Siapa yang berhak membuat peraturan untuk mengatur kelestarian laut brainly

UU 32 tahun 2014 tentang Kelautan menggantikan dan mencabut UU 6 tahun 1996 tentang Perairan Indonesia. Undang-Undang Kelautan saat ini memiliki aturan pelaksanaan dibawahnya seperti Peraturan Pemerintah Nomor 32 tahun 2019 tentang Rencana Tata Ruang Laut, Perpres 178 tahun 2014 tentang Badan Keamanan Laut, Perpres 16 tahun 2017 tentang Kebijakan Kelautan Indonesia, Perpres 83 tahun 2018 tentang Penanganan Sampah Laut, dan Perpres 56 tahun 2019 tentang Rencana Aksi Nasional Pengelolaan Terpadu Taman Nasional dan Kawasan Konservasi Perairan Nasional Tahun 2018 - 2025.

UU Kelautan sangat penting karena Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar di dunia dengan potensidan kekayaan alam yang berlimpah sebagai karunia Tuhan Yang Maha Esa memiliki makna yang sangat penting bagi bangsa Indonesia sebagai ruang hidup (lebenstraum) dan ruang juang serta media pemersatu yang menghubungkan pulau-pulau dalam satu kesatuan ideologi, politik, ekonomi, sosial, budaya, pertahanan, dan keamanan dalam suatu wadah ruang wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Undang-Undang Nomor 32 tahun 2014 tentang Kelautan diubah oleh Undang-Undang Nomor 11 tahun 2020 tentang Cipta Kerja

3 (tiga) momen penting keberadaan Indonesia menjadi sebuah negara merdeka dengan kondisi kepulauan, yaitu:

  1. Sumpah Pemuda pada tanggal 28 Oktober 1928 yang menyatakan kesatuan kejiwaan kebangsaan Indonesia.
  2. Proklamasi Kemerdekaan pada tanggal 17 Agustus 1945 yang menyatakan bahwa rakyat Indonesia telah menjadi satu bangsa yang ingin hidup dalam satu kesatuan kenegaraan; dan
  3. Deklarasi Djuanda tanggal 13 Desember 1957 yang menyatakan bahwa Indonesia mulai memperjuangkan kesatuan kewilayahan dan pengakuan secara de jure yang tertuang dalam Konvensi Perserikatan Bangsa Bangsa tentang Hukum Laut 1982 (United Nations Convention on the Law of the Sea/UNCLOS 1982) dan yang diratifikasi oleh Indonesia melalui Undang-Undang Nomor 17 Tahun 1985.

Pembangunan Kelautan hingga saat ini masih menghadapi berbagai kendala di dalam pelaksanaannya. Hal tersebut disebabkan belum adanya undang-undang yang secara komprehensif mengatur keterpaduan berbagai kepentingan sektor di wilayah Laut. Kendala tersebut dapat ditemukan, baik pada lingkup perencanaan, pemanfaatan, serta pengawasan dan pengendalian. Oleh sebab itu, perlu pengaturan mengenai Kelautan yang bertujuan menegaskan Indonesia sebagai negara kepulauan berciri nusantara dan maritim.

Undang-Undang Nomor 32 tahun 2014 tentang Kelautan disahkan Presiden Dr. H. Susilo Bambang Yudhoyono pada tanggal 17 Oktober 2014 di Jakarta. Undang-Undang Nomor 32 tahun 2014 tentangKelautan mulai berlaku sejak diundangkan oleh Menkumham Amir Syamsudin pada tanggal 17 Oktober 2014 di Jakarta dan Undang-Undang Nomor 32 tahun 2014 tentang Kelautan ditempatkan pada Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 294. Penjelasan Atas Undang-Undang Nomor 32 tahun 2014 tentang Kelautan diumumkan dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5603. Agar seluruh warga mengetahuinya.

Undang-Undang Nomor 32 tahun 2014 tentang Kelautan

UU 32 tahun 2014 Kelautan Mencabut

Undang-Undang Nomor 32 tahun 2014 tentang Kelautan mencabut UU 6 tahun 1996 tentang Perairan Indonesia.

Pertimbangan yang melatarbelakangi pengesahan Undang-Undang Nomor 32 tahun 2014 tentang Kelautan adalah:

  1. bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagai negara kepulauan memiliki sumber daya alam yang melimpah yang merupakan rahmat dan karunia Tuhan Yang Maha Esa bagi seluruh bangsa dan negara Indonesia yang harus dikelola secara berkelanjutan untuk memajukan kesejahteraan umum sebagaimana diamanatkan dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
  2. bahwa wilayah laut sebagai bagian terbesar dari wilayah Indonesia yang memiliki posisi dan nilai strategis dari berbagai aspek kehidupan yang mencakup politik, ekonomi, sosial budaya, pertahanan, dan keamanan merupakan modal dasar pembangunan nasional;
  3. bahwa pengelolaan sumber daya kelautan dilakukan melalui sebuah kerangka hukum untuk memberikan kepastian hukum dan manfaat bagi seluruh masyarakat sebagai negara kepulauan yang berciri nusantara;
  4. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, dan huruf c, perlu membentuk Undang-Undang tentang Kelautan;

Dasar hukum Undang-Undang Nomor 32 tahun 2014 tentang Kelautan adalah Pasal 20, Pasal 22D ayat (1), Pasal 25A, dan Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;

Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar di dunia dengan potensidan kekayaan alam yang berlimpah sebagai karunia Tuhan Yang Maha Esa memiliki makna yang sangat penting bagi bangsa Indonesia sebagai ruang hidup (lebenstraum) dan ruang juang serta media pemersatu yang menghubungkan pulau-pulau dalam satu kesatuan ideologi, politik, ekonomi, sosial, budaya, pertahanan, dan keamanan dalam suatu wadah ruang wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Dua pertiga dari wilayah Indonesia merupakan Laut dan merupakan salah satu negara yang memiliki garis pantai terpanjang di dunia. Di samping itu, secara geografis Indonesia terletak diantara dua benua, yaitu Benua Asia dan Benua Australia dan dua Samudera, yaitu Samudera Hindia dan Samudera Pasifik yang merupakan kawasan paling dinamis dalam percaturan, baik secara ekonomis maupun politik. Letak geografis yang strategis tersebut menjadikan Indonesia memiliki keunggulan serta sekaligus ketergantungan yang tinggi terhadap bidang Kelautan.

Di samping keunggulan yang bersifat komparatif berdasarkan letak geografis, potensi sumber daya alam di wilayah Laut mengandung sumber daya hayati ataupun nonhayati yang sangat bermanfaat bagi kelangsungan hidup masyarakat. Potensi tersebut dapat diperoleh dari dasar Laut dan tanah di bawahnya, kolom air dan permukaan Laut, termasuk wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil, sangat logis jika ekonomi Kelautan dijadikan tumpuan bagi pembangunan ekonomi nasional. Oleh karena itu, Laut Indonesia harus dikelola, dijaga, dimanfaatkan, dan dilestarikan oleh masyarakat Indonesia sesuai dengan yang diamanatkan dalam Pasal 33 Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Selain kekayaan yang ada, keunggulan komparatif yang dimiliki perlu dijabarkan menjadi kekayaan yang komparatif.

