Sinar matahari dapat dimanfaatkan sebagai sumber energi alternatif antara lain sebagai

Sinar matahari dapat dimanfaatkan sebagai sumber energi alternatif antara lain sebagai

Selasa, 19 Juni 2012 - Dibaca 53537 kali

Pemanfaatan energi matahari sebagai sumber energi alternatif untuk mengatasi krisis energi, khususnya minyak bumi, yang terjadi sejak tahun 1970-an mendapat perhatian yang cukup besar dari banyak negara di dunia. Di samping jumlahnya yang tidak terbatas, pemanfaatannya juga tidak menimbulkan polusi yang dapat merusak lingkungan. Cahaya atau sinar matahari dapat dikonversi menjadi listrik dengan menggunakan teknologi sel surya atau fotovoltaik. Potensi energi surya di Indonesia sangat besar yakni sekitar 4.8 KWh/m2 atau setara dengan 112.000 GWp, namun yang sudah dimanfaatkan baru sekitar 10 MWp. Saat ini pemerintah telah mengeluarkan roadmap pemanfaatan energi surya yang menargetkan kapasitas PLTS terpasang hingga tahun 2025 adalah sebesar 0.87 GW atau sekitar 50 MWp/tahun. Jumlah ini merupakan gambaran potensi pasar yang cukup besar dalam pengembangan energi surya di masa datang. Komponen utama sistem pembangkit listrik tenaga surya (PLTS) dengan menggunakan teknologi fotovoltaik adalah sel surya. Saat ini terdapat banyak teknologi pembuatan sel surya. Sel surya konvensional yang sudah komersil saat ini menggunakan teknologi wafer silikon kristalin yang proses produksinya cukup kompleks dan mahal. Secara umum, pembuatan sel surya konvensional diawali dengan proses pemurnian silika untuk menghasilkan silika solar grade (ingot), dilanjutkan dengan pemotongan silika menjadi wafer silika. Selanjutnya wafer silika diproses menjadi sel surya, kemudian sel-sel surya disusun membentuk modul surya. Tahap terakhir adalah mengintegrasi modul surya dengan BOS (Balance of System) menjadi sistem PLTS. BOS adalah komponen pendukung yang digunakan dalam sistem PLTS seperti inverter, batere, sistem kontrol, dan lain-lain. Saat ini pengembangan PLTS di Indonesia telah mempunyai basis yang cukup kuat dari aspek kebijakan. Namun pada tahap implementasi, potensi yang ada belum dimanfaatkan secara optimal. Secara teknologi, industri photovoltaic (PV) di Indonesia baru mampu melakukan pada tahap hilir, yaitu memproduksi modul surya dan mengintegrasikannya menjadi PLTS, sementara sel suryanya masih impor. Padahal sel surya adalah komponen utama dan yang paling mahal dalam sistem PLTS. Harga yang masih tinggi menjadi isu penting dalam perkembangan industri sel surya. Berbagai teknologi pembuatan sel surya terus diteliti dan dikembangkan dalam rangka upaya penurunan harga produksi sel surya agar mampu bersaing dengan sumber energi lain. Mengingat rasio elektrifikasi di Indonesia baru mencapai 55-60% dan hampir seluruh daerah yang belum dialiri listrik adalah daerah pedesaan yang jauh dari pusat pembangkit listrik, maka PLTS yang dapat dibangun hampir di semua lokasi merupakan alternatif sangat tepat untuk dikembangkan. Dalam kurun waktu tahun 2005-2025, pemerintah telah merencanakan menyediakan 1 juta Solar Home System berkapasitas 50 Wp untuk masyarakat berpendapatan rendah serta 346,5 MWp PLTS hibrid untuk daerah terpencil. Hingga tahun 2025 pemerintah merencanakan akan ada sekitar 0,87 GW kapasitas PLTS terpasang. Dengan asumsi penguasaan pasar hingga 50%, pasar energi surya di Indonesia sudah cukup besar untuk menyerap keluaran dari suatu pabrik sel surya berkapasitas hingga 25 MWp per tahun. Hal ini tentu merupakan peluang besar bagi industri lokal untuk mengembangkan bisnisnya ke pabrikasi sel surya. (Sources : http://www.litbang.esdm.go.id)

Bagikan Ini!

Listrik merupakan salah satu sarana pendukung aktivitas manusia. Khususnya aktivitas-aktivitas di industri besar memerlukan tenaga listrik sebagai sumber energi utama.

