Wabah tha un terjadi berapa lama

Liputan6.com, Jakarta - Pada tahun 18 Hijriah, terjadi wabah Tha'un di Amawas, yang kemudian menyebar cepat ke dataran rendah Yordania. Keganasan virus itu terus mengintai orang di sana, yang di antaranya pasukan kaum muslimin. Di antara mereka ada Abu Ubaidah yang merupakan pemimpin pasukan, Muadz bin Jabal, Syurahbil bin Hasanah, dan sahabat lainnya.

Dalam buku 10 Shahabat yang dijamin masuk surga, karya Abdus Sattar Asy-Syaikh, dikisahkan bahwasanya Khalifah Umar bin Khattab berangkat menuju Syam. Ketika sampai di Sargh, ia ditemui para panglimanya. Yaitu Abu Ubaidah bin Jarrah serta para sahabatnya. Mereka memberitakan bahwa sebuah wabah penyakit telah menyebar di negeri Syam.

Ibnu Abbas meriwayatkan, Umar berkata, panggilkan kepadaku kelompok Muhajirin yang pertama. Mereka pun datang dan bermusyawarah. Mereka mengabarkan bahwa wabah penyakit telah menyebar di negeri Syam, dan mereka berselisih pendapat dalam menghadapinya. Khalifah Umar pun berkata, "Tinggalkan aku. Panggilkanlah para sahabat Anshar untukku."

Maka dipanggillah dan Umar bermusyawarah dengan mereka. Perselisihan pendapat pun terjadi di sana. Umar kembali berkata, "tinggalkan aku. Panggil orang Quraisy yang hijrah saat penaklukan Mekah." Lantas dipanggillah mereka dan tidak ada diantara perselisihan pendapat dalam masalah tersebut.

Mereka berkata kami berpendapat bahwa Engkau (Khalifah Umar) harus kembali dan janganlah engkau membawa orang-orangmu dalam daerah tersebut. Maka Umar pun mengumumkan di hadapan pasukannya. "Sesungguhnya aku akan berangkat besok pagi, maka berangkatlah bersamaku."

Maka Abu Ubaidah bin jarrah berkata, "apakah engkau melarikan diri dari takdir Allah? Umar menjawab, ya betul kami lari dari takdir Allah menuju takdir Allah yang lain.

Lalu datanglah Abdurrahman bin auf, yang ia sempat tidak hadir karena suatu keperluan, kemudian ia berkata, "aku memiliki sebuah ilmu dalam hal ini, aku mendengar Rasulullah bersabda jika engkau mendengar suatu wabah di suatu negeri maka janganlah kalian memasukinya namun jika itu terjadi di sebuah negeri dan kalian telah berada di dalamnya, maka janganlah melarikan diri darinya. Maka Umar memuji Allah dan berlalu.

Umar kembali ke Madinah dengan orang-orang yang bersamanya, sedangkan Abu Ubaidah dan orang-orang yang bersama mereka kembali ke dataran rendah Yordania.

Wabah masih terus mengganas. Banyak nyawa yang melayang akibat virus tersebut. Umar sangat mengkhawatirkan keselamatan pasukannya dari wabah tersebut. Ia ingin menyelamatkan mereka dari keganasan virusnya.

Khalifah Umar pun mengirim perintah dan arahannya kepada Abu Ubaidah yang memintanya untuk membawa kaum muslimin keluar dari lokasi itu dan membawa mereka ke dataran tinggi lebih luas serta berudara bersih jauh dari penyakit. Umar juga meminta Abu Ubaidah untuk pergi Madinah guna suatu keperluan. Namun Abu Ubaidah mengira bahwa Umar hanya ingin menyelamatkannya tanpa pasukan yang lain. Ia pun meminta maaf kepada Umar karena tidak bisa melaksanakan perintah tersebut.

