1 truk tebu berapa ton

Tanaman tebu memang tidak seheboh padi yang mayoritas tanaman petani di sekitar Indonesia terutama Jawa. Akan tetapi petani yang mempertaruhkan hidupnya untuk menanam tebu tidaklah sedikit. Kurangnya perhatian terhadap para petani tebu membuat para petani bisa dengan mudah dimanfaatkan secara sepihak oleh pabrik-pabrik yang tidak bertanggung-jawab.

Tanaman tebu merupakan bahan baku pembuatan gula dan juga vetsin. Tanaman tebu tergolong tanaman perdu sejenis rumput-rumputan dengan nama latin saccharum officinarum. Tanaman tebu sangat cocok tumbuh di daerah Indonesia yang beriklim tropis. Di Indonesia sendiri tebu paling banyak ditanam di daerah Jawa dan Sumatera. Untuk mendapatkan gula dari tebu harus mengalami beberapa proses yang biasanya dilakukan di pabrik gula. Untuk sebatang tebu hanya 5%-nya yang berbentuk gula, sisanya menjadi ampas, molasse, dan air.

Jika melihat sejarah, penjajah Belanda sempat melakukan sistem kerja paksa membuat rel kereta api di sekitar kebun-kebun tebu hingga ke pabriknya. Pembangunan tersebut dikenal dengan nama megaproyek Anyer-Panarukan era Daendels. Gula pun semakin dikenal sebagai komoditas tanaman yang dibutuhkan pada masa dahulu kala. Pada abad ke-17, VOC mendukung pemukiman Cina di Jawa untuk menghasilkan tebu komersial pertama perdesaan sekitar Batavia. Negara pengkonsumsi kala itu adalah negara-negara Eropa dan Jepang.  Pada masa kemerdekaan, Indonesia sempat menjadi negara terbesar kedua sebagai negara eksportir gula. Bayangkan saja pada kala itu Indonesia mampu mencapai 3 juta ton per tahun dan Negara pesaingnya seperti Brasil dan India hanya mampu sebesar 1 juta ton dan 700 ribu ton. Saat ini tidak manis selayaknya gula, kondisi industri gula di Indonesia semakin terpuruk. Dan kala ini negara ASEAN lain, yaitu Thailand menjadi negara pertama yang mampu mengekspor gula mengalahkan negara-negara produser gula lainnya.

Banyaknya konsumsi gula di Indonesia seharusnya mampu meningkatkan kesejahteraan para petaninya. Tapi ternyata, harga yang tidak stabil dan harga beli tebu yang masih relatif murah membuat para petani mengalami kerugian. Bahkan bisa dikatakan sudah ada unsur perpolitikan uang yang ‘bermain’ dalam naik turunnya harga tebu. Belum ada standarisasi tentang kualitas tebu yang dikeluarkan oleh pemerintah maupun oleh pabrik membuat para petani menerka-nerka apakah tebu yang mereka jual laku atau tidak. Jika kesejahteraan petani tebu tidak segera diperhatikan maka para petani tersebut akan beralih profesi dengan menanam tanaman lain yang lebih menguntungkan. Jika banyak petani yang berpindah jenis tanamannya, maka akan terjadi kekurangan pasokan gula dalam negeri yang tentu saja berakibat menurunnya persediaan gula nasional padahal kebutuhan gula dari tahun ke tahun pasti mengalami peningkatan.

Untuk mulai menanam tebu, para petani juga membutuhkan modal yang besar. Kalau misalnya para petani tebu itu dulunya mananam padi maka dia harus rela mengeringkan sawahnya untuk menanam tebu. Dan biaya produksi bisa sampai 40 juta rupiah per hektar dan biayanya terus-menerus menerus naik setiap tahun. Mana untuk panen dibutuhkan waktu sampai satu tahun, sungguh itu jangka waktu yang lama untuk melakukan perputaran modal usaha. Kalau kita hitung secara akuntasi maka akan digunakan rumus pendapatan penjualan panen yang mana biaya-biaya awal berupa Persiapan lahan, Pembelian Bibit, Biaya Tenaga Kerja Tandur, Biaya Tenaga Kerja Gulut, Pembelian Pupuk, Biaya Tenaga Kerja Pemupukan, Biaya Tenaga Kerja Klembret, Biaya Tenaga Kerja Kepras, Biaya Tenaga Kerja Panen, Biaya Tenaga Kerja Angkut, Biaya Sewa, sehingga muncullah Total Biaya (Raba atau Rugi).

