Hilangnya keanekaragaman hayati merupakan peristiwa penurunan keanekaragaman hayati (biodiversitas) yang antara lain disebabkan oleh punahnya spesies (tumbuhan atau hewan) di seluruh dunia, serta pengurangan atau hilangnya spesies secara lokal di habitat tertentu. Fenomena terakhir ini dapat bersifat sementara atau permanen, tergantung pada apakah degradasi lingkungan yang menyebabkan hilangnya spesies tersebut dapat dipulihkan melalui restorasi ekologis atau ketahanan ekologis, atau terjadi secara permanen (misalnya akibat hilangnya lahan). Kepunahan global sejauh ini terbukti tidak dapat diubah.
Hilangnya spesies secara permanen dalam lingkup global merupakan fenomena yang lebih dramatis dibandingkan perubahan komposisi spesies dalam lingkup regional. Meskipun demikian, perubahan kecil pada kondisi biodiversitas yang stabil dan sehat dapat berpengaruh dramatis pada jaring-jaring makanan dan rantai makanan. Hilangnya satu spesies dapat berdampak buruk pada keseluruhan rantai yang mengarah pada penurunan keseluruhan keanekaragaman hayati. Keanekaragaman hayati yang berkurang juga mengarah pada penurunan manfaat ekosistem dan pada akhirnya menimbulkan bahaya langsung bagi ketahanan pangan, yang berdampak bagi umat manusia.[1] Faktor utama yang mengakibatkan stres biotik dan laju hilangnya biodiversitas yang semakin cepat (selain ancaman lainnya) adalah:[2]
SETIAP 22 Mei diperingati sebagai Hari Keanekaragaman Hayati Dunia. Sudah sepatutnya kita menjaga kelestariannya dengan berbagai cara. Data WWF dalam rentang waktu 1970 sampai dengan 2014, lebih dari 60% populasi mamalia, burung, ikan, dan reptil telah lenyap. Salah satu faktornya adalah pola makan dengan produk hewani. Juru Kampanye Perlindungan Hewan dari Sinergia Animal Diah Pitaloka mengatakan, ketidakseimbangan ini bukan hanya beresiko membahayakan hewan. Berkurangnya ekosistem alami juga berpengaruh pada ancaman kehidupan manusia di bumi, "Hewan dan tumbuhan berperan penting dalam mengatur bumi yang kita tinggali melalui suhu, iklim, dan penyerbukan,” ungkap Dian. Dia juga menjelaskan berbagai langkah yang mengakibatkan kurangnya populasi keanekaragaman hayati di dunia. Berikut ulasannya yang dirangkum Okezone. Mencegah hilangnya habitat
Berdasarkan Organisasi Pangan dan Pertanian PBB (FAO), 80% lahan pertanian di dunia digunakan untuk hewan ternak. Hal ini menyebabkan kerusakan yang signfikan terhadap hutan hujan, yang membahayakan satwa liar yang menjadi salah satu penyebab utama deforestasi di Hutan Amazon di Brazil dan Hutan Cerrado. "Indonesia mengimpor kedelai dari Brazil untuk diberi makan ke hewan ternak. Saat kita mengurangi konsumsi produk daging, kita mengurangi permintaan jenis produk tersebut sehingga mengurangi beban lahan yang dipakai. Produksi sayur-sayuran untuk konsumsi manusia membutuhkan lahan yang jauh lebih sedikit,” jelas Dian.
Tidak ada lagi pemusnahan hewan liar Para peternak menganggap hewan liar sebagai ancaman untuk produksi. Contohnya bison, kangguru, zebra dan kerbau bersaing dengan hewan ternak untuk merumput, serta ular dan keluarga kucing besar yang memangsa hewan ternak. Jangan biarkan hewan liar kelaparan Untuk menjaga hewan liar jauh dari lahannya, para peternak membangun pagar yang dapat menghalangi rute migrasi jutaan hewan. Jika mereka tidak dapat melanjutkan migrasinya, banyak hewan yang dapat sekarat karena dehidrasi atau kelaparan. Tentunya keadaan tidak harus seperti ini. Polusi air Mayoritas air yang dikonsumsi oleh hewan ternak kembali ke alam dalam bentuk pupuk cair, zat yang sarat akan patogen, logam berat, residu obat, hormon, antibiotik. Berdasarkan Organisasi Pangan dan Pertanian PBB (FAO) limbah tersebut menyerap banyak oksigen yang menyebabkan adanya pertumbuhan ganggang berlebih di danau, waduk, atau daerah pesisir. Selain oksigen, ganggang juga menghasilkan toksin yang mengancam spesies lain untuk bertahan hidup. Cegah terjadinya perubahan iklim Hewan ternak berkontribusi sebanyak 14,5% sampai 18% jumlah emisi gas rumah kaca yang dihasilkan manusia. “Tidak dapat dipungkiri bahwa peternakan hewan berperan secara signifikan dalam perubahan iklim dan juga kerusakan lingkungan sebagai dampaknya,” ungkap Dian. Mengurangi tekanan biota laut Berdasarkan Unesco, jika tidak ada perubahan, di tahun 2100 lebih dari setengah dari spesies biota laut berada dalam ancaman kepunahan. Penyebabnya karena terjadi penangkapan ikan yang berlebihan. |