Apa akibat orang muslim yang saling membunuh brainly

Dan perangilah mereka itu, sehingga tidak ada fitnah lagi dan (sehingga) ketaatan itu hanya semata-mata untuk Allah. Jika mereka berhenti (dari memusuhi kamu), maka tidak ada permusuhan (lagi), kecuali terhadap orang-orang yang zhalim

(QS. Al-Baqarah [2]: 193)

Islam adalah agama rahmatan lil alamin, yaitu agama yang membawa rahmat dan kesejahteraan bagi semesta alam. Segalanya telah diatur oleh Al-Qur’an dan Sunnah sebagai dasar hukum. Apa yang diatur oleh keduanya tidak lain untuk membawa manfaat bagi manusia sendiri. Islam mengatur segalanya baik ekonomi, politik, sosial, dan ekonomi. Sampai hal-hal kecil juga diatur oleh Islam seperti bersin, mengucap salam, makan, minum, dsb. Tak terkecuali dalam perang. Islam mengatur peperangan agar tidak terjadi kerusakan.

Perang merupakan perlawanan antara dua kubu atau lebih yang menyerang satu sama lain dengan menggunakan senjata. Terjadinya perang menimbulkan dampak negatif yang berskala besar karena memakan banyak jiwa dan harta. Islam membolehkan perang apabila keadaan sudah mendesak. Apabila terjadi konflik, kita tidak boleh langsung melakukan perang selama keadaan tidak mendesak. Dasar boleh melakukan peperangan antara lain surat al-Hâjj [22] ayat 39 yang berbunyi:

“Telah diizinkan (berperang) bagi siapa yang diperangi karena sesungguhnya mereka telah dianiaya. Dan sesungguhnya Allah benar-benar Mahakuasa menolong mereka itu.”

Kemudian surat al-Anfâl [8] ayat 60 yang berbunyi:

“Dan persiapkanlah dengan segala kemampuan untuk menghadapi mereka dengan kekuatan yang kamu miliki dan dari pasukan berkuda yang dapat menggentarkan musuh Allah, musuhmu, dan orang-orang selain mereka yang kamu tidak mengetahuinya, tetapi Allah mengetahuinya. Apa saja yang kamu infakkan di jalan Allah niscaya akan dibalas dengan cukup kepadamu dan kamu tidak akan dizalimi (dirugikan)”

Sejarah perang Rasulullah ﷺ dalam Islam telah disebutkan dalam beberapa peristiwa seperti perang Badar dan perang Uhud. Perang yang dilakukan oleh Rasulullah ﷺ sebagai respon terhadap apa yang dilakukan oleh orang kafir terhadap umat Islam. Orang-orang kafir pada masa itu telah menghalangi dakwah Islam dan bahkan mengancam jiwa dan harta umat Islam. Maka perang menjadi pilihan untuk menegakkan agama Allah ﷻ.

Dalam hal berperang terdapat aturan-aturan untuk mencegah kerusakan yang sangat besar. Jika kita melihat perang saat ini, kerusakan yang ditimbulkan sudah sangat parah. Perang Suriah misalnya, yang menewaskan ribuan masyarakat sipil dan memaksa sebagian lainnya pergi ke negara-negara lain. Tidak hanya itu, situs-situs sejarah Islam Bani Umayyah yang ada di Suriah menjadi rusak akibat dari perang tak berkesudahan. Contoh lainnya seperti perang di Yaman, Irak, dan Afghanistan menyebabkan pemerintah sulit mengontrol negaranya. Dampak negatif akibat perang seperti orang-orang yang terpaksa pergi dari  negaranya dan hancurnya bangunan-bangunan termasuk masjid dan situs sejarah Islam adalah akibat dari aturan perang yang dilanggar oleh pihak-pihak yang berperang.