Contoh kasus, anggap saja Bapak X merupakan penduduk desa Rejoso Kecamatan Binangun Kabupaten Blitar yang berprofesi sebagai Petani Tebu. Pak X memiliki lahan tebu Seluas 10 Ha dengan status lahan sewa selama 5 tahun. Biaya sewa untuk tiap 1 ha Rp. 10.000.000,-. Sedangkan biaya tenaga kerja untuk pengelolaan tebu Pak X menggunakan sistem Borongan yang perhektarnya meliputi : Biaya Persiapan lahan (Bajak dan Klayar ) Rp. 3.000.000, Biaya Tenaga Kerja tandur Rp. 2.000.000, Biaya Tenaga Kerja Gulut Rp. 3.000.000, Biaya Tenaga Kerja Pemupukan Rp. 2.000.000, Biaya Tenaga Kerja Klembret (2 kali dalam 1 kali panen) Rp. 4.200.000, Biaya Tenaga Kerja Kepras Rp. 1.500.000. Selain biaya tenaga kerja Pak X juga mengeluarkan biaya untuk pembelian bibit 1 Ha memerlukan bibit sebanyak 8 ton dengan harga per 1 ton Rp. 750.000 jadi biaya bibit untuk 1 ha adalah Rp. 6.000.000, Biaya pembelian pupuk untuk 1 ha adalah Rp. 4.000.000 (Pupuk za dan Phonska). Pada saat panen Pak X mengeluarkan biaya untuk Biaya Tebang Rp. 70.000/ton dan biaya angkut Rp. 80.000/ton. Hasil panen tebu Pak X rata-rata sebanyak 90 ton per 1 ha dalam satu tahun dengan harga tebu rata-rata Rp. 550.000. berdasarkan rumusa yang telah disebutkan diatas maka  Keuntungan pak Suwanto dalam satu tahun sebesar Rp. 113.000.000, satu bulan sebesar Rp. 9.416.667, dan dalam satu hari sebesar Rp. 313.889. Tentu angka lumayan, seandainya harga tebu tidak mengalami turun naik.

Berdasarkan catatan kementrian BUMN yang dikutip dari news.okezone.com, pada tahun 2017 saja kebutuhan gula secara nasional membutuhkan 5,7 juta ton. Dengan rincian 2,8 juta ton kebutuhan konsumsi dan sisanya untuk kebutuhan industri. Padahal setiap para petani tebu hanya mampu memproduksi sekitar 2,2 juta ton. Tentu angka tersebut masih kurang dari kebutuhan nasional sehingga akhirnya dibukalah keran impor untuk memenuhi kebutuhan nasional. Keran impor tentu berakibat semakin murahnya harga gula di para petani lokal sehingga kesejahteraan merekapun semakin menurun.

Saat kita membahas tentang kesejahteraan para petani tebu, ada beberapa faktor yang harus diperhatikan selain harganya. Luasan lahan salah satu faktor yang cukup krusial dalam penanaman tebu. Para petani sekarang semakin sulit menanam tebu dikarenakan penyempitan lahan yang mana telah dikuasai para pengusaha dan oknum-oknum tertentu saja. Lalu ada faktor rendemen, yang mana faktor ini juga tidak transparan antara pabrik dengan petani tebu. Pabriklah yang menentukan tebu para petani yang telah dibawa ke mereka memiliki rendemen yang banyak ataupun tidak. Semakin sedikit kandungan rendemen dalam suatu tebu maka semakin murah juga harga tebu tersebut. Hal tersebut dipersulit dikarenakan para petani tebu skala kecil hanya bisa menjual tebu yang mereka miliki ke tengkulak atau pengepul. Para petani begitu tergantung dalam struktur pasar oligopolistis yang ditentukan oleh pasar tanpa keterlibatan mereka secara langsung. Walau ada regulasi yang dilakukan pemerintah terhadap pertanian tbu diantaranya dari UU No. 18 Tahun 2012 tentang Pangan dan UU No. 41 Tahun 2009 tentang Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan yang ingin menjamin semua kebutuhan para petani, sayangnya praktik di lapangan tidak diterapkan dengan baik bahkan diacuhkan. Hingga akhirnya para petani mulai gerah tentang beberapa kebijakan yang tidak sepenuhnya mendukung mereka.

