Tempat paling suci pada pura terletak pada titik-titik mandala

Saat anda berkunjung ke Pura, dimana pura tersebut banyak jenis dan karakternya, seperti disetiap desa adat terdapat pura yang besar juga pada pura Desa dan Puseh, halamam-halaman pura ini dibagi menjadi beberapa halaman, dan di dalmnya terdapat berbagai bangunan dan pelinggih, di mana di pura tersebut untuk memuja Tuhan dalam segala bentuk manifestasinya, dan ada juga untuk pemujaan kepada roh leluhur yang sudah disucikan. Umat Hindu sendiri memiliki beberapa tempat suci, mulai dari pula keluarga yang disebut merajan, pura Ibu/ Dadia, pura desa sampai pura umum kahyangan dan dangkahyangan jagat.

Dalam pembangunan sebuah pura, kalau secara ideal konsep bangunan harus memiliki tiga halaman yang disebut dengan Tri mandala, Tri artinya tiga, Mandala artinya wilayah, palemahan atau daerah. sehingga arti tersebut menjadi 3 palemahan, yang terdiri dari;


  1. Nista mandala atau Jaba sisi, terdapat areal parkir, taman-taman bunga, kamar kecil
  2. Madya mandala atau Jaba tengah, terdapat wantilan, bale kulkul, bale gong dan dapur
  3. Utama Mandala atau Jeroan, terdapat pelinggih-pelinggih tempat pemujaan seperti padmasana, meru, gedong, bale piyasan, bale pawedaan dan parum pelik
Di Utama mandalalah tempat pelinggih utama tempat umat bersembahyang, untuk memasuki wilayah ini, kita harus melewati Nista Mandala dan Madya Mandala, jika kegiatan upacara akan di lakukan di bagian Utama. Dan jika siapapun mau masuk ketempat suci, tidak terkecuali termasuk juga wisatawan harus memakai kain dan seledang yang dilingkarkan di atas pinggul.

Agama Hindu Juniarta Keliki di 18.47

Page 2

09 Mei 2021, 12:17 WIB

Kegiatan belajar dengan mengajak anak-anak terjun langsung dengan penggunaan pendekatan saintifik dalam pembelajaran, terhadap siswa Pasraman sangatlah efektid. Seperti yang dilakukan oleh penyuluh Agama Hindu Kabupaten Lampung Timur, I Wayan Sudarsono, pada Jumat, [07/05/21], dalam pembelajaran ini siswa diajak langsung untuk mengamati Bangunan Pura tentang Tri Mandala dan bangunan yang ada di pura Puseh dan Desa, kemudian menjelaskan bagian-bagian pura kemudian siswa dipersilahkan bertanya. Pembinaan terhadap tingkat anak anak dilaksanakan di Desa Sadar Sri Wijaya diikuti juga siswa di kawasan Kecamatan Bandar Sri bhawono

Kegiatan Observasi ini sangat penting bagi siswa yang kemudian akan melihat, mendengarkan serta dengan adanya pengumpulan informasi tentang bangunan pura dan Tanya jawab dari siswa. Wayan menjelasakan kegiatan ini  untuk meningkatkan  kemampuan siswa mempelajari bagian-bagian pura. Lebih lanjut Wayan menjelaskan  Tri Mandala berasal dari kata tri dan kata mandala, Tri artinya tiga dan mandala artinya tempat. Dihadapan siswa binaannya Wayan menjelasakan Tri Mandala merupakan tiga tempat untuk melakukan kegiatan pada saat pelaksanaan upacara di sebuah pura baik untuk Pura Puseh maupun Pura Desa.

Wayan mengatakan secara konsepl etika, Nista Mandala adalah areal pura yang paling di bawah atau paling di luar, di sini merupakan tempat melakukan persiapan-persiapan Yajña. Terkait dengan pelaksanaan Upacara Yajña Nista Mandala/ Kanista Mandala adalah tempat pelaksanaan Pecaruan [Bhuta yajña] sebab kalau dikaitkan dengan Bhuana Alit, Nista Mandala sama dengan kaki. Selanjutnya Wayan Menjelaskan bagian yang kedua Madya Mandala yaitu halaman tengah biasanya terdapat bangunan berupa Apit Surang [Candi Bentar], Bangunan ini berfungsi sebagai pemutus pikiran-pikiran kotor atau cuntaka yang mungkin masih melekat pada saat kita pergi ke pura.