Laporan: Henny Elyati (Pekanbaru)

Baca Juga : Rekaman CCTV di RS Polri Kramat Jati Ditengarai Raib

Indonesia sendiri memiliki potensi berupa tenaga matahari sebagai sumber tenaga listrik. Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) menjadi alat alternatif pembangkit listrik mandiri. Penggunaan panel surya mampu mengubah energi sinar matahari menjadi energi listrik.

Perkembangan teknologi energi surya yang terjangkau, tidak habis, dan bersih akan memberikan keuntungan jangka panjang yang besar. Perkembangan ini akan meningkatkan keamanan energi negara-negara melalui pemanfaatan sumber energi yang sudah ada, tidak habis, dan tidak tergantung pada impor, meningkatkan kesinambungan, mengurangi polusi, mengurangi biaya mitigasi perubahan iklim, dan menjaga harga bahan bakar fosil tetap rendah dari sebelumnya. Keuntungan-keuntungan ini berlaku global. Oleh sebab itu, biaya insentif tambahan untuk pengembangan awal selayaknya dianggap sebagai investasi untuk pembelajaran; inventasi ini harus digunakan secara bijak dan perlu dibagi bersama.

Baca Juga : Dosen dan Mahasiswa Unri Ciptakan Rumah Pengering Sinar Matahari

Pertamina, perusahaan plat merah di Indonesia kini mulai menggunakan PLTS sebagai sumber energi listrik. Chief Executive Officer Pertamina NRE Dannif Danusaputro saat berkunjung ke Riau beberapa waktu lalu mengatakan, Pertamina Group berkomitmen untuk memulai transisi energi dari halaman sendiri dan berkontribusi terhadap program pemerintah. PLTS untuk beberapa wilayah kerjanya menjadi salah satu showcase energi bersih Pertamina pada acara G20.

"Pertamina NRE akan terus berkolaborasi dengan seluruh pemangku kepentingan untuk mewujudkan transisi energi yang berkelanjutan," ujar Dannif.

Baca Juga :

Untuk wilayah kerja Rokan (Blok Rokan), tahap awal secara keseluruhan, PLTS akan menempati lahan seluas 28,16 hektare untuk mendukung kegiatan operasi di WK Rokan. Tidak hanya untuk mengurangi emisi karbon sampai 23 ribu ton per tahun, namun pengurangan fuel gas sebesar 352 MMSCF juga akan menghemat biaya operasional.

Direktur Utama Pertamina Hulu Rokan Jaffee A Suardin mengatakan tenaga surya sebagai salah satu energi baru terbarukan bukan sekadar tren global yang diadopsi Indonesia. Transisi energi hijau ini dikatakan sebagai prioritas berkelanjutan oleh negara.

Baca Juga :

"PHR dalam hal ini turut berpartisipasi dalam mendukung target pemerintah melalui Grand Strategi Energi Nasional untuk mempercepat transisi energi dan target bauran energi dari energi baru terbarukan sebesar 23 persen pada 2025 serta mencapai net zero emissions di tahun 2060 dengan jangka menengah 29-41 persen di tahun 2030," tuturnya pada kesempatan yang sama.

PT Pertamina (Persero) terus melakukan transisi penggunaan energi listrik ramah lingkungan. Pertamina telah menyelesaikan penyediaan Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) sebesar dua megawatt (MW) di area Kilang Dumai yang berpotensi menurunkan emisi 2.052 ton CO2 per tahun.

Corporate Secretary PT Kilang Pertamina Internasional Ifki Sukarya mengatakan, PLTS Kilang Dumai merupakan PLTS ground mounted yang dibangun di lahan seluas sekitar dua hektare dengan sistem on grid dan saat ini menjadi PLTS ground mounted terbesar di Riau.

Potensi listrik yang diproduksi PLTS tersebut mencapai 2,5 GWh dalam setahun. Keberadaan PLTS itu juga berpotensi menurunkan emisi yang setara dengan penyerapan CO2 oleh 97 ribu pohon dalam setahun.

"Selaras dengan komitmen untuk implementasi ESG, PT Kilang Pertamina Internasional menerapkan berbagai program pendukung, salah satunya adalah dekarbonisasi. Hal ini dijalankan dengan penggunaan PLTS untuk perkantoran dan kompleks pemukiman pekerja di kilang Dumai dan Cilacap," ujar Ifki.