Aturan Perang Dalam Islam

Lantas apa saja yang menjadi aturan dalam peperangan? Berikut ini secara ringkas adalah aturan-aturan Islam dalam melakukan peperangan:

Pertama, sasaran dalam perang adalah prajurit musuh yang ikut berperang. Selain prajurit, tidak boleh diperangi. Wanita, anak-anak, ahli agama dan orang tua tidak boleh dibunuh sesuai dengan hadits Rasulullah ﷺ. Dari Abdullah bin Umar, ia berkata, “Aku mendapati seorang wanita terbunuh dalam sebuah peperangan bersama Rasulullah ﷺ. Kemudian beliau melarang membunuh kaum wanita dan anak-anak dalam peperangan” (HR. Bukhari No 3015 dan Muslim No 1744)

Dari Anas, sesungguhnya Rasulullah ﷺ bersabda, “Pergilah kalian dengan nama Allah, dengan Allah dan atas agama Rasulullah, jangan kalian membunuh orang tua yang sudah tidak berdaya, anak kecil dan orang perempuan, dan janganlah kalian berkhianat, kumpulkan ghanimah-ghanimahmu, dan berbuatlah maslahat, serta berbuatlah yang baik, karena sesungguhnya Allah senang kepada orang-orang yang berbuat baik”. (HR. Abu Dawud)

“Dilarang membunuh para biarawan di biara-biara, dan tidak membunuh mereka yang tengah beribadah” (HR. Ahmad)

Kedua, tidak boleh mengahncurkan bangunan dan fasilitas umum. Dalam surat al-Qashâs [28] ayat 77 Allah ﷻ berfirman:

“…dan janganlah kamu berbuat kerusakan di (muka) bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang yang berbuat kerusakan”.

Fasilitas-fasilitas umum  seperti rumah sakit, sekolah dan tempat ibadah, tidak boleh menjadi sasaran penghancuran dalam perang. Telah banyak perang yang mengakibatkan fasilitas umum hancur sehingga menambah penderitaan warga sipil yang tidak ikut perang. Selain itu penggunaan senjata nuklir atau senjata pemusnah massal yang membunuh tanpa melihat siapa yang menjadi sasaran senjata tersebut juga dilarang karena mengakibatkan kerusakan sangat parah.

Aturan Perang Dalam Hukum Humaniter Internasional

Hukum yang mengatur dalam urusan perang disebut dalam Hukum Humaniter Internasional. Ada beberapa aturan mengenai cara berperang yang benar. Benar dalam pengertian ini ialah tidak semena-mena dalam melakukan penyerangan. Berikut ini adalah beberapa dari sekian aturan Hukum Humaniter Internasional (Jean-Marie Henckaerts, 2005) yang mengatur masalah perang:

Rule 2 : Act or threats of violence the primary purpose of which is to spread terror among the civilian population are prohibited

Rule 3 : All members of the armed forces of a party to the conflict are combatants, except medical and religious personel

Rule 38 : Each party to the conflict must respect cultural poperty:

  1. Special care must be taken in military operations to avoid demage to buildings dedicated to religion, art, science, education or charitable purposes and historic monuments unless they are military objectives.
  2. Property of great importance to the cultural heritage of every people must not be the object of attack unless imperatively required by military necessity.

***

Apabila dibandingkan dengan Hukum Humaniter Internasional, aturan perang dalam Islam tidak berbeda jauh, bahkan dalam beberapa hal lebih maju. Ini membuktikan bahwa adab-adab tentang perang sudah menjadi bagian dari ajaran Rasulullah ﷺ. Maka pesan Rasulullah ﷺ kepada umatnya mengenai perang semakin menambah kepercayaan bagi kita bahwa Islam adalah agama yang damai. Islam tidak pernah mengajarkan kekerasan dan berlebihan dalam perang. Dalam hal tawanan perang saja, Rasulullah ﷺ menyuruh sahabatnya unuk memperlakukan tawanan perang dengan sebaik-baiknya. Semua ajaran Islam adalah untuk kebaikan umat manusia.