Selanjutnya Utama Mandala Secara Umum pintu masuk Uttama Mandala biasanya berupa Candi Gelung, berfungsi untuk memulai pemusatan pikiran. Pada Uttama Mandala adalah tempat melaksanakan pemujaan terhadap Ista Dewata yaitu Sang Hyang Widhi Wasa/Tuhan yang berstana di Pura tersebut. Pada Uttama Mandala terdapat bangunan suci berupa: Padmasana ada yang berbentuk Candi, Meru, Gedong dan sebagainya sesuai dengan Ista Dewata yang di puja di sana. Karena merupakan tempat memuja Ista Dewata, maka kita wajib merubah segala perilaku yang kurang sopan menuju perilaku yang suci dan sopan seperti: berpikir yang suci, berbicara yang suci, serta berbuat yang suci pula.

Berita Terkait

Penulis:

I Nengah Subadra PhD

Doktor Bidang Pariwisata, alumni University of Lincoln, United Kingdom

Profile Lengkap Penulis LIHAT DI SINI

Bali sebagai salah satu daerah tujuan wisata dunia tidak hanya terkenal dengan keindahan alam, keunikan budaya dan keramah-tamahan masyarakatnya tetapi juga polemik berkepanjangan dan konflik kepentingan di antara para stakeholder pariwisata terutama masyarakat lokal, pemerintah dan investor. Tidak harmonisnya hubungan ketiga stakeholder tersebut telah mengakibatkan perselisihan dan ketidakpuasan yang berakhir pada demonstrasi atau pengerahan massa untuk menuntut penjelasan dari para pejabat yang berwenang tetang batas kesucian pura.

Objek wisata yang memanfaatkan benda-benda dan kawasan warisan budaya [heritage site] menjadi incaran para investor pariwista yang jeli melihat trend wisatawan dunia yang lebih cendrung mengunjungi dan menikmati objek-objek wisata budaya sebagaimana yang dipersembahkan di Bali. Investor akan terus berusaha untuk memasuki dan merongrong kawasan yang semestinya tidak boleh dibangun usaha atau industri pariwisata dengan ribuan cara misalnya dengan menyuap para oknum pejabat pemerintah yang berwenang mengeluarkan ijin membangun dengan sejumlah uang. Bujukan dan rayuan para investor inilah yang membuat para oknum pemerintah gelap mata dan dengan mudah mengeluarkan ijin membangun fasilitas pariwisata seperti hotel, villa dan restoran. Pernahkah para oknum pemberi ijin tersebut berpikir tentang akibat yang akan terjadi setelah penerbitan ijin membangun? Logikanya, Di negara hukum seperti Indonesia tidak akan pernah ada pembangunan apapun jika pemilik bangunan tersebut tidak memiliki ijin jika memang hukum dijalankan. Kasus pembangunan villa di dekat Pura Luhur Uluwatu misalnya, Setelah kasus radius kesucian pura tersebut muncul ke permukaan dan disiarkan di beberapa media massa cetak dan elektronik, maka semua orang melontarkan pernyataan yang sama-sama menyelamatkan diri dan merasa menjadi pahlawan kesiangan. Adakah manipulasi dibalik penerbitan surat ijin pembangunan villa tersebut?

Aksi dan Komentar Dadakan
Wakil rakyat, DPRD juga turut serta mencari popularitas agar nampak peduli terhadap pelestarian budaya Bali dengan mengunjungi langsung tempat pembangunan villa tersebut. Langkah tersebut cukup bagus daripada tidak melakukan tindakan sama sekali atas kasusu tersebut. Yang jelas masyarakat tidak tahu banyak apa yang selanjutnya akan dilakukan setelah kunjungan kerja para wakil rakyat yang terhormat tersebut. Membuat kebijakan dan peraturan yang bisa menyelamatkan aset dan warisan budaya atau sebaliknya membuat peraturan yang memihak para investor yang menjajikan peningkatan pendapatan daerah namun menghancurkan semua aset budaya yang dimiliki Bali.

Sebelum kasus pembangunan villa di Uluwatu marak dibicarakan, Parisada Hindu Dharma Indonesia [PHDI] nampaknya tutup mulut dan seolah-olah tidak ada permasalahan dalam pembangunan villa tersebut. Namun setelah kejadian tersebut baru berani bicara dan mengeluarkan pernyataan dan bisama tentang radius kesucian pura. Pembangun villa di Uluwatu ini merupakan salah satu kasus di antara sekian banyak kasus yang terjadi. Diketahuikah bahwa di tempat-tempat suci yang lainnya sebenarnya memiliki permasalahan yang hampir sama? Sehingga usaha hangat-hangat tahi ayam yang dilakukan dan pernyataan sikap terhadap permasalahan kesucian pura tidak hanya dilakukan pada saat muncul kasus saja. Semestinya PHDI sebagai badan resmi agama hindu yang menaungi semua pemeluk agama hindu di Indonesia mulai mengidentifikasi, merumuskan, membuat, dan menetapkan kebijakan tentang tata cara penentuan batas kesucian pura, bukan sekedar mengeluarkan pernyataan sikap yang berlaku pada saat suatu kasus sedang hangat-hangatnya di masyarakat dan setelah itu tak bersuara lagi.

