Siapakah raja di tanah Minahasa di tahun 1563

TRIBUNMANADOWIKI.COM - Kerajaan Portugis masuk wilayah Sulawesi Utara pada abad ke-16.

Di Sulawesi Utara, Kerajaan Portugis juga mengadakan karya misi.

Namun, karena mereka kalah dari bangsa Belanda, mereka keluar dari wilayah ini.

Datanglah kemudian Kerajaan Spanyol sehingga karya misi dapat diteruskan.

1. Kedatangan Awal

Pastor Ambrosius Wuritimur dalam bukunya Karya Misi di wilayah Keuskupan Manado mengatakan pada abad ke-16 kurang sekali catatan sejarah karya misi yang bisa dihubungkan dengan Sulut.

Meskipun demikian, dari beberapa catatan kehadiran Portugis dan Spanyol di Sulut dapat dilaporkan beberapa hal.

Berdasarkan laporan Pater Bernardino Ferrari kepada Pemimpin Umum Ordonya di Roma, Pastor Ambrosius Wuritimur menyebut bahwa telah dilakukan pengamatan terhadap keadaan misi di seluruh Maluku.

Karya misi juga dilakukan di beberapa pulau lainnya seperti Siau, Sanger, dan Manado pada tahun 1582.

Tetapi apakah ada tindak lanjut dari laporan itu dengan pengiriman misionaris-misionaris untuk wilayah Sulawesi, tidak ada catatan yang didapat.

Tetapi rupanya ada catatan lain bahwa baptisan pertama di Pantai Sulawesi Utara terjadi pada tahun 1538, dan sejak tahun 1563-1667 kegiatan misi agak menetap agak menetap di Minahasa, Siau, Sangihe, dan Talaud (Bulkmann 2011 : 14).

Catatan itu didasarkan pada dokumen-dokumen asli yang dimiliki.

Dokumen-dokumen resmi-resmi Gereja, baik dari pihak Gereja Katolik maupun Gereja Protestan, menyebutkan tahun 1563 sebagai tahun di mana baptisan pertama terjadi.

Dalam "Seri buku Documenta Malucensia tahun 1974, yang berisi surat-surat dalam laporan-laporan para misionaris Jesuit, khusus volume I antara tahun 1542-1577, dalam bahasa Latin-Portugis-Spanyol, keyakinan ini dikoreksi.

Di sana disebutkan bahwa pada tahun 1538 sudah dilangsungkan pembabtisan di Pantai Utara Sulawesi.

Orang yang melakukan pembabtisan ialah "seorang nakhoda kapal Portugis bernama Francisco de Castro, yang atas perintah komandan benteng Ternate, Antonio Galvao, melakukan ekspedisi atau penyelidikan ke daerah-daerah Papua, Sulawesi dan Mindanao.

Fakta ini disebutkan pula dalam buku "a treatise on Moluccas", ditulis sekitar tahun 1544, yang barangkali merupakan versi awal buku "Historia das Moluccaa" karangan Antonio Galvao, komandan tahun 1536-1540 (Tinangon 2015:135).

Tahun baptisan pertama ini serentak memberi informasi mengenai kedatangan orang Portugis di Sulawesi Utara.

Catatan yang lain yang lebih awal dibuat oleh Hubertus van Kol yang berdasar pada penulis lain menerangkan bahwa sekitar bulan Oktober 1521 serombongan orang Spanyol yang pernah bergabung dengan armada laut Ferdinand Magelhaens di Tidore.

Sebagian anggota armada ini memisahkan diri dan berlabuh di salah satu tempat di Pantai Minahasa.

Diperkirakan mereka datang juga dengan membawa misionaris untuk tujuan misi sebagaimana kebiasaan waktu itu dalam pelayaran-pelayaran orang Spanyol dan Portugis.

Sementara pada tahun 1520-an diperkirakan sudah ada umat Katolik.

Hanya ada data mengenai hal itu tidak dimiliki (Palar 2009 :226).

2. Karya Misi

Pada tahun 1538 terjadi pembabtisan pertama, dilakukan oleh seorang nahkoda kapal Portugis bernama Franciso de Castro.

Sejak tahun 1563-1688 kegiatan misi agak menetap di Minahasa, Siau, Sangihe, dan Talaud.