"Saat ini aku berada di pasukan kaum muslimin dan aku tidak akan mementingkan diriku dengan meninggalkan mereka. Sesungguhnya aku telah memahami permintaanmu dan bahwa engkau ingin mempertahankan seorang yang tidak akan kekal. Jika surat ini sampai ke tanganmu, bebaskan aku dari perintahmu. Dan izinkanlah aku untuk tetap menetap di sini," tulis Abu Ubaidah dalam suratnya kepada Khalinfah Umar bin Khattab.

Ketika Khalifah Umar membaca surat tersebut, air matanya mengambang dan menangis. Orang-orang yang bersamanya pun bertanya,"wahai Amirul mukminin, apakah Abu Ubaidah telah meninggal? Umar menjawab, "belum namun seakan-akan dia sudah meninggal."

Pandemi Covid-19 memotivasi masyarakat menelusuri wabah yang pernah terjadi pada zaman dahulu. Jika menelusuri sejarah Romawi, kita akan menemukan Wabah Antonin pada tahun 180 M.

Ini adalah penyebaran penyakit kuno yang dibawa pulang tentara Romawi setelah bertempur di timur dekat. Sebutan lainnya adalah wabah Galen, nama orang yang menggambarkan betapa mematikannya penyakit ini.

Wabah ini dipercaya sebagai cacar air, namun penyakit yang sesungguhnya belum diketahui secara pasti. Penyakit ini telah membunuh kaisar Romawi Lucius Verus dan Marcus Aurelius Antoninus. Kematian Antoninus mengilhami penyebutan wabah antonin.

Wabah ini merenggut 2.000 nyawa dalam waktu sehari, berdasarkan catatan sejarawan Dio Cassius. Dia mencatat angka kematian mencapai 5 juta jiwa. Wabah Antoninus menghabisi sepertiga penduduk Romawi dan menghancurkan kekuatan militernya yang dikenal gagah. 

Lainnya adalah Wabah Yustinius (Justinian Plague) yang terjadi pada tahun 541-542 M adalah salah satu pandemik terbesar yang sering disebut para sejarawan.

Sejarah juga mencatat wabah Shirawayh yang terjadi pada masa Nabi Muhammad SAW sekira tahun 627-628, dan wabah Amwas (Emmaus) pada sekira tahun 688-689 di era kekhalifahan Umar bin Khattab. Ini adalah sebuah wabah yang menimpa negeri Syam pada abad ketujuh Masehi. Kemungkinan wabah ini merupakan penyakit pes yang muncul kembali setelah Wabah Yustinianus pada abad ke-6.

Nama wabah ini berasal dari kota Amwas atau Emmaus-Nikopolis di Palestina, yang merupakan markas utama pasukan Muslim di Syam dan tempat wabah ini mulai menyebar. Wabah ini menyebabkan meninggalnya 25.000 prajurit Muslim dan keluarganya, termasuk petinggi umat Islam seperti Abu Ubaidah bin Jarrah, Muadz bin Jabal, Yazid bin Abi Sufyan, dan Syurahbil bin Hasanah, yang juga merupakan para sahabat Nabi dalam Islam. 

Selain itu, di antara pandemi paling mematikan dalam sejarah umat manusia adalah apa yang dikenal sebagai “Maut Hitam” (the Black Death) yang melanda Timur Tengah dan Eropa mulai 1347 hingga pertengahan abad ke-15. Bencana panjang ini telah menewaskan hampir 60 persen populasi penduduk Eropa di Abad Pertengahan.

Indonesia sendiri pernah mengalami pandemik mematikan pada abad ke-19 dan awal abad ke-20, termasuk Flu Spanyol pada 1918. Sayangnya, sumber-sumber primer yang memuat pengetahuan tentang sejarah wabah yang pernah menimpa umat masa lalu itu belum banyak diketahui masyarakat Indonesia, setidaknya hingga pandemi Covid-19 melanda.

Indonesia sendiri pernah mengalami pandemik mematikan pada abad ke-19 dan awal abad ke-20, termasuk Flu Spanyol pada 1918.

