapat menjadi sasaran dari pengeksploitasian sehingga perlu adanya pencegahan, pengrehabilitasan, dan pemberdayaan agar mereka dapat hidup mandiri secara layak. Walaupun sudah ada kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah, baik dari pemerintah pusat maupun pemerintah daerah namun keberadaan anak jalanan, gelandangan, dan pengemis masih belum bisa dituntaskan secara efektif. Hal ini dikarenakan keikut sertaan masyarakat dalam membantu melancarkan kebijakan tersebut masih rendah, dapat dilihat masih banyak masyarakat sekitar yang memberikan barang atau uang untuk anak jalanan, gelandangan, dan pengemis. Jika dipikir memang rasanya tidak tega untuk tidak menolong terhadap sesama apalagi terkadang penampilan dari anak jalanan, gelandangan, dan pengemis sangat membuat iba. Namun, ternyata perasaan tersebutlah yang membuat keberadaan mereka masih terjaga eksistensinya sampai sekarang. Selain itu, masyarakat juga merasa tergganggu dengan keberadaan mereka seperti misalnya sedang berada di pusat perbelanjaan atau sebuah rumah makan tiba-tiba didatangi oleh anak jalanan yang mengamen, pengemis, maupun gelandangan sehingga agar mereka cepat pergi masyarakat memberikan sedikit uang maupun membelikan makanan. Adapula, para pengamen yang terkadang suka memaksa dalam meminta uang yang membuat masyarakat merasa risih.

Kemudian kebijakan tentang adanya rumah singgah atau panti sosial pun masih belum memberikan perubahan yang signifikan dikarenakan masih banyak anak jalanan, gelandangan, dan pengemis yang ketika terjaring razia tidak dialihkan untuk berada di rumah singgah. Seperti yang diketahui dibangunnya rumah singgah untuk menangani permasalahan tersebut, akan tetapi banyak dari mereka yang justru tidak tahu bagaimana caranya bisa berada disana untuk mendapatkan pembinaan dan pelatihan-pelatihan keterampilan. Larangan terhadap mereka untuk tidak menjadikan kolong jembatan, pinggiran rel kereta, dan tempat lainnya yang berpotensi merusak keindahan dan ketertiban namun tidak diimbangi dengan pemberian tempat tinggal yang layak dan berharga sewa murah.

Jika dikaitkan dengan teori sosiologi Sturuktural Fungsional milik Robert K. Merton, masing-masing memiliki peran dan fungsi yang harus dijalankan dengan baik dan sesuai jika tidak maka akan menimbulkan ke disfungsian. Sama halnya dengan menangani kasus anak jalanan, gelandangan, dan pengemis, dari mulai pemerintah pusat, pemerintah daerah, RT maupun RW, dan masyarakat punya peran yang harus dijalankan agar masalah ini dapat tertangani. Dari pemerintah pusat dan pemerintah daerah membuat kebijakan atas fenomena keberadaan anak jalanan, gelandangan, dan pengemis, dalam membuat kebijakan sebaiknya dilakukan survey dan pengkajian apakan sekiranya sudah tepat dan efektif, apakah dapat dijalankan dengan baik. Karena seperti yang kita tahu sudah terdapat kebijakan yang dibuat oleh pemerintah namun ternyata dalam kebijakan tersebut tidak memperhatikan bahwa didalamnya masih terdapat beberapa hambatan yang harus dicari terlebih dahulu solusinya, seperti contohnya adanya larangan untuk menjadikan kolong jembatan, pinggiran rel kereta atau pinggir-pinggir ruko untuk dijadikan rumah atau tempat istirahat bagi para anak jalanan, gelandangan, dan pengemis maka seharusnya pemerintah menyiapkan tempat tinggal layak yang gratis atau mungkin dengan harga sewa yang murah agar mereka tidak terlalu dibebankan lagi dengan harga sewa yang semakin hari semakin mahal. Kemudian, adanya tempat-tempat pembinaan atau pelatihan-pelatihan soft skill yang merata di tiap-tiap daerah, baik untuk para remajanya yang akan memasuki usia produktif maupun untuk masyarakat dewasa agar tidak selalu mengandalkan lapangan pekerjaan melainkan dapat membuka peluang usaha yang nantinya berpotensi untuk membuka lapangan usaha. Selanjutnya dalam Undang-undang No. 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia Pasal 12: "Setiap orang berhak atas perlindungan bagi pengembangan pribadinya, untuk memperoleh pendidikan, mencerdaskan dirinya, dan meningkatkan kualitas hidupnya agar menjadi manusia yang beriman, bertaqwa, bertanggungjawab, berakhlak mulia, bahagia dan sejahtera sesuai dengan hak asasi manusia" sehingga seharusnya dalam pendidikan ada kebijakan untuk pendidikan gratis secara merata, karena faktanya banyak pula sekolah negeri yang masih memungut biaya, walaupun tidak terlalu mahal namun untuk sebagian kalangan mungkin itu cukup memberatkan dan dalam melakukan pembagian bantuan sosial harus dilaksanakan secara berkala dan jelas serta adanya pengawasan yang ketat agar dana bantuan tersebut tidak disalahgunakan oleh pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab. Selanjutnya, untuk peran dan fungsi kepala RT RW setempat untuk dapat mendata warga-warganya secara berkala dan membantu mereka yang tidak memiliki surat-surat ataupun kartu identitas yang lengkap dan jelas serta menyalurkan bantuan yang diberikan pemerintah kepada warganya dengan jelas dan transparan agar tidak ada kecemburuan sosial yang menyebabkan konflik antar warga. Kemudian, dari sisi masyarakatnya harus adanya motivasi diri untuk memiliki kehidupan yang layak dengan cara meningkatkan skill dan kemampuan agar dapat bersaing dalam memperoleh pekerjaan, menghilangkan sikap pasrah terhadap nasib dan putus asa karena akan menimbulkan pemikiran bahwa nasib tidak bisa dirubah. Selain itu, upaya pencegahan sangat perlu dilakukan, seperti sosialisasi, pendekatan persuasif dan bimbingan kepada masyarakat, khususnya pengarahan akan pentingnya pendidikan orangtua terhadap anak serta pentingnya memiliki pengetahuan dan keterampilan agar dapat bersaing ketika memasuki usia produktif. Dengan begitu diharapkan dapat mengatasi persoalan anjal gepeng mulai dari akarnya, sehingga terwujud perubahan menuju kota yang lebih tertib.

Dengan masing-masing lapisan menjalankan peran dan fungsinya masing-masing secara baik sesuai dengan apa yang dinyatakan dalam teori Struktural Fungsional maka akan menimbulkan keselarasan antar kehidupan di masyarakat, mungkin fenomena anak jalanan, gelandangan, dan pengemis memang tidak dapat diselesaikan sampai benar-benar menghilang secara instan, tetapi dapat diupayakan secara perlahan agar eksistensi keberadaannya dapat berkurang.

DAFTAR PUSTAKA


Apakah pengemis dan pengamen di pinggir jalan itu tergolong fakir miskin?

Lihat Ilmu Sosbud & Agama Selengkapnya