Bila kita bertanya-tanya mengapa Rasulullah ﷺ memberikan pesan mengenai aturan perang, maka jawabannya bisa didapatkan dengan melihat keadaan perang sekarang. Dampak yang ditimbulkan tidak dapat dinalar oleh manusia, setiap hari korban warga sipil semakin bertambah akibat perang yang tidak memperhatikan aturan. Sudah banyak bukti negara-negara yang telah usai berperang sulit untuk bangkit kembali. Nyatanya, konflik masih terus terjadi. Pemerintah yang terbentuk setelah perang belum tentu bisa mengontrol segala aspek dalam menunjang negaranya. Maka dari itu sebisa mungkin kita mencegah terjadinya perang, walaupun telah diizinkan untuk berperang karena dampak yang ditimbulkan tidaklah kecil.

Hal yang perlu dilakukan untuk melindungi segala hal yang melanggar aturan perang sekaligus melanggar esensi Islam itu sendiri adalah dengan mendorong umat muslim di seluruh dunia, terutama yang terlibat perang, baik individu kelompok maupun level negara, untuk kembali kepada aturan Islam tentang adab-adab perang. Dengan demikian, perang diharapkan akan kembali pada tujuan utamanya, yaitu sebagai sarana untuk mempertahankan diri dan sarana untuk menciptakan perdamaian, bukan sebaliknya.

Muhammad Nafiuddin Fadly

Mahasiswa Hubungan Internasional

Universitas Islam Indonesia

Pada perkelahian antara adik Anda dan orang mabuk tersebut, kami asumsikan bahwa situasi adik Anda sangat terpojok. Namun karena membela diri akibat serangan 2 orang mabuk, sehingga membuat pisau yang ingin ditusukkan ke arah perut adik Anda berbalik menusuk diri si pelaku. Di sini tidak ada niat sengaja dari adik Anda untuk membunuh.

Sebelum menjawab pertanyaan Anda kami akan jelaskan beberapa hal penting berikut ini:

  1. Pada dasarnya, sesuai dengan asas legalitas, setiap perbuatan tidak dapat dipidana kecuali ada peraturan perundang-undangan yang telah mengaturnya terlebih dahulu demikian yang diatur oleh Pasal 1 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (“KUHP”). Secara a contrario dapat diartikan bahwa setiap perbuatan yang telah ditentukan merupakan perbuatan pidana dalam peraturan perundang-undangan, dapat dipidana.

  1. Mengenai tindakan pembunuhan diatur pada Pasal 338 KUHP yang bunyinya:

Barang siapa dengan sengaja merampas nyawa orang lain, diancam karena pembunuhan dengan pidana penjara paling lama lima belas tahun.

  1. Dari cerita Anda, kita ketahui bahwa adik Anda tersebut membunuh karena membela diri, sehingga membunuh bukan dengan sengaja. Dalam ilmu hukum pidana dikenal pembelaan dalam keadaan darurat.

Perbuatan pembelaan darurat atau pembelaan terpaksa (noodweer) diatur pada Pasal 49 KUHP, ialah:

  1. Tidak dipidana, barang siapa melakukan perbuatan pembelaan terpaksa untuk diri sendiri maupun untuk orang lain, kehormatan kesusilaan atau harta Benda sendiri maupun orang lain, karena ada serangan atau ancaman serangan yang sangat dekat pada saat itu yang melawan hukum.

  2. Pembelaan terpaksa yang melampaui batas, yang langsung disebabkan oleh keguncangan jiwa yang hebat karena serangan atau ancaman serangan itu, tidak dipidana.

Syarat-syarat pembelaan darurat menurut R. Soesilo dalam buku “Kitab Undang-Undang Hukum Pidana serta Komentar-Komentar lengkap Pasal Demi Pasal” (hal. 64-65), yaitu:

  1. Perbuatan yang dilakukan itu harus terpaksa dilakukan untuk mempertahankan (membela). Pertahanan itu harus amat perlu, boleh dikatakan tidak ada jalan lain. Di sini harus ada keseimbangan yang tertentu antara pembelaan yang dilakukan dengan serangannya. Untuk membela kepentingan yang tidak berarti misalnya, orang tidak boleh membunuh atau melukai orang lain;

