Siapakah yang mengucapkan Aku adalah hamba sahaya orang yang telah mengajarkan Aku satu huruf

Memuliakan guru bukan formalitas belaka, harus tumbuh dari dalam sanubari.

Rabu , 27 Nov 2019, 05:05 WIB

tangkapan layar Reuters/David Rouge

Gurun pasir (ilustrasi)

Red: Agung Sasongko

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Ahmad Agus Fitriawan

Alkisah. Suatu ketika Imam Syafi'i pernah tiba-tiba mencium tangan dan memeluk hangat seorang laki-laki tua yang kebetulan bertemu muka dengannya. Tindakan ini jelas mengundang tanya para sahabat dan murid-murid Imam Syafi'i.

"Wahai Imam, mengapa engkau mau mencium tangan dan memeluk lelaki tua yang tak dikenal itu? Bukankah masih banyak ulama yang lebih pantas diperlakukan seperti itu dari pada dia?" tanya salah seorang sahabatnya.

Dengan lugas, Imam Syafi'i menjawab: "Ia adalah salah seorang guruku. Ia kumuliakan karena pernah suatu hari aku bertanya kepadanya, bagaimana mengetahui seekor anjing telah dewasa. Ia pun menjawab, untuk mengetahuinya dengan melihat apakah anjing itu mengangkat sebelah kakinya ketika hendak kencing. Jika iya, ketahuilah bahwa anjing itu telah berusia dewasa."

Begitu luar biasanya Imam Syafi'i memperlakukan dan memuliakan gurunya. Meski pembelajaran yang ia dapatkan terkesan remeh, tidak membuat mufti besar itu melupakan apalagi meremehkan jasa dari orang tersebut. Ia tetap memperlakukannya dengan mulia, sama seperti ia memperlakukan guru-gurunya yang lain.

Tak kalah luar biasanya lagi, adalah Khalifah Ali Bin Abi Thalib dalam hal memuliakan guru. Beliau pernah berkata: "Aku adalah hamba dari siapa pun yang mengajariku walaupun hanya satu haruf. Aku pasrah padanya. Entah aku mau dijual, dimerdekakan atau tetap sebagai seorang hamba."

Perkataan beliau ini menunjukkan bentuk memuliakan dan pengabdian yang tinggi pada siapa pun saja yang pernah mengajarinya walaupun hanya satu huruf. Bahkan, beliau mengibaratkan hubungan guru dengan murid seperti tuan dengan budaknya. Sebagaimana budak, senantiasa siap menjalankan titah tuannya.

Begitulah sejatinya memuliakan gurunya. Memuliakan guru adalah kewajiban setiap murid. Memuliakan guru tak kenal batas ruang dan waktu. Baik di sekolah, di jalan, di rumah, di taman, atau di mana saja.

Memuliakan guru juga tidak hanya mengacu pada posisi saat ia masih aktif menjadi guru. Namun, meski guru sudah berhenti atau pindah tugas dari tempat kita belajar, beliau tetap harus dimuliakan. Memuliakan guru sejak kita berguru padanya sampai ajal menjemput kita.

Memuliakan guru bukan formalitas belaka, harus tumbuh dari dalam sanubari. Jangan sampai lahir kelihatan hormat, tetapi batinnya melaknat. Penghormatan dan memuliakan guru itu harus berangkat dari hati yang bersih agar berbuah kasih dari Allah SWT.

Teladanilah Khalifah Ali bin Abi Thalib dan Imam Syafi'i dalam hal memuliakan guru. Pantaslah jika dikemudian hari, sejarah Islam mencatat nama beliau berdua dengan tinta emas, yang hingga kini tetap diingat dan dihormati setiap Muslim. Bahkan, Nabi SAW dalam satu kesempatan pernah bersabda: "Saya adalah kota ilmu dan Ali sebagai pintunya." Hadis ini menunjukkan betapa tingginya ilmu Sayyidina Ali sehingga Rasulullah menjulukinya sebagai Babul Ilmi (pintu ilmu pengetahuan). Wallahu a'lam.

  • hikmah
  • hari guru nasional
  • imam syafi'i

Silakan akses epaper Republika di sini Epaper Republika ...

Jumat , 28 Nov 2014, 11:00 WIB

Red:

