Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup Apakah masih berlaku?

Pada awal bulan Oktober 2020 yang lalu, Pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) mengesahkan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (UU Ciptaker), walaupun masih mendapat kritikan dari masyarakat. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tersebut menghapus dan/atau mengubah serta menggabungkan beberapa undang-undang yang berlaku ke dalam satu undang-undang.

Pasal-pasal kontroversial bermunculan, termasuk isu lingkungan hidup. Menurut masyarakat dan para aktivis yang selama ini peduli dengan masalah lingkungan hidup, UU Ciptaker tidak ramah lingkungan dan tidak menjamin kelestarian alam. UU Cipta Kerja menghapus, mengubah, dan menetapkan aturan baru terkait perizinan berusaha yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (UU PPLH). Salah satu isu yang menjadi sorotan adalah mengenai ketentuan analisis mengenai dampak lingkungan hidup (Amdal).

Dalam UU Ciptaker, terdapat sekitar 4 (empat) isu terkait ketentuan Amdal yang diubah:

Pertama, mengenai kegunaan Amdal. Dalam UU Ciptaker, Amdal yang dibuat oleh pemrakarsa yang bersertifikat (penyusun Amdal) dijadikan sebagai dasar uji kelayakan lingkungan dalam penyelenggaraan usaha dan/atau kegiatan. Uji kelayakan lingkungan dilakukan oleh sebuah tim yang dibentuk oleh lembaga uji kelayakan lingkungan hidup pemerintah pusat. Tim tersebut terdiri atas usur pemerintah pusat, pemerintah daerah, dan ahli bersertifikat. Ouput dari uji kelayakan tersebut berupa rekomendasi mengenai kelayakan atau ketidaklayakan lingkungan. Berdasarkan rekomendasi tersebut, Pemerintah Pusat atau Pemerintah Daerah menetapkan keputusan tentang kelayakan lingkungan, dan penetapan kelayakan lingkungan tersebut digunakan sebagai persyaratan penerbitan perizinan berusaha. Hal ini berbeda dengan ketentuan yang sebelumnya diatur dalam UU PPLH, yakni: Amdal merupakan dasar penetapan keputusan kelayakan lingkungan penyelenggaraan usaha dan/atau kegiatan. Namun, sebelum Amdal dijadikan dasar penetapan, dokumen Amdal sebagaimana diatur dalam UU PPLH terlebih dahulu dinilai oleh Komisi Penilai Amdal yang dibentuk menteri, gubernur, atau bupati/wali kota sesuai kewenangan. Jika tidak ada rekomendasi Amdal, maka izin lingkungan tak akan terbit.

Kedua, UU Ciptaker mengubah ketentuan Pasal 25 huruf c tentang berkas yang harus ada dalam dokumen Amdal. Salah satu syarat dokumen yang diubah yaitu mengenai saran masukan serta tanggapan dari masyarakat. Dalam UU PPLH  diatur bahwa dokumen Amdal salah satunya harus memuat saran masukan serta tanggapan masyarakat terkena dampak langsung yang relevan teradap rencana usaha/kegiatan, sedangkan dalam UU Ciptaker, saran masukan serta tangapan dari masyarakat (tidak harus masyarakat yang terkena dampak langsung).

Ketiga, dalam proses penyusunan Amdal, baik UU Ciptaker maupun UU PPLH sama-sama mengatur mengenai keterlibatan masyarakat. Namun, ketentuan dalam UU Ciptaker mempersempit definisi masyarakat. Masyarakat yang dimaksud dalam UU PPLH adalah masyarakat yang terkena dampak; pemerhati lingkungan hidup; dan/atau yang terpengaruh atas segala bentuk keputusan dalam proses Amdal, sedangkan dalam UU Ciptaker, masyarakat yang dimaksud adalah hanya masyarakat yang terkena dampak langsung.