Pada akhir Mei tahun 1563 pastor Diogo de Magelhaes, S. J. tiba di Manado untuk melaksanakan karya misi di Sulawesi Utara.

Ia tinggal selama 14 hari di Manado.

Selama 14 hari itu, ada banyak orang yang meminta untuk dibaptis.

Maka, ia memberikan pengajaran dasar mengenai agama, dan setelah itu ia membaptis Raja Manado dan 1500 bawahannya.

Ia juga membaptis Raja Siau yang kebetulan tinggal di Manado dengan nama Jeronimo.

Setelah 14 hari itu, ia berlayar ke Bolaang di pantai utara.

Raja Bolaang juga meminta untuk dibaptis, namun Pastor Magelhaes tidak membaptisnya, karena raja belum lama memeluk agama lain (Bulkman 2011:27).

Selanjutnya ada 3000 orang penduduk Pantai Kaidipan meminta untuk dibaptis.

Magelhaes hanya membaptis kepala-kepala sukunya.

Setelah itu ia berlayar menuju Toli-toli.

Mengenai Toli-toli tidak ada laporan pembaptisan

Pastor Magelhaes kemudian kembali lagi ke Manado via Kaidipan.

Di Kaidipan dalam perjalanan pulangnya itu, ia membaptis 2000 orang Kaidipan (Bulkmann 2011:27).

Dari kepulauan Banggai, raja mengirim utusan ke Ternate untuk meminta imam-imam supaya raja dan rakyatnya dibaptis, karena mereka ingin menjadi Katolik. Permintaan ini tidak ditindaklanjuti. Meskipun demikian, Raja Banggai tetap mengirim putera mahkotanya ke Ternate, dan pemuda itu dibabtis di Ternate, walaupun hal itu menyebabkan Sultan Ternate, Hairun tersinggung (Bulkmann 2011:30).

Pada tanggal 4 Agustus 1568 Pastor Pedro Mascarenhas ikut serta dalam ekspedisi yang dipimpin oleh Lourenco Furtado ke Manado, Siau, dan Sangir.

Tujuan utama ekspedisi ini ialah bergabung dengan armada dari Admiral Portugis untuk mengusir Spanyol mundur ke Filipina.

Ekspedisi ini datang ke Manado terlebih dahulu, dan sesudah beberapa hari kemudian ke Siau.

Pastor Mascarenhas ikut sampai ke Siau dan tinggal di sana dengan beberapa tentara.

Di sana ia membaptis ayah dari raja Siau, Jeronimo.

Sementara Lourenco Furtado pergi bergabung dengan armada admiral Portugis.

Pada tahun yang sama (1568) ketika Pastor Mascarenhas hendak menyeberang dari Siau ke Manado untuk mengunjungi orang-orang Katolik yang dulu dibaptis oleh Pastor Magelhaes tahun 1563, datanglah utusan-utusan dari Sangir dan memohon agar Pastor Mascarenhas mengunjungi pulau mereka.

Permintaan ini sebenarnya disebabkan karena mereka takut pada pihak Ternate, sehingga mereka ingin mencari hubungan dengan orang Portugis.

Pastor Mascarenhas mengiyakan permintaan mereka.

Ditemani oleh Raja Jeronimo pada tanggal 4 Oktober 1568 ia menyeberang selat dan diterima oleh raja Sangir secara meriah.

Dengan bantuan seorang penterjemah pastor itu menerangkan ringkasan dari pokok-pokok kebenaran ajaran Katolik.

Sesudah itu raja dan isterinya dan beberapa pemuka pulau itu dibaptis.

Kemudian didirikanlah sebuah salib besar dan dipersiapkan sebidang tanah yang atasnya akan didirikan sebuah gereja (Bulkmann 2011:32).

Raja Buol sendiri dibabtis di Siau oleh Pastor Pereira SJ beberapa tahun sebelum pembunuhan terhadap Pastor Sebastian de San Jose oleh beberapa orang beragama lain dari Tagulandang.

Ia dipanah dan dipenggal kepalanya pada tanggal 18 Juni 1610.

Saat itu ia mengadakan perjalanan dari Manado ke Kaidipan dan terus mau melanjutkan perjalanan ke Buol untuk mengunjungi Raja Buol (Bulkmann 2011: 49).