Padahal, peristiwa tersebut sangat melekat dalam sejarah umat manusia, khusunya masyarakat Muslim mulai masa Nabi, masa khulafaurrasyidin, masa kekhalifahan Dinasti Abasyiyah, abad pertengahan, hingga abad ke-19.

Gap pengetahuan masyarakat terkait sejarah pandemi ini mengakibatkan kita lalai dan kurang waspada, termasuk ketika Covid-19 mulai melanda. Masyarakat Indonesia kurang memiliki memori kolektif tentang bahaya wabah menular, dan tentang betapa mematikannya wabah itu ketika kita keliru menyikapinya.

Mengingat bahwa pandemi wabah adalah semacam siklus sejarah umat manusia yang terus berulang, maka sudah sepatutnya pengetahuan tentang itu menjadi bagian dari memori kolektif pengetahuan bersama, agar kita bisa melakukan mitigasi yang lebih waspada.

Kita beruntung bahwa ternyata para penulis Muslim Abad Pertengahan banyak menghasilkan karya terkait wabah yang terjadi hingga abad ke-14 tersebut. Mereka banyak mengemukakan pandangan-pandangan teologis menyikapi wabah. Karya-karya tersebut ditulis dalam bentuk manuskrip tulisan tangan (manuscript), yang sebagiannya sudah diterbitkan dalam bentuk cetak kitab. 

Salah satu manuskrip terpenting yang terkait dengan pandemi wabah, atau yang disebut tha’un, khususnya yang terjadi pada Abad Pertengahan, adalah Badzlul Ma’un fi Fadhl al-Tha’un  karangan al-Hafiz Ibnu Hajar al-‘Asqalani (1372-1449 M), yang diterjemahkan Turos Pustaka tahun lalu.

Turos Pustaka menilai buku ini sangat strategis dibaca masyarakat saat ini meski ditulis pada abad ke-15 M. Sebab di dalamnya terdapat catatan mengenai wabah yang terjadi di berbagai tempat sepanjang kekuasaan Islam. Pengarang juga membadah hadis dan juga nasihat ulama kesehatan,seperti Ibnu Sina, tentang asal usul wabah dan cara menghadapinya. Ini merupakan kekhasan Kitab Badzlul Ma’un fi Fadhl al-Tha’un yang menyatukan pendapat dan pandangan banyak ulama.

Buku ini juga memuat tuntunan bagi masyarakat dalam menghadapi pandemi. Misalkan larangan memasuki daerah yang dilanda wabah. Hal ini merupakan sunah Rasulullah yang menjadi pedoman Umar bin Khattab dari Abdillah bin Amir bin Rabiah dan Abdurrahman bin Auf  dan diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Muslim.

إِذَا سَمِعْتُمْ بِهِ بِأَرْضٍ فَلَا تَقْدَمُوا عَلَيْهِ وَإِذَا وَقَعَ بِأَرْضٍ وَأَنْتُمْ بِهَا فَلَا تَخْرُجُوا فِرَارًا مِنْهُ 

Bagi yang mengidap wabah, harus memisahkan diri dari yang sehat atau mengisolasi diri. Biarkan yang terdampak wabah ditangani ahlinya.

Kemudian memohon kesembuhan. Di antara doa itu, sebagaimana hadis dari Abu Hurairah adalah 

اَللَّهُمَّ اِنِّي اَسْاَلُكَ الْمُعَافَاةَ فِى الدُّنْيَا وَ الْاَخِرَة

Kesabaran menjadi senjata orang beriman dalam menghadapi ujian seperti sekarang. Allah SWT menggambarkan mereka yang bersabar dengan begitu banyak derajat dan kebaikan.  Mereka pun dijanjikan imbalan yang begitu besar. 