Dalam perjalanannya negara Indonesia mengalami 3 (tiga) momen yang menjadi pilar dalam memperkukuh keberadaan Indonesia menjadi suatu negara yang merdeka dan negara yang didasarkan atas Kepulauan sehingga diakui oleh dunia, yaitu:

  1. Sumpah Pemuda pada tanggal 28 Oktober 1928 yang menyatakan kesatuan kejiwaan kebangsaan Indonesia.
  2. Proklamasi Kemerdekaan pada tanggal 17 Agustus 1945 yang menyatakan bahwa rakyat Indonesia telah menjadi satu bangsa yang ingin hidup dalam satu kesatuan kenegaraan; dan
  3. Deklarasi Djuanda tanggal 13 Desember 1957 yang menyatakan bahwa Indonesia mulai memperjuangkan kesatuan kewilayahan dan pengakuan secara de jure yang tertuang dalam Konvensi Perserikatan Bangsa Bangsa tentang Hukum Laut 1982 (United Nations Convention on the Law of the Sea/UNCLOS 1982) dan yang diratifikasi oleh Indonesia melalui Undang-Undang Nomor 17 Tahun 1985.

Pada saat Republik Indonesia diproklamasikan berdasarkan Peraturan Peralihan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia, lebar laut teritorial berdasarkan Teritoriale Zee en Maritime Kringen Ordonantie (TZMKO) Tahun 1939 adalah bahwa lebar laut teritorial Indonesia hanya meliputi jalur-jalur Laut yang mengelilingi setiap pulau atau bagian pulau Indonesia yang lebarnya hanya 3 mil laut. Hal itu berarti bahwa diantara pulau-pulau Jawa dan Kalimantan serta antara Nusa Tenggara dan Sulawesi terdapat laut lepas. Pada saat kemerdekaan batas wilayah Indonesia tidak jelas karena Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 tidak menunjuk wilayah negara Indonesia secara nyata. Wilayah negara Indonesia pada saat diproklamasikan menjadi negara yang merdeka dan berdaulat dalam wilayah negara bekas jajahan atau kekuasaan Hindia Belanda. Hal itu sejalan dengan prinsip hukum internasional uti posidetis juris. Selain itu, Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 tidak mengatur kedudukan laut teritorial.

Kondisi kewilayahan seperti tertuang dalam TZMKO tahun 1939 dinilai kurang menguntungkan serta menyulitkan Indonesia dalam segi pertahanan. Oleh sebab itu, dilakukan upaya untuk mewujudkan kesatuan wilayah kepulauan nusantara yang merupakan kesatuan dari wilayah darat, Laut, termasuk dasar Laut di bawahnya, udara di atasnya, dan seluruh kekayaan yang terkandung di dalamnya merupakan suatu kesatuan kewilayahan.

Perjuangan untuk mewujudkan kesatuan wilayah tersebut ditenggarai dengan Deklarasi Djuanda yang berdasarkan pertimbangan politis, geografis, ekonomis, pertahanan, dan keamanan. Di dalam Deklarasi Djuanda, Indonesia menyatakan bahwa segala perairan di sekitar, di antara dan yang menghubungkan pulau-pulau atau bagian pulau-pulau yang termasuk daratan Negara Kesatuan Republik Indonesia dengan tidak memandang luas atau lebarnya adalah bagian-bagian yang wajar daripada wilayah daratan Indonesia dan merupakan bagian dari perairan nasional yang berada di bawah kedaulatan mutlak dari Indonesia.

Untuk memperjuangkan wilayah Indonesia sesuai dengan Deklarasi Djuanda, dalam Konferensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hukum Laut yang pertama tahun 1958 di Jenewa, delegasi Indonesia untuk pertama kalinya mencetuskan gagasan konsepsi negara kepulauan. Deklarasi Djuanda dikukuhkan dengan Undang- Undang Nomor 4/Prp Tahun 1960 tentang Wilayah Perairan yang menetapkan laut teritorial Indonesia selebar 12 mil laut dari garis pangkal kepulauan Indonesia. Selain itu, disebutkan pula bahwa perairan yang terletak di sisi dalam garis pangkal lurus yang menghubungkan titik-titik terluar dari pulau-pulau dalam negara kepulauan Indonesia merupakan perairan pedalaman tempat Indonesia memiliki kedaulatan mutlak.

Perjuangan delegasi Indonesia dalam rangka pengakuan konsep negara kepulauan terus dilakukan di Konferensi Perserikatan Bangsa Bangsa tentang Hukum Laut yang kedua dan ketiga. Akhirnya, pada sidang kedua belas Konferensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hukum Laut Ketiga, naskah Konvensi ditandatangani oleh 119 negara dan resmi menjadi Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hukum Laut 1982 yang terdiri atas 17 Bab dan 320 Pasal. Konvensi tersebut mengakui konsep hukum negara kepulauan dan menetapkan bahwa negara kepulauan berhak untuk menarik garis pangkal kepulauan untuk mengukur laut teritorial, zona tambahan, Zona Ekonomi Eksklusif, dan landas kontinen, sedangkan perairan yang berada di sisi darat garis pangkal diakui sebagai perairan pedalaman dan perairan lainnya yang berada di antara pulau-pulau yang berada di sisi dalam garis pangkal diakui sebagai perairan kepulauan. Akan tetapi, pelaksanaan kedaulatan di perairan kepulauan dalam UNCLOS 1982 menghormati hak negara lain atas Hak Lintas Alur Laut Kepulauan.

Penambahan luas perairan Indonesia sangatlah signifikan dan harus dilihat bukan saja sebagai aset nasional, melainkan juga merupakan tantangan nyata bahwa wilayah Laut harus dikelola, dijaga, dan diamankan bagi kepentingan bangsa Indonesia.

Pembangunan Kelautan hingga saat ini masih menghadapi berbagai kendala di dalam pelaksanaannya. Hal tersebut disebabkan belum adanya undang-undang yang secara komprehensif mengatur keterpaduan berbagai kepentingan sektor di wilayah Laut. Kendala tersebut dapat ditemukan, baik pada lingkup perencanaan, pemanfaatan, serta pengawasan dan pengendalian.

Oleh sebab itu, perlu pengaturan mengenai Kelautan yang bertujuan menegaskan Indonesia sebagai negara kepulauan berciri nusantara dan maritim; mendayagunakan Sumber Daya Kelautan dan/atau kegiatan di wilayah Laut sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan dan hukum laut internasional demi tercapainya kemakmuran bangsa dan negara; mewujudkan Laut yang lestari serta aman sebagai ruang hidup dan ruang juang bangsa Indonesia; memanfaatkan Sumber Daya Kelautan secara berkelanjutan untuk sebesar-besarnya kesejahteraan bagi generasi sekarang tanpa mengorbankan kepentingan generasi mendatang; memajukan budaya dan pengetahuan Kelautan bagi masyarakat; mengembangkan sumber daya manusia di bidang Kelautan yang profesional, beretika, berdedikasi, dan mampu mengedepankan kepentingan nasional dalam mendukung Pembangunan Kelautan secara optimal dan terpadu;memberikan kepastian hukum dan manfaat bagi seluruh masyarakat sebagai negara kepulauan; dan mengembangkan peran Negara Kesatuan Republik Indonesia dalam percaturan Kelautan global sesuai dengan hukum laut internasional untuk kepentingan bangsa dan negara.