Pada tahun 1610 dua orang imam Jesuit Pastor Andreas Simi dan Pastor J Baptista, datang dari Malaka melalui pantai utara Kalimantan menuju Ternate.

Namun, karena kerusakan kapal maka mereka singgah di Siau beberapa waktu lamanya dari bulan Oktober 1610.

Di Siau, mereka membaptis 70 anak, dan melakukan karya misi lainnya, hanya saja tidak dilaporkan karena ketidaktahuan bahasa (Bulkmann 2011: 63).

Pada tahun 1613 panglima Ternate, Don Jeronimo de Silva, membangun pertahanan kecil di Siau dengan mengirim enam prajurit.

Keenam orang prajurit ini datang bersama Pastor Gomes SJ.

Di Siau Pastor Gomes tinggal selama satu tahun penuh, mengajar mereka yang sudah dibabtis, dan juga membabtis sejumlah besar orang, terutama anak-anak.

Pada bulan Mei 1614 ia kembali ke Ternate.

Pada tahun 1637 Pastor Freyre SJ membabtis Ratu Manado dan anak-anaknya, serta menyelesaikan perkawinan mereka (Bulkmann 2011: 54).

Pada tahun 1640 ketika Pedro de Mendiola diganti oleh panglima yang baru Don Francisco Suares de Figueroa yang akrab dengan para Fransiskan, ia mengirim ke Sangir dan Siau pada bulan Februari 1640 imam dan bruder Fransiskan : Pastor Juan Iranzo, pastor Bartholomeo de S. Diego dan bruder Miguel de S. Bonaventura.

Pastor Iranzo memperkirakan jumlah penduduk di empat kerajaan kecil di Sangir (Manganitu, Kolongan, Tabukan, dan Tamako) sebanyak 16.000 orang.

Dari jumlah itu penduduk terbanyak sudah beragama lain, tetapi rupanya lebih terpaksa dari pada pilihan bebas.

Maka, menurut mereka ada harapan untuk karya misi.

Pastor Iranzo membabtis 92 orang, di antaranya ialah raja Buntuan, isterinya, anak-anaknya, dan saudara-saudaranya yang lain.

Ia juga berusaha membabtis raja Tabukan dan raja Kolongan sebab tidak ada persatuan antara mereka.

Pastor Iranzo kemudian pergi ke Minahasa tahun itu juga (1640) bersama bruder Alcala.

Kedua konfraternya bruder Miguel dan Pastor Bartholomeo, tetap di Sangir.

Dalam kurun waktu lima tahun kedua confraternya itu membabtis 4500 orang, berarti seperempat bagian dari seluruh penduduk, termasuk raja Tabukan, saudara-saudara lelakinya dan anak-anaknya.

Pada tahun 1640 pastor Lorenzo Geralda datang ke Manado menganti bruder Alcala karena sakit.

Ia seorang Spanyol seperti juga pastor Juan Iranzo.

Ketika itu Pastor Iranzo tinggal di Tomohon, sedangkan Pastor Lorenzo Geralda tinggal di Kali.

Menurut kesaksian Pastor Iranzo pastor Lorenzo Geralda mampu membuat orang-orang Alifur di Minahasa mencintainya, sehingga ia telah membabtis ratusan anak dan pemuka-pemuka dewasa (Bulkmann 2011: 55-56).

Sementara Iranzo sendiri membaptis kurang lebih 4000 orang Alifur (Bulkmann 2011:58).

Pada tahun 1654, Raja Siau yang masih akrab dengan Spanyol meminta imam-imam kepada gubernur Filipina.

Maka, dikirimlah tiga orang imam yaitu pastor Vincente Chova, Francisco de Miedes (yang sudah disebutkan sebelumnya dalam hubungan dengan Minahasa), dan Pastor Diego de Esquivel pada tahun 1654.

Dari ketiga imam ini, pastor Chova dipekerjakan di Ternate sedangkan dua yang lainnya di Siau.

Nanti kemudian Pastor Chova akan pindah juga ke Siau.

Ia saling berganti tempat dengan Pastor Miedes.

Belum lama mereka tiba di Siau mereka sudah membaptis 200 orang.