  2. Pembelaan atau pertahanan itu harus dilakukan hanya terhadap kepentingan-kepentingan yang disebut dalam pasal itu yaitu badan, kehormatan dan barang diri sendiri atau orang lain;

  3. Harus ada serangan yang melawan hak dan mengancam dengan sekonyong-konyong atau pada ketika itu juga.

Sebagaimana pernah dijelaskan dalam artikel Arti Noodweer Exces dalam Hukum Pidana, R. Sugandhi, S.H., terkait Pasal 49 KUHP, mengatakan bahwa agar tindakan ini benar-benar dapat digolongkan sebagai “pembelaan darurat” dan tidak dapat dihukum, maka tindakan itu harus memenuhi tiga macam syarat sebagai berikut:

  1. Tindakan yang dilakukan itu harus benar-benar terpaksa untuk mempertahankan (membela) diri. Pertahanan atau pembelaan itu harus demikian perlu sehingga boleh dikatakan tidak ada jalan lain yang lebih baik;

  2. Pembelaan atau pertahanan yang harus dilakukan itu hanya terhadap kepentingan-kepentingan diri sendiri atau orang lain, peri kesopanan, dan harta benda kepunyaan sendiri atau kepunyaan orang lain;

  3. Harus ada serangan yang melawan hak dan ancaman yang mendadak (pada saat itu juga). Untuk dapat dikatakan “melawan hak”, penyerang yang melakukan serangan itu harus melawan hak orang lain atau tidak mempunyai hak untuk itu, misalnya seorang pencuri yang akan mengambil barang orang lain, atau pencuri yang ketahuan ketika mengambil barang orang lain kemudian menyerang pemilik barang itu dengan senjata tajam. Dalam keadaan seperti ini, kita boleh melawan untuk mempertahankan diri dan barang yang dicuri itu sebab si pencuri telah menyerang dengan melawan hak.

Analisis

Berdasarkan penjelasan di atas dan dikaitkan dengan kasus adik Anda, menurut hemat kami adik Anda itu belum dapat dikatakan bersalah telah membunuh sebelum ada putusan pengadilan yang menyatakan dia bersalah melakukan tindak pidana, tapi baru dijadikan sebagai tersangka yaitu seorang yang karena perbuatannya atau keadaannya, berdasarkan bukti permulaan (minimal dua alat bukti) patut diduga sebagai pelaku tindak pidana sebagaimana diatur oleh Pasal 1 angka 14 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (“KUHAP”) dan Putusan MK Nomor 21/PUU-XII/2014. Atau dijadikan sebagai terdakwa yaitu seorang tersangka yang dituntut, diperiksa dan diadili di sidang pengadilan.[1]Pada akhirnya mekanisme pembuktian di pengadilan lah yang akan membuktikan apakah adik Anda bersalah atau tidak.

Perlu diketahui pada prinsipnya, hukum pidana adalah untuk mencari kebenaran materiil yaitu kebenaran yang sesungguhnya mengenai siapa pelaku tindak pidana yang sesungguhnya yang seharusnya dituntut dan didakwa. Untuk tujuan itulah pihak kepolisian harus melakukan penyelidikan dan penyidikan. Jadi, sangat dimungkinkan seorang tersangka kemudian ditahan untuk kepentingan penyidikan sebagaimana diatur oleh Pasal 20 KUHAP.

Dalam hal ini adik Anda harus bersabar dan mengikuti proses persidangan. Karena bagaimana pun adik Anda berhak segera diadili oleh pengadilan. Hakim lah yang menentukan adik Anda bersalah atau tidak.[2]

Adapun adik Anda yang akan menjalani persidangan, kami sarankan untuk memilih penasihat hukum. Hal ini penting guna membela adik Anda di persidangan. Sebagaimana bunyi Pasal 54 KUHAP:

Guna kepentingan pembelaan, tersangka atau terdakwa berhak mendapat bantuan hukum dari seorang atau lebih penasihat hukum selama dalam waktu dan pada setiap tingkat pemeriksaan, menurut tata cara yang ditentukan dalam undang-undang ini.