Penyelenggaraan Kelautan juga dilaksanakan berdasarkan asas keberlanjutan, konsistensi, keterpaduan, kepastian hukum, kemitraan, pemerataan, peran serta masyarakat, keterbukaan, desentralisasi, akuntabilitas, dan keadilan. Lingkup pengaturan dalam penyelenggaraan Kelautan meliputi wilayah Laut, Pembangunan Kelautan, Pengelolaan Kelautan, pengembangan Kelautan, pengelolaan ruang Laut dan pelindungan lingkungan Laut, pertahanan, keamanan, penegakan hukum, keselamatan di Laut, tata kelola dan kelembagaan, serta peran serta masyarakat.

Berikut adalah isi kebijakan negara tentang kelautan dalam Undang-Undang Nomor 32 tahun 2014 tentang Kelautan (bukan format asli):

Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan:

  1. Laut adalah ruang perairan di muka bumi yang menghubungkan daratan dengan daratan dan bentuk-bentuk alamiah lainnya, yang merupakan kesatuan geografis dan ekologis beserta segenap unsur terkait, dan yang batas dan sistemnya ditentukan oleh peraturan perundang-undangan dan hukum internasional.
  2. Kelautan adalah hal yang berhubungan dengan Laut dan/atau kegiatan di wilayah Laut yang meliputi dasar Laut dan tanah di bawahnya, kolom air dan permukaan Laut, termasuk wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil.
  3. Pulau adalah wilayah daratan yang terbentuk secara alamiah yang dikelilingi air dan berada di atas permukaan air pada waktu air pasang.
  4. Kepulauan adalah suatu gugusan pulau, termasuk bagian pulau dan perairan di antara pulau-pulau tersebut, dan lain-lain wujud alamiah yang hubungannya satu sama lain demikian erat sehingga pulau- pulau, perairan, dan wujud alamiah lainnya itu merupakan satu kesatuan geografi, ekonomi, pertahanan, dan keamanan serta politik yang hakiki atau yang secara historis dianggap sebagai demikian.
  5. Negara Kepulauan adalah negara yang seluruhnya terdiri atas satu atau lebih kepulauan dan dapat mencakup pulau-pulau lain.
  6. Pembangunan Kelautan adalah pembangunan yang memberi arahan dalam pendayagunaan sumber daya Kelautan untuk mewujudkan pertumbuhan ekonomi, pemerataan kesejahteraan, dan keterpeliharaan daya dukung ekosistem pesisir dan Laut.
  7. Sumber Daya Kelautan adalah sumber daya Laut, baik yang dapat diperbaharui maupun yang tidak dapat diperbaharui yang memiliki keunggulan komparatif dan kompetitif serta dapat dipertahankan dalam jangka panjang.
  8. Pengelolaan Kelautan adalah penyelenggaraan kegiatan, penyediaan, pengusahaan, dan pemanfaatan Sumber Daya Kelautan serta konservasi Laut.
  9. Pengelolaan Ruang Laut adalah perencanaan, pemanfaatan, pengawasan, dan pengendalian ruang Laut.
  10. Pelindungan Lingkungan Laut adalah upaya sistematis dan terpadu yang dilakukan untuk melestarikan Sumber Daya Kelautan dan mencegah terjadinya pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan di Laut yang meliputi konservasi Laut, pengendalian pencemaran Laut, penanggulangan bencana Kelautan, pencegahan dan penanggulangan pencemaran, serta kerusakan dan bencana.
  11. Pencemaran Laut adalah masuk atau dimasukkannya makhluk hidup, zat, energi, dan/atau komponen lain ke dalam lingkungan Laut oleh kegiatan manusia sehingga melampaui baku mutu lingkungan Laut yang telah ditetapkan.
  12. Pemerintah Pusat yang selanjutnya disebut Pemerintah adalah Presiden Republik Indonesia yang memegang kekuasaan pemerintahan negara Republik Indonesia yang dibantu oleh Wakil Presiden dan menteri sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
  13. Pemerintah Daerah adalah kepala daerah sebagai unsur penyelenggara Pemerintahan Daerah yang memimpin pelaksanaan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan daerah otonom.
  14. Menteri adalah menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang Kelautan.

Penyelenggaraan Kelautan dilaksanakan berdasarkan asas:

  1. keberlanjutan;
  2. konsistensi;
  3. keterpaduan;
  4. kepastian hukum;
  5. kemitraan;
  6. pemerataan;
  7. peran serta masyarakat;
  8. keterbukaan;
  9. desentralisasi;
  10. akuntabilitas; dan
  11. keadilan.

Pasal 3

Penyelenggaraan Kelautan bertujuan untuk:

  1. menegaskan Indonesia sebagai negara kepulauan berciri nusantara dan maritim;
  2. mendayagunakan Sumber Daya Kelautan dan/atau kegiatan di wilayah Laut sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- undangan dan hukum laut internasional demi tercapainya kemakmuran bangsa dan negara;
  3. mewujudkan Laut yang lestari serta aman sebagai ruang hidup dan ruang juang bangsa Indonesia;
  4. memanfaatkan Sumber Daya Kelautan secara berkelanjutan untuk sebesar-besarnya kesejahteraan bagi generasi sekarang tanpa mengorbankan kepentingan generasi mendatang;
  5. memajukan budaya dan pengetahuan Kelautan bagi masyarakat;
  6. mengembangkan sumber daya manusia di bidang Kelautan yang profesional, beretika, berdedikasi, dan mampu mengedepankan kepentingan nasional dalam mendukung Pembangunan Kelautan secara optimal dan terpadu;
  7. memberikan kepastian hukum dan manfaat bagi seluruh masyarakat sebagai negara kepulauan; dan
  8. mengembangkan peran Negara Kesatuan Republik Indonesia dalam percaturan Kelautan global sesuai dengan hukum laut internasional untuk kepentingan bangsa dan negara.

  1. Ruang lingkup Undang-Undang ini meliputi pengaturan penyelenggaraan Kelautan Indonesia secara terpadu dan berkelanjutan untuk mengembangkan kemakmuran negara.
  2. Penyelenggaraan Kelautan Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
    1. wilayah Laut;
    2. Pembangunan Kelautan;
    3. Pengelolaan Kelautan;
    4. pengembangan Kelautan;
    5. pengelolaan ruang Laut dan pelindungan lingkungan Laut;
    6. pertahanan, keamanan, penegakan hukum, dan keselamatan di Laut; dan
    7. tata kelola dan kelembagaan.
  1. Indonesia merupakan negara kepulauan yang seluruhnya terdiri atas kepulauan-kepulauan dan mencakup pulau-pulau besar dan kecil yang merupakan satu kesatuan wilayah, politik, ekonomi, sosial budaya, dan historis yang batas-batas wilayahnya ditarik dari garis pangkal kepulauan.
  2. Kedaulatan Indonesia sebagai negara kepulauan meliputi wilayah daratan, perairan pedalaman, perairan kepulauan, dan laut teritorial, termasuk ruang udara di atasnya serta dasar Laut dan tanah di bawahnya, termasuk kekayaan alam yang terkandung di dalamnya.
  3. Kedaulatan Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tunduk pada ketentuan peraturan perundang-undangan, Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hukum Laut Tahun 1982, dan hukum internasional yang terkait.
  1. Wilayah Laut terdiri atas wilayah perairan dan wilayah yurisdiksi serta laut lepas dan kawasan dasar laut internasional.
  2. Negara Kesatuan Republik Indonesia berhak melakukan pengelolaan dan pemanfaatan kekayaan alam dan lingkungan Laut di wilayah Laut sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
  3. Pengelolaan dan pemanfaatan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- undangan dan hukum internasional.