مَا عِندَكُمْ يَنفَدُ ۖ وَمَا عِندَ ٱللَّهِ بَاقٍ ۗ وَلَنَجْزِيَنَّ ٱلَّذِينَ صَبَرُوٓا۟ أَجْرَهُم بِأَحْسَنِ مَا كَانُوا۟ يَعْمَلُونَ

Apa yang di sisimu akan lenyap, dan apa yang ada di sisi Allah adalah kekal. Dan sesungguhnya Kami akan memberi balasan kepada orang-orang yang sabar dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan.

Kesabaran adalah hal yang sulit dilaksanakan masyarakat. Seperti sekarang ini, banyak orang jenuh menghadapi Covid-19 karena sudah berjalan setahun dan belum berkesudahan. Pada akhir tahun 2020, mereka tak kuasa lagi menahan diri, sehingga banyak yang berlibur mengunjungi tempat rekreasi. Akibatnya fatal, angka kasus positif melonjak tajam hingga mencapai 10 ribuan kasus baru berdasarkan catatan Satgas Covid-19. Angka ini merupakan lonjakan tertinggi dibandingkan hari-hari sebelumnya.

Sabar menghadapi pandemi dilakukan dengan menahan diri untuk meminimalisasi keluar rumah. Masyarakat diimbau lebih banyak beraktivitas di rumah dan lingkungan sekitarnya. Kemudian memperbanyak ibadah berpasrah diri kepada Allah.

Cerita penyusunan kitab

Berdasarkan catatan Ibnu Hajar, hingga abad ke-15 M, sekitar 40-an wabah ekstrem terjadi pada masa kepemimpinan Islam yang menyebabkan kematian masif. 

Karya ini ditulis ketika Ibnu Hajar mengalami sendiri dampak wabah di Mesir pada 1444. Ia menyelesaikan penulisannya pada 1449. Saat itu, tiga putri Ibnu Hajar meninggal akibat wabah, yang sulung di antaranya, yakni Zayn Khatun, bahkan wafat dalam keadaan hamil.

Kitab Badzlul Ma’un dapat dianggap sebagai contoh karya ulama Abad Pertengahan yang melakukan interpretasi atas hadits-hadits terkait tha’un, yang sebagiannya dianggap bertentangan dengan penjelasan ilmu alam dan kedokteran.

Seperti dapat dibaca dalam buku ini, Ibnu Hajar percaya bahwa wabah menimpa manusia akibat ulah jin. Pandangan ini memang banyak berkembang di kalangan Muslim yang juga meyakini bahwa wabah itu dikirim langsung oleh Tuhan, jadi bukan karena menular. Perdebatan teologis atas hal ini menjadi bagian tema diskusi yang berkembang cukup dinamis di kalangan cendekiawan Muslim sejak abad ke-9.

Dalam manuskrip klasik berbahasa Arab yang berjudul “Badzlu al Maun Fi Fadhli al Thaun” karya ulama terkemuka Abad Pertengahan, al-Hafiz Ibn Hajar al-Asqalani (1372-1449 M),  Ahmad Isham Abdul Qadir al-Katib sebagai muhaqqiq memberikan kata pengantar, sehingga para pembaca mendapatkan konteks dari isi kitab karangan al-Asqalani tersebut.

Dalam pengantarnya, Ahmad Isham menjelaskan tentang latar belakang yang pernah menimpa kehidupan al-Asqalani, di mana ketiga putrinya wafat karena diakibatkan thaun atau wabah. Kedua putri al-Asqalani, Fatimah dan Aliyah dijelaskan wafat pada 819 Hijriah atau sekitar 1416 M. Setelah itu, putrinya yang bernama Zaidatun juga wafat dalam keadaan hamil pada 833 Hijriyah.

Dalam kitab ini memang didiskusikan apakah al-Asqalani mengarang kitabnya ini karena dipengaruhi wafatnya ketiga putrinya tersebut atau tidak. Sangat mungkin musibah tersebut menjadi salah satu alasan al-Asqalani untuk mengarang kitab ini.

