Tradisi mepasah merupakan tradisi pemakaman adat yang terdapat di desa

Jakarta -

Membicarakan tradisi dan kebudayaan di Indonesia, tentunya tak akan ada habisnya. Kebudayaan dan tradisi bangsa ini layaknya harta peninggalan yang tak akan pernah habis seumur hidup, meski sudah banyak tradisi yang kemudian termodernisasi, tapi tentu saja jauh lebih banyak lagi tradisi yang lestari dan terjaga kesakralannya. Uniknya tradisi di Indonesia tidak hanya berafiliasi pada yang hidup atau benda-benda peninggalan, tetapi juga pada yang mati.

Salah satu tradisi yang berkaitan dengan kematian dan masih sangat kental terpelihara yaitu tradisi kematian di Desa Trunyan, Bali. Desa Trunyan ialah desa tertua di Pulau Dewata. Ada kepercayaan yang beredar mengenai desa ini, mereka, setidaknya orang-orang di Desa Trunyan, percaya bahwa leluhur mereka adalah manusia yang langsung turun dari langit untuk memberikan kehidupan di desa Trunyan tanpa kontaminasi adat mana pun.

Berbicara soal kematian di Desa Trunyan, mereka memiliki sebuah tradisi yang masih kental yang disebut tradisi mepasah. Tradisi pemakaman atau mepasah sangatlah berbeda dengan tradisi pemakaman pada umumnya. Di Desa Trunyan, mayat tidak dikubur atau dibakar melainkan diletakkan di atas tanah dan dibiarkan membusuk di bawah udara terbuka.


Desa Trunyan terletak di Kintamani, Bali. Desanya berada di ujung jalan dan diapit di antara Gunung Batur dan Danau Batur. Mata pencaharian orang-orang di sana kebanyakan adalah petani dan nelayan. Meskipun kepercayaan Hindu di Trunyan sama, namun adat, budaya, dan tradisinya sangat jauh berbeda dari masyarakat Bali pada umumnya. Contohnya pemakaman yang disebut mepasah tadi. Untuk menuju ke tempat pemakamannya, kita harus menyeberangi Danau Batur menggunakan sampan atau perahu baik manual maupun bermesin. Jarak dari desa ke tempat pemakaman sekitar 10 menit perjalanan perahu mesin.

Di tempat pemakaman Desa Trunyan, masyarakat hanya boleh memakamkan maksimal 11 jenazah di sana, boleh kurang, namun tidak boleh lebih dari jumlah tersebut. Tergeletak di atas tanah, mayat-mayat di sana dibalut pakaian mereka selama hidup dan ditutup dengan ancak saji yaitu potongan bambu yang disusun membentuk kerucut seperti pagar. Jika 11 makam sudah terisi semua namun ada jenazah baru yang harus dimakamkan, maka salah satu mayat terlama dari 11 makam tersebut harus diangkat dan dipindahkan keluar ancak saji dan dibiarkan membusuk.

Di Desa Trunyan, sebenarnya terdapat tiga pemakaman di antaranya Seme Wayah, Seme Ngude, dan Seme Bantas. Seme Wayah adalah tempat pemakaman bagi orang yang meninggal secara wajar, Seme Ngude adalah pemakaman untuk orang-orang yang belum menikah dan bayi, sedangkan Seme Bantas adalah pemakaman untuk orang-orang yang meninggalnya tidak wajar menurut orang sana, misalnya kecelakaan dan bunuh diri.

Di pemakaman Desa Trunyan ini, wanita dilarang berkunjung atau berziarah. Mereka hanya boleh mengantarkan jenazah dan rombongan laki-laki sampai ke perahu saja. Jadi, hingga sekarang, belum ada perempuan yang berkunjung ke pemakaman tersebut. Untuk melangsungkan pemakaman, biasanya orang Trunyan menunggu hari baik yang ditentukan oleh orang pintar yang ada di Desa Trunyan. Jika belum ada hari baik, walau berbulan-bulan, jenazah belum bisa dimakamkan

Tradisi mepasah merupakan tradisi pemakaman adat yang terdapat di desa
Desa Trunyan Foto: CXO Media

Banyak orang menganggap bahwa pemakaman di Desa Trunyan penuh dengan sampah dan kotor, padahal hal yang dianggap sampah tersebut bukanlah sampah, melainkan barang-barang kesayangan orang yang dimakamkan di situ. Barang-barang tersebut wajib dibawa ke pemakaman dan tak boleh ada yang membawanya keluar dari pemakaman tersebut.

Ada hal paling unik dari pemakaman di Desa Trunyan, meski mayat-mayat tergeletak di atas tanah hingga membusuk, namun mayat tersebut tidak berbau sama sekali. Hal ini disebabkan oleh adanya pohon Taru Menyan yang sudah ada sejak 11 abad yang lalu di sana. Orang-orang percaya bahwa pohon Taru Menyanlah yang membuat mayat-mayat tersebut tidak berbau busuk.

Taru Menyan berarti pohon yang wangi. Pohon ini dikabarkan hanya ada di Desa Trunyan. Bahkan dari pohon ini lah nama Desa Trunyan berasal. Inilah potret kekayaan salah satu budaya di Indonesia. Desa Trunyan, hidup di antara ragam tradisi di Bali dan banyaknya pengunjung lokal hingga mancanegara, namun tidak terpengaruh untuk mengikis tradisinya. Justru mereka bertahan dalam sakralnya budaya Bali Aga di Trunyan.

Masih banyak lagi fakta-fakta menarik tentang pemakaman Desa Trunyan yang mungkin belum diketahui. Untuk itu, Anda bisa menyaksikannya langsung di video berjudul Kultur: Tradisi 11 Abad Masyarakat Bali Asli yang disiarkan di CXO Media bekerja sama dengan Citilink.

Simak Video "Senja di Pantai Green Bowl Ungasan Bali"


[Gambas:Video 20detik]
(mul/ddn)

cxo media desa trunyan bali

Ketika mendengar kata “Bali”, pikiran kita mungkin langsung membayangkan keindahan pantai dan alam sekitarnya, kuil dan pura Hindu yang terlihat antik, serta tari-tarian tradisionalnya yang memukau. Namun bagaimanakah dengan penduduk aslinya sendiri?

Di Kecamatan Kintamani, Kabupaten Bangli, terdapat sebuah desa yang bernama Trunyan. Desa Trunyan adalah desa adat sekaligus desa tertua di pulau Dewata yang menaungi penduduk asli pulau Bali. Desa ini terletak di pinggiran timur Danau Batur yang membuatnya memiliki pemandangan alam yang sangat indah.

Selain keindahan alam, tradisi unik dari desa ini menjadi salah satu faktor yang membuat para wisatawan tertarik untuk mengunjunginya. Seperti yang kita mungkin sudah sering dengar, terdapat upacara Ngaben di Bali yang merupakan tradisi pembakaran jenazah untuk mereka yang sudah meninggal. Namun di Desa Trunyan, jenazah orang yang meninggal dibiarkan membusuk begitu saja di bawah pohon Menyan tanpa dikubur dah hanya ditutupi oleh anyaman bamboo berbentuk prisma yang disebut ancak saji. Model pemakaman ini disebut dengan Mepasah. Sebenarnya, penduduk desa Trunyan masih melakukan upacara Ngaben walaupun tidak dengan cara yang sama, yaitu menggunakan air.

Terdapat sedikit keanehan yang cukup menarik dalam prosesi pemakaman Mepasah ini. Jenazah yang dibiarkan begitu saja tidak pernah mengeluarkan bau busuk walaupun terkena kontak dengan udara terbuka. Hal ini ada kaitannya dengan kepercayaan penduduk setempat, bahwa jumlah jenazah yang dapat diletakkan di bawah pohon Menyan adalah 11 orang saja. Jika lebih, jenazah dapat mengeluarkan bau menyengat.

Selain itu, hal menarik yang ada di dalam prosesi pemakaman ini adalah pengategorian pemakaman berdasarkan cara meninggal jenazah tersebut. Terdapat 3 kategori pemakaman, yaitu Sema Wayah, Sema Nguda, dan Sema Bantas.

Sema Wayah adalah wilayah pemakaman yang diperuntukkan bagi mereka yang meninggal secara normal. Hanya terdapat 7 petak dalam wilayah pemakaman ini, sehingga jika ada jenazah baru, jenazah tersebut akan mengambil tempat jenazah yang sudah menduduki tempat tersebut paling lama, dan tulang-belulang dari jenazah yang lama akan dipindahkan ke luar petak.

Sema Nguda adalah wilayah pemakaman untuk bayi dan anak kecil yang gigi susunya masih belum tanggal serta orang-orang yang masih lajang. Jasad di sini dimakamkan secara Mepasah, pengecualian untuk bayi yang belum memasuki fase meketus yang akan dikuburkan.

Sema Bantas adalah wilayah pemakaman bagi jenazah yang meninggal masih dengan memiliki cacat fisik ataupun meninggal tidak secara natural, contohnya karena kecelakaan, bunuh diri, dibunuh orang lain. Hanya di area pemakaman ini tubuh jenazah akan dikubutkan secara normal.

Jika berkesempatan untuk mengunjungi Bali, apakah kalian akan tertarik untuk pergi dan berwisata di Desa Trunyan?

Faustina Patria – 2440069155

Sumber:

https://www.balitoursclub.net/desa-trunyan/

https://ringtimesbali.pikiran-rakyat.com/news/pr-282812142/fakta-menarik-desa-adat-trunyan-desat-adat-tertua-di-pulau-bali

https://indonesia.go.id/ragam/budaya/kebudayaan/desa-adat-trunyan-antara-kubur-angin-dan-kubur-tanah

Tempat ini bernama Desa Trunyan. Terletak di kawasan Kintamani, Kabupaten Bangli, Bali. Trunyan merupakan desa terpencil di tepi Danau Batur, sehingga bagi para pelancong yang ingin memasuki Desa Trunyan mesti menyebrang menggunakan sampan melewati Danau Batur.

Desa Trunyan yang merupakan salah satu wilayah dihuni oleh Suku Bali Aga atau Bali Mula yang masih teguh memegang kepercayaan leluhurnya. Bali Aga atau Bali Mula merupakan suku bangsa yang pertama mendiami Pulau Bali. Hingga kini suku Bali Aga dan segala keunikannya masih dapat ditemui salah satunya di Desa Trunyan.

Dalam keseharian masyarakat Bali pada umumnya beragama “Hindu”, bila ada kerabat yang meninggal maka biasanya dilakukan kremasi atau mengubur jenazah tersebut sesuai dengan diajarkan oleh agama Hindu.

Di Desa Trunyan, jenazah tidak dikubur atau dikremasi seperti yang umumnya terjadi di wilayah lainnya, masyarakat Desa Trunyan menyimpan jenazah kerabatnya yang telah meninggal di atas tanah, dengan ditutupi kain dan bambu yang disusun membentuk prisma. Masyarakat desa Trunyan menamakan upacara pemakamannya dengan istilah Mepasah.

Seperti yang telah disinggung di atas, bahwa dalam mepasah, setelah upacara pembersihan dengan cara dimandikan dengan air hujan, jenazah hanya digeletakan di permukaan tanah. Tempat pembaringan jenazah diberi lobang sekitar 10 hingga 20 cm agar posisi jenazah tidak bergeser akibat kontur tanah pemakaman yang tidak rata.

Kemudian selain bagian wajah, bagian tubuh jenazah dibalut kain berwarna putih. Sebagai penanda, jenazah ditutup dengan bambu yang disusun membentuk prisma yang disebut ancak saji. Yang unik adalah meski pun jenazah diletakan di permukaan tanah, mayat tersebut tidak tercium baunya.

Jenazah tersebut diletakan di antara pohon Taru Menyan, taru berarti pohon dan menyan berarti harum. Kiranya, aroma yang keluar dari pohon taru menyan inilah yang dapat menetralisir udara di sekitarnya.

Pohon yang mengeluarkan aroma khas yang kuat tersebut hanya dapat tumbuh di daerah ini, meskipun telah dicoba ditanam di daerah lain. Keunikan pohon ini agaknya telah menjadi cikal bakal nama desa Trunyan.

Di bawah satu pohon taru menyan, hanya dapat diletakkan maksimal sebelas jenazah. Hal tersebut sudah diatur oleh kepercaan adat setempat. Tetapi ada yang mengatakan bahwa satu pohon taru menyan hanya bisa menetralisir sebelas jenazah, jadi jika lebih dari itu maka jenazah tersebut akan mengeluarkan bau.

Bila ada jenazah yang baru, maka maka satu jenazah yang paling lama akan dipindahkan, ke tempat terbuka, tidak ditutupi dengan kurung ancak saji lagi melainkan disatukan dengan dengan jenazah lainnya dalam tatanan batu atau di bawah pohon.

Maka tidak heran jika di tempat tersebut, terdapat tulang belulang dan barang-barang bekal sesaji seperti sandal, sendok, piring, pakaian, dan lain-lain berserakan di area pemakaman. Hal tersebut memang disengaja karena tidak boleh ada barang yang yang dibawa keluar dari area pemakaman ini.

Tetapi tidak semua jenazah dapat diperlakukan sama seperti yang telah disebutkan. Hanya pada kondisi tertentu saja jenazah dapat dimakamkan seperti ini. Syarat jenazah yang dapat dimakamkan dengan cara tersebut adalah mereka yang pada waktu meninggal termasuk orang-orang yang telah berumah tangga, orang-orang yang masih bujangan dan anak kecil yang gigi susunya telah tanggal, orang-orang yang meninggal dalam keadaan wajar dan tidak terdapat luka yang belum sembuh, serta memiliki bagian tubuh yang lengkap. Jika tidak memenuhi syarat tersebut, maka jenazah disemayamkan dengan cara dikubur.

Adat Desa Trunyan telah mengatur tata cara pemakaman untuk masyarakatnya. Terdapat tiga jenis sema (makam) yang berada di Desa Trunyan dan telah dibedakan berdasar umur orang yang meninggal, keutuhan bagian-bagian tubuh, dan cara penguburannya.

Area pemakaman pertama disebut sebagai sema wayah, tempat pemakaman yang dianggap paling baik dan paling suci, yaitu ketika jenazah dapat dimakamkan dengan cara mepasah. Jenis pemakaman kedua adalah sema muda, di tempat ini jenazah dikebumikan dengan cara dikubur, diperuntukkan bagi anak-anak atau bayi yang gigi susunya belum tanggal.

Jenis ketiga adalah sema bantas, sama halnya dengan sema muda jenazah dikebumikan dengan cara dikubur, namun diperuntukkan bagi orang-orang yang Ulah Pati dan Salah Pati, yaitu pada saat meninggal masih meninggalkan luka dan penyebab kematiannya tidak wajar seperti kecelakaan, kehilangan nyawa disebabkan oleh tindakan owang lain, kehilangan nyawa karena sengaja, dan ada bagian tubuh yang tidak utuh.

sumber : http://www.wacana.co/2015/05/mepasah-tradisi-pemakaman-desa-trunyan-bali/

Tradisi mepasah merupakan tradisi pemakaman adat yang terdapat di desa
Tradisi mepasah merupakan tradisi pemakaman adat yang terdapat di desa
Tradisi mepasah merupakan tradisi pemakaman adat yang terdapat di desa


Page 2

Tradisi mepasah merupakan tradisi pemakaman adat yang terdapat di desa

Tradisi mepasah merupakan tradisi pemakaman adat yang terdapat di desa
Tradisi mepasah merupakan tradisi pemakaman adat yang terdapat di desa


Page 3

Tradisi mepasah merupakan tradisi pemakaman adat yang terdapat di desa
Tradisi mepasah merupakan tradisi pemakaman adat yang terdapat di desa


Page 4

Tradisi mepasah merupakan tradisi pemakaman adat yang terdapat di desa
Tradisi mepasah merupakan tradisi pemakaman adat yang terdapat di desa