  1. Wilayah perairan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) meliputi:
    1. perairan pedalaman;
    2. perairan kepulauan; dan
    3. laut teritorial.
  2. Wilayah yurisdiksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) meliputi:
    1. Zona Tambahan;
    2. Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia; dan
    3. Landas Kontinen.
  3. Negara Kesatuan Republik Indonesia memiliki:
    1. kedaulatan pada perairan pedalaman, perairan Kepulauan, dan laut teritorial;
    2. yurisdiksi tertentu pada Zona Tambahan; dan
    3. hak berdaulat pada Zona Ekonomi Eksklusif dan Landas Kontinen.
  4. Kedaulatan, yurisdiksi tertentu, dan hak berdaulat di dalam wilayah perairan dan wilayah yurisdiksi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dilaksanakan berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan dan hukum internasional.
  1. Negara Kesatuan Republik Indonesia berhak menetapkan Zona Tambahan Indonesia hingga jarak 24 mil laut dari garis pangkal.
  2. Di Zona Tambahan Indonesia berhak untuk:
    1. mencegah pelanggaran ketentuan peraturan perundang- undangan tentang bea cukai, fiskal, imigrasi, atau saniter di dalam wilayah atau laut teritorialnya; dan
    2. menghukum pelanggaran terhadap ketentuan peraturan perundang-undangan sebagaimana dimaksud pada huruf a yang dilakukan di dalam wilayah atau laut teritorialnya.
  3. Penetapan dan pengelolaan Zona Tambahan Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
  1. Negara Kesatuan Republik Indonesia berhak untuk mengklaim Landas Kontinen di luar 200 mil laut dari garis pangkal.
  2. Batas Landas Kontinen di luar 200 mil laut dari garis pangkal harus disampaikan dan dimintakan rekomendasi kepada Komisi Batas-Batas Landas Kontinen Perserikatan Bangsa-Bangsa sebelum ditetapkan sebagai Landas Kontinen Indonesia oleh Pemerintah.
  3. Landas Kontinen di luar 200 mil laut yang telah ditetapkan harus dikelola sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan dan hukum laut internasional.

  1. Laut lepas merupakan bagian dari Laut yang tidak termasuk dalam Zona Ekonomi Eksklusif, laut teritorial, perairan kepulauan, dan perairan pedalaman.
  2. Kawasan Dasar Laut Internasional merupakan dasar Laut serta tanah di bawahnya yang terletak di luar batas-batas yurisdiksi nasional.
  1. Negara Kesatuan Republik Indonesia berhak melakukan konservasi dan pengelolaan sumber daya hayati di laut lepas.
  2. Di laut lepas Pemerintah wajib:
    1. memberantas kejahatan internasional;
    2. memberantas siaran gelap;
    3. melindungi kapal nasional, baik di bidang teknis, administratif, maupun sosial;
    4. melakukan pengejaran seketika;
    5. mencegah dan menanggulangi Pencemaran Laut dengan bekerja sama dengan negara atau lembaga internasional terkait; dan
    6. berpartisipasi dalam pengelolaan perikanan melalui forum pengelolaan perikanan regional dan internasional.
  3. Pemberantasan kejahatan internasional di laut lepas sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a dilakukan melalui kerja sama dengan negara lain.
  4. Konservasi dan pengelolaan sumber daya hayati sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan dan hukum internasional.
  1. Di Kawasan Dasar Laut Internasional sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (2), Pemerintah berwenang membuat perjanjian atau bekerja sama dengan lembaga internasional terkait.
  2. Perjanjian atau kerja sama sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- undangan dan hukum laut internasional.

  1. Pembangunan Kelautan dilaksanakan sebagai bagian dari pembangunan nasional untuk mewujudkan Indonesia menjadi negara kepulauan yang mandiri, maju, kuat, dan berbasiskan kepentingan nasional.
  2. Pembangunan Kelautan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diselenggarakan melalui perumusan dan pelaksanaan kebijakan:
    1. pengelolaan Sumber Daya Kelautan;
    2. pengembangan sumber daya manusia;
    3. pertahanan, keamanan, penegakan hukum, dan keselamatan di laut;
    4. tata kelola dan kelembagaan;
    5. peningkatan kesejahteraan;
    6. ekonomi kelautan;
    7. pengelolaan ruang Laut dan pelindungan lingkungan Laut; dan
    8. budaya bahari.
  3. Proses penyusunan kebijakan Pembangunan Kelautan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dilaksanakan sebagai berikut:
    1. Pemerintah menetapkan kebijakan Pembangunan Kelautan terpadu jangka panjang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan;
    2. Pemerintah menetapkan kebijakan Pembangunan Kelautan terpadu jangka menengah dan jangka pendek; dan
    3. Kebijakan Pembangunan Kelautan dijabarkan ke dalam program setiap sektor dalam rencana pembangunan dan pengelolaan Sumber Daya Kelautan.
  4. Ketentuan lebih lanjut mengenai kebijakan Pembangunan Kelautan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dalam Peraturan Pemerintah.
  1. Pemerintah dan Pemerintah Daerah sesuai dengan kewenangannya melakukan Pengelolaan Kelautan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat melalui pemanfaatan dan pengusahaan Sumber Daya Kelautan dengan menggunakan prinsip ekonomi biru.
  2. Pemanfaatan Sumber Daya Kelautan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat meliputi:
    1. perikanan;
    2. energi dan sumber daya mineral;
    3. sumber daya pesisir dan pulau-pulau kecil; dan
    4. sumber daya nonkonvensional.
  3. Pengusahaan Sumber Daya Kelautan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berupa:
    1. industri Kelautan;
    2. wisata bahari;
    3. perhubungan Laut; dan
    4. bangunan Laut.
  1. Dalam rangka pemanfaatan dan pengusahaan Sumber Daya Kelautan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14, Pemerintah menetapkan kebijakan ekonomi Kelautan.
  2. Kebijakan ekonomi Kelautan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bertujuan untuk menjadikan Kelautan sebagai basis pembangunan ekonomi.
  3. Basis pembangunan ekonomi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilaksanakan melalui penciptaan usaha yang sehat dan peningkatan kesejahteraan rakyat, terutama masyarakat pesisir dengan mengembangkan kegiatan ekonomi produktif, mandiri, dan mengutamakan kepentingan nasional.
  4. Untuk menjadikan Kelautan sebagai basis pembangunan ekonomi bangsa sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Pemerintah wajib menyertakan luas wilayah laut sebagai dasar pengalokasian anggaran Pembangunan Kelautan.
  5. Anggaran Pembangunan Kelautan berasal dari anggaran pendapatan dan belanja negara dan/atau anggaran pendapatan dan belanja daerah.

Pemerintah mengatur pengelolaan sumber daya ikan di wilayah perairan dan wilayah yurisdiksi serta menjalankan pengaturan sumber daya ikan di Laut lepas berdasarkan kerja sama dengan negara lain dan hukum internasional.

Pasal 17

  1. Pemerintah mengoordinasikan pengelolaan sumber daya ikan serta memfasilitasi terwujudnya industri perikanan.
  2. Dalam memfasilitasi terwujudnya industri perikanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Pemerintah bertanggung jawab:
    1. menjaga kelestarian sumber daya ikan;
    2. menjamin iklim usaha yang kondusif bagi pembangunan perikanan; dan
    3. melakukan perluasan kesempatan kerja dalam rangka meningkatkan taraf hidup nelayan dan pembudidaya ikan.