Dalam suatu laporan provinsi Jesuit Filipina dikatakan bahwa penduduk Siau berjumlah 11.700 orang, di antaranya yang Katolik berjumlah 4.000 orang.

"Namun, apakah penduduk Siau berjumlah sebanyak itu pada waktu itu? Rasanya sulit diterima," kata Pastor Amri sapaan akrab Pastor Ambrosius.

Orang Belanda memperkirakan jumlahnya sebanyak 3.200 orang.

Dan beberapa tahun kemudian dilaporkan bahwa seluruh Siau adalah Katolik.

Maksudnya, seluruh penduduknya sudah dibaptis menjadi Katolik (Bulkmann 2011:67).

Meskipun Spanyol melepaskan Maluku dan Sulawesi Utara dan kembali ke Filipina untuk mengkonsolidasikan kekuatan politik di sana tahun 1662-1663, namun pada tahun-tahun berikutnya atas permintaan dari Sulawesi Utara (Siau) maka gubernur Filipina tetap mengirim tentara dan imam ke Sulawesi Utara di samping beberapa imam yang tetap bertahan untuk melakukan karya misi.

Dilaporkan oleh Bulkmann bahwa "karena pertambahan orang yang beriman, maka tahun 1675 didirikan sebuah gereja baru yang besar di Ulu.

Di Pehe gereja harus diperbesar.

Di Kabaruang (Talaud) sudah berdiri sebuah gereja yang cukup besar dengan rumah bagi imam.

Pada tahun 1675-1676 dibabtis 1.000 orang belum beragama dan beragama lain.

Di antaranya 500 orang dewasa belum beragama dari Kabaruan, 100 dari Siau, 50 dari Tamako dan 300 dari Manganitu.

Juga penduduk Taruna yang sudah kristen lain dan beberapa orang kulit putih dipermandikan.

Pastor Espanol membabtis 700 orang di Sangir.

Orang-orang Katolik yang sedikit di Tagulandang meminta dibaptis anak-anak mereka di Siau (Bulkmann 2011:71).

Pada tahun 1677, 33 tahun setelah kunjungan pastor Francisco de Miedes ke Manado dari tempatnya di Siau pada tahun 1644, datanglah pastor Carolo Joao Turcotti SJ (orang Italia) ke Kaidipan.

Dalam kunjungan itu, ratu Kaidipan Dona Elena Lincaxa (nama resmi dalam dokumen-dokumen Spanyol) menulis pada tanggal 22 Juli 1677 kepada gubernur di Filipina bahwa ia bersama hampir 500 bawahannya sudah dibabtis dan masih banyak lagi yang mau ikut.

Dalam surat itu ia serentak juga berterima kasih kepada orang-orang Spanyol, karena mereka telah membawa Injil kepada orang-orang Kaidipan.

Surat ini masih tersimpan aslinya (Bulkmann 2011:61; bdk. hal. 71).

Dari peristiwa-peristiwa masuknya Portugis dan Spanyol di beberapa tempat yang disertai dengan pembaptisan-pembaptisan di beberapa tempat itu, yang menarik ialah ada tiga tempat yang cukup sering disebut.

Tempat-tempat ini rupanya menjadi semacam "pusat" atau lebih tepat "pos" utama karya misi di wilayah ini.

Manado menjadi pos atau pusat untuk misi ke arah Kali, Tomohon, Tondano dan sekitarnya (misi ke wilayah Minahasa).

Siau menjadi pos untuk karya misi ke arah Buol, Tolitoli dan sekitarnya.

Nanti setelah Minahasa mengusir orang-orang Spanyol dari Minahasa, maka tinggal dua tempat itu, yaitu Siau dan Kaidipan.

Dua tempat itu juga pada akhirnya dikosongkan dari karya misi setelah imam-imam yang masih berkarya di sana dan kemudian menawannya di Ternate pada sekitat 1678, karena setahun setelau penawanan itu mereka ke Batavia tahun 1679.

3. Para Martir

3. 1. Pastor Sebastian de San Jose di Kaidipan dan Bruder Antonio de S. Anna di Tagulandang

Pastor Sebastian de San Jose berasal dari ordo Fransiskan.

Ia tiba di Ternate tahun 1606 dan 1610.