Tersebutlah seorang ulama yang disegani bahkan oleh penguasa ketika itu. Ia adalah Fakhruddin al-Arsabandi. Dalam ketenarannya, ia mengungkap sebuah rahasia atas rahmat Allah yang luar biasa didapatkannya. "Aku mendapatkan kedudukan yang mulia ini karena berkhidmat (melayani) guruku," ujar sang Imam. Ia menuturkan, khidmat yang dia berikan kepada gurunya sungguh luar biasa. Gurunya Imam Abu Zaid ad-Dabbusi benar-benar dilayaninya bak seorang budak kepada majikan. Ia pernah memasakkan makanan untuk gurunya selama 30 tahun tanpa sedikit pun mencicipi makanan yang disajikannya. Begitulah cara orang-orang terdahulu mendapatkan keberkahan ilmu dari memuliakan gurunya. Mencintai ilmu berarti mencintai orang yang menjadi sumber ilmu. Menghormati ilmu berarti harus menghormati pula orang yang memberi ilmu. Itulah guru. Tanpa pengajaran guru, ilmu tak akan pernah bisa didapatkan oleh si murid. Dalam literatur pendidikan Islam, jelas terpampang bahwa pelajaran pertama yang diterima seorang murid adalah bab Adabu Mu’allim wa Muta’allim (adab antara guru dan murid). Dari kitab manapun, mestilah pembelajaran dimulai dari bab ini. Si murid perlu dipahamkan, dari siapa ia menerima ilmu karena dalam pembelajaran ilmu-ilmu Islam sangat memperhatikan sanad (validitas). Berbeda dengan sesuatu yang bersifat nasihat. Nasihat tak perlu memandang dari mulut siapa keluarnya nasihat itu. Berlakulah di sana pepatah Arab, unzur ma qala wala tanzur man qala (lihatlah kepada apa yang dikatakan, jangan melihat siapa yang mengatakannya). Namun, bagi ilmu-ilmu Islam sejenis tafsir, hadis, akidah, dan cabang ilmu sejenisnya, perlu diperhatikan dari siapa si murid menerimanya. Inilah yang dipesankan Muhammad bin Sirin, "Sesungguhnya ilmu ini adalah agama. Maka lihatlah dari siapa engkau mengambil agamamu." Fakhruddin al-Arsabandi benar-benar memperhatikan sang guru sebagai tempat ia mengambil ilmu. Ia tak ubahnya seperti budak di hadapan gurunya. Hal yang sama juga ditunjukkan oleh Ali bin Abi Thalib RA yang pernah mengatakan, "Siapa yang pernah mengajarkan aku satu huruf saja, maka aku siap menjadi budaknya." Ali RA mencontohkan, sekecil apa pun ilmu yang didapat dari seorang guru tak boleh diremehkan. Imam Syafi’i pernah membuat rekannya terkagum-kagum karena tiba-tiba saja ia mencium tangan dan memeluk seorang lelaki tua. Para sahabatnya bertanya-tanya, "Mengapa seorang imam besar mau mencium tangan seorang laki-laki tua? Padahal masih banyak ulama yang lebih pantas dicium tangannya daripada dia?" Imam Syafi’i menjawab, "Dulu aku pernah bertanya padanya, bagaimana mengetahui seekor anjing telah mencapai usia baligh? Orang tua itu menjawab, "Jika kamu melihat anjing itu kencing dengan mengangkat sebelah kakinya, maka ia telah baligh." Hanya ilmu itu yang didapat Imam Syafi’i dari orang tua itu. Namun, sang Imam tak pernah lupa akan secuil ilmu yang ia dapatkan. Baginya, orang tua itu adalah guru yang patut dihormati. Sikap sedemikian pulalah yang menjadi salah satu faktor yang menghantarkan seorang Syafi’i menjadi imam besar. Lantas seperti apakah penghormatan para pelajar saat ini kepada guru mereka? Petuah ilmu yang diberikan guru hanya bak angin lalu. Guru tak perlu didengarkan atau dituruti. Take it, or leave it. Tak masalah jika tak menuruti arahan dari guru. Ibarat kata pepatah, "Anjing menggonggong, kafilah tetap berlalu." Mengapa para guru dipandang sedemikian rendah oleh anak bangsa saat ini? Mungkin, mereka tidak merasakan kebermanfaatan ilmu yang mereka pelajari. Atau, model pembelajaran yang tidak dimulai dari bab Adabu Mu’allim wa Muta’allim. Atau kesalahan juga terdapat pada guru yang punya orientasi materi. Ilmu hanya sebatas seremonial dan dihargai dengan uang. Semua bercampur aduk kemudian melahirkan sebuah model pendidikan yang rusak. Guru pada umumnya tidak meminta untuk dihormati oleh si murid. Namun, orang yang sadar bahwa dirinya seorang muridlah yang harusnya tahu diri untuk menghormati gurunya. Si murid harus memahami, tak ada kesuksesan yang ia raih tanpa ada peran seorang guru. Ia tak akan mampu melakukan apa pun, jika gurunya tak mengajarinya membaca. Ia pasti akan jauh dengan agama, jika gurunya tak mengenalkannya dengan aksara Alquran.

Membalas kebaikan guru merupakan suatu kewajiban bagi murid. Sebagaimana yang diperintahkan Allah dalam firman-Nya, "Dan berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik kepadamu." (QS al-Qashash [22]: 77). Seorang murid harus berpikir, ilmu yang bermanfaat yang diajarkan guru merupakan pahala yang tak pernah putus di sisi Allah. Ia akan terus mengalir kepada si guru selama ilmu tersebut terus diajarkan dan diamalkan. Itulah kewajiban si murid untuk mengembangkannya dan kemudian mengamalkannya. Agar si guru yang pernah mengajarkannya mendapatkan ganjaran pahala yang terus mengalir di sisi Allah. n ed: hafidz muftisany