Pasal 18

Untuk kepentingan distribusi hasil perikanan, Pemerintah mengatur sistem logistik ikan nasional.

Pasal 19

  1. Dalam rangka peningkatan usaha perikanan, pihak perbankan bertanggung jawab dalam pendanaan suprastruktur usaha perikanan.
  2. Pendanaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam undang-undang tersendiri.

Paragraf 2
Energi dan Sumber Daya Mineral

Pasal 20

  1. Pemerintah mengembangkan dan memanfaatkan energi terbarukan yang berasal dari Laut dan ditetapkan dalam kebijakan energi nasional.
  2. Pemerintah memfasilitasi pengembangan dan pemanfaatan energi terbarukan yang berasal dari Laut di daerah dengan memperhatikan potensi daerah.

Pasal 21

  1. Pemerintah mengatur dan menjamin pemanfaatan sumber daya mineral yang berasal dari Laut, dasar Laut, dan tanah dibawahnya untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
  2. Pengaturan pemanfaatan sumber daya mineral sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan sesuai dengan peraturan perundang-undangan dan hukum internasional.

Paragraf 3Sumber Daya Pesisir

dan Pulau-Pulau Kecil

Pasal 22

  1. Pemerintah dan Pemerintah Daerah sesuai dengan kewenangannya bertanggung jawab mengelola dan memanfaatkan sumber daya pesisir dan pulau-pulau kecil.
  2. Pengelolaan dan pemanfaatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bertujuan:
    1. melindungi, mengonservasi, merehabilitasi, memanfaatkan, dan memperkaya sumber daya pesisir dan pulau-pulau kecil serta sistem ekologisnya secara berkelanjutan;
    2. menciptakan keharmonisan dan sinergi antara Pemerintah dan Pemerintah Daerah dalam pengelolaan sumber daya pesisir dan pulau-pulau kecil;
    3. memperkuat peran serta masyarakat dan lembaga pemerintah serta mendorong inisiatif masyarakat dalam pengelolaan sumber daya pesisir dan pulau-pulau kecil agar tercapai keadilan, keseimbangan, dan berkelanjutan; dan
    4. meningkatkan nilai sosial, ekonomi, dan budaya masyarakat melalui peran serta masyarakat dalam pemanfaatan sumber daya pesisir dan pulau-pulau kecil.
  3. Pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya pesisir dan pulau-pulau kecil yang meliputi sumber daya hayati, sumber daya nonhayati, sumber daya buatan, dan jasa lingkungan dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Paragraf 4
Sumber Daya Alam Nonkonvensional

Pasal 23

  1. Pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya alam nonkonvensional Kelautan dilakukan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
  2. Pengelolaan dan pemanfaatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan dengan berdasarkan pada prinsip pelestarian lingkungan.

Pasal 24

  1. Pemerintah, Pemerintah Daerah, dan masyarakat bertanggung jawab melaksanakan pelindungan, pemanfaatan, dan pengembangan sumber daya nonkonvensional di bidang Kelautan.
  2. Pelindungan, pemanfaatan, dan pengembangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan dan hukum laut internasional.

Bagian Ketiga
Pengusahaan Sumber Daya Kelautan

Paragraf 1
Industri Kelautan

Pasal 25

  1. Pengusahaan Sumber Daya Kelautan yang dilakukan melalui pengelolaan dan pengembangan industri Kelautan merupakan bagian yang integral dari kebijakan pengelolaan dan pengembangan industri nasional.
  2. Industri Kelautan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi industri bioteknologi, industri maritim, dan jasa maritim.
  3. Pengelolaan dan pengembangan industri Kelautan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi prasarana dan sarana, riset ilmu pengetahuan dan teknologi, inovasi, sumber daya manusia, serta industri kreatif dan pembiayaan.
  4. Pemerintah dan Pemerintah Daerah sesuai dengan kewenangannya wajib melakukan pembinaan terhadap peningkatan kualitas dan kuantitas pendukung industri Kelautan berskala usaha mikro kecil menengah dalam rangka menunjang ekonomi rakyat.

Pasal 26

  1. Pemerintah dan Pemerintah Daerah bertanggung jawab mengembangkan dan meningkatkan industri bioteknologi Kelautan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 ayat (2).
  2. Industri bioteknologi Kelautan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan memanfaatkan potensi keanekaragaman hayati.
  3. Industri bioteknologi Kelautan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bertujuan untuk:
    1. mencegah punahnya biota Laut akibat eksplorasi berlebih;
    2. menghasilkan berbagai produk baru yang mempunyai nilai tambah;
    3. mengurangi ketergantungan impor dengan memproduksi berbagai produk substitusi impor;
    4. mengembangkan teknologi ramah lingkungan pada setiap industri bioteknologi Kelautan; dan
    5. mengembangkan sistem pengelolaan sumber daya Laut secara berkesinambungan.

Pasal 27

  1. Industri maritim dan jasa maritim sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 ayat (2) dilaksanakan berdasarkan pada kebijakan Pembangunan Kelautan.
  2. Dalam rangka keberlanjutan industri maritim dan jasa maritim untuk kesejahteraan rakyat, digunakan kebijakan ekonomi Kelautan.
  3. Industri maritim sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berupa:
    1. galangan kapal;
    2. pengadaaan dan pembuatan suku cadang;
    3. peralatan kapal; dan/atau
    4. perawatan kapal.
  4. Jasa maritim sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berupa:
    1. pendidikan dan pelatihan;
    2. pengangkatan benda berharga asal muatan kapal tenggelam;
    3. pengerukan dan pembersihan alur pelayaran;
    4. reklamasi;
    5. pencarian dan pertolongan;
    6. remediasi lingkungan;
    7. jasa konstruksi; dan/atau
    8. angkutan sungai, danau, penyeberangan, dan antarpulau.
  5. Ketentuan lebih lanjut mengenai industri maritim dan jasa maritim diatur dalam Peraturan Pemerintah.

Paragraf 2
Wisata Bahari

Pasal 28

  1. Pemerintah dan Pemerintah Daerah sesuai dengan kewenangannya memfasilitasi pengembangan potensi wisata bahari dengan mengacu pada kebijakan pengembangan pariwisata nasional.
  2. Keberlanjutan wisata bahari sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditujukan untuk kesejahteraan rakyat.
  3. Pengembangan wisata bahari dilaksanakan dengan mempertimbangkan aspek kepentingan masyarakat lokal dan kearifan lokal serta harus memperhatikan kawasan konservasi perairan.
  4. Pengembangan dan peningkatan wisata bahari sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Paragraf 3
Perhubungan Laut

Pasal 29

  1. Pemerintah dan Pemerintah Daerah sesuai dengan kewenangannya mengembangkan potensi dan meningkatkan peran perhubungan laut.
  2. Dalam pengembangan potensi dan peningkatan peran perhubungan laut sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Pemerintah mengembangkan dan menetapkan tatanan kepelabuhanan dan sistem pelabuhan yang andal.
  3. Tatanan kepelabuhanan yang andal sebagaimana dimaksud pada ayat (2) meliputi penentuan lokasi pelabuhan lautdalam yang dapat melayani kapal generasi mutakhir dan penetapan pelabuhan hub.
  4. Sistem pelabuhan yang andal sebagaimana dimaksud pada ayat (2) bercirikan:
    1. efisien dan berstandar internasional;
    2. bebas monopoli;
    3. mendukung konektivitas antarpulau, termasuk antara pulau- pulau kecil terluar dengan pulau induknya;
    4. ketersediaan fasilitas kepelabuhanan di pulau-pulau kecil terluar;
    5. ketersediaan fasilitas kepelabuhanan, termasuk fasilitas lingkungan dan pencegahan pencemaran lingkungan; dan
    6. keterpaduan antara terminal dan kapal.