Ia sempat bekerja di Ternate untuk beberapa orang Kristen di Ternate.

Namun, karena karya di Ternate tidak sebagaimana diharapkan, sementara ia ingin ada di tengah-tengah penduduk, sehingga ia memilih Sulawesi.

Keinginannya ini sesuai dengan permintaan orang Minahasa yang menginginkan imam-imam datang ke tempat mereka.

Selain untuk maksud kerjasama juga guna mendapat bantuan perlindungan terhadap kemungkinan ancaman dari Ternate dan Makassar yang memiliki bajak lautnya.

Pastor Sebastian de San Jose yang diutus untuk menjawab permintaan itu oleh panglima Spanyol Cristobal Axcueta Manchaca (1610-1612) pada tanggal 30 Mei 1610.

Ia diutus bersama dengan bruder Antonio de S. Anna.

Mereka tiba di Manado pada permulaan Juni 1610.

Setelah sehari di Manado ia pergi ke Cauripa (Kaidipan).

Dari Kaidipan ia hendak ke Buol untuk menemui raja Buol yang sudah dibabtis di Siau beberapa tahun sebelumnya.

Dalam perjalanan itu rombongannya bertemu dengan beberapa orang beragama lain.

Orang-orang beragama lain di Tagulandang itulah yang memanahnya dan memenggal kepalanya pada tanggal 18 Juni 1610, pada umur 44 tahun.

Sesudah itu, mereka mencari Bruder Antonio yang bersembunyi di suatu tempat.

Bruder Antonio kemudian ditangkap lalu dibawa ke Tagulandang.

Di sana, dalam sebuah pesta kafir ia ditusuk dan ditikam dengan keris, lalu dipenggal kepalanya pada tanggal 24 Juni 1610.

Tiga hari lamanya jenazahnya dipertontonkan di depan umum pada suatu tiang, dan kemudian dibuang ke laut.

Namun, jenazah yang dibuang itu terdampar lagi tiga hari kemudian.

Maka, jenazah itu lalu diambil dan dikubur di suatu bukit (Bulkmann 2011: 48-49).

3. 2. Juan del Cano di Buol

Juan del Cano adalah imam Fransiskan yang lain yang diutus oleh pimpinan Fransiskan atas izin panglima yang bertindak atas nama raja sebagai penguasa umum dari India.

Dalam suratnya pada tanggal 15 November 1611, panglima menulis bahwa "para Fransiskan mendapat izin bekerja di pulau "Matheo" dan "kerajaan Makassar".

Juan del Cano kemudian pergi ke Buol melalui Manado.

"Apakah ia pernah bekerja juga di Manado, tidak ada laporannya," kata Pastor Amri, sapaan akrab Pastor Ambrosius.

Di Buol, del Cano bekerja tidak lama.

Ketika mereka mendirikan gereja kecil di Buol, ia jatuh sakit, dan meninggal beberapa hari sesudahnya.

Ia dikuburkan di tempat itu dengan perhatian yang besar (Bulkmann 2011: 49).

3.3 Pastor Joh. Bapt. Scalamonti di Manado

Pastor Joh. Bapt. Scalamonti datang ke Manado atas permintaan raja Manado mengenai perlunya imam dan prajurit.

Maka Pastor Scalamonti diutus bersama dengan Pastor Cosmas Pinto dan sepuluh orang prajurit.

Prajurit-prajurit ini dikirim untuk mengamankan pengiriman beras dari Minahasa.

Mereka juga melindungi wilayah Manado seperti yang diminta rajanya.

Mereka diterima dengan sangat baik.

Raja, penduduknya, imam-imam itu dan prajurit lalu datang ke patung Salib yang didirikan oleh Pastor Torellas pada waktu ia singgah di Manado.

Semula kedua pastor itu mendapat tempat dekat sungai.

Karena tempat itu tidak sehat maka mereka mencari tempat lain, dan mendirikan rumah dan gereja kecil di situ.

Banyak orang datang kepada mereka, tetapi orang-orang itu tidak menunjukkan tanda-tanda bahwa mereka mengenal iman Katolik.

Orang-orang yang dibaptis pertama sudah kembali kepada kehidupan belum beragama.

Ada yang masuk agama lain baik secara terpaksa maupun secara bebas.

