Apa arti subjektivitas dalam penulisan sejarah?

a.Subjektivitas      

Subjektivitas adalah kesaksian atau tafsiran yang merupakan gambaran hasil parasaan atau pikiran manusia. Jadi, subjektivitas adalah suatu sikap yang memihak dipengaruhi oleh pendapat pribadi atau golongan,  dan dipengaruhi oleh nilai-nilai yang melingkupinya. Dalam sejarah sukyektifitas banyak terdapat dalam proses interpretasi. Sejarah, dalam mengungkapkan faktanya membutuhkan interpretasi dan interpretasi melibatkan subyek. Dalam subjektivisme, dimana objek tidak lagi dipandang sebagaimana seharusnya, tetapi dipandang sebagai kreasi dan konstruksi akal budi. subjektif diperbolehkan selama tidak mengandung subjektivistik yang diserahkan kepada kesewenang-wenangan subjek, dan konsekuensinya tidak lagi real sebagai objektif.

Dalam suatu peninggalan sejarah, seorang sejarawan menggunakan analisis dan penafsirannya. Di sinilah akan muncul subjektivitas dalam penulisan sejarah. Dia berusaha untuk menerangkan mengapa,  bagaimana peristiwa terjadi dan mengapa saling berhubungan dengan peristiwa lain serta berupaya  menceritakan apa, bilamana, dimana terjadi dan siapa yang ikut serta didalamnya. Sehingga dalam penulisannya lebih bermakna.

Dalam merekonstruksi suatu peristiwa sejarah tidaklah akan untuk bagaimana peristiwa itu terjadi dimasa lampau. Hal ini disebabkan karena banyaknya hal atau rangkaian peristiwa yang hilang atau memang sengaja dihilangkan. Karena alasan itu juga, penafsiran dari seorang sejarawan sangat diperlukan untuk menghubungkan suatu peristiwa dengan peristiwa yang lain. Sehingga mendekati kebenaran. Dari sini dapat dilihat bahwa suatu penulisan peristiwa sejarah itu tidak dapat lepas dari unsur subjektivitas. Karena dalam penulisan sejarah itu tidak dapat objektif 100%. Dalam penulisan sejarah, seseorang tidak dapat melepaskan subjektifitasnya. Terdapat 2 faktor utama yang dapat menjadikan suatu penulisan sejarah bersifat subjektif, yaitu :

1.      Pemihakan pribadi (personal bias) : Persoalan suka atau tidak suka pribadi terhadap individu-individu atau golongan dari seseorang dapat mempengaruhi subjektivitas dari penulisan sejarah.

2.      Prasangka kelompok (group prejudice) : Keanggotaan sejarawan dalam suatu kelompok (ras, golongan, bangsa, agama) dapat membuat mereka memiliki pandangan yang bersifat subjektif dalam mengamati suatu peristiwa sejarah.

b.Objektivitas

Objektivitas adalah hal-hal yang bisa diukur yang ada di luar pikiran atau persepsi manusia.  Sikap objektifitas  tidak akan dipengaruhi oleh pendapat pribadi atau golongan didalam mengambil keputusan.  Jadi, objektivitas adalah usaha mendekatkan diri pada obyek atau dengan kata lain berarti bertanggung jawab pada kebenaran objek. Seorang sejarawan dalam merekonstruksi sejarah, harus mendekati objektivitas, karena akan didapat gambaran rekonstruksi yang mendekati kebenaran.

Dalam merekonstruksi suatu peristiwa sejarah diperlukan bukti-bukti sejarah atau lebih tepatnya fakta sejarah. Fakta atau peninggalan sejarah itu disebut objek, baik yang bersifat artifak, dokumen tertulis, dan lain sebagainya. Sejarawan selalu dituntut supaya dengan sadar dan jujur mengikatkan diri pada objek dan berfikir secara objektif. Seorang sejarawan dalam penulisan atau rekonstruksi suatu peristiwa sejarah diharapkan untuk tidak memihak. Maksudnya tidak terpaku secara subjektif 100% maupun objektif 100%.  Kendati demikian, sejarawan tetap tidak bisa objektif secara total. Hal ini diakibatkan keterbatasan sumber yang ditemukan dan faktor lainnya.

Nilai karya sejarawan akan selalu tergantung pada nilai objektivitasnya. Suatu karya sejarah akan jauh nilainya lebih baik apabila sejarawan dengan sengaja tidak objektif. Arti sederhana dari kata objektifitas dalam sejarah objektif adalah sejarah dalam kenyataan, jadi kejadian itu terlepas dari subjek.

Unsur yang harus ada dalam sejarah objektif adalah:

  1. Kebenaran mutlak
  2. Sesuai dengan kenyataan, termasuk juga yang tersembunyi.
  3. Tidak memihak dan tidak terikat
  4. Kondisi – kondisi yang harus lengkap untuk semua peristiwa

Seorang sejarawan asal Amerika Serikat, Garraghan mengatakan bahwa  yang dimaksud dengan objektivitas sejarah adalah:

Ø  Objektivitas tidak berarti menuntut agar sejarawan bebas sepenuhnya dari kecurigaan-kecurigaan awal yang bersifat sosial, politis, agama, atau lainnya.

Ø  Objektivitas tidak berarti menuntut agar sejarawan mendekati tugasnya terlepas dari semua perinsip, teori dan falsafah hidupnya.

Ø  Obyektifitas tidak berarti menuntut agar sejarawan bebas dari simpati terhadap obyeknya.

Ø  Objektivitas tidak berarti menuntut agar pembaca mengekang diri dari penilaian atau penarikan konklusi.

Ø  Objektivitas sejarawan tidak berarti bahwa semua situasi yang menimbulkan peristiwa historis dicatat sesuai dengan kejadiannya.

c.Kesimpulan

Objektivitas dan subjektivitas merupakan dua kata yang seringkali salah difahami oleh sebagian orang terutama dalam penulisan sejarah. Padahal kata objektif dalam penulisan sejarah mengacu pada peristiwa yang sebenarnya terjadi dan tidak bisa terulang lagi. Sedangkan sejarah yang subjektif merupakan gambaran dari peristiwa sejarah yang di tulis oleh seorang sejarawan. Karena itu kedua-duanya merupakan bagian dari penulisan sejarah.

Full PDF PackageDownload Full PDF Package

This Paper

A short summary of this paper

37 Full PDFs related to this paper

Download

PDF Pack

You're Reading a Free Preview
Pages 5 to 7 are not shown in this preview.

Oleh DIAN KURNIA

Apa arti subjektivitas dalam penulisan sejarah?
SEBAGAI sebuah kesepakatan bersama bahwa bangsa yang besar adalah bangsa yang menghargai sejarah bangsanya sendiri, sejarah menjadi semacam tolak ukur kesuksesan di masa depan. Bangsa yang tidak pernah menoleh ke belakang, atau tidak mau mempertimbangkan masa lampau, tidak akan dapat mencapai dan menggapai tujuan di masa depan. Alasannya adalah karena sejarah merupakan saksi sekaligus bukti yang tidak saja menggambarkan realitas (kenyataan) dan kenangan-kenangan indah, tapi juga menyuguhkan kebenaran peristiwa yang bisa dijadikan pedoman hidup bagi masa kini, dan bahkan, bagi masa depan kelak.

Historia Magistra Vitae yang berarti sejarah adalah guru terbaik dalam kehidupan umat manusia jika ia mau benar-benar berguru kepadanya. Sejarah sarat akan nilai kehidupan yang tak ada pada aspek lain. Benar bahwa jika ada ungkapan, sejarah sebagai refleksi kehidupan manusia di masa lampau untuk masa kini dan masa depan. Aktualisasi masa lampau secara komprehensif mampu menghidupkan kembali semangat perjuangan dalam menegakkan cita-cita.

Kajian ilmu sejarah secara komprehensif berperan sebagai alat untuk mengorganisasikan seluruh tubuh pengetahuannya serta menstrukturisasi pikiran, yaitu metode sejarah. Dari pengertian bahwa sejarah sebagai cerita tentang peristiwa di masa lampau, yang mengungkapkan fakta-fakta mengenai apa, siapa, kapan, dan di mana, juga menerangkan bagaimana sesuatu telah terjadi. Aspek ini mengundang sisi psikis dari seorang sejarawan untuk melakukan rekonstruksi secara kontekstual analisis.

Apa Itu Sejarah ?

Sejarah adalah sebuah konsep yang bersifat universal tentang kehidupan manusia dalam dimensi waktu. Istilah sejarah secara harafiah berasal dari kata Arab (شجرة: šajaratun) yang artinya pohon. Dalam bahasa Arab sendiri, sejarah disebut tarikh (تاريخ ). Adapun kata tarikh dalam bahasa Indonesia artinya kurang lebih adalah waktu atau penanggalan (Diambil dari wikipedia.org/definisi_sejarah.html). Kata Inggrisnya history atau sejarah yang berasal dari kata benda Yunani istoria yang artinya ilmu. Dalam penggunaannya oleh Aristoteles, istoria berarti suatu pertelaan sistematis mengenai seperangkat gejala alam. Secara umum definisi sejarah dari history adalah masa lampau umat manusia. dalam bahasa Jerman sejarah berarti Geschichte yang berasal dari kata geschehen yang artinya sudah terjadi. (Gottschalk, 2006: 33)

Dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia, karangan W.J.S. Poerwadarminta disebutkan bahwa sejarah mengandung tiga pengertian berikut: sejarah sebagai silsilah atau asal usul, sejarah berarti kejadian dan peristiwa yang benar-benar terjadi pada masa lampau, dan sejarah berarti ilmu; pengetahuan; cerita pelajaran tentang kejadian atau peristiwa yang benar-benar terjadi pada masa lampau.

Moh. Ali dalam bukunya Pengantar Ilmu Sejarah Indonesia mempertegas pengertian sejarah sebagai berikut: jumlah perubahan-perubahan, kejadian atau peristiwa dalam kenyataan di sekitar kita; cerita tentang perubahan-perubahan, kejadian atau peristiwa dalam kenyataan di sekitar kita; dan ilmu yang bertugas menyelidiki perubahan-perubahan kejadian dan peristiwa dalam kenyataan di sekitar kita.

Dudung Abdurahman dalam bukunya, Metodologi Penelitian Sejarah, mengatakan bahwa pengertian yang lebih komprehensif tentang sejarah adalah kisah dan peristiwa masa lampau umat manusia. Definisi ini mengandung dua makna sekaligus, yaitu sejarah sebagai kisah atau cerita (history as story) dan sejarah sebagai peristiwa (history as event). Sejarah sebagai kisah atau history as story merupakan pengertian sebagai sesuatu yang bersifat subjektif, karena peristiwa masa lalu itu telah menjadi pengetahuan manusia. Sedangkan sejarah sebagai peristiwa atau history as event merupakan pengertian sejarah objektif, sebab peristiwa masa lampau itu sebagai kenyataan yang masih di luar pengetahuan manusia. (Dudung Abdurahman, 2007: 13)

Dari beberapa pengertian di atas, jelas bahwa sejarah merupakan salah satu disiplin ilmu sosial yang memiliki peran dan fungsi sebagai aktualisator masa lampau di masa kini dengan cara berfikir historis (metode sejarah). Metode sejarah digunakan oleh sejarawan dalam memahami dan menyelidiki perubahan-perubahan manusia pada masa lampau dengan pendekatan-pendekatan tertentu.

Sejarah Sebagai Konstruk 

Peristiwa yang terjadi pada masa lampau dalam kehidupan manusia pada dimensi waktu merupakan gerak sejarah yang secara apa adanya selalu terjadi dan berubah (dinamis). Dalam pengertiannya, sejarah telah memberikan gambaran tentang kehidupan manusia pada masa lampau yang bisa diubah oleh sejarawan sebagai penulis sejarah.

Menurut para filosof sejarah pengikut metode kontemplatif, terdapat tiga pola gerak di mana sejarah berjalan sesuai dengannya, yaitu:

  1. Sejarah berjalan menelusuri garis lurus lewat jalan kemajuan yang mengarah ke depan atau kemunduran yang bergerak ke belakang.
  2. Sejarah berjalan dalam daur kultural yang dilalui kemanusiaan, baik daur saling terputus, dan dalam berbagai kebudayaan yang tidak berkesinambungan atau daur-daur itu saling berjalin dan berulang kembali.
  3. Gerak sejarah tidak selalu mempunyai pola-pola tertentu.

Para filosof sejarah sendiri sering mencampuradukkan ketiga pola ini dalam menginterpretasikan gerak sejarah yang mengandung unsur subjektivitas dari sejarawan. Subjektif merupakan unsur personal bias atau pandangan pribadi seorang sejarawan yang berimajinasi merekonstruksi peristiwa masa lampau dengan bertolak pada dokumen (docere atau mengajar)[1] yang valid dan otentik.

Dalam bukunya, Sartono Kartodirjo mengatakan sejarah dalam arti subjektif adalah suatu konstruk yang berarti sebuah bangunan yang disusun oleh penulis sejarah sebagai suatu uraian atau rangkaian cerita. Uraian atau rangkaian cerita itu merupakan suatu kesatuan atau unit yang mencakup fakta-fakta terangkaikan untuk menggambarkan suatu gejala sejarah baik proses maupun struktur.