Pasal 30

  1. Pemerintah dan Pemerintah Daerah sesuai dengan kewenangannya wajib mengembangkan dan meningkatkan penggunaan angkutan perairan dalam rangka konektivitas antarwilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia.
  2. Dalam rangka pengembangan dan peningkatan angkutan perairan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Pemerintah melaksanakan kebijakan pengembangan armada nasional.
  3. Pemerintah mengatur kebijakan sumber pembiayaan dan perpajakan yang berpihak pada kemudahan pengembangan sarana prasarana perhubungan laut serta infrastruktur dan suprastruktur kepelabuhanan.
  4. Pemerintah memfasilitasi sumber pembiayaan usaha perhubungan laut melalui kebijakan perbankan nasional.

Pasal 31

Pengembangan potensi perhubungan laut sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 dan Pasal 30 dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Paragraf 4
Bangunan Laut

Pasal 32

  1. Dalam rangka keselamatan pelayaran semua bentuk bangunan dan instalasi di Laut tidak mengganggu, baik Alur Pelayaran maupun Alur Laut Kepulauan Indonesia.
  2. Area operasi dari bangunan dan instalasi di Laut tidak melebihi daerah keselamatan yang telah ditentukan.
  3. Penggunaan area operasional dari bangunan dan instalasi di Laut yang melebihi daerah keselamatan yang telah ditentukan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) harus mendapatkan izin dari pihak yang berwenang.
  4. Pendirian dan/atau penempatan bangunan Laut wajib mempertimbangkan kelestarian sumber daya pesisir dan pulau-pulau kecil.
  5. Ketentuan mengenai kriteria, persyaratan, dan mekanisme pendirian dan/atau penempatan bangunan di Laut diatur dalam Peraturan Pemerintah.

Pasal 33

Pemerintah bertanggung jawab melakukan pengawasan terhadap aktivitas pembongkaran bangunan dan instalasi di Laut yang sudah tidak berfungsi.

Pengembangan Kelautan meliputi:

  1. pengembangan sumber daya manusia;
  2. riset ilmu pengetahuan dan teknologi;
  3. sistem informasi dan data Kelautan; dan
  4. kerja sama Kelautan.

Bagian Kedua
Pengembangan Sumber Daya Manusia

Pasal 35

  1. Pemerintah dan Pemerintah Daerah sesuai dengan kewenangannya bertanggung jawab menyelenggarakan pengembangan sumber daya manusia melalui pendidikan.
  2. Penyelenggaraan pendidikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat bekerja sama dengan berbagai pihak, baik pada tingkat nasional maupun pada tingkat internasional yang berbasis kompetensi pada bidang Kelautan.
  3. Penyelenggaraan pendidikan dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Pasal 36

  1. Dalam pengembangan sumber daya manusia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35, Pemerintah menetapkan kebijakan pengembangan sumber daya manusia dan kebijakan budaya bahari.
  2. Kebijakan pengembangan sumber daya manusia sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan melalui:
    1. peningkatan jasa di bidang Kelautan yang diimbangi dengan ketersediaan lapangan kerja;
    2. pengembangan standar kompetensi sumber daya manusia di bidang Kelautan;
    3. peningkatan dan penguatan peranan ilmu pengetahuan dan teknologi, riset, dan pengembangan sistem informasi Kelautan;
    4. peningkatan gizi masyarakat Kelautan; dan
    5. peningkatan pelindungan ketenagakerjaan.
  3. Kebijakan budaya bahari sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan melalui:
    1. peningkatan pendidikan dan penyadaran masyarakat tentang Kelautan yang diwujudkan melalui semua jalur, jenis, dan jenjang pendidikan;
    2. identifikasi dan inventarisasi nilai budaya dan sistem sosial Kelautan di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagai bagian dari sistem kebudayaan nasional; dan
    3. pengembangan teknologi dengan tetap mempertimbangkan kearifan lokal.
  4. Ketentuan lebih lanjut mengenai kebijakan budaya bahari sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diatur dalam Peraturan Pemerintah.

Bagian Ketiga
Riset Ilmu Pengetahuan dan Teknologi

Pasal 37

  1. Untuk meningkatkan kualitas perencanaan Pembangunan Kelautan, Pemerintah dan Pemerintah Daerah mengembangkan sistem penelitian, pengembangan, serta penerapan ilmu pengetahuan dan teknologi Kelautan yang merupakan bagian integral dari sistem nasional penelitian pengembangan penerapan teknologi.
  2. Dalam mengembangkan sistem penelitian sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Pemerintah memfasilitasi pendanaan, pengadaan, perbaikan, penambahan sarana dan prasarana, serta perizinan untuk penelitian dan pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi Kelautan, baik secara mandiri maupun kerja sama lintas sektor dan antarnegara.
  3. Sistem penelitian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak termasuk penelitian yang bersifat komersial.
  4. Pelaksanaan sistem penelitian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Pasal 38

  1. Pemerintah bekerja sama dengan Pemerintah Daerah membentuk pusat fasilitas Kelautan yang meliputi fasilitas pendidikan, pelatihan, dan penelitian yang dilengkapi dengan prasarana kapal latih dan kapal penelitian serta tenaga fungsional peneliti.
  2. Ketentuan mengenai pembentukan pusat fasilitas Kelautan serta tugas, kewenangannya, dan pembiayaannya diatur dalam Peraturan Pemerintah.

Pasal 39

  1. Pemerintah mengatur pelaksanaan penelitian ilmiah Kelautan dalam rangka kerja sama penelitian dengan pihak asing.
  2. Hasil pelaksanaan kerja sama penelitian dengan pihak asing sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib dilaporkan kepada Pemerintah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Bagian Keempat
Sistem Informasi dan Data Kelautan

Pasal 40

  1. Pemerintah dan Pemerintah Daerah menghimpun, menyusun, mengelola, memelihara, dan mengembangkan sistem informasi dan data Kelautan dari berbagai sumber bagi kepentingan Pembangunan Kelautan nasional berdasarkan prinsip keterbukaan informasi publik sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
  2. Sistem informasi dan data Kelautan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi 3 (tiga) kategori:
    1. hasil penelitian ilmiah Kelautan yang berupa data numerik beserta analisisnya;
    2. hasil penelitian yang berupa data spasial beserta analisisnya; dan
    3. pengelolaan Sumber Daya Kelautan, konservasi perairan, dan pengembangan teknologi Kelautan.
  3. Sistem informasi dan data Kelautan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a dan data terkait sistem keamanan laut disimpan, dikelola, dimutakhirkan, dikoordinasikan, dan diintegrasikan oleh kementerian/lembaga yang ditunjuk sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
  4. Sistem informasi dan data Kelautan hasil penelitian berupa data yang perlu dibuat peta sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b dan huruf c disimpan, dikelola, dimutakhirkan, serta dikoordinasikan oleh lembaga penelitian negara sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Bagian Kelima
Kerja Sama Kelautan

Pasal 41

  1. Kerja sama di bidang Kelautan dapat dilaksanakan pada tingkat nasional dan internasional dengan mengutamakan kepentingan nasional bagi kemandirian bangsa.
  2. Kerja sama pada tingkat nasional sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan dalam rangka sinergi:
    1. antarsektor;
    2. antara pusat dan daerah;
    3. antarpemerintah daerah; dan
    4. antarpemangku kepentingan.
  3. Kerja sama bidang Kelautan pada tingkat internasional sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan secara bilateral, regional, atau multilateral.
  4. Kerja sama pada tingkat internasional sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- undangan dan hukum laut internasional.
  5. Pemerintah mendorong aktivitas eksplorasi, pemanfaatan, dan pengelolaan Sumber Daya Kelautan di laut lepas sesuai dengan ketentuan hukum laut internasional.