Keempat, perubahan mengenai mekanisme keberatan atas Amdal. UU PPLH menyediakan ruang bagi masyarakat yang keberatan dengan dokumen Amdal untuk dapat mengajukan keberatan atau upaya hukum, sedangkan dalam UU Ciptaker tidak diatur mengenai mekanisme keberatan atas Amdal. UU Ciptaker menghapus ketentuan mengenai mekanisme keberatan tersebut, yaitu dengan menghapus ketentuan mengenai komisi penilai Amdal yang dalam diatur dalam Pasal 29, Pasal 30 dan Pasal 31 UU PPLH. Ketiadaan mekanisme keberatan ini memantik perdebatan dimasyarakat karena mekanisme ini dianggap sangat penting untuk memastikan kelestarian lingkungan, terutama untuk menjaga agar dokumen Amdal tidak dibuat sembarangan atau sekedar formalitas.

Hal lain yang sejalan dengan ketentuan Amdal, yang juga menimbulkan perdebatan adalah dihapusnya pasal mengenai kewajiban izin lingkungan. Dalam UU Ciptaker, izin lingkungan tidak diatur secara tegas. Namun, untuk mendapatkan izin berusaha, pemohon harus mendapatkan keputusan mengenai kelayakan lingkungan. Izin Lingkungan dalam UU PPLH diubah nomenklatur dan substansinya menjadi persetujuan lingkungan dalam UU Ciptaker. Pasal 22 angka 35 UU Ciptaker mendefinisikan Persetujuan Lingkungan adalah Keputusan Kelayakan Lingkungan Hidup[1] atau pernyataan Kesanggupan Pengelolaan Lingkungan Hidup yang telah mendapatkan persetujuan dari pemerintah Pusat atau Pemerintah Daerah.

Perubahan-perubahan dalam UU Ciptaker yang mengubah ketentuan UU PPLH terutama mengenai Amdal dan izin lingkungan dianggap oleh sejumlah pegiat lingkungan sebagai pelemahan yang mengancam kelestarian alam, apalagi analisis dampak lingkungan hanya untuk proyek berisiko tinggi, sedangkan dasar untuk menentukan proyek berisiko rendah atau tinggi belum terang benar aturan mainnya sampai sekarang.[2] Ada pula kekhawatiran bahwa perubahan aturan ini berpotensi mudahnya menerbitkan Amdal “abal-abal” karena proses penerbitan Amdal ini tanpa kontrol masyarakat. Padahal, partisipasi masyarakat menjadi “jiwa” dalam penerbitan Amdal.[3]

Hasil indeksasi terhadap 164 putusan TUN yang dilakukan Lembaga Kajian dan Advokasi Independensi Peradilan (LeIP) menunjukkan banyak izin lingkungan yang disengketakan di pengadilan tata usaha negara. Dari 164 putusan, terdapat 30 putusan mengenai sengketa izin lingkungan. Dari 164 putusan tersebut, LeIP juga menemukan putusan yang menguji Amdal, terutama keterlibatan masyarakat. Dalam putusan 580 K/TUN/2018, Majelis Hakim memberi pertimbangan tentang harus adanya unsur masyarakat dalam komisi Amdal.

Berdasarkan pemaparan di atas, LeIP bermaksud mengadakan diskusi publik. Setidaknya ada tiga pertanyaan pokok yang hendak dibahas:

  1. Kriteria masyarakat yang dilibatkan dalam menyusun Amdal berdasarkan UU Ciptaker adalah hanya sebatas masyarakat yang terkena dampak langsung. Kriteria ini dipersempit jika dibandingkan pengaturan dalam UU PPLH. Apa dampaknya ke depan ketika yang dilibatkan hanya masyarakat yang terkena dampak langsung? Apakah masih ada peluang bagi organisasi lingkungan hidup untuk berperan dalam menyusun dokumen Amdal?
  2. UU Ciptaker menghapus mekanisme keberatan atau upaya hukum terhadap Amdal. Bagaimana pemerintah memastikan bahwa Amdal yang diterbitkan dilahirkan berdasarkan prosedur yang benar dan memastikan perlindungan terhadap lingkungan?
  3. Izin lingkungan tidak diatur secara tegas dalam UU Ciptaker. Dalam UU Ciptaker, izin usaha dapat diterbitkan apabia sudah ada Persetujuan Lingkungan, yaitu Keputusan Kelayakan Lingkungan Hidup  atau pernyataan Kesanggupan Pengelolaan Lingkungan Hidup yang telah mendapatkan persetujuan dari pemerintah Pusat atau Pemerintah Daerah.