Para prajurit yang datang itu lalu mendirikan benteng dekat muara sungai di bawah pimpinan Francisco Melendes Marques.

Pastor Scalamoonti sendiri mulai mengunjungi beberapa tempat, antara lain dua desa di danau Tondano tetapi namanya tidak disebut.

Ia berpikir bahwa ia akan berhasil dalam karya misi ini di pegunungan daripada di Manado dan tempat lain di pesisir.

Pinto kemudian kembali ke Ternate beberapa bulan sesudahnya karena sakit.

Scalamonti pergi juga kemudian ke Ternate untuk perawatan.

Setelah mereka sembuh mereka kembali ke Manado.

Tak lama di Manado, Scalamonti meninggal pada permulaan tahun 1610.

Pastor Pinto kemudian kembali untuk kedua kali ke Ternate karena sakit (Bulkmann 2011:50-52).

3.4. Pastor Blas Palomino di Kema

Martir lainnya ialah pastor Blas Palomino.

Tentang kejadian-kejadian dan kemartirannya, Pastor Pedro de la Concepcion telah menceritakannya di bawah sumpah.

Pastor Blas Palomino sendiri adalah seorang Fransiskan.

Sebelumnya ia sudah bekerja di Filipina dan membuat studi bahasa.

Ia datang di Manado tahun 1619 bersama dengan pastor Diego de Rojas dan bruder Juan de. S. Bernardino.

Di Manado mereka berusaha masuk ke desa-desa : Kale, Kakaskasen, Tomunn, Sarronson, Tombarisi, Tondano, Las Quemas, dll.

(nama-nama ini tertulis sebagaimana yang terdapat pada teks asli).

Desa-desa ini memberi kesan tidak menerima misionaris-misionaris itu dengan banyaknya dalih yang mereka ungkapkan.

Sebagaimana sudah dilaporkan sebelumnya oleh Bulkmann:

"Orang-orang Alifur suka menerima hadiah, tetapi perhatiannya tidak lebih dari itu.

Mereka punya bermacam-macam dalih untuk membenarkan diri, panen harus dipetik, dewa-dewa melawan, mereka harus lebih dahulu "bicara" dengan desa-desa lain, dst.

Mereka memberi kesan bahwa imam-imam itu tidak diterima.

Mereka tidak punya waktu. Kalau mereka toh jadi Kristen, mereka tetap mau memertahankan praktek-praktek kafir.

Para "walian" (imam-imam kafir) tidak mau tersingkirkan" (Bulkmann 2011:52-53).

Pastor Palomino sendiri sebenarnya kesehatannya tidak cukup bagus.

Ia sudah menerima sakramen-sakramen terakhir dari pastor Diego de Rojas.

Ketika mulai agak pulih kesehatannya, ia ikut kapal ke Makassar untuk melaporkan pengalamannya kepada Komisaris di Makassar.

Setelah beberapa bulan di Makassar dan ia sudah cukup sehat, ia kembali ke Ternate.

Ia ditemani oleh konfraternya Pedro de la Conception melalui pantai Timur.

Beberapa tempat mereka singgah untuk mengambil air dan makanan, termasuk di Pantai Kema yang tidak jauh dari Manado.

Di Kampung Kema mereka turun dan berunding dengan orang-orang desa dibantu oleh seorang penerjemah asal Portugis.

Saat perundingan itu, pastor Pedro melihat orang-orang bersenjata di balik pohon-pohon, ia merasa ada bahaya.

Sebaliknya, Pastor Palomino tidak menganggap bahwa ada bahaya yang mengancam.

Tiba-tiba seorang anak buah kapal berteriak:"Pengkhianat".

Para prajurit memegang senjatanya tapi terlambat.

Suatu tusukan tombak membunuh Pastor Palomino.

Para pembunuh kemudian melarikan diri.

Palomino meninggal seperempat jam kemudian di tangan konfraternya.

Mereka menguburnya di suatu pulau kecil (lembeh? Batu Nona? Pulau Dua?) dan setengah tahun kemudian jenazahnya dibawa ke Ternate, dan dikubur dalam gereja S. Antonio.

Menurut Wessels, SJ, Palomino mati pada tanggal 22 Agustus 1620.

Namun menurut Visser MSC ia meninggal 30 Agustus 1622.