BAB VIIIPENGELOLAAN RUANG LAUT

DAN PELINDUNGAN LINGKUNGAN LAUT

Bagian Kesatu
Pengelolaan Ruang Laut

  1. Pengelolaan ruang Laut dilakukan untuk:
    1. melindungi sumber daya dan lingkungan dengan berdasar pada daya dukung lingkungan dan kearifan lokal;
    2. memanfaatkan potensi sumber daya dan/atau kegiatan di wilayah Laut yang berskala nasional dan internasional; dan
    3. mengembangkan kawasan potensial menjadi pusat kegiatan produksi, distribusi, dan jasa.
  2. Pengelolaan ruang Laut meliputi perencanaan, pemanfaatan, pengawasan, dan pengendalian.
  3. Pengelolaan ruang Laut sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilaksanakan dengan berdasarkan karakteristik Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagai negara kepulauan dan mempertimbangkan potensi sumber daya dan lingkungan Kelautan.

Pasal 43

  1. Perencanaan ruang Laut sebagaimana dimaksud dalam Pasal 42 ayat (2) meliputi:
    1. perencanaan tata ruang Laut nasional;
    2. perencanaan zonasi wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil; dan
    3. perencanaan zonasi kawasan Laut.
  2. Perencanaan tata ruang Laut nasional sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a merupakan proses perencanaan untuk menghasilkan rencana tata ruang Laut nasional.
  3. Perencanaan zonasi wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
  4. Perencanaan zonasi kawasan Laut sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c merupakan perencanaan untuk menghasilkan rencana zonasi kawasan strategis nasional, rencana zonasi kawasan strategis nasional tertentu, dan rencana zonasi kawasan antarwilayah.
  5. Ketentuan lebih lanjut mengenai perencanaan ruang Laut sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah.

Pasal 44

  1. Pemanfaatan ruang Laut sebagaimana dimaksud dalam Pasal 42 ayat (2) dilakukan melalui:
    1. perumusan kebijakan strategis operasionalisasi rencana tata ruang Laut nasional dan rencana zonasi kawasan Laut;
    2. perumusan program sektoral dalam rangka perwujudan rencana tata ruang Laut nasional dan rencana zonasi kawasan Laut; dan
    3. pelaksanaan program strategis dan sektoral dalam rangka mewujudkan rencana tata ruang Laut nasional dan zonasi kawasan Laut.
  2. Pemanfaatan ruang Laut di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Pasal 45

  1. Pengawasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 42 ayat (2) dilakukan melalui tindakan pemantauan, evaluasi, dan pelaporan.
  2. Pemantauan, evaluasi, dan pelaporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- undangan.

Pasal 46

Pengendalian pemanfaatan ruang Laut sebagaimana dimaksud dalam Pasal 42 ayat (2) dilakukan melalui perizinan, pemberian insentif, dan pengenaan sanksi.

Pasal 47

  1. Setiap orang yang melakukan pemanfaatan ruang Laut secara menetap di wilayah perairan dan wilayah yurisdiksi wajib memiliki izin lokasi.
  2. Izin lokasi yang berada di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
  3. Setiap orang yang melakukan pemanfaatan ruang Laut secara menetap di wilayah perairan dan wilayah yurisdiksi yang tidak sesuai dengan izin yang diberikan dikenai sanksi administratif berupa:
    1. peringatan tertulis;
    2. penghentian sementara kegiatan;
    3. penutupan lokasi;
    4. pencabutan izin;
    5. pembatalan izin; dan/atau
    6. denda administratif.
  4. Ketentuan mengenai izin lokasi di Laut yang berada di wilayah perairan dan wilayah yurisdiksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan tata cara pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diatur dengan Peraturan Pemerintah.

Pasal 48

Setiap orang yang melakukan pemanfaatan ruang Laut sesuai dengan rencana zonasi dapat diberi insentif sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Pasal 49

Setiap orang yang melakukan pemanfaatan ruang Laut secara menetap yang tidak memiliki izin lokasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 47 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan pidana denda paling banyak Rp20.000.000.000,00 (dua puluh miliar rupiah).

Bagian Kedua
Pelindungan Lingkungan Laut

Pasal 50

Pemerintah melakukan upaya pelindungan lingkungan Laut melalui:

  1. konservasi Laut;
  2. pengendalian Pencemaran Laut;
  3. penanggulangan bencana Kelautan; dan
  4. pencegahan dan penanggulangan pencemaran, kerusakan, dan bencana.

Pasal 51

  1. Pemerintah menetapkan kebijakan konservasi Laut sebagai bagian yang integral dengan Pelindungan Lingkungan Laut.
  2. Pemerintah dan/atau Pemerintah Daerah sesuai dengan kewenangannya memiliki hak pengelolaan atas kawasan konservasi Laut sebagai bagian dari pelaksanaan kebijakan Pelindungan Lingkungan Laut sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
  3. Kebijakan konservasi Laut sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus dilaksanakan secara lintas sektor dan lintas kawasan untuk mendukung Pelindungan Lingkungan Laut.
  4. Setiap sektor yang melaksanakan pembangunan di wilayah perairan dan wilayah yurisdiksi harus memperhatikan kawasan konservasi.
  5. Kebijakan dan pengelolaan konservasi Laut dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Pasal 52

  1. Pencemaran Laut meliputi:
    1. pencemaran yang berasal dari daratan;
    2. pencemaran yang berasal dari kegiatan di Laut; dan
    3. pencemaran yang berasal dari kegiatan dari udara.
  2. Pencemaran Laut sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat terjadi:
    1. di wilayah perairan atau wilayah yurisdiksi;
    2. dari luar wilayah perairan atau dari luar wilayah yurisdiksi; atau
    3. dari dalam wilayah perairan atau wilayah yurisdiksi ke luar wilayah yurisdiksi Indonesia.
  3. Proses penyelesaian sengketa dan penerapan sanksi Pencemaran Laut sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dilaksanakan berdasarkan prinsip pencemar membayar dan prinsip kehati-hatian.
  4. Ketentuan lebih lanjut mengenai proses penyelesaian dan sanksi terhadap Pencemaran Laut dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Pasal 53

  1. Bencana Kelautan dapat berupa bencana yang disebabkan:
    1. fenomena alam;
    2. pencemaran lingkungan; dan/atau
    3. pemanasan global.
  2. Bencana Kelautan yang disebabkan oleh fenomena alam sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dapat berupa:
    1. gempa bumi;
    2. tsunami;
    3. rob;
    4. angin topan; dan
    5. serangan hewan secara musiman.
  3. Bencana Kelautan yang disebabkan oleh pencemaran lingkungan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dapat berupa:
    1. fenomena pasang merah (red tide);
    2. pencemaran minyak;
    3. pencemaran logam berat;
    4. dispersi thermal; dan
    5. radiasi nuklir.
  4. Bencana Kelautan yang disebabkan oleh pemanasan global sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c dapat berupa:
    1. kenaikan suhu;
    2. kenaikan muka air Laut; dan/atau
    3. el nino dan la nina.