Subjektivitas berangkat dari penalaran individu secara kontekstual. Dalam Metode Sejarah, Asas dan Proses (E. Kosim: 1983), disebutkan beberapa hal yang dapat menimbulkan subjektivitas dalam proses pengkajian peristiwa sejarah, yakni:

1) Pandangan pribadi (personal bias)

2) Prasangka kelompok (group prejudice)

3) Teori interpretasi yang bertentangan dan berbeda

Semua faktor tersebut adalah alasan mengapa dalam suatu penulisan sejarah muncul unsur subjektivitas. DR. Sulasman berpendapat mengenai hal ini, menurutnya dalam setiap penulisan sejarah (historiografi), pandangan yang beragam merupakan hal yang lumrah terjadi. Beliau memberikan contoh dalam karya para sejarawan lokal. Seperti dalam karya Prof. Mansur Suryanegara berjudul API SEJARAH, disebutkan bahwa subtansi mengenai penjelasan kemerdekaan Indonesia adalah hasil perjuangan para ulama dan santri. Berbeda halnya dengan pandangan Nugroho Notosutanto dalam Sejarah Nasional Indonesia jilid IV, beliau menjelaskan peran daripada tokoh nasional seperti M. Natsir, Bung Karno, Aa Maramis, Bung Hatta, dlsb.

Konteks ini bersifat subjektif dalam artian konstruk yang berbeda. Dari penjelasan mengenai mengapa adanya subjektivitas dalam kajian ilmu sejarah, kami melihat adanya unsur pandangan pribadi sang sejarawan, ilmu bantu yang digunakan, serta teori sejarah yang dipakai. Prof. Mansur sebagai seorang mubaligh, sejarawan muslim, dan tokoh pendidik, yang berlatar Islam sebagai pandangannya memiliki pandangan pribadi sebagaimana tertera di atas bahwa kemerdekaan Indonesia adalah berangkat dari perjuangan kaum ulama dan santri.

Namun sebagai calon sejarawan kita tidak boleh menyalahkan/berspekulasi bahwa karya Ahmad Mansur Suryanegara dengan bukunya Api Sejarah yang pada inti penulisannya bahwa peran kaum ulama dan santri sangat sentral sekali dalam melahirkan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Namun kita pun tidak boleh menyalahkan bahwa karya Noegroho Poespo Negoro dkk dalam Sejarah Nasional Indonesia jilid 1- 6 mengatakan bahwa lahirnya Negara Republik Indonesia tidak hanya kaum ulama dan santri saja, tetapi banyak pihak lain yang membantu dalam melahirkan Negara Indonesia. Menurut analisis kami dalam halnya masalah subjektivitas kita pun punya pandangan masing-masing dalam merekontruksi sebuah peristiwa sejarah.

Penjelasan Mengenai Subjektivitas dan Objektivitas Sejarah

Seperti yang sudah dijelaskan di atas, sejarah adalah peristiwa yang dialami manusia dalam dimensi waktu. Pada umumnya pemakaian istilah sejarah untuk menunjuk pada cerita sejarah, pengetahuan sejarah, gambaran sejarah yang semuanya adalah sejarah dalam artian subjektif, disebut subjektif karena sejarah memuat unsur-unsur dan isi subjek.

Dalam bukunya, Prof. Sartono Kartodirjo mengatakan sejarah dalam arti subjektif adalah suatu konstruk yang berarti sebuah bangunan yang disusun oleh penulis sejarah sebagai suatu uraian atau rangkaian cerita. Uraian atau rangkaian cerita itu merupakan suatu kesatuan atau unit yang mencakup fakta-fakta terangkaikan untuk menggambarkan suatu gejala sejarah baik proses maupun struktur. (Sartono Kartodirjo, 1993:14).

Sedangkan, Ankersmit[2] dalam bukunya Refleksi tentang Sejarah menjelaskan tentang adanya alasan yang membela subjektifisme dan objektifisme sejarah, yaitu:

(a) Alasan Induksi

Penulisan sejarah selalu bersifat subjektif. Menurut G. Myrdal, bila telaah historis t1, t2, dan seterusnya bersifat subjektif, maka dengan cara induktif dapat disimpulkan bahwa telaah historis, baik masa silam, masa kini, dan masa depan, bersifat subjektif.  Namun, Myrdal menegaskan bahwa sejarawan harus menyadari nilai-nilai dalam penulisannya agar dengan demikian ia dapat mengesampingkan pengaruh nilai-nilai itu dalam penulisannya.

Pendapat ini dilawan oleh Negel, yang mengatakan, bahwa justru nilai-nilai yang mewarnai pandangan seorang sejarawan, tidak disadarinya, lalu bagaimana mungkin mengesampingkannya? Sering kita berpendapat, bahwa pendapat kita mengenani sesuatu itu terbebas dari nilai, padahal justru nilai itu yang dipermasalahkan.

(b) Alasan Relativisme

Untuk mendukung argumen ini, Ch. Beard dan J. Romein membedakan tiga hal, yakni:

(1)             Masa silam sendiri,

(2)             Bekas yang tertinggal dari masa silam, berwujud dokumen,

                 prasasti dan sebagainya

(3)             Penggambaran kita terhadap masa silam.

Peralihan dari (1) ke (2) sudah menjurus penulisan sejarah. tentu subjektif, karena sumber-sumber yang tersisa dari masa silam pada umumnya merupakan laporan-laporan yang ditulis oleh orang-orang pada zaman dulu. Dan pada peralihan dari (2) ke (3), tidak bisa disingkirkan. Terdapat tiga macam subjektifitas. Pertama, yang merupakan hasil dari kepribadian sejarawan sendiri. Kedua, unsur subjektifitas masih dapat dilacak lalu disingkirkan. Ketiga, subjektifitas waktu tidak dapat dieliminir.

Romein dan E.H. Carr mengatakan bahwa untuk mengatasi permasalahan tersebut, sejarawan harus mampu untuk mengatasi kerangka zamannya dengan menempatkan diri di masa mendatang, yaitu masyarakat tanpa kelas. Sehingga argumen ini mudah dipatahkan karena asumsi yang menopangnya berpangkal pada filsafat sejarah spekulatif[3] yang dapat disangksikan objektivitasnya. Rupanya Romein tetap mempertahankan konsepnya meskipun hal itu tidak rasional.

(c) Alasan bahasa

Bahwa dalam bahasa sendiri terdapat berbagai ungkapan yang mengandung penilaian, sehingga tulisan yang dihasilkan bisa bersifat subjektif. Namun L. Strauss justru berpendapat bahwa penilaian dan bahasa yang bermuatan penilaian justru penting dalam penulisan sejarah. Karena dengan bahasa yang mengandung penilaian itulah kejadian-kejadian yang “mendebarkan” dapat disusun.