Berikut materi dari para pembicara:

  1. Alfeus Jebabun, S.H., M.H. (Peneliti LeIP), unduh materi di sini.
  2. Grita Anindarini Widyaningsih, S.H., LL.M. (Deputi Program Indonesian Center for Environmental Law) unduh materi di sini.
  3. Prof. Muhammad Ramdan Andri Gunawan Wibisana, S.H., LL.M., Ph.D. (Wakil Dekan Bidang Pendidikan, Penelitian, dan Kemahasiswaan, Fakultas Hukum Universitas Indonesia), unduh materi di sini.

[1] Keputusan Kelayakan Lingkungan Hidup adalah keputusan yang menyatakan kelayakan lingkungan hidup dari suatu rencana usaha dan/atau kegiatan yang wajib dilengkapi dengan Amdal (Penjelasan Pasal 22 angka 3 UU Ciptaker)

[2] https://katadata.co.id/sortatobing/ekonomi-hijau/5f7c3f0e25cc1/bahaya-pasal-pasal-omnibus-law-uu-ciptaker-yang-ancam-lingkungan-hidup, diakses hari Senin, 28 Desember 2020.

[3] https://www.hukumonline.com/berita/baca/lt5f981318c8f7d/guru-besar-fhui–uu-cipta-kerja-sektor-lingkungan-tidak-lebih-baik-dibanding-uu-pplh?page=2, diakses tanggal 29 Desember 2020

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menyatakan bahwa lingkungan hidup yang baik dan sehat merupakan hak asasi dan hak konstitusional bagi setiap warga negara Indonesia. Oleh karena itu, negara, pemerintah, dan seluruh pemangku kepentingan berkewajiban untuk melakukan perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup dalam pelaksanaan pembangunan berkelanjutan agar lingkungan hidup Indonesia dapat tetap menjadi sumber dan penunjang hidup bagi rakyat Indonesia serta makhluk hidup lain.

Negara Kesatuan Republik Indonesia terletak pada posisi silang antara dua benua dan dua samudera dengan iklim tropis dan cuaca serta musim yang menghasilkan kondisi alam yang tinggi nilainya. Di samping itu Indonesia mempunyai garis pantai terpanjang kedua di dunia dengan jumlah penduduk yang besar. Indonesia mempunyai kekayaan keanekaragaman hayati dan sumber daya alam yang melimpah. Kekayaan itu perlu dilindungi dan dikelola dalam suatu sistem perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup yang terpadu dan terintegrasi antara lingkungan laut, darat, dan udara berdasarkan wawasan Nusantara.

Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (PPLH) menurut UU no 32 tahun 2009 pasal 1 ayat (2) adalah upaya sistematis dan terpadu yang dilakukan untuk melestarikan fungsi lingkungan hidup dan mencegah terjadinya pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup yang meliputi perencanaan, pemanfaatan, pengendalian, pemeliharaan, pengawasan, dan penegakan hukum. UU disahkan di Jakarta, 3 Oktober 2009 oleh Presiden dan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia, Andi Mattalatta.

Dalam UU ini tercantum jelas dalam Bab X bagian 3 pasal 69 mengenai larangan dalam perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup yang meliputi larangan melakukan pencemaran, memasukkan benda berbahaya dan beracun (B3), memasukkan limbah ke media lingkungan hidup, melakukan pembukaan lahan dengan cara membakar, dan lain sebagainya.

Larangan-larangan tersebut diikuti dengan sanksi yang tegas dan jelas tercantum pada Bab XV tentang ketentuan pidana pasal 97-123. Salah satunya adalah dalam pasal 103 yang berbunyi: Setiap orang yang menghasilkan limbah B3 dan tidak melakukan pengelolaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 3 (tiga) tahun dan denda paling sedikit Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) dan paling banyak Rp3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah).