____________PUBLIKASI KISAH (Kesaksian Cinta Kasih Allah)_____________ Edisi 398, 02 September 2015 KISAH -- Aku Menabur Injil di Kepulauan Maluku Edisi 398, 02 September 2015 Salam damai sejahtera, Kadang kala, kita dihadapkan pada situasi yang sulit. Ketika kita tidak sanggup menghadapinya, hal itu lantas membuat kita ingin menyerah dengan keadaan atau bahkan lari dari persoalan itu. Akan tetapi, ingatlah selalu ada kasih setia Tuhan yang menyertai kita untuk menghadapi berbagai persoalan. Tuhan adalah setia, dan Ia sangat memedulikan umat-Nya. Demikian pula dengan panggilan pelayanan yang diterima oleh Joseph Kam. Sebagai seorang warga negara Belanda, Joseph Kam memiliki hati untuk memberitakan Injil di Kepulauan Maluku. Berbagai rintangan ia hadapi dengan berpengharapan di dalam Tuhan. Simaklah KISAH edisi kali ini dan biarlah kita setia dalam mengerjakan panggilan kita. Redaksi Tamu KISAH, Hossiana < http://kesaksian.sabda.org/> AKU MENABUR INJIL DI KEPULAUAN MALUKU Ditulis oleh: Amidya Aku adalah seorang Belanda yang menjadi salah satu pekabar Injil di Kepulauan Maluku. Aku dilahirkan pada bulan September 1769. Keluargaku adalah seorang keluarga Kristen yang setia. Semasa kecil, aku hanya fokus untuk menyelesaikan pendidikanku, sembari membantu ayahku dalam usaha perdagangan kulit. Ketika membantu ayah, aku sering menemui orang-orang Zeist (orang yang tinggal di kota Zeist, wilayah Utrecht, Belanda). Pada saat inilah, aku merasa bahwa aku terpanggil untuk memberitakan Injil kepada orang-orang Zeist yang notabene belum mengenal Kristus. Aku berusaha menyatakan keinginanku kepada kedua orang tuaku, tetapi orang tuaku tidak setuju, sekian lama mereka menahan keinginanku untuk menjadi seorang pekabar Injil. Hingga akhirnya pada tahun 1802, ayah dan ibuku meninggal dunia. Setelah kedua orang tuaku meninggal dunia, usaha perdagangan kulit keluarga kami menurun drastis, hingga akhirnya kegiatan usaha dihentikan. Selama masa itu, aku bekerja membantu usaha yang ditinggalkan ayahku dengan berjualan kulit. Kini, usaha itu sudah tidak lagi dilakukan. Keadaan ini mendorongku untuk mencari pekerjaan supaya aku dapat memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Tidak lama setelah itu, aku memperoleh pekerjaan menjadi seorang pesuruh di Mahkamah Nasional Belanda. Setelah hampir dua tahun bekerja, kemudian pada tahun 1804, aku menikah dengan seorang perempuan Belanda. Akan tetapi, pernikahanku tidak berlangsung lama. Dua bulan setelah melahirkan anak kami yang pertama, istriku meninggal dunia. Peristiwa yang aku alami terus berlanjut, setelah beberapa bulan kemudian, anakku yang masih sangat kecil mengalami kejang-kejang, hingga akhirnya anakku pun pulang ke rumah Bapa menyusul kakek, nenek, serta ibunya. Kini, aku hanya seorang diri. Aku harus memutuskan langkah yang harus aku ambil, aku harus bangkit. Dalam masa-masa inilah, aku kembali diingatkan akan panggilan dan cita-citaku ketika aku masih muda, yaitu menjadi seorang zendeling (misionaris). Tanpa berpikir panjang, aku segera mendaftar ke Nederlandsch Zendeling-Genootschap (NZG -- Badan Misi Belanda). Pada tahun 1807, aku mempersiapkan diriku untuk mengabarkan Injil ke kota Den Haag dan Rotterdam. Besar kerinduanku untuk dapat mengabarkan Injil kepada bangsa-bangsa lain selain Belanda. Namun, untuk dapat mewujudkan kerinduanku ini, aku harus menunggu cukup lama, sebab NZG tidak dapat memberangkatkanku. Dunia yang saat itu dalam kondisi perang, apalagi saat itu Belanda yang berada di bawah kekuasaan Perancis harus membantu Perancis berperang melawan Inggris. Sembari menunggu waktu bagiku untuk menginjil kepada bangsa lain, NZG memberikan perintah supaya aku dapat membantu melayani di Zeist. Perjalananku pertama kali untuk menjadi seorang misionaris tidaklah mudah, NZG pertama kali menyelundupkanku untuk dapat pergi ke Inggris melalui sebuah kapal yang berlayar dari Den Haag menuju ke London. Ternyata, NZG telah mengadakan kerja sama dengan London Missionary Society (LMS). LMS-lah yang berupaya untuk mengirimku pergi ke Indonesia. Pada 1814, ketika aku berusia 33 tahun, aku diberangkatkan untuk pergi ke Maluku, Indonesia, bersama dua rekanku, yaitu Brunckner dan Supper. Maluku adalah tempat tujuanku, tetapi nyatanya kapal yang mengangkut kami tidak secara langsung berlayar menuju Maluku. Kapal yang membawa kami transit terlebih dahulu di Surabaya. Satu tahun kemudian, barulah aku menginjakkan kakiku di tanah Ambon, Maluku. Setibanya di Maluku, sudah ada orang Kristen, tetapi mereka semua sungguh terlantar. Iman mereka sama sekali tidak bertumbuh. Lalu, mulailah aku menabur Injil Kristus ke pulau Haruku, Seram selatan, dan Saparua. Hasil penginjilanku cukup berhasil, dalam beberapa waktu, sudah ada penduduk pribumi yang bertobat dan memberi diri untuk dibaptis. Pelayanan pastoral yang lain juga aku lakukan seperti melakukan sakramen Perjamuan Kudus dan Baptisan Kudus, juga menjadi seorang konselor bagi mereka. Penduduk Maluku sering kali terlibat pertengkaran, dan aku sering kali dipanggil oleh jemaat untuk mendamaikan mereka yang tengah bertengkar. Di Tanah Ambon pula, aku bertemu dengan seorang wanita yang bernama Sarah Timmerman. Sarah adalah seorang wanita Indo-Belanda. Ia adalah wanita yang baik dan juga mencintai Tuhan. Setelah cukup lama mengenalnya, akhirnya saya menikah dengannya. Sarah adalah seorang istri yang setia mendampingi saya selama saya menginjil di beberapa tempat di Ambon, Seram, dan Saparua. Semakin lama, pekerjaan misi di Ambon aku kira bertambah berat. Aku membutuhkan bantuan tenaga untuk mengusahakan kemajuan pekabaran Injil di Ambon. Karena itu, aku mengirimkan pesan kepada NZG untuk mengirimkan tenaga-tenaga baru. Pesan yang aku kirimkan direspons oleh NZG, dalam waktu dekat tenaga-tenaga baru tiba di Ambon dan ini membuat pelayanan pekabaran Injil berkembang dengan pesat. Dan, Ambon menjadi pusat kekristenan dan pekabaran Injil di Indonesia bagian Timur. Aku bersama dengan istri membimbing setiap orang yang bersedia untuk memberitakan Injil, secara khusus istri menolong orang-orang baik dari Belanda maupun penduduk asli Ambon untuk berbahasa Melayu dan aku mengajarkan bagaimana mereka dapat menolong jemaat secara langsung. Inilah kisahku, seorang warga negara Belanda yang menabur Injil di Tanah Ambon. Usahaku untuk menabur Injil dan menggembalakan jemaat di Ambon terus Tuhan sertai dan menuai hasil. Aku memang telah tiada, tetapi jemaat yang pernah kudirikan masih berdiri dan mereka setia untuk mengikut Kristus. Aku adalah Joseph Kam, warga Ambon sering kali memanggilku dengan sebutan Rasul dari Maluku. Sumber bacaan: 1. Wellem, F.D.. "Riwayat Hidup Singkat Tokoh-Tokoh dalam Sejarah Gereja". Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1999. Hlm. 155-157 2. ____. "Joseph Kam". Dalam http://id.wikipedia.org/wiki/Joseph_Kam/ POKOK DOA 1. Marilah kita berdoa agar pekabaran Injil di Tanah Ambon dapat terus berkembang di seluruh lapisan masyarakat. Tidak hanya di Ambon, tetapi di seluruh Nusantara, bahkan di dunia. 2. Marilah kita berdoa agar anak-anak Tuhan juga memiliki kerinduan yang besar untuk menyebarkan Injil. Kiranya melalui pengenalan akan Tuhan, mereka diselamatkan. 3. Marilah kita berdoa agar diri kita juga bisa mengikuti teladan Joseph Kam dan memiliki keteguhan hati untuk selalu mengikut Tuhan. "Tetapi Injil harus diberitakan dahulu kepada semua bangsa." (Markus 3:10) < http://alkitab.mobi/?markus+3:10 > < http://alkitab.sabda.org/?markus+3:10 > STOP PRESS: BERGABUNGLAH DENGAN FACEBOOK E-PENULIS! Suka menulis tetapi tidak punya komunitas yang mendukung Anda? Jangan berkecil hati dulu, bergabunglah bersama kami di Facebook e-Penulis! Di Facebook ini Anda bisa bertemu banyak sahabat yang bisa mendukung Anda berkarya. Tak cuma itu, kami juga terus meng-update status kami dengan tip maupun artikel yang berkaitan dengan dunia penulisan. Jadi, jangan tunda lagi, bergabunglah bersama kami di: ==> http://fb.sabda.org/penulis Kontak: kisah(at)sabda.org Redaksi: Amidya, Bayu, dan Yans Berlangganan: subscribe-i-kan-kisah(at)hub.xc.org Berhenti: unsubscribe-i-kan-kisah(at)hub.xc.org Arsip: http://sabda.org/publikasi/kisah/arsip/ BCA Ps. Legi Solo, No. 0790266579, a.n. Yulia Oeniyati (c) 2015 -- Yayasan Lembaga SABDA < http://ylsa.org > Tampilan cetak edisi sebelum | 09/Edisi 2015 | edisi berikut
Oleh: Pdt. Dr. Djoys Anneke Rantung, M.Th Penginjilan di tanah Minahasa telah dimulai sejak abad 16 oleh orang-orang Portugis. Ketika ada rencana dari Sultan Hairun untuk menaklukan daerah Sulawesi utara, orang-orang Portugis setelah mengetahui rencana tersebut, mereka mendahului Sultan dengan mengadakan ekspedisi ke Sulawesi. Dalam perjalanan mereka, juga ikut serta seorang misionaris yaitu Pater Magelhaes. Pada tahun 1563 mereka tiba di Manado tua. Pater Magelhaes memanfaatkan waktu selama dua minggu untuk memberikan pengajaran kepada penduduk yang ada di situ mengenai pokok-pokok iman agama Kristen yang dalam pengajaran tersebut disesuaikan dengan kemampuan sumber daya yang dimiliki oleh penduduk. Ada sekitar 1500 orang termasuk raja dibaptis. Peristiwa ini sering dikatakan sebagai permulaan dari gereja Kristen yang ada di Minahasa dan Sangir-talaud. Setelah orang-orang Portugis, dalam perkembangan misi berikutnya sejak abad 17, telah ada begitu banyak pendeta protestan dari Belanda yang datang ke Minahasa dalam rangka pelayanan mereka bagi pegawai-pegawai VOC. Dengan masuknya VOC di tanah Minahasa membuat pekerjaan misi yang dilakukan oleh misionaris katolik tidak lagi leluasa sehingga sebagian besar penduduk berpindah menjadi Protestan. Para misionaris katolik yang ada di Minahasa diusir karena dianggap sebagai sebagai mata-mata Portugis. Pada 1663, Ds. Burun datang ke Minahasa dan menjadi perintis penginjilan di masa VOC dan setelahnya ada begitu banyak yang datang seperti Ds. Isaacus Huisman dan Ds. Fransiscus Dionisius yang meninggal pada tahun 1674. Setelah itu datang Pendeta Montanus, Ds. G. Peregrinus. Abad 18, secara berurutan datang Ds. Arnoldus Brants, Ds. George Hendric Werndly, Ds. Rousselet dan Ruben Adams. Penginjilan yang dilakukan oleh para pendeta VOC ini tidak berlangsung secara berkesinambungan hal ini disebabkan karena Minahasa hanya menjadi tempat persinggahan dari para pendeta VOC. Penginjilan yang berkesinambungan dimulai oleh Johann F. Riedel dan Johann G. Schwars pada abad 19 yang datang mengawali gelombang pertama datangnya penginjilan yang dipelopor oleh NZG. Kedatangan para penginjil dari NZG di Minahasa didapat dibagi ke dalam empat gelombang yaitu :
Gereja di Minahasa pada tahun 1800-1880 Setelah itu, pemerintah mengirimkan seorang pejabat pendeta di Manado pada tahun 1827-1839 yaitu Hellendoorn. Dalam menjalankan tugasnya, Hellendoorn dapat dikatakan sebagai perintis usaha pekabaran injil yang sesungguhnya karena dalam pelayanannya ia mendirikan sejumlah sekolah, masuk ke daerah-daerah pedalaman, dan secara terus menerus meminta NZG untuk mengirimkan utusan-utusan zending. Atas permintaannya tersebut maka pada tahun 1831 setelah mendapatkan bimbingan dari Joseph Kam di Ambon maka NZG mengirimkan Riedel dan Schwarz ke Minahasa. Riedel dan Schwarz tiba di Manado pada tanggal 12 Juni 1831. Tanggal ini yang kemudian dijadikan sebagai hari peringatan Pekabaran Injil dan Pendidikan Kristen di Minahasa. Johann F. Riedel Pendekatan yang dilakukan Riedel dengan keramahannya kepada penduduk setempat membuat dia akrab dengan mereka sehingga dengan keakraban itu maka barulah ia mulai memberikan pengajaran agama Kristen kepada mereka. Pendekatan dan Pengajaran yang dilakukan oleh Riedel berdampak positif karena semakin banyaknya orang yang datang untuk mengikuti kebaktian yang diselenggarakan dirumahnya. Selain itu, di bidang pendidikan semakin banyak anak-anak yang rajin untuk kesekolah. Kebaktian mendapat perhatian yang sangat besar dari penduduk setempat karena selain kebaktian yang dilaksanakan pada pagi hari, sore harinya juga dilaksanakan ibadah yang dikenal dengan Salinan karenanya Riedel memanfaatkan kesempatan ini dengan menyelenggarakan kelompok belajar Alkitab pada hari senin dan kamis. Selain itu pendidikan yang dilakukan pun semakin berjalan dengan baik. Pengajararan-pengajaran yang dilakukan oleh Riedel membuat banyak orang terdorong untuk memberi diri untuk dibaptis. Sebelum dibaptis mereka harus terlebih dahulu mengikuti pelajaran khusus yang dilakukan setiap sore yang di dalamnya Riedel memberikan bimbingan yang tujuannya untuk mengarahkan seseorang kepada Tuhan. Dalam setiap pengajaran-pengajaran yang dilakukan oleh Riedel tentunya tidak bisa dilepaskan dari warna atau corak pietisme. Pelayanan yang dilakukan oleh Riedel selama hampir 30 tahun tentu membuahkan hasil yang sangat memuaskan sekalipun dia mendapat teguran dari pihak NZG karena menganggap sangat mudah menerima orang menjadi Kristen namun yang dilakukan oleh Riedel tentu dapat dikatakan sebagai suatu prestasi yang membangggakan karena selama pelayanannya dia telah membaptis 9341 orang dan 3851 anggota sidi jemaat. Ditambah dengan 665 orang yang dibaptis pada tahun 1849. Pada 12 Oktober 1860, Riedel meninggal dunia dan dimakamkan di Tondano. Johann G. Schwarz Dalam perkembangannya kemudian, barulah secara perlahan-lahan ia mulai menyusun buku yang berisi tentang pertanyaan-pertanyaan yang berkaitan dengan pengakuan iman Kristen. Schwarz dalam melakukan pendidikan ia memakai sistem anak angkat dan murid. Sehingga dengan cara ini dia dapat memperkenalkan peradaban, pengetahuan dan penginjilan dengan cakupan yang lebih luas. Pembangunan gedung sekolah mulai dilakukan oleh Schwarz setelah beberapa tahun ia melakukan pelayanan dengannya penginjilan dapat dilakukan dari dalam sekolah sehingga melalui para peserta didik yang ada menjadi alat bagi pekabaran injil terhadap para orang tua mereka sehingga mereka menjadi Kristen. Schwarz sangat mengutamakan pendidikan bagi para orang-orang muda sehingga dengannya mereka menjadi penggerak utama dalam ladang pekabaran injil. Wilayah pelayanan Schwarz dapat dikatakan lebih luas dari Riedel yang hanya melayani di Tondano. Selain melakukan pekabaran injil di Langowan, ia juga melakukan penginjilan di Kakas di mana ia juga memberikan pendidikan dan pelatihan kerja pertukangan bagi penduduk yang ada serta memberi perhatian terhadap kesehatan. Bukan hanya Kakas, ia juga melakukan penginjilan ke Ratahan dan membangun sekolah disana. Ia gagal membangun sekolah di daerah Belang karena daerah itu merupakan daerah yang dikuasai oleh Islam. Pelayanan penginjilan yang dilakukan oleh Schwarz juga dilakukan di Tompaso, Kawangkoan bahkan hingga ke Manado, Kema dan Likupang. Dalam penginjilan yang dilakukan oleh Schwarz berkaitan jumlah orang yang memberi diri dibaptis memang tidak sama dengan Riedel pada 10 tahun pertama pekerjaan mereka. Dalam usaha penginjilannya, ia nanti membaptis setelah tiga tahun melayani itupun hanya empat orang, Sembilan tahun kemudian 300 orang lebih, dua belas tahun kemudian 1800 orang. Perbedaan jumlah ini memang sangat ditentukan oleh pola pelayanan yang dilakukan oleh keduanya. Schwarz berbeda dengan Riedel yang sangat dipengaruhi oleh Pietisme karena dia menerapkan system Presbiterial dalam pelayanannya. Tiga syarat umum yang diberlakukan bagi orang yang ingin dibaptis yaitu : Pertama, Tidak terlalu tua dan harus belajar membaca. Kedua, Harus berjanji untuk menyekolahkan anaknya. Ketiga, Pernikahan harus dilakukan melalui pemberkatan di gereja. Namun demikian dalam hal mendirikan jemaat dan sekolah termasuk luasnya wilayah pelayanan memang Schwarz lebih unggul. Schwarz selain melakukan penginjilan telah berhasil membangun suatu peradaban yang baik bagi orang-orang Langowan dan sekitarnya. Ia meninggal dunia di Langowan pada tanggal 1 Februari 1859. Keberhasilan penginjilan yang dilakukan oleh Riedel dan Schwarz tentu tidak bisa dipisahkan