Suku bangsa sumba merupakan suku yang berasal dari

Suku Dunia ~ Nama suku bangsa ini mungkin berasal dar kata humba, yang berarti "asli". Mereka menyebut diri sebagai Tau Humba, atau penduduk asli yang mendiami Pulau Sumba. Wilayah mereka sekarang meliputi Kabupaten Sumba Barat dan Sumba Timur.

Suku bangsa sumba merupakan suku yang berasal dari

Bahasa Sumba terbagi dua dialek, yaitu dialek Sumba Barat yang disebut bahasa Meiwewa dan dialek Sumba Timur yang disebut juga bahasa Kambera. Bahasa Meiwewa terdiri atas beberapa dialek (sub dialek), yaitu dialek Kodi, Wewewa Barat, Wewewa Timur, Waejewa, Laura dan Walakaka. Sedangkan bahasa Kambera terdiri atas beberapa dialek (sub dialek), yaitu dialek Manggikina, Manggarikuna dan Kambera. Populasinya tahun 1960 sekitar 250.000 jiwa, sekarang sekitar 381.000 jiwa.

Mata pencaharian utama mereka adalah bertanam di ladang dan sedikit di sawah serta memelihara ternak seperti kerbau, sapi, dan kuda. Masyarakat ini terkenal pula oleh hasil tenunan tradisionalnya yang dikejakan sebagai mata pencaharian sampingan. Selain menganyam barang-barang dari pandan dan bambu, mereka juga membuat barang-barang perhiasan dari tulang dan tanduk kerbau, serta peralatan dari besi.

Perkampungan orang Sumba umumnya didirikan di daerah perbukitan dengan memilih suatu tanah datarnya sebagai tempat pusat orientasi ritual. Dataran untuk upacara keagamaan ini mereka sebut paraing dan di dekatnya didirikan rumah adat yang hanya didiami pada musim kemarau, karena pada musim hujan mereka sibuk di ladang dan tinggal di pondok-pondok sementara. Rumah adat yang disebut uma kabihu (rumah klan) itu memiliki atap model "joglo" yang menjulang tinggi. Di lantai tertinggi di bawah atap itu adalah tempat meletakkan barang-barang perlengkapan marapu, yaitu kepercayaan asli mereka.


Sistem garis keturunannya adalah patrilineal, dimana keluarga inti lebih suka mengelompok ke dalam keluarga luas terbatasnya yang membentuk lagi kesatuan klan. Sistem kepemimpinan kerabat masih terasa pengaruhnya sampai sekarang. Setiap klan memiliki seorang pemimpin yang disebut rato. Klan-klan yang dominan menganggap diri sebagai bangsawan dan mereka biasanya disebut golongan maramba. Golongan rakyat biasa disebut kabisu. Pada zaman dulu dikenal pula segolongan hamba sahaya yang mengabdi kepada golongan maramba, mereka disebut ata.


Masyarakat Sumba terbagi ke dalam kelompok-kelompok keluarga luas (klan) yang mereka sebut kabihu. Perkawinan harus bersifat eksogami klan, karena itu terbentuklah posisi aliansi perkawinan, dimana ada kabihu yang bertindak sebagai pemberi wanita atau jera, dan kabihu penerima wanita atau laija. Status jera dianggap lebih tinggi dari pada laija yang ditunjukkan dalam seremoni-seremoni adat dan ritual. Poligini di antara golongan bangsawan diizinkan.

Walaupun pada masa sekarang orang Sumba sudah banyak yang memeluk agama Kristen dan Islam, akan tetapi yang masih terikat kepada kepercayaan asli juga cukup banyak. Agama warisan kakek moyang orang Sumba disebut marapu, lengkapnya marapu humba (agama leluhur yang asli). Mereka mengenal banyak upacara seputar lingkaran hidup, terutama upacara-upacara yang berkaitan dengan kematian dan kesuburan tanah.


Sumber : Depdikbud 1978, Kapita 1976, Lebar 1972

Sumba adalah salah satu pulau yang terletak di bagian selatan Indonesia yang sangat terkenal akan keindahan alam, adat istiadat serta budayanya. Tak heran, keindahan alam dan tradisi yang masih sangat kental menjadikan Pulau yang terletak di Provinsi Nusa Tenggara Timur ini menjadi target para wisatawan baik wisatawan domestik bahkan mancanegara.