Lembaga swadaya masyarakat [LSM] Hindu kacanganpun bermunculan untuk meneriakkan protes terhadap pembangunan villa tersebut. Sesuai dengan fungsinya sebagaimana diuraikan dalam peran stakeholder pariwisata, LSM semestinya turut serta dalam pemantauan penerapan kebijakan dan program pemerintah. Sampai bangunan villa berdiri kokoh dan mulai beroperasipun suara LSM tidak bergeming sama sekali. Namun setelah kasus marak baru mulai memunculkan batang hidungnya dan mengeluarkan pendapat-pendapat yang tidak jelas ujung pangkalnya.

Penentu Batas Kesucian Pura
Konsep Tri Mandala yang pada intinya menjelaskan pembagian lokasi berdasarkan letak, fungsi dan tingkat kesuciannya. Menurut konsep Tri Mandala, pura dibagi menjadi tiga bagian utama yaitu jaba sisi, jaba tengah dan jeroan. Bangunan apa saja yang terletak di masing-masing tempat tersebut? Pertmana, Jaba sisi [outer courtyard], merupakan bagian terluar dari suatu kawasan pura. Di tempat ini bisanya ditemukan bangunan seperti dapur [pewaregan]. Kedua, Jaba tengah [middle courtyard] merupakan bagian tengah dari pura. Pada bagian ini biasyanya dibangun Bale Kulkul, Bale kesenian dan tempat pesantian dan rapat [sangkep] para anggota pengempon pura. Ketiga, Jeroan [inner couryard] merupakan bagian yang tersuci dari pura. Di Jeroan biasanya dibangun tempat berstananya Ida Sang Hyang Widhi Wase berupa pelinggih-pelinggih seperti Tri Murti yang merupakan tempat pemujaan Dewa Brahma sebagai pencipta, Dewa Wisnu sebagai pemelihara dan Dewa Siwa sebagai pemeralina. Selain itu, ada juga bangunan Padmasana yang digunakan sebagi media pemujaan Tuhan dalam manisfetasinya sebagi Dewa Matarahri [Sang Hyang Surya] yang memberikan sinar terang kepada semua mahluk hidup yang ada di dunia ini. Karena kesucian tempat ini maka tempat inilah para pemedek mengadakan persembahyangan dan pemujaah terhadap Tuhan. Jadi jelaslah bahwa kesucian pura tidak diukur berdasarkan radius atau ukuran tertentu tetapi hanya ditentukan oleh konsep Tri Mandala.

Jika konsep Tri Mandala tidak lagi digunakan untuk mengukur dan menentukan batas kesucian pura dan jika yang digunakan adalah jarak dalam satuan meter atau dalam radius tertentu dan tinggi rendahnya letak pura dengan bangunan di sekirnya, maka banyak tata letak pura akan dipermasalahkan seperti Pura Tanah Lot di Tabanan yang hotel dan fasilitas pariwisata berada berdekatan dan letaknya jauh lebih tinggi dari pura, Pura Goa Lawah di Kelungkung yang mengijinkan para wisatwan masuk sampai ke jeroan pura, Pura Tirta Gangga di Karang Asem yang mengijinkan pembangunan villa yang letaknya hanya dibatasi dengan tembok saja.

Kesimpulannya, kasus tentang radius kesucian pura yang terjadi disebabkan karena tidak ada kerja sama dan hubungan yang harmonis di antara para stakeholder pariwisata [pemerintah, investor, masyarakat dan lembaga swadaya masyarakat]. Hubungan harmonis hanya terjalin antara investor dan pemerintah sedangkan masyarakat dan LSM tidak terlibat di dalamnya sehingga sangat wajar jika mereka menuntut kejelasan dan keadilan.

PESAN DARI PENULIS:
Para pembaca yang terhormat, saya mengucapkan terima kasih banyak atas kunjungan anda ke website saya. Apabila ada hal-hal yang kurang jelas dan perlu ditanyakan tentang tulisan saya, silahkan KLIK DI SINI untuk menghubungi saya. Terima kasih.

Sponsored by

Language Assistance:

PENERJEMAH TERSUMPAH DI BALI

PENERJEMAH BALI

BALI PENERJEMAH

SWORN TRANSLATOR IN DENPASAR BALI

CERTIFIED TRANSLATOR IN DENPASAR BALI

BALI TRANSLATION OFFICE

JASA TERJEMAHAN TERSUMPAH DI DENPASAR BALI

Video yang berhubungan