Demikian juga bagi A.R. Louch yang mengatakan bahwa tugas sejarawan adalah membangkitkan kembali masa silam (aktualisasi masa silam). Kata-kata seperti agresif, bersahabat, bermusuhan, dlsb, dapat digunakan sebagai sarana untuk membangun kembali masa silam dalam konteks kekinian. Dengan kata-kata itu, muncul dalam diri kita satu perasaan yang sama dengan perasaan yang muncul dalam diri penulis ketika menuliskannya.

(d) Alasan Idealistis

Sebagaimana argumen dasarnya, bahwa kenyataan itu ada sejauh kita menyadarinya, kenyataan historis pun merupakan buah hasil dari budi manusia. Budi manusia adalah objek penelitian historis sekaligus juga subjek penelitian historis. Karena subjek dan objeknya sama, maka keduanya tidak dapat dipisahkan.

(e) Alasan Marxis

Bagi penganut paham ini, tidak mungkin bisa untuk memisahkan subjek dan objek. Pengetahuan selalu berakar dalam pergaulan kita dengan kenyataan. Kenyataan itu adalah kenyataan yang bereaksi terhadap sentuhan penelitian kita. Kenyataan sosial tidak akan muncul dalam bentuk rumusan sosiologis yang objektif, akan tetapi baru akan muncul ketika telah dirombak oleh seorang revolusioner. Karena objektivitas mengandaikan pemisahan antara subjek dan objek, maka ia tidak akan terjadi.

Bagi pendukung argumen ini, perbedaan antara pengkajian sejarah dan sains hanya bersifat gradual dan tidak esensial, karena objektifitas dalam hasil penelitian sains jarang disangsikan (sifatnya mutlak-pasti), maka cenderung membela kemungkinan penulisan sejarah yang objektif.

(a) Memilih Objek Penelitian

Seorang sejarawan sudah bersifat subjektif ketika memilih objek bagi penelitian sejarahnya, karena pilihan itu ditentukan oleh kesukaan pribadi seorang sejarawan. Dalam memilih bahannya, seorang sejarawan mungkin didorong oleh pertimbangan subjektif, tetapi ini tidak berarti bahwa hasil penelitiannya juga bersifat subjektif, bisa juga bersifat objektif. Objektif dalam artian ini merupakan sebuah kenyataan historis dalam suatu peristiwa sejarah di masa lampau.

(b) “Wertung” dan “Wertbeziehung”

Seorang sejarawan selalu bersifat subjektif karena bahan yang ditelitinya ialah perbuatan manusia pada masa silam, yang selalu diresapi oleh nilai-nilai. Kita perlu membedakan antara wertbeziehung dan wertung. Yang pertama adalah pertalian dengan nilai-nilai, yang terjadi ketika kita menerangkan perbuatan seorang pelaku sejarah sambil menghubungkan perbuatan itu dengan nilai yang dianut pada masanya. Sedangkan yang kedua adalah penggambaran sejarawan tentang seorang pelaku sejarah yang sudah diilhami oleh nilai-nilai yang dianut oleh sejarawan itu sendiri.

 (c) Alasan Seleksi

Mengadakan seleksi berarti mengacaukan jalinan peristiwa yang terjadi dalam sejarah, padahal menurut faham subjektivisme, sejarah adalah ibarat kain tanpa jahitan yang bagian-bagiannya kait mengait. Oleh pendukung objektivisme, argumen ini ditolak karena meskipun penyajian oleh sejarawan tidak lengkap, tidak berarti ia tidak objektif. Sebuah peta tetap objektif meskipun tidak manampilkan hal-hal kecil secara detail. Namun, apakah sejarah sama dengan peta. Peta adalah benda mati yang tidak berubah bagian-bagiannya, sedangkan sejarah terdiri dari bagian-bagian yang saling memengaruhi satu sama lainnya, sifatnya dinamis, sehingga menampilkan salah satu bagian saja tidak akan mungkin menggambarkan kenyataannya yang sesungguhnya.

Adapun alasan subjektivistis yang mengatakan bahwa sejarawan berhenti pada satu titik dalam penelitiannya dan tidak melanjutkan ke titik-titik berikutnya, ditanggapi oleh kalangan objektivis dengan mengatakan bahwa penelusuran sampai masa paling awal tidak perlu, karena, misalnya, untuk mengetahui sebab-sebab Revolusi Perancis (1789) kita tidak harus melacak sebabnya. Sekali lagi, sejarah bukanlah aspek yang statis yang dapat diketahui dengan mudah pangkal dan ujungnya hanya dengan berspekulatif. Pertanyaanya, siapa yang dapat mengetahui dengan pasti bahwa suatu sebab kejadian sejarah berpangkal dari sebuah kejadian tertentu?

(d) Alasan Antiskeptisisme atau Relativisme

Sebenarnya para skeptisisme telah masuk dalam wilayah yang kontradiktif. Secara implisit, mereka masih mempertahankan kemungkinan untuk memperoleh pengetahuan yang objektif, meskipun secara eksplisit menolaknya. Hal itu karena para skeptisis baru dapat mengatakan bahwa sebuah pengetahuan adalah subjektif kalau ia memiliki sandaran untuk mengukur bahwa pengetahuan itu memang subjektif. Dengan demikian, pengetahuan objektif itu tetap diandaikan.

Di samping itu, ia harus dapat membuktikan bahwa nilai-nilai mana yang memengaruhi seorang sejarawan. Dan bila nilai-nilai itu telah disingkirkan, maka objektivitas menjadi mungkin terjadi secara nyata.

Apakah dengan menyingkirkan nilai-nilai yang diketahui itu lantas membuat penelitian sejarah menjadi objektif? Nilai-nilai adalah sesuatu yang abstrak, yang melingkupi dan melampaui kita karena kita berada di dalamnya, sehingga tidak disadari. Sebagaimana pengertian struktur sebagai sebuah bangunan abstrak, ia hanya bisa dirasakan tanpa bisa dilihat secara fisik atau nyata.

(e) Alasan Sebab Musabab (Kausalitas)

Seorang sejarawan mungkin menggunakan penilaiannya, akan tetapi tidak berarti bahwa pendapat-pendapatnya langsung menunjuk pada benar atau salah. Kalau penilaiannya salah, jelas sejarah menjadi kacau. Dan kalaupun penilaiannya benar, bukankah terdapat banyak aspek dalam sejarah, dimana penilaian sejarawan tersebut sangat mungkin hanyalah salah satunya saja?

(f) Alasan Propaganda

A.I. Melden mengatakan bahwa jika nilai-nilai merupakan unsur pokok dalam pengetahuan historis, maka penulisan sejarah menjadi tidak dapat dibedakan lagi dari propaganda. Keduanya menjadi sama kerena hanya merupakan tindak bahasa yang ingin menyebarkan nilai-nilai tertentu. Padahal propaganda berbeda dengan tulisan sejarah, karena pembaca propaganda tidak terkesan oleh mutu ilmiahnya.