Berikut keunikan tradisi Pulau ini yang pastinya akan membuat pengunjungnya terheran-heran jika berkunjung ke Pulau Sandlewood ini.

1. Tradisi cium hidung

Suku bangsa sumba merupakan suku yang berasal dari
Suku bangsa sumba merupakan suku yang berasal dari
facebook.com/Umbu Maramba

Tradisi unik yang bisa ditemukan ketika berkunjung ke Pulau Sumba adalah tradisi cium hidung atau "pudduk" (dalam bahasa Sumba Timur). Tradisi ini merupakan tradisi yang sudah diwariskan turun temurun oleh leluhur orang Sumba.

Tradisi cium hidung bagi Orang Sumba merupakan simbol kekeluargaan dan persahabatan yang sangat dekat. Selain itu, jika ada pihak yang berseteru dan ingin berdamai, maka akan dilakukan cium hidung yang merupakan simbol perdamaian.

Tradisi cium hidung dilakukan dengan cara menempelkan dua hidung yang mengisyaratkan bahwa dua individu seakan sangat dekat dan tidak ada jarak.

Walaupun tradisi cium hidung ini sudah menjadi adat istiadat dan kebiasaan bagi Orang Sumba, namun tradisi ini tidak dapat dilakukan pada sembarang tempat dan waktu. Tradisi ini dapat dilakukan hanya dalam acara-acara tertentu, seperti saat proses pelaksanaan tradisi perkawinan, pesta pernikahan, ulang tahun, hari raya besar keagamaan, pesta adat, kedukaan dan acara perdamaian.

Di samping itu juga saat penerimaan tamu-tamu yang dianggap terhormat atau agung yang berasal dari wilayah Sumba sendiri. Lantas, bagaimana dengan tamu-tamu yang berasal dari luar Pulau Sumba? Tentunya boleh dilakukan tradisi ini, asalkan ada pemberitahuan terlebih dahulu.

Suku bangsa sumba merupakan suku yang berasal dari
Suku bangsa sumba merupakan suku yang berasal dari
facebook.com/Rambu Naha Tarap

Bagi Orang Sumba, tradisi makan sirih pinang atau "happa" (dalam Bahasa Sumba Timur) merupakan lambang kekerabatan dalam pergaulan sehari-hari bahkan dalam berbagai acara seperti perkawinan dan kematian serta acara lainnya.

Tradisi ini dilakukan dengan cara mengunyah buah pinang, sirih, dan kapur yang akan menyebabkan gigi dan mulut berwarna kemerahan. Jangan heran ketika anda berkunjung atau bertamu ke rumah penduduk orang Sumba, kamu akan disuguhkan sirih pinang yang merupakan simbol penghormatan dan keakraban.

Kemudian orang yang disuguhkan sirih pinang tersebut harus menerima suguhan itu, walaupun nanti diberikan kepada orang lain, dibawa pulang atau ditinggalkan pada tuan rumah atau untuk menghargai tuan rumah bisa juga dimakan tanpa kapur supaya mulut tidak berwarna kemerahan.

Selain itu, sirih pinang juga menjadi lambang komunikasi dengan arwah leluhur yang sudah meninggal serta sering disuguhkan dalam beberapa acara penting, seperti adat perkawinan dan kematian. Makanya tidak jarang ketika berkunjung ke Pulau Sumba, kita akan melihat orang Sumba akan meletakkan sirih pinang di atas kuburan keluarga dan kerabat mereka yang mereka kunjungi sebagai tanda sapaan dan komunikasi dengan arwah keluarga atau kerabat yang sudah meninggal itu. Tradisi yang sangat unik tentunya.

Baca Juga: 10 Alasan Pilih Kampung Prai Ijing sebagai Tujuan Wisata Budaya Sumba

Suku bangsa sumba merupakan suku yang berasal dari
Suku bangsa sumba merupakan suku yang berasal dari
flickr/mshwaiko

Nyale atau mencari cacing laut adalah tradisi yang wajib dilakukan untuk mendahului tradisi Pasola. Dikutip dari Wikipedia Indonesia tradisi nyale adalah salah satu upacara rasa syukur atas anugerah yang didapatkan, yang ditandai dengan datangnya musim panen dan cacing laut yang melimpah di pinggir pantai.