Contoh yang paling nampak adalah politik tebu yang ada di Blitar. Dikutip dari Jatimtimes.com, disana walaupun pada tahun 2018 ini akan ada tiga investor yang akan masuk dari penanaman modal dalam negeri (PMD) serta penanaman modal asing (PMA), yakni PT Rejoso Manis Indo, PT Olam Sumber Manis, dan PT Kencana Gula Manis. Pembangunan para pabrik tersebut tentu akan menjadi angin harapan untuk para petani dalam memudahkan mereka menjual tebu mereka, akan tetapi ternyata sebelum beroperasi saja ada pabrik yang bermasalah sehingga menimbulkan konflik. Belum selesainya pembebasan lahan rakyat dan pabrik. Untuk PT Mauryek Indovest sendiri, bangunan mereka berada di tengah sungai sehingga sungai yang seharusnya berfungsi sebagai irigasi warga mulai beralih fungsi.

Untuk membuat pabrik diterima oleh masyarakat Blitar, pabrik mengeluarkan beberapa kebijakan yang menguntungkan para petani diantaranya biaya pemeliharaan dan bibit dikucurkan langsung ke petani. Dan dibentuknya kerjasama antara petani an lembaha masyarakat desa hutan (LMHD) tapi hal tersebut ternyata belum bisa mendamaikan konflik yang ada di masyarakat. Karena ketiga pabrik tersebut masih terlihat ‘bodong’ baik dari segi infrastruktur maupun proses pengolahan lahan yang anehnya ijin pendirian pabrik sudah ditandatangani oleh bupati Blitar. Hingga akhirnya pada hari senin tanggal 19 Maret 2018 kemarin, para petani Tebu Blitar menggelar demo menolak pembangunan pabrik gula. Massa menuntut salah satu pabtik yaitu PT Olam Sumber Manis agar dicabut pabriknya dikarenakan beberapa alasan pabrik tersebut akan menimbulkan konflik internat dikarenakan jaraknya terlalu dekat dan instrukturnya jauh dari memadai untuk sebuah pabrik.

Gula yang dihasilkan oleh tanaman tebu telah menjadi salah satu barang yang tidak boleh tidak ada di dapur keluarga. Kemanisan gula dibutuhkan dalam menyedapkan rasa makanan dan minuman, bersama dengan garam, minyak goreng, dan beras, mengharuskan keberadaan mereka selalu ada di setiap kesempatan. Peran pemerintah harus lebih dalam dalam masuk ke dalam produksi gula yang ada saat ini. Pemerintah harus berani mengeluarkan kebijakan-kebijakan yang pro-rakyat yang harus memperkuat industri gula dan melindungi para petani, Untuk mencapai swasembada gula, pemerintah harus konsisten mendukung aspek penyediaan areal, proteksi dan insentif harga, agro-input, pengembangan varietas tebu unggulan, Tandur tebu, kemudahan memperoleh bibit tebu, diajarkan cara terbaik dalam melakukan pembajakan lahan dan penanaman bibit tebu. Untuk penggunaan tandur, walau hanya dilakukan sekali dalam kurun waktu kurang lebih 5 sampai 10 tahun, perilaku dalam pembiayaan tandur akan mempengaruhi biaya-biaya yang akan dikeluarkan selanjutnya dan pendapatan yang akan diterima petani. Pemerintah juga harus ikut membantu processing hingga pemasaran gula yang kondusif. Revitalisasi harus terus didorong sehingga pabrik gula dapat beroperasi lebih efisien dan tidak sehingga pabrik gula dapat beroperasi lebih efisien dan tidak menentukan harga secara sepihak.(*)

1 truk tebu berapa ton

Nur Ika Mauliyah, SE, M.Ak (Dosen Akuntansi Fakultas Ekonomi, Universitas Islam Balitar)

Berapa ton tebu dalam 1 hektar?

Jika produktivitas tebu sebelumnya hanya mampu menghasilkan 70-90 ton/ha, kini setelah menerapkan teknologi juring ganda produksinya bisa mencapai 135-150 ton/ha.

Berapa pendapatan dari tebu per ha?

Pendapatan petani tebu sistem tanam baru sebesar Rp 8.545.330 per hektar.

Berapa lama masa panen tebu?

Sidoarjo, 2 Juni 2021 - Panen tebu dilakukan pada tingkat kemasakan optimum, yaitu pada umur 11-12 bulan saat tebu dalam kondisi mengandung gula tertinggi. Setelah berumur kurang lebih 12 bulan, tanaman tebu kini siap ditebang.

Berapa produksi tebu nasional?

Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, jumlah produksi gula tebu di Indonesia mencapai 2,42 juta ton pada 2021. Nilai ini lebih tinggi 13,5% dibanding tahun sebelumnya yang sebesar 2,13 juta ton.