dari pemberian diri dari penduduk setempat yang turut membantu pekerjaan mereka. Para pemuda yang tinggal dan dididik oleh para zendeling turut berperan dalam usaha penginjilan bagi sesama orang Minahasa. Dalam wujud pelayanan misi mereka yang paling menonjol dibalik keberhasilan misi yang di kerjakan, mereka mengajarkan keterampilan teknik pertukangan, pertanian, kesehatan, pendidikan dan membangun peradaban yang baik yang ada di tanah Minahasa. Implikasi Bagi GMIM Harus diakui, bahwa GMIM sekarang ini sedang menuai buah hasil Pekabaran Injil dan Pendidikan Kristen yang ditabur, ditanam, diusahakan tanpa kenal lelah oleh para Pekabar Injil yang berani meninggalkan “zona nyaman” di negaranya. Mereka tidak hanya telah meninggalkan negaranya dengan segala kemakmuran dan kemewahannya datang di tanah Minahasa, tetapi sampai mati. Nederlandsch Zendeling Genootschap (NZG) sebagai lembaga Misi dari Belanda pada tahun 1829 mengirim dua orang tenaga Misi datang di tanah Minahasa, Johann F. Riedel dan Johann Gottlib Schwarz, tiba di Manado 12 Juni 1831. Di hari ulang tahun ke-190 Pekabaran Injil dan Pendidikan Kristen di tahun 2021 ini, sangat penting untuk mengingat para tenaga Misi, seperti:
Banyak lagi yang dapat temukan dalam sejarah pelayanan GMIM. Buah dari pelayanan Pekabaran Injil dan Pendidikan Kristen yang telah membawa GMIM memprogram yang dikenal dengan Pekabaran Injil ke dalam dan keluar. Itulah sebabnya hingga sekarang dapat dilihat bahwa GMIM terus mengirim Tenaga Utusan Gereja (TUG) ke beberapa sinode/gereja-gereja di Indonesia dan luar negeri. Pekabaran Injil dan Pendidikan Kristen terus mengingatkan Tou Minahasa untuk berkerja menghasilkan buah-buah di segala bidang termasuk dalam ladang pelayanan misi yang ada ditengah kemajemukan masayarakat yang ada. Dalam pekabaran injil, pemuliaan akan Tuhan menjadi alasan utama mengapa Riedel dan Schwarz memberi diri keluar dari kaumnya dan berintegrasi dengan orang-orang Minahasa. Semangat untuk mengantarkan orang lain mengenal dan memahami kerja penebusan Kristus menjadi motivasi utama dalam diri para zendeling Riedel dan Schwarz. Dengan kehadiran para misionaris (Riedel dan Schwarz) memberi hasil yang cukup signifikan dalam peradaban hidup di masyarakat Minahasa yang dapat direfleksikan hingga saat ini. Aspek spiritualitas terbentuk, serta sumberdaya manusia menjadi hidup. Inilah tanda modernitas yang dialami oleh masyarakat Minahasa lewat pelayanan misi yang dikerjakan oleh mereka berdua. Dari aspek pelayanan misi yang mereka kerjakan para misionaris, GMIM mengambil patokan untuk mengadakan transformasi dalam rekonsiliasi untuk mengubah eklesiologi GMIM Sesuai keputusan SMSI ke-78 ini, GMIM menjadi gereja lokal, nasional dan global. Gereja yang bertransformasi adalah gereja yang berani mengubah dan berubah dalam kontek kebenaran Firman Allah. Yesus memanggil, mendirikan, menghadirkan dan mengutus gereja untuk memuridkan bangsa – bangsa, mengajar orang di manapun untuk mentaati dan melakukan segala yang Ia perintahkan. Gereja Masehi Injili di Minahasa (GMIM) adalah persekutuan orang–orang yang memiliki berbagai latar belakang baik suku, etnis, strata