"Ana 'abdu man 'allamani wa law harfan", aku adalah hamba guruku meski hanya mengajarku satu huruf, kata S. Ali bin Abu Thalib ra. Kalimat di atas adalah sebuah pengakuan sekaligus penghormatan dari seorang murid terhadap gurunya. Apalagi kalimat itu diungkapkan oleh S. Ali bin Abu Thalib yang telah didaulat oleh Rasulullah sebagai pintunya ilmu. "Aku (Nabi) adalah kotanya ilmu dan Ali sebagai pintunya". Bisa dibayangkan, betapa besar rasa ta'dzim dan tawaddu' Ali bin Abu Thalib terhadap gurunya hingga beliau menyatakan diri sebagai hamba sahaya yang segala jiwa dan raganya siap dikhidmatkan kepada gurunya. Bukan hanya itu, setiap orang, siapapun saja yang telah mengajarkan ilmu meski satu huruf, maka ia diposisikan sebagai guru untuk selamanya. Pengakuan murid terhadap guru sebagaimana yang dicontohkan Ali bin Abu Thalib adalah pelajaran yang patut ditiru. Dan, akhlaq semacam ini yang kini mulai dirasakan luntur. Sekedar mengingat nama atau wajah para guru saja, seringkali tidak terlintas dalam benak seorang murid, apalagi mengaku sebagai hamba. Sangat boleh jadi, terbukanya pintu ilmu dan wahana pengetahuan yang luas di dalam diri S. Ali adalah berkat rasa ta'dzim beliau terhadap para gurunya. Dalam dunia pesantren, ridha seorang guru jauh lebih penting daripada prestasi belajar. Seorang kiai atau guru di mata santri adalah segalanya. Bahkan, seluruh keluarga sang kiai tetap dianggapnya sebagai guru yang juga harus dihormati. Apapun dan siapapun yang dicintai sang guru, maka bagi santri, juga harus dihormati dan dicintai sepenuh hati. Itupun tanpa alasan atau pamrih apapun dan penghormatan ini berlaku tanpa batas!! Contoh hubungan antara guru dan murid di atas, memang sengaja dicuplik dari dunia pesantren. Sebab, "shilah" atau keterikatan antara guru dan murid ala pesantren, -sepanjang yang saya tahu- tidak ada yang mengunggulinya. Atmosfer pesantren memang kental dengan sikap tawaddu', rendah hati, sopan terhadap guru, dan sebagainya yang karakteristik semacam ini belum bisa ditandingi oleh lembaga pendidikan non-pesantren di Indonesia. Mengapa iklim pesantren sedemikian kuat dalam membentuk jiwa murid sehingga ia amat sangat menghormati gurunya? Salah satu jawabannya adalah karena hubungan yang dijalin dan dibudayakan di pesantren adalah "shilah ruhiyyah" (relasi rohani), bukan "shilah tijariyah" (relasi transaksional). Sementara itu, di lembaga-lembaga pendidikan yang berorientasi pada "pendapatan", terlebih lagi jika sekolah itu telah dimanej ala perusahaan yang mana semuanya dihitung sebagai bisnis, maka dampak negatifnya adalah terkikisnya relasi rohani tadi. Ketika relasi ini yang lenyap, maka tidak perlu dipersalahkan bilamana hubungan antara guru dan murid cukup terhenti ketika si murid mendapat ijazah!! Hal kedua yang perlu ditekankan di sini, selain tentang motif relasi rohani, adalah sosok guru. Selama ini, guru yang dimaksud S. Ali di atas, hanya dipahami sebagai guru agama yang mengajar baca-tulis al-Quran atau huruf hijaiyah belaka. Padahal, guru di bidang apapun seharusnya juga diposisikan sama. Guru matematika yang pernah mengajarkan cara berhitung, guru di TK yang mengajarkan tentang aneka warna dan lagu, guru SD yang memberi contoh menulis dan menggambar, dan guru-guru di bidang lainnya, mereka semua adalah sosok mulia yang wajib dihormati. Memperingati hari guru nasional, paling tidak harus dimulai dengan kembali mengingat-ingat wajah dan nama guru-guru kita sejak kita kecil hingga hari ini. Kita perlu mengheningkan cipta sejenak sambil mengenang perjuangan para guru kita, perjalanan hidup nereka yang sarat perjuangan, suka-duka yang mereka alami namun dibungkus rapi saat mereka mengajarkan ilmu di depan kita, dan bayang-bayang lainnya. Mengingat itu semua, paling tidak akan menimbulkan rasa ta'dzim yang lalu kita teruskan dengan mendoakan mereka supaya Allah selalu melindungi dan membalas segala kebajikan mereka dengan pahala dan kemuliaan dunia-akhirat. Pada tahap selanjutnya, kita wajib menyampaikan terima kasih yang tak terbatas. Sebab, segala yang kita ketahui hari ini adalah berkat akumulasi dari ilmu pengetahuan yang pernah diajarkan para guru. Terima Kasih, semua guruku. Akulah hamba sahaya yang sering melupakan nasibmu. Maafkan aku, Guru....

Video yang berhubungan

Postingan terbaru

LIHAT SEMUA