Di samping itu, propaganda bertujuan untuk mengalihkan nilai-nilai kepada orang yang belum memilikinya. Akan tetapi nilai-nilai dalam sejarah tidak diketahui oleh pembacanya, sehingga pengalihan nilai-nilai itu menjadi tidak mungkin. Dengan kata lain, nilai-nilai yang dianggap sebagai bagian pokok itu hanyalah kesimpulan belaka dalam sebuah penalaran, bukan unsur penting di dalalamnya.

Pada hakekatnya, penulisan sejarah memang tidak berbeda dengan propaganda, hanya saja yang terakhir sudah diketahui bahwa ia memang propaganda sehingga tidak dianggap ilmiah, sedangkan yang pertama, penulisan sejarah, belum diketahui kalau ia adalah propaganda, tetapi sudah diasumsikan begitu saja sebagai sejarah, sehingga dianggap ilmiah.

(g) Alasan Analogi

Pengkajian sejarah sama saja dengan pengetahuan eksakta, yang mungkin untuk mendapatkan objektivitas. Ada tolok ukur tertentu dalam menentukan objektivitas. Padahal dalam ilmu eksakta sendiri objektivitas masih diperdebatkan. Hukum gravitasi Newton, misalnya, dianggap kurang memadai sehingga munculah Einstein dengan hukum relativitasnya.

Subjektivitas dan Objektivitas: Satu Kesatuan Ilmu Sejarah

Louis Gottschalk dalam bukunya Understanding Histoy: A Primer of Historical Method menulis bahwa selain peninggalan benda dan situs–situs sejarah, kadang–kadang faktor sejarah di peroleh dari kesaksian dan karenanya merupakan fakta arti (facts of meaning). Fakta–fakta semacam ini tidak dapat dilihat, di rasakan, di kecap, di dengar, atau di cium baunya. Dapat dikatakan bahwa fakta–fakta itu merupakan lambang atau wakil dari pada sesuatu yang pernah nyata ada, tetapi fakta–fakta itu tidak memiliki kenyataan objektif sendiri.

Dengan perkataan lain, fakta–fakta itu hanya terdapat di dalam pikiran pengamat atau sejarawah karenya dapat di sebut “subjektif”. Untuk dapat di pelajari secara objektif dalam arti tidak memihak dan bebas dari reaksi pribadi harus punya eksistensi yang merdeka di luar pikiran manusia. Akan tetapi kenangan tidak mempumyai eksistensi di luar pikiran manusia sedangkan banyak sejarah didasarkan atas kenangan yakni kesaksian tertulis atau lisan.

Ada suatu prasangka kasar terhadap pengetahuan “subjektif” sebagai suatu yang lebih rendah dari pada pengetahuan “objektif”, sebagian besar karena kata “subjektif” telah memperoleh arti “khayalan”  atau boleh dikata didasarkan atas pertimbagan pribadi makanya tidak benar atau berat sebelah. Pengetahuan dapat diperoleh dengan jalan melakukan penyelidikan “imajinatif” yang tidak memihak. Memang sikap tidak memihak dan objektif mungkin sulit diproleh dan kesimpulan yang bedasakan subjektif lebih mudah dibantah.

Dalam penjelasan ini diketahui bahwa antara subjektivitas dan objektivitas merupakan satu kesatuan utuh yang terkandung dalam jiwa seorang sejarawan ketika menorehkan fakta historis ke dalam sebuah media tulis. Subjektivitas berangkat dari objektivitas yang objektivistik. Kenyataan yang terkandung dalam setiap fakta sejarah secara subtansial selalu diikuti oleh aspek subjektif sang sejarawan, hal ini merupakan suatu kesatuan antara pandangan pribadi atas satu peristiwa sejarah dan ilmu bantu yang ia gunakan, serta filsafat sejarah apa yang ia anut ketika memandang suatu peristiwa sejarah dalam konteks fakta historis.

Banyak ahli sejarah condong memandang fakta sebagai dasar pengkajian sejarah yang mutlak dan dapat diandalkan. Fakta dapat ditentukan dengan kepastian yang praktis, tak dapat disangsikan dan andaikata terjadi kesangsian, maka dalam praktek ini dapat dipecahkan. Kadang-kadang fakta juga kurang memadai untuk menentukan sebuah peristiwa, karena adanya berbagai alasan pendukung akan hal itu.

Persoalan mengenai subjektivitas, meskipun dirasakan sulit, merupakan masalah yang urgen sekali dalam menghadapi pertumbuhan historiografi. Masalah subjektivitas dan objektivitas segera muncul, misalnya begitu orang hendak bermaksud menyusun historiografi Indonesia modern (Poepoprodjo, 1987: 4).

Soedjatmoko menulis:

“Sesungguhnya, setiap pembicaraan tentang problema-problema interpretasi sejarah dan sintesis bahan-bahan sejarah menjadi suatu kisah yang berhubungan ke dalam historiografi Indonesia modern, menjuru kepada persoalan-persoalan tentang subjektivitas dan objektivitas”.

Prioritas, spontanitas, dan aktivitas subjek dalam proses tahu yang merupakan subjektivitas yang halal, dimutlakkan sebagai satu-satunya kenyataan dalam kegiatan ilmu. Maka munculah subjektivisme dan pandangan tentang kenyataan brsifat subjektivistik. Sifat subjektif yang memang halal dan selalu akan terdapat di dalam setiap bentuk tahu dicampurbaurkan dengan pandangan subjektivistik tentang kenyataan, dan akhirnya dibuang beramai-ramai bersama pandangan subjektivistik tentang kenyataan. Subjektivistik juga mempunyai arti ekuivokal.

Konsepsi subjektivisme jelas mengabaikan hakikat yang sebenarnya dari kegiatan tahu dan korelasi noematiknya. Dalam subjektivisme, objek tidak dinilai sebagaimana mestinya, tetapi dipandang sebagai sebuah kreasi, konstruksi akal budi. Sedangkan, objektivitas diperoleh hanya jika subjek dieliminasi dari kegiatan perjumpaan, yakni kegiatan tahu. Tetapi menyingkirkan subjek dari kegiatan perjumpaan berarti menghancurkan kegiatan tahu itu sendiri. Maka objektivitasnya akan berupa objektivisme, dan realitas-objektifnya adalah realitas-objektif.

Interpretasi Sebagai Jalan Subjektivitas Kajian Sejarah

Interpretasi merupakan salah satu bagian dari metode penelitian sejarah, yakni heuristik, kritik, interpretasi, dan historiografi. Interpretasi sejarah sering juga disebut dengan analisis sejarah (Dudung Abdurahman, 2007: 73). Dalam hal ini digunakan dua metode, yaitu analisis dan sintesis. Dalam pengertiannya, analisis adalah menguraikan, sedangkan sintesis berarti menyatukan. Keduanya merupakan metode utama di dalam interpretasi sejarah (Kuntowijoyo, 1995: 100).