Tetapi rupanya yang benar ialah apa yang dikatakan oleh Wessels karena sesuai dengan satu surat dari Pastor Massonio (Bulkmann 2011:53).

Palomino sebenarnya menulis juga mengenai kebudayaan Minahasa.

Misalnya, karyanys Arte de la lengua de Manados (Seni Bahasa Manado).

Ia juga menyusun suatu Katekismus sederhana dan mencatat satu dua hal tentang agama, kebiasaan, cara hidup, dll dari kaum Alifuru (Bulkmann 2011:53).

Pastor Palomino sebenarnya telah membuat suatu laporan yang panjang tentang karyanya dan pengalamannya di Minahasa.

Laporan itu tercatat dengan tempat dan tanggal Manado 8 Juni 1619.

Laporan ini aslinya sekarang tersimpan di perpustakaan Pastrana (Bulkmann 2011:53-54).

3.5. Pastor Diego de Rojas di Kampung Banta, Manado

Pastor Diego de Rojas ini agak sering disebutkan namanya dan dihubungkan dengan Sulawesi Utara.

Ia sudah dua kali datang ke Manado.

Ketika pada tahun 1623 Pedro de Heredia (1623-1636), pengganti Bracamonte, singgah di Manado dalam perjalanannya dari Manila ke Ternate, ia berjanji kepada raja bahwa ia akan mengirim satu garnisun baru dengan 40 prajurit, dengan pastor Diego de Rojas sebagai misionaris.

"Apakah janji itu ditepati, tidak dapat dipastikan," ujar Pastor Amri.

Yang kemudian terjadi pada tahun 1624 ialah Pastor Diego de Rojas setelah bekerja di Siau, ia datang ke Manado.

Tak lama setelah kedatangannya di Manado, ia jatuh sakit dan meninggal di Kampung Banta, mungkin pada tanggal 12 Juli 1624.

Ia dikuburkan di Banta, di lapangan desa (Bulkmann 2011: 54).

3. 6. Pastor Freyre, SJ di Manado

Pastor Freyre datang ke Manado atas permintaan raja Manado tahun 1637 kepada panglima Ternate, Pedro de Mendiola (1636-1640).

Raja Manado selain meminta misionaris, ia juga meminta bantuan tentara untuk mengakhiri penjarahan-penjarahan yang dilakukan oleh orang-orang Ternate.

Panglima Ternate menyetujui permintaan itu dan dikirimlah garnisun kecil dan pastor Freyre yang pernah juga bekerja di Siau.

Di Manado Pastor Freyre membabtis ratu Manado dan anak-anaknya, dan menyelesaikan perkawinan mereka.

Ia meninggal di Manado tahun 1639 (Bulkmann 2011:54).

3. 7. Pastor Lorenzo Geralda di Kali

Pastor Lorenzo Geralda adalah seorang imam Fransiskan asal Spanyol.

Ia berkarya di Manado antara tahun 1640-1644.

Dalam karyanya ia tinggal menetap di Desa Kali.

Ia adalah seorang imam yang mampu membuat orang-orang Alifuru Minahasa mencintainya bila dibandingkan dengan pengalaman imam-imam lainnya yang mengalami kesulitan dengan orang-orang Alifur Minahasa.

Dalam versi cerita dari Bulkmann peristiwa pembunuhan itu terjadi demikian:

Pembunuhan atas dirinya bermula dari tingkah laku bejat yang sering dilakukan oleh tentara-tentara Spanyol terhadap orang-orang Alifur Minahasa.

Tentara-tentara itu itu sering berlaku congkak dan menghina penduduk setempat.

Suatu ketika seorang Spanyol melukai kepala kampung Tomohon.

Kejadian itu membuat datanglah seluruh keluarganya lengkap dengan senjata, dan dari tempat-tempat lain datang, juga bantuan.

Pastor Iranzo yang tinggal di Tomohon mula-mula mampu menenangkan penghasut penduduk yang menyatakan bahwa imam-imam asing ini adalah penyebab dari ketidaktenangan para dewa dan karena itu harus dibunuh.

Namun, penduduk terus berkumpul dengan dibunyikannya tanda.

Maka, penduduk lalu menyerang dan membunuh kurang lebih 18 atau 19 orang Spanyol.