Adat tersebut dilaksanakan pada waktu bulan purnama dan cacing-cacing laut/nyale keluar di tepi pantai. Bila nyale tersebut gemuk, sehat, dan berwarna-warni, pertanda tahun tersebut akan mendapatkan kebaikan dan panen yang berhasil. Sebaliknya, bila nyale kurus dan rapuh, akan didapatkan malapetaka.

Setelah tradisi nyale dilakukan pada malam hari, maka pada keesokan harinya akan diadakan tradisi Pasola. Pasola adalah atraksi menunggang kuda dan dilakukan saling melempar tombak antar dua kelompok yang berlawanan.

Tombak yang digunakan juga bukan tombak yang tajam, namun tetap saja akan ada yang terluka, entah kuda tunggangan ataupun para peserta pasola. Jika dalam tradisi itu ada peserta pasola yang terluka dan ada darah yang tercucur dianggap berkhasiat untuk kesuburan tanah dan kesuksesan panen.

Apabila terjadi kematian dalam tradisi ini, maka hal itu menandakan sebelumnya telah terjadi pelanggaran norma adat yang dilakukan oleh warga pada tempat pelaksanaan pasola.

4. Tradisi belis

Suku bangsa sumba merupakan suku yang berasal dari
Suku bangsa sumba merupakan suku yang berasal dari
facebook.com/Naomi Palekahelu

Belis merupakan tradisi penyerahan mas kawin oleh pihak pria kepada pihak wanita. Belis dalam adat Orang Sumba bisa berupa ternak seperti kuda dan kerbau. Besarnya belis seorang Wanita Sumba biasanya tergantung kesepakatan antara kedua belah pihak.

Jika yang akan dinikahi adalah wanita dengan status sosial tinggi, maka hewan yang diberikan mencapai 30 ekor. Untuk rakyat biasa sekitar 5-15 ekor, dan untuk golongan yang lebih bawah lagi (disebut dengan hamba atau ata) dibayar oleh tuan (disebut maramba) mereka.

Selain itu, penyerahan belis juga dapat berupa mamuli. Mamuli adalah perhiasan yang biasanya terbuat dari emas. Mamuli sendiri memiliki simbol gambaran rahim atau simbol kemampuan reproduksi wanita. Kemudian, pihak wanita akan membalas pemberian pihak pria tersebut dengan ternak berupa babi, sarung dan kain khas Sumba.

Selain itu, pihak wanita pun harus menyiapkan perhiasan (dikenal dengan hada) dalam Bahasa Sumba Timur, sarung, dan perlengkapan rumah tangga untuk anak gadis mereka. Bahkan pihak wanita yang berasal dari garis keturunan bangsawan biasanya memberikan hamba atau dikenal dengan dengan "ata: pada anak gadis mereka.

Hal ini menjadi kesepakatan antara pihak laki-laki dan pihak perempuan dan tentunya akan mempengaruhi jumlah belis yang harus diberikan oleh pihak laki-laki kepada pihak perempuan. Biasanya ketika seorang gadis Sumba membawa hamba/ata dari keluarganya, maka jumlah belis yang harus diberikan oleh pihak laki-laki kepada pihak perempuan pun semakin besar.

5. Upacara kematian "marapu"

Suku bangsa sumba merupakan suku yang berasal dari
Suku bangsa sumba merupakan suku yang berasal dari
flickr/Fery Jomblo

Di Pulau Sumba, dalam upacara kematian masih syarat dengan kepercayaan kepada roh nenek moyang atau lebih dikenal dengan "marapu". Upacara kematian marapu dapat memakan biaya yang sangat mahal karena dibutuhkan banyak ternak untuk disembelih selama prosesi berlangsung seperti kuda, kerbau, dan babi.

Bahkan upacara kematian ini harus ditunda bertahun-tahun lamanya dengan maksud agar keluarga mampu menyiapkan biaya untuk melangsungkan prosesi tersebut dan juga untuk mengumpulkan semua keluarga dari tempat jauh untuk menghadiri prosesi upacara kematian tersebut.

Tidak heran jika mayat orang yang meninggal ditaruh dalam peti atau dikenal dengan kabbang dan disemayamkan selama bertahun-tahun sampai tiba saatnya keluarga siap melaksanakan prosesi upacara kematian.