Dalam proses interpretasi sejarah, penulis sejarah harus benar-benar bisa mencapai pengertian faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya suatu peristiwa sejarah di masa lampau. Sejarah sebagai sebuah kumpulan sebab-sebab mengandung banyak faktor penentu terjadinya pristiwa sejarah. Oleh sebab itu, interpretasi digunakan dengan membandingkan data yang ada guna menyingkap alasan mengapa terjadinya satu peristiwa sejarah di masa lampau.

Penafsiran atau interpretasi dilakukan terhadap sumber-sumber yang ditemukan. Dalam melakukan penafsiran, peneliti sejarah (sejarawan) melakukan analisis sesuai dengan fokus penelitiannya. Kajian sejarah yang bersifat ilmiah, dalam penafsiran biasanya menggunakan teori-teori dari ilmu-ilmu sosial. Dengan cara seperti ini, diharapkan penulisan sejarah akan lebih objektif dalam batas keilmiahannya. Walau demikian, penafsiran dalam sejarah tidak bisa terlepas sama sekali dari unsur subjektivitas penulisnya. Subjektivitas terjadi disebabkan penulis sejarah memiliki pandangan tersendiri terhadap sumber yang ia temukan. Bahkan data yang sama tidak menutup kemungkinan menimbulkan interpretasi yang berbeda. Apabila hal ini terjadi, dalam penelitian sejarah sah-sah saja dan dibenarkan, asalkan peneliti menggunakan sumber yang valid.

Pernyataan historis ialah pernyataan mengenai fakta-fakta historis atau seperti juga bisa dikatakan sebagai keadaan pada masa silam. Masa silam adalah keseluruhan keadaan itu. Bukan sebagai pernyataan mengenai keadaan itu. Jelasnya, peristiwa historis bersifat faktual bukan tekstual. Sebagaimana dikatakan F.R. Ankersmit[4], “proses generalisasi tidak dapat menampilkan kebenaran realitas sosio-historis; generalisasi hanya merefleksikan kecenderungan kita untuk mengonsepsi realitas dengan pola regularitas” (Ankersmit, 1983: 160).

Penulisan sejarah merupakan bentuk dan proses pengisahan atas peristiwa-peristiwa masa lalu umat manusia. Pengisahan sejarah itu jelas sebagai suatu kenyataan subjektif, karena setiap pribadi atau setiap generasi dapat mengarahkan sudut pandangnya terhadap apa yang telah terjadi itu dengan berbagai interpretasi yang erat kaitannya dengan sikap hidup, pendekatan (ilmu bantu), atau orientasinya. Oleh karena itu, perbedaan pandangan terhadap masa lalu, yang pada dasarnya adalah objektif dan absolut, pada gilirannya akan menjadi suatu kenyataan yang relatif (subjektif). (Dudung Abdurahman, 2007: 16).

Sebagai contoh, perang di zaman Nabi Muhammad Saw, misalnya, adalah peristiwa yang telah berlalu dan pelakunya sudah tiada, akan tetapi para penulis sejarah kemudian bisa saja menafsirkannya sebagai perang di jalan Allah (jihad fi sabilillah), bentuk ekspansi Islam atau perluasan wilayah Islam, pola dakwah, dan sebagainya. (Dudung Abdurahman, 2007: 17)

Menegaskan kembali, bahwa, setiap telaah historis–baik dari masa silam, masa kini, atau masa depan—selalu bersifat subjektif (relatif). Menurut FR. Ankersmit (1984)[5], alasan induksi juga tampak pada tataran relativisme historis, terutama yang disebabkan oleh kepribadian sang sejarawan sendiri dalam memberikan penilaian dan sifat bahasa yang dipakainya. Demikian juga dalam penalaran sejarawan yang menganut faham Marxis, tentu saja akan berbeda dengan jalan pikiran seorang yang idealistis.

Kenyataannya, bagi kaum idealis, fakta historis itu merupakan buah hasil dari budi manusia. sedangkan bagi kaum Marxis, pengetahuan sejarawan selalu berakar dari pergaulannya dengan kenyataan. Jadi, bagi keduanya subjektivitas seorang sejarawan tak bisa terelakkan. (FR. Ankersmit, 1987: 331-336)

Peristiwa yang terjadi pada masa lampau dalam kehidupan manusia pada dimensi waktu merupakan gerak sejarah yang secara apa adanya selalu terjadi dan berubah (dinamis). Dalam pengertiannya, sejarah telah memberikan gambaran tentang kehidupan manusia pada masa lampau yang bisa diubah oleh sejarawan sebagai penulis sejarah.

Dalam bukunya, Prof. Sartono Kartodirjo mengatakan sejarah dalam arti subjektif adalah suatu konstruk yang berarti sebuah bangunan yang disusun oleh penulis sejarah sebagai suatu uraian atau rangkaian cerita. Uraian atau rangkaian cerita itu merupakan suatu kesatuan atau unit yang mencakup fakta-fakta terangkaikan untuk menggambarkan suatu gejala sejarah baik proses maupun struktur. (Sartono Kartodirjo, 1993:14).

Dalam kehidupan sehari-hari, subjek (manusia) tidak dapat hidup dalam suatu kekosongan (vacum), seluruh kesadarannya terendam dalam suatu kultur dalam segala aspeknya. Lingkungan fisik, biologis, ekonomis, politik, dan religious, semuanya mempengaruhi pada diri si subjek. Dalam kehidupan sehari-hari pula manusia dihadapkan pada suatu objek dengan sikap, anggapan, pandangan dan pendapat tertentu, positif atau negatif; jadi subjektif. Bentuk yang paling ekstrem yaitu apabila memandang segala sesuatu hanya berdasarkan atas ukuran hitam dan putih, yaitu sebagai kontras tajam, sehingga tidak ada variasi diantara kedua warna itu.

Kecenderungan untuk menilai seperti itu sering berdasarkan soal senang / tidak senang bagi pribadi (subjek), suatu unsur subjektivitas yang sering menjurus pada radikalisme atau fanatisme. (Sartono Kartodirdjo, 1992: 63)

Hal inilah yang paling ditakuti dalam proses penafsiran atas data dan fakta sejarah. Timbulnya fanatisme kelompok bisa mengakibatkan distori sejarah, penyelewengan sejarah yang sesungguhnya. Pengkaburan nilai-nilai historis berdasarkan pada radikalisme sejarawan dalam menilai suatu data hanya dengan pandangan hitam dan putihnya saja. Perlunya profesionalitas dan kredibilitas sejarawan menentukan nilai historis dari suatu peristiwa sejarah. Oleh karena itu, memang sangat dibutuhkan pendekatan-pendekatan sebagai tolak ukur untuk menghindari subjektivitas yang terlalu berlebihan.