Irianzo luput dari serangan-serangan itu karena dilindungi beberapa orang Alifur yang bersahabat dengannya.

Ia mengingatkan Lorenzo Geralda untuk menyingkir ke pantai, tetapi rupanya sudah tidak mungkin karena penduduk sudah menjaga semua jalan.

Lorenzo Geralda berusaha sembunyi, tetapi akhirnya ia ditangkap.

Ia lalu dihina, dipukul, dan akhirnya dibunuh dengan tusukan tombak.

Kepalanya dibawa ke kampung dan dipestakan.

Sementara tubuhnya diikat pada suatu pohon yang berada di tengah keramaian pesta.

Kejadian ini terjadi pada kira-kira pertengahan Agustus 1644 (Bulkmann 2011: 56-57).

Sementara Pastor Iranzo bersama dengan tentara Spanyol yang tersisa dapat bersembunyi selama kurang lebih delapan bulan, dan mereka dibantu oleh orang Minahasa Alifur yang baik hati terhadap mereka dengan memberi mereka makanan.

Dan pada bulan April 1645 pastor Iranzo meninggalkan Minahasa menuju Ternate melalui Sangir rupanya bersama-sama dengan tentara-tentara yang tersisa (Bulkmann 2011: 58).

3. 8. Pastor Juan Turcotti, Pastor Zebreros, dan Pastor Espanol

Ketiga imam ini adalah imam-imam yang tetap berkarya di wilayah Keuskupan Manado walaupun Spanyol sudah hengkang dari Maluku dan Sulawesi Utara.

Sampai tahun 1673 mereka masih berada di tempat karya mereka, yaitu pastor Juan Turcotti di Kaidipan, sedangkan dua yang lainnya di Siau dan Sangir.

Imam-imam ini ditangkap dan kemudian dikirim ke Ternate untuk ditawan ketika Gubernur Maluku, Robert Padtbrugge, bersiasat dalam persengkokolannya dengan Sultan Ternate, Tibori.

Tmengantikan ayahnya pada tahun 1675.

Gubernur Maluku ini memainkan siasat seolah-olah ia tidak berperan apa-apa dalam mengakhiri pengaruh Spanyol di Sulawesi Utara dan Siau.

Ia melakukan itu dengan memanfaatkan Sultan Ternate, Tibori.

Dalam hal ini, Gubernur Maluku tidak bertindak secara langsung untuk menghentikan pengaruh Spanyol karena ia terikat oleh perjanjian "Perdamaian Munster" antara Belanda dan Spanyol yang isinya antara lain menyatakan bahwa Belanda dan Spanyol secara resmi mau hidup damai satu dengan yang lain.

Atas persekongkolan itu, armada gabungan Ternate dan Belanda mula-mula menuju Kaidipan di mana Pastor Juan Turcotti berkarya.

Ratu Kaidipan lalu dipaksa dengan ancaman oleh Padtbrugge untuk setia kepada Belanda, dan Pastor Turcotti harus keluar dari sana.

Turcotti kemudian kembali ke Siau.

Dari Kaidipan armada Ternate-Belanda menuju ke Siau dan berlabu di Ulu pada tanggal 23 Oktober.

Tentara Spanyol yang sedikit tidak mampu melawan kekuatan yang besar.

Maka, terjadilah pembunuhan yang seram dan penjarahan-penjarahan.

Gereja diperlakukan tidak hormat, hiasan dimusnahkan atau dicuri.

Ketiga imam yang berada di Siau ditangkap.

Mereka meminta untuk diungsikan ke Filipina tetapi ditolak (Bulkmann 2011:73).

Imam-imam ini lalu dibawa ke Ternate untuk ditawan selama satu setengah tahun.

Setelah itu mereka dikirim ke Batavia dan tiba di sana pada tanggal 15 Oktober 1679.

Kemudian pada tanggal 5 Juni 1680 Pastor Zebreros dikirim ke Manila via Macao.

Pada tanggal 7 Juli pastor Espanol dan pastor Turcotti diberangkatkan ke Macao (Bulkmann 2011:75).

--

(TRIBUNMANADOWIKI.COM/David Manewus)

Video yang berhubungan

Postingan terbaru

LIHAT SEMUA