Pada hari pelaksanaan prosesi upacara kematian dan pemakaman, keluarga yang diundang akan berkumpul dan membawa berbagai ternak seperti babi, kuda, kerbau, sarung, dan kain khas Sumba.

Pembawaan ini berdasarkan hubungan keluarga dengan orang yang meninggal, misalnya seorang anak perempuan yang sudah menikah akan membawa kuda atau kerbau ketika ayahnya meninggal, kemudian sebagai balasannya setelah pemakaman selesai, anak perempuan itu akan diberikan babi untuk dibawa pulang.

Di Sumba, penganut kepercayaan marapu juga memakamkan jenazah dalam batu megalitikum dengan posisi seperti janin dalam rahim atau dikenal dengan pahandiarangu. Namun, seiring perkembangan jaman, pada saat ini hampir jarang ditemukan jenazah dikuburkan dalam posisi seperti ini, yang ditemukan adalah jenazah ditaruh di dalam peti dan dikuburkan kedalam kuburan yang terbuat dari batu.

6. Tradisi kawin antara "anak om dan anak tante" (sepupuan) diperbolehkan

Suku bangsa sumba merupakan suku yang berasal dari
Suku bangsa sumba merupakan suku yang berasal dari
seputarpernikahan/Dwi Putra Sejiwa

Satu hal lagi yang cukup unik dari Orang Sumba adalah mengenai tradisi perkawinan sedarah antara "anak om dan anak tante" (sepupuan) yang diperbolehkan bahkan sangat dianjurkan. Tradisi ini dilakukan dengan tujuan agar semakin mempererat hubungan kekeluargaan.

Misalnya, anak laki-laki dari seorang perempuan Sumba boleh menikahi anak gadis dari saudara laki-lakinya. Pada umumnya, perkawinan sedarah merupakan hal yang tidak wajar bagi kebanyakan orang, namun menjadi wajar dan sah-sah saja bagi orang Sumba.

Tradisi ini bukanlah menjadi suatu kewajiban yang harus ditaati oleh orang Sumba. Namun jika ada hubungan antara "anak om dan anak tante" (sepupuan) yang sedang terjalin, maka bagi orang Sumba hubungan tersebut sangat diperbolehkan.

7. Tradisi "pahillir"

Suku bangsa sumba merupakan suku yang berasal dari
Suku bangsa sumba merupakan suku yang berasal dari
flickr/mshwaiko

Tradisi unik lain orang Sumba yang belum terlalu diketahui oleh orang banyak adalah "tradisi Pahillir" atau dalam Bahasa Indonesia bisa diartikan "tradisi menghindar".

Tradisi ini merupakan larangan keras yang tidak memperbolehkan "anak mantu perempuan dan ayah mertuanya atau anak mantu laki-laki dan ibu mertuanya"  atau "istri ipar dan anak mantu laki-laki" berkomunikasi apalagi bersentuhan secara langsung, bahkan barang-barang milik masing-masing pun tidak boleh disentuh.

Bagi Orang Sumba hal tersebut adalah "tabu" dan tidak pantas dilakukan, sehingga ketika mereka bertemu, maka mereka harus "menghindar" atau dalam Bahasa Sumba Timur dikenal dengan istilah pahilir. 

Dalam kehidupan sehari-hari, untuk menghindari kontak langsung antara mertua dengan menantu yang berbeda jenis kelamin, biasanya aktivitas dilakukan melalui perantara.

Atau kalau terpaksa terutama ketika tidak ada perantara, misalnya untuk melayani makan minum maka biasanya anak mantu menyimpannya di tempat yang bisa dilihat oleh ayah atau ibu mertuanya yang pahilir, lalu biasanya ayah/ibu mertuanya mengerti bahwa itu untuk dia.

Makna dari tradisi "pahilir" adalah perlu adanya jarak dalam relasi sehingga tidak memicu hubungan-hubungan yang terlarang.

Itulah tradisi unik orang Sumba yang membuat mereka spesial. Pastikan kamu menemui tradisi-tradisi ini, ya kalau main ke Sumba. Biar liburanmu makin berkesan!

Baca Juga: 5 Hal Penting Ini Harus Kamu Perhatikan Sebelum Liburan ke Sumba

IDN Times Community adalah media yang menyediakan platform untuk menulis. Semua karya tulis yang dibuat adalah sepenuhnya tanggung jawab dari penulis.