Sebagaimana kita yakini bahwa dalam tatanan masyarakat tradisional, yang menonjol adalah aspek etnosentrismenya, yaitu bagaimana mereka memandang sejarah dan dunia luar dari titik pusat bangsanya sendiri (etnhos) beserta kebudayaannya. Ini disebut juga dengan istilah subjektivitas kultural. Sebenarnya subjektivitas kultural telah mencakup subjektivitas waktu atau zaman oleh karena kebudayaan bereksistensi dalam waktu tertentu. Dalam banyak karya sejarah, subjektivitas zaman memiliki istilah penyebutannya tersendiri, bahkan sering pula kita dengan istilah jiwa zaman atau Zeitgeist. Pengertian yang abstrak ini merujuk pada pengertian mental yang dominan pada suatu waktu.

Sartono Kartodirdjo secara umum membagi subjektivitas menjadi dua, yakni subjektivitas kultural atau etnosentrisme dan subjektivitas waktu atau zaman. Keduanya sulit dihindari dan bahkan kebanyakan orang tidak menyadari akan hal itu. Subjektivitas waktu akan sangat sulit untuk diatasi terutama dalam menggarap sejarah kontemporer  (Sartono Kartodirdjo, 1962: 64).

Penafsiran sumber pada dasarnya merupakan langkah yang kita lakukan dalam menjawab pertanyaan-pertanyaan dari topik yang hendak kita teliti. Untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan penelitian, maka kita mencoba menguraikan data-data atau sumber-sumber yang sudah kita pilih atau seleksi. Misalnya, tema penelitian Perubahan Sosial Desa Tahun 1950-1955. Dengan tema ini, maka kita akan menguraikan (sintesis) berbagai sumber yang menunjukkan adanya perubahan sosial.

Sumber-sumber atau data-data yang diuraikan misalnya adanya laporan tentang jumlah orang-orang yang sekolah, jenis-jenis sekolah yang dimasuki, jenis-jenis pekerjaan penduduk dan jumlah pendapatannya, jumlah luas tanah di desa, adanya catatan tentang transaksi pembelian hasil-hasil pertanian oleh petani dengan pedagang yang berasal dari kota, catatan rapat di desa dan kecamatan tentang penyuluhan pertanian yang akan dilakukan oleh petugas pertanian kepada petani di desa, dan laporan dari desa tentang program pengembangan pertanian.

Bagaimanakah penulis sejarah atau sejarawan memberikan penafsiran berdasarkan contoh sumber-sumber yang ditemukan tersebut? Sumber-sumber tersebut harus dihubungkan antara yang satu dengan yang lainnya, terutama bisa dihubungkan dalam konteks hubungan sebab akibat (kausalitas) atau adanya hubungan yang sangat signifikan.

Berdasarkan sumber-sumber tersebut, sejarawan bisa memberikan penafsiran bahwa di desa itu pada tahun 1950-1955 terjadi perubahan sosial. Bagaimana perubahan sosial itu bisa dilihat? Perubahan sosial itu bisa dilihat, misalnya dengan semakin banyaknya atau meningkatnya jumlah anak-anak yang sekolah di desa itu, semakin tingginya tingkat pendidikan masyarakat desa. Pertanyaan berikutnya ialah bagaimana bisa terjadi peningkatan jumlah anak yang sekolah dan meningkatnya jenjang pendidikan? Untuk menjawab pertanyaan ini bisa dihubungkan dengan menafsirkan sumber yang menunjukkan adanya peningkatan pendapatan pada masyarakat petani. Faktor penyebab meningkatnya pendapatan petani bisa disebabkan oleh peningkatan produksi pertanian.

Dalam memberikan penafsiran, biasanya sejarawan akan melihat berbagai faktor yang menjadi faktor penentu perubahan. Secara garis besar, faktor penentu perubahan dalam sejarah dapat ditentukan oleh manusia sendiri dan faktor di luar manusia. Faktor di luar manusia misalnya lingkungan fisik atau alam di mana manusia itu hidup, seperti iklim, tanah, dan sumber-sumber daya alam lainnya.

Interpretasi sejarah dengan melihat manusia sebagai faktor penentu perubahan dalam sejarah, bisa dilihat dari manusia sebagai individu (subjek) maupun manusia sebagai kelompok atau masyarakat.  Manusia sebagai kelompok dapat ditinjau dari manusia sebagai sebuah masyarakat. Masyarakat dalam pengertian di sini bisa didefinisikan sebagai sekumpulan individu yang terintegrasi dalam suatu struktur. Interpretasi dalam pendekatan ini dilakukan dengan melihat perubahan masyarakat secara struktur. Misalnya dengan tema penulisan sejarah Perubahan Sosial Desa 1950-1955, perubahan struktur yang terjadi yaitu dari struktur masyarakat yang tadinya berprofesi sebagai petani kemudian berubah menjadi buruh perkotaan.

Interpretasi sejarah dengan melihat lingkungan fisik atau alam sebagai faktor penentu dalam sejarah dapat berupa interpretasi geografis. Dalam interpretasi model ini, kehidupan manusia sangat ditentukan oleh faktor geografis. Model seperti ini misalnya sejarah timbulnya peradaban-peradaban atau kerajaan-kerajaan kuno.

Peradaban-peradaban kuno yang lahir banyak terletak di tepian sungai, seperti peradaban Lembah Sungai Indus di India, peradaban Cina di Lembah Sungai Huang Ho, peradaban Lembah Sungai Nil di Mesir, dan peradaban-peradaban lainnya. Mengapa peradaban-peradaban itu selalu terletak di tepi sungai? Dengan interpretasi geografis, dapat dikatakan bahwa sungai pada waktu itu merupakan sumber kehidupan dan tempat lalu lintas, karena pada saat itu belum ada kendaraan darat yang bermesin seperti sekarang ini. Kehidupan manusia masih banyak tergantung pada faktor alam. Pada daerah-daerah sungai yang demikian, akan muncul sebuah masyarakat manusia.

Dengan demikian, kehidupan manusia sangat ditentukan oleh faktor geografis. Selain interpretasi geografis, terdapat pula interpretasi ekonomi. Interpretasi ekonomi artinya bahwa faktor ekonomi sangat menentukan perubahan dalam sejarah atau kehidupan manusia. Sejarah perang misalnya, tidak hanya dilihat dari faktor politik atau peran sentral individu atau tokoh. Sebuah perang dapat pula terjadi lebih disebabkan oleh faktor ekonomi. Misalnya perang itu terjadi disebabkan oleh adanya perebutan dari kedua negara terhadap sumber-sumber daya alam. Kedua negara itu ingin menguasainya. Bahkan penjajahan atau imperialisme bisa dilihat dari perspektif ekonomi. Negara-negara Barat melakukan penjajahan terhadap bangsa-bangsa Asia Afrika pada abad ke-19, lebih disebabkan oleh adanya keinginan bangsa-bangsa Barat menguasai sumber-sumber daya alam.