Penggunaan panel surya ini jauh lebih hemat, efisien, serta tidak menghasilkan emisi yang berdampak negatif terhadap lingkungan. Sejak September 2017, Indonesia sudah mendeklarasikan "Gerakan Nasional Sejuta Surya Atap". Bentuk gerakan ini bertujuan mempercepat pembangunan pembangkit listrik surya atap di perumahan, fasilitas umum, gedung, bangunan komersial, dan kompleks industri.

Pilihan energi alternatif sinar matahari menjadi sangat potensial digunakan karena tidak habis dan didapatkan secara gratis. Pancaran sinar matahari tersebut digunakan sebagai sumber energi alternatif di masa depan. Sinar matahari tersebut dikonversikan menjadi energi listrik menggunakan teknologi fotovoltaik (photovoltaic/pv) yang sering disebut panel surya. Energi ini dimanfaatkan untuk mengurangi polusi dan emisi karbon efek rumah kaca. Indonesia sangat beruntung, karena secara geografis, Indonesia berada di garis khatulistiwa yang berarti Indonesia kaya akan sumber energi surya. Rata-rata intensitas radiasi matahari di wilayah Indonesia mencapai 4,8 kWh/m2 per harinya, atau setara 112.000 Giga Watt-peak (GWp).

Upaya ini untuk memenuhi kebutuhan elektrifikasi khususnya sumber daya listrik di kawasan perkantoran, Pemerintah Provinsi Riau sudah mulai mengembangkan energi terbarukan.

Gubernur Riau Syamsuar mengatakan, pengembangan energi terbarukan tersebut di antaranya dengan memasang panel surya (solar cell) yang memanfaatkan panas matahari yang dijadikan sebagai sumber listrik.

"Solar cell sudah dipasang di Kantor Gubernur Riau dan Gedung Daerah Provinsi Riau, Pertamina Dumai dan RAPP, Pertamina Hulu Rokan sebagai dukungan untuk memanfaatkan panas matahari," ungkapnya.

Diharapkan, perusahaan dan perkantoran yang ada di wilayah Provinsi Riau secara bertahap dapat membangun solar pannel sebagai energi terbarukan untuk sumber daya listriknya.

"Bertahap perusahaan dan perkantoran sudah menggunakan energi terbarukan dengan mengembangan energi terbarukan," ucapnya.

Gubernur menambahkan, dengan adanya pembangunan sumber energi terbarukan, maka daerah-daerah yang belum teraliri listrik dapat memanfaatkan dan membangun solar cell untuk memberikan sumber listrik kepada masyarakat.

Matahari menghasilkan energi yang sangat bermanfaat bagi alam dan makhluk hidup di Bumi. Walau digunakan terus-menerus, energi matahari tidak akan habis. Matahari juga termasuk salah satu energi terbarukan yang sering dimanfaatkan manusia untuk memenuhi kebutuhannya.

Indonesia yang terletak di garis khatulistiwa, memiliki potensi energi surya yang berlimpah. Intensitas radiasi matahari rata-rata sekitar 4.8 kWh/m2 per hari di seluruh wilayah Indonesia dapat dimanfaatkan menjadi sumber listrik terbarukan dan lebih ramah lingkungan. Berdasarkan data resmi yang dirilis oleh pemerintah Indonesia melalui Kementerian ESDM tahun 2017, Indonesia memiliki potensi teknis tenaga surya yang jauh lebih besar mencapai lebih dari 207 GW.

Namun berdasarkan studi Institute for Essential Services Reform (IESR) menunjukkan potensi energi surya termasuk untuk skala utilitas di Indonesia antara 16 hingga 95 kali lebih besar dari perkiraan resmi nasional (RUEN), yaitu 207 GW. Indonesia memiliki potensi teknis sebesar 19.835 GWp.

Direktur Eksekutif IESR Fabby Tumiwa menjelaskan, berdasarkan potensi teknis dan kesesuaian lahan, tenaga surya di Indonesia bisa mencapai 3.000-20.000 GWp.

"Bila potensi teknis yang paling sedikit saja, 3 GW, dimanfaatkan secara efektif, maka dapat memenuhi 7 kali dari konsumsi listrik dari tahun 2018," ujarnya dalam peluncuran kajian "Beyond 207 Gigawatts: Unleashing Indonesia’s Solar Potential" secara daring, baru-baru ini.