Adik Anda dapat memilih sendiri penasihat hukumnya, tentu kami sarankan memilih penasihat hukum yang telah memiliki track record yang baik dalam membela klien pada perkara pidana.[3]

Berdasarkan Pasal 49 KUHP di atas adalah pembelaan terpaksa (noodweer) yang merupakan dasar pembenar yang menjadi penghapus pidana. Oleh karena itu adik Anda seharusnya bebas dari tuntutan pidana tersebut.

Contoh Kasus

Sebagai contoh kasus pidana mengenai pembelaan diri dapat kita lihat pada Putusan Pengadilan Negeri Menggala Nomor 50/Pid.B/2008/PN. MGL. Dari fakta yang ada di persidangan kasus berawal dari korban dan salah satu saksi sedang berkelahi dalam keadan mabok minuman keras. Bahwa kemudian terdakwa yang baru datang melihat keributan tersebut, berinisiatif untuk melerai, namun karena korban merasa tidak senang, kemudian bersama-sama dengan teman-temannya berbalik menyerang terdakwa sehingga terdakwa terjatuh. Didapatkan bahwa saat kejadian terdakwa dalam keadaan terjatuh dan terdesak karena dikeroyok oleh korban bersama dengan teman-temannya. Terdakwa hanya membela diri dengan tangan kosong tanpa senjata. Bahwa kemudian tiba-tiba terdengar suara jeritan dari saksi korban yang lansung jatuh tertelungkup dengan badan bersimbah darah karena terkena tusukan benda tajam pada centong lengan kiri yang menyebabkan korban kemudian meninggal dunia.

Ketika saksi korban menjerit dan kemudian jatuh tertelungkup karena tertusuk benda tajam, tidak seorangpun yang melihat siapa yang melakukan penusukan dan juga tidak ada yang melihat terdakwa membawa atau mengeluarkan senjata tajam untuk membela diri. Terlebih tidak ada sama sekali kesengajaan dari diri terdakwa untuk melakukan penganiayaan terhadap korban.

Mejelis Hakim berkesimpulan bahwa dari fakta tersebut di atas apabila dihubungan dengan doktrin baik dari Prof. Moeljatno, SH maupun Prof. Wirjono Prodjodikoro, SH, maka unsur sengaja pada Pasal 388 KUHP (dakwaan kesatu) tidak terpenuhi karena pada saat kejadian terdakwa tidak mengeluarkan atau membawa senjata tajam dengan tujuan untuk mencelakai saksi korban, sehingga tidak ada sama sekali kesengajaan dari diri terdakwa untuk mencelakai saksi korban.

Selain itu dalam pertimbangannya hakim menilai meskipun terdakwa terbukti melakukan tindak pidana yang didakwakan kepadanya, yaitu melanggar pasal 351 ayat (3) KUHP, akan tetapi dari fakta hukum yang ditemukan selama persidangan, Majelis Hakim berpendapat bahwa perbuatan Terdakwa tersebut bukan merupakan tindak pidana (onslaag van alle rechtsvervolging).

Pada amar putusannya, Majelis Hakim tetap menyatakan terdakwa tidak terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana pembunuhan atas Pasal 388 KUHP (dakwaan kesatu). Kemudian Hakim menyatakan terdakwa tersebut terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan tindak pidana penganiayaan yang menyebabkan matinya orang atas Pasal 351 ayat (3) KUHP (dakwaan kedua), akan tetapi perbuatan itu bukan merupakan suatu tindak pidana. Oleh karenanya Majelis Hakim melepaskan terdakwa dari segala tuntutan hukum.

Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat.

Dasar Hukum:

Referensi:

R. Soesilo. 1991. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Serta Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal. Politeia: Bogor.

Putusan:

Putusan Pengadilan Negeri Menggala Nomor 50/Pid.B/2008/PN. MGL.

[1] Pasal 1 angka 15 KUHAP

[2] Pasal 50 ayat (3) KUHAP