Inilah penjelasan tentang adanya konsep subjektivitas dalam ilmu sejarah. Berawal dari interpretasi yang selanjutnya menghasilkan aspek relativisme historis atau lebih dikenal dengan sebutan subjektivitas. Subjektivitas dalam interpretasi sejarah mungkin terjadi, karena seorang penulis sejarah atau sejarawan memiliki kewenangan untuk memberikan interpretasi terhadap sumber-sumber atau fakta-fakta yang telah ditemukannya. Walaupun demikian, seorang sejarawan harus berusaha semaksimal mungkin untuk menghindari subjektivitas yang berlebih-lebihan, apalagi kepentingan pribadi atau golongannya yang mewarnai interpretasinya.

Cara yang dilakukan untuk menghindari subjektivitas yaitu dengan menggunakan pendekatan-pendekatan  tertentu yang bersifat ilmiah atau menggunakan konsep-konsep atau teoriteori, dalam menginterpretasikan sumber yang ditemukannya. Dengan cara seperti ini, diharapkan interpretasi sejarah akan lebih objektif. Karena pada dasarnya setiap hasil penulisan sejarah itu dapat pula diperoleh hal-hal yang sifatnya objektif, yakni fakta-fakta keras atau tidak diragukan lagi kesahihannya (Alfian, 1984: 6). Seperti fakta keras dalam penyerbuan bangsa Mongol terhadap ibu kota Baghdad pada tahun 1258 M yang mendukung objektivitas.

Aktualitas dan Objektivitas, Sebuah Persamaan

Sebagai sebuah hasil interpretasi dan juga penulisan individu sang sejarawan, sebuah peristiwa sejarah bersifat subjektif (relatif). Kecenderungan pribadi menjadi pangkal dari adanya subjektivitas, tetapi ia tidak selalu menjadi penghalang bagi lahirnya objektivitas (absolutism historis) (Walsh, 1967).

Lebih lanjut Walsh menyatakan bahwa pengetahuan sejarah yang objektif itu justru timbul dari perbedaan pendapat kalangan sejarawan. Pernyataan mereka yang berbeda mengenai peristiwa sejarah yang sama belumlah merupakan perbedaan pendapat, sebab peristiwa sejarah itu bisa dilihat dari berbagai persfektif (Ankersmit, 1987: 343).

Dengan demikian, seorang sejarawan bisa menulis sejarah Pemberontakan Cimareme 1919 misalnya, dengan memperhatikan faktor-faktor ekonomis, tetapi sejarawan lainnya dapat menyoroti latar belakang sosial atau budayanya, politik, aspek religi, dan juga aspek psikologi. Kajian ini saling melengkapi sehingga pada akhirnya akan tercapai suatu objektivitas sejarah. (Dudung Abdurahman, 2007: 20).

Berbeda halnya dengan konsep objektivitas dalam kajian ilmu sejarah. Dalam bukunya, Prof. Sartono Kartodirjo mengatakan bahwa sejarah dalam arti subjektif adalah suatu konstruk yang berarti sebuah bangunan yang disusun oleh penulis sejarah sebagai suatu uraian atau rangkaian cerita. Uraian atau rangkaian cerita itu merupakan suatu kesatuan atau unit yang mencakup fakta-fakta terangkaikan untuk menggambarkan suatu gejala sejarah baik proses maupun struktur. (Sartono Kartodirjo, 1993:14).

Aktualitas menjadi sebuah karakteristik dari aspek objektivitas sejarah yang objektivistik. Sebagaimana diketahui mengenai objek kajian sejarah yang sifatnya absolute, berbagai penjelasan mengenai satu permasalahan sejarah, mengkaji faktor-faktor pendukung timbulnya peristiwa sejarah, akan ditemukan sisi objektif yang realistik. Inilah persamaan aktualitas dan objektivitas yang berafiliasi dengan aspek subjektivitas sang sejarawan.

Kesimpulan

Pada bagian ini perlu kiranya kami ulas kembali penjelasan mengenai subjektivitas dan objektivitas dalam kajian ilmu sejarah. Pandangan subjektivistik dan objektivistik bukanlah sesuatu hal yang dapat dihindari oleh para sejarawan. Ia adalah satu kesatuan utuh dalam setiap kajian sejarah sebagai sebuah kisah (history as story).

Pada umumnya para ahli sejarah sepakat, bahwa penulisan sejarah yang objktif sedapat mungkin harus diusahakan. Persoalan mengenai subjektivitas, meskipun dirasakan sulit, merupakan masalah yang urgen sekali dalam menghadapi pertumbuhan historiografi. Masalah subjektivitas dan objektivitas segera muncul, misalnya begitu orang hendak bermaksud menyusun historiografi Indonesia modern (Poepoprodjo, 1987: 4).

Subjektivitas dan objektivitas merupakan satu kesatuan utuh yang terkandung dalam jiwa seorang sejarawan ketika menorehkan fakta historis ke dalam sebuah media tulis. Subjektivitas berangkat dari objektivitas yang objektivistik. Kenyataan yang terkandung dalam setiap fakta sejarah secara subtansial selalu diikuti oleh aspek subjektif sang sejarawan, hal ini merupakan suatu kesatuan antara pandangan pribadi atas satu peristiwa sejarah dan ilmu bantu yang ia gunakan, serta filsafat sejarah apa yang ia anut ketika memandang suatu peristiwa sejarah dalam konteks fakta historis.[]

[1]               Kata dokumen (dari kata docere, mengajar) juga telah dipergunakan oleh sejarawan dengan perbagai arti. (Louis Gottschalk, 2006: 45)

[2]               F.R. Ankersmit, “REFLEKSI TENTANG SEJARAH, Pendapat-pendapat Modern tentang Filsafat Sejarah”, Gramedia, Jakarta, 1987.

[3]               Filsafat sejarah spekulatif selalu dibedakan dari pengkajian sejarah “biasa”. Kiranya sudah cukup gambling bahwa berurusan dengan dua bidang yang berbeda-beda. Filsafat sejarah spekulatif  selalu mencari struktur dalam yang terkandung dalam proses sejarah secara komprehensif. Ia merupakan suatu perenungan falsafati mengenai tabiat atau asal-usul proses sejarah.

[4]               Dudung Abdurahman, “Metodologi Penelitian Sejarah”Ar-Ruzz Media, Jogjakarta, 2007, hlm. 194

[5]               Dudung Abdurahman, “Metodologi Penelitian Sejarah” Ar-Ruzz Media, Jogjakarta, 2007, halaman 18