sosial, ekonomi, bahasa, pendidikan dll, yang ada baik lokal, nasional dan global (seluruh dunia). Hal penting yang mesti diperhatikan adalah bagaimana persekutuan itu menjadi alat dan kawan sekerja Allah (1 Kor 3 : 9) secara fungsional dan transformatif dalam mewujudkan dan atau menghadirkan tanda – tanda kerajan Allah di dunia ini. Semangat perubahan dan misi untuk terus membaharui dan mentransformasi sesungguhnya ada pada semua agama termasuk gereja di dalamya Gereja Masehi Injili di Minahasa (GMIM). Semangat dan misi tersebut menunjukan adanya sebuah langkah maju dari kondisi, keadaan atau sistem sebelumnya. Dampak dari sebuah transformasi selalu ada karena itu keberanian amatlah penting. Akan tetapi keberanian untuk melangkah dan bertindak mesti ada pada visi dan misi Allah bagi dunia di dalamnya gereja. Agama adalah sebuah budaya yang menjadi wadah spiritual yang di dalamnya berhimpun pemeluk – pemeluknya untuk melakukan bakti (ibadah) yang benar kepada Allah. Gereja yang adalah milik Tuhan diutus ke dalam dunia (1 Pet 2 : 9 – 10), diperlengkapi dengan kuasa Roh Kudus (Kis 2 : 1 – 4) dan diperintahkan untuk melakukan kehendak Allah yaitu menghadirkan tanda – tanda kerajaan Allah (damai sejahtera) di dalam dunia. Gereja dalam artian personal berfungsi sebagai pelaku yang baik dari tugas – tugas gereja sebagai amanat agung Allah. Gereja Masehi Injili di Minahasa (GMIM) merupakan denominasi terbesar di Propensi Sulawesi Utara dengan jumlah jemaat 951 (data tahun 2017) dengan rincian 934 jemaat yang ada di tanah Minahasa dan 17 jemaat yang ada di luar tanah Minahasa (dalam dan luar negeri), dan memiliki 795,809 jiwa, belum termasuk 17 jemaat di luar tanah Minahasa (data sensus tahun 2017). Dalam Sidang Majelis Sinode ke 79 tahun 2018 di Grand Kawanua Convention Center Manado, Ketua BPMS periode 2014 – 2018 Pdt. Dr. H.W.B. Sumakul, Ph.D mengtengahkan asumsi bahwa sepertinya secara kuantitas jemaat GMIM belum bertambah atau tidak ada pertumbuhan yang signifikan. Landasan asumsi itu adalah bahwa tahun–tahun sebelumnya anggota GMIM sudah mencapai 800 ribu jiwa. Dengan tampilan angka tersebut berarti GMIM mengalami defisit kuantitas anggota jemaat sebanyak 4.991 jiwa. Mengapa anggota gereja tidak bertambah tetapi sebaliknya berkurang. Menyangkut perluasan pelayanan dengan mendirikan jemaat – jemaat baru di luar tanah Minahasa dalam hal ini di dalam dan luar Negeri sebagai wujud dari pada transformasi “eklesiologi” GMIM dari yang sebelumnya sebagai gereja lokal kini menjadi gereja Nasional dan Global (Global Church and National Church). Berbagai tanggapan dan reaksi baik positif maupun negatif bermunculan. Inilah buah dari hasil pekabaran injil yang menghentarkan gereja untuk terus membaharui diri dala setiap keterpanggilan untuk selalu bersaksi,bersekutu dan melayani. GMIM sebagai institusi sudah melangkah melakukan transformasi eklesiologi dari gereja lokal menjadi nasional dan global. Ini adalah sebuah langkah dan gerak maju gereja di tengah zaman yang sangat cepat perubahannya. Penulis, Ketua Wilayah GMIM Jabodetabek Bandung, Dosen dan Kaprodi Magister Pendidikan Agama Kristen UKI, dan Dosen MPK Agama Kristen UI. Daftar Pustaka:
|