Selain itu, al-Asqalani dalam manuskrip ini juga membahas tentang definisi penyakit penular.  Di dalam berbagai literatur Islam yang disebut penyakit menular itu memang  ada dua istilah yaitu thaun dan waba’. Namun, yang menarik dalam kitab Badzlu al Maun ini, al-Asqalani membedakan pengertian keduanya.

“Apa bedanya thaun dengan waba’, jadi thaun itu lebih khusus ketimbang waba’. Jadi waba’ itu lebih umum, kalau thaun lebih spesifik seperti covid-19. Semuanya itu disebut waba’ dalam bahasa Arab. Intinya setiap thaun itu bawa’, tidak setiap waba’ itu thaun,” kata guru besar Filologi Islam UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Omaf Fathurrahman.

Jadi, berdasarkan definisi yang diberikan al-Asqalani dalam manuskrip tersebut, menurut dia, belum tentu yang disebut thaun ini sama halnya dengan Covid-19 yang ada sekarang. “Tetapi secara umum, yang disebut at-thaun itu salah satu jenis penyakit yang menular yang sampai menimbulkan pandemik,” ujar Kang Oman.

Dalam manuskrip kuno ini, menurut Kang Oman, Al-Asqalani mendefinisikan thaun sebagai satu jenis penyakit yang bisa menimpa kebanyakan manusia, tidak pendang bulu, tidak bandang gender, dan bisa menular dengan berbagai cara.

“Katanya, memang ini agak berbeda dengan banyak penyakit-penyakit yang lain yang biasa sepeti sakit kepala, jantung, sakit perut, yang tidak menular,” ucapnya. 

Karena itu, Allah SWT memberikan beberapa kelebihan kepada Nabi Sulaiman untuk urusan dunia. Di antaranya, kekuasaan Nabi Sulaiman yang meliputi jin dan binatang, kendaraan angin yang bergerak sesuai keinginannya, dan kekuasaan yang sangat luas. Hal ini sebagaimana firman Allah SWT dalam Surat Shad Ayat 35-38.

Thaun sangat berbahaya dari segi penyebarannya, sehingga dalam konteks virus Covid-19 sekarang ini masyarakat Muslim hendaknya juga mengikuti penjelasan dari ahli medis untuk disiplin dalam melakukan fisical distancing ataupun sosial distancing.  Karena, hal ini juga telah diajarkan pada abad ke-14 silam oleh al-Asqalani. 

Selain itu, dalam manuskrip Arab ini juga dijelaskan tentang penyebaran thaun kala itu ke beberapa penjuru dunia, seperti ke Arab, Eropa,  dan Cina. Wilayah-wilayah terdampak thaun tersebut sekarang juga menjadi wilayah yang terdampak virus Corvid-19.   

“Jadi thaun ini tidak hanya menimpa dunia Islam saja, hampir seluruh dunia. Makanya disebut pandemi. Jadi, thaun yang terjadi pada ke-9 Hijriah dan yang mencapai puncaknya pada abad 14 ini juga sampai ke Eropa dengan sangat mematikan,” kata Kang Oman.

Pada akhir abad ke-19, thaun tersebut kemudian menyebar ke hampir seluruh penjuru dunia, termasuk ke China Selatan. Sedangkan manusia yang wafat akibat thaun ini mencapai 10 juta orang. Sayangnya, belum diketahui apakah thaun tersebut juga menyebar ke nusantara atau tidak.

Karena, lanjut Kang Oman, sumber manuskrip tentang thaun tersebut sampai saat ini belum ditemukan. Hanya saja, dalam penelitian yang pernah dilakukan, pandemi juga pernah terjadi di Hindia Belanda pada 1918 M, yang dikenal dengan Flu Spanyol. “Sudah ada beberapa penelitian, tapi yang terkait dengan manuskrip ini perlu dicari lagi mungkin,” jelas Kang Oman.