Pasal 54

  1. Dalam mengantisipasi Pencemaran Laut dan bencana Kelautan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 52 dan Pasal 53, Pemerintah menetapkan kebijakan penanggulangan dampak Pencemaran Laut dan bencana Kelautan.
  2. Kebijakan penanggulangan dampak Pencemaran Laut dan bencana Kelautan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan melalui:
    1. pengembangan sistem mitigasi bencana;
    2. pengembangan sistem peringatan dini (early warning system);
    3. pengembangan perencanaan nasional tanggap darurat tumpahan minyak di Laut;
    4. pengembangan sistem pengendalian pencemaran Laut dan kerusakan ekosistem Laut; dan
    5. pengendalian dampak sisa-sisa bangunan di Laut dan aktivitas di Laut.

Pasal 55

  1. Pemerintah dan Pemerintah Daerah wajib menyelenggarakan sistem pencegahan dan penanggulangan pencemaran dan kerusakan lingkungan Laut.
  2. Pemerintah dan Pemerintah Daerah wajib menyelenggarakan sistem pencegahan dan penanggulangan bencana Kelautan sebagai bagian yang terintegrasi dengan sistem pencegahan dan penanggulangan bencana nasional.

Pasal 56

  1. Pemerintah bertanggung jawab dalam melindungi dan melestarikan lingkungan Laut.
  2. Pelindungan dan pelestarian lingkungan Laut sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan melalui pencegahan, pengurangan, dan pengendalian lingkungan Laut dari setiap Pencemaran Laut serta penanganan kerusakan lingkungan Laut.
  3. Pemerintah bekerja sama, baik bilateral, regional, maupun multilateral dalam melaksanakan pencegahan, pengurangan, dan pengendalian sebagaimana dimaksud pada ayat (2).

Pasal 57

Pelindungan dan pelestarian lingkungan Laut sebagaimana dimaksud dalam Pasal 56 dilaksanakan berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan dan hukum laut internasional.

BAB IXPERTAHANAN, KEAMANAN, PENEGAKAN HUKUM,

DAN KESELAMATAN DI LAUT

Pasal 58

  1. Untuk mengelola kedaulatan negara, mempertahankan keutuhan wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia, dan melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia dari ancaman dan gangguan terhadap keutuhan bangsa dan negara di wilayah Laut, dibentuk sistem pertahanan laut.
  2. Sistem pertahanan laut sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diselenggarakan oleh kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang pertahanan dan Tentara Nasional Indonesia.
  3. Sistem pertahanan laut sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Pasal 59

  1. Penegakan kedaulatan dan hukum di perairan Indonesia, dasar Laut, dan tanah di bawahnya, termasuk kekayaan alam yang terkandung di dalamnya serta sanksi atas pelanggarannya dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan dan hukum internasional.
  2. Yurisdiksi dalam penegakan kedaulatan dan hukum terhadap kapal asing yang sedang melintasi laut teritorial dan perairan kepulauan Indonesia dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan dan hukum internasional.
  3. Dalam rangka penegakan hukum di wilayah perairan dan wilayah yurisdiksi, khususnya dalam melaksanakan patroli keamanan dan keselamatan di wilayah perairan dan wilayah yurisdiksi Indonesia, dibentuk Badan Keamanan Laut.

Pasal 60

Badan Keamanan Laut sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59 ayat (3) merupakan lembaga pemerintah nonkementerian yang berkedudukan di bawah dan bertanggung jawab langsung kepada Presiden melalui menteri yang mengoordinasikannya.

Pasal 61

Badan Keamanan Laut mempunyai tugas melakukan patroli keamanan dan keselamatan di wilayah perairan Indonesia dan wilayah yurisdiksi Indonesia.

Pasal 62

Dalam melaksanakan tugas, Badan Keamanan Laut menyelenggarakan fungsi:

  1. menyusun kebijakan nasional di bidang keamanan dan keselamatan di wilayah perairan Indonesia dan wilayah yurisdiksi Indonesia;
  2. menyelenggarakan sistem peringatan dini keamanan dan keselamatan di wilayah perairan Indonesia dan wilayah yurisdiksi Indonesia;
  3. melaksanakan penjagaan, pengawasan, pencegahan, dan penindakan pelanggaran hukum di wilayah perairan Indonesia dan wilayah yurisdiksi Indonesia;
  4. menyinergikan dan memonitor pelaksanaan patroli perairan oleh instansi terkait;
  5. memberikan dukungan teknis dan operasional kepada instansi terkait;
  6. memberikan bantuan pencarian dan pertolongan di wilayah perairan Indonesia dan wilayah yurisdiksi Indonesia; dan
  7. melaksanakan tugas lain dalam sistem pertahanan nasional.

Pasal 63

  1. Dalam melaksanakan tugas dan fungsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 61 dan Pasal 62, Badan Keamanan Laut berwenang:
    1. melakukan pengejaran seketika;
    2. memberhentikan, memeriksa, menangkap, membawa, dan menyerahkan kapal ke instansi terkait yang berwenang untuk pelaksanaan proses hukum lebih lanjut; dan
    3. mengintegrasikan sistem informasi keamanan dan keselamatan di wilayah perairan Indonesia dan wilayah yurisdiksi Indonesia.
  2. Kewenangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan secara terintegrasi dan terpadu dalam satu kesatuan komando dan kendali.

Pasal 64

Kebijakan nasional di bidang keamanan dan keselamatan di wilayah perairan Indonesia dan wilayah yurisdiksi Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 62 huruf a ditetapkan oleh Presiden.

Pasal 65

  1. Badan Keamanan Laut dipimpin oleh seorang kepala dan dibantu oleh sekretaris utama dan beberapa deputi.
  2. Kepala Badan Keamanan Laut dijabat oleh personal dari instansi penegak hukum yang memiliki kekuatan armada patroli.
  3. Kepala Badan Keamanan Laut diangkat dan diberhentikan oleh Presiden.

Pasal 66

Personal Badan Keamanan Laut terdiri atas:

  1. pegawai tetap; dan
  2. pegawai perbantuan.

Pasal 67

Ketentuan lebih lanjut mengenai struktur organisasi, tata kerja, dan personal Badan Keamanan Laut diatur dengan Peraturan Presiden.

Pasal 68

Peraturan Presiden tentang struktur organisasi, tata kerja, dan personal Badan Keamanan Laut harus sudah ditetapkan dalam waktu paling lama 6 (enam) bulan sejak Undang-Undang ini ditetapkan.

BAB X
TATA KELOLA DAN KELEMBAGAAN LAUT

Pasal 69

  1. Pemerintah menetapkan kebijakan tata kelola dan kelembagaan Laut.
  2. Kebijakan tata kelola dan kelembagaan Laut sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi rencana pembangunan sistem hukum dan tata pemerintahan serta sistem perencanaan, koordinasi, pemonitoran, dan evaluasi Pembangunan Kelautan yang efektif dan efisien.
  3. Dalam menyusun kebijakan tata kelola dan kelembagaan Laut sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Pemerintah melakukan penataan hukum laut dalam suatu sistem hukum nasional, baik melalui aspek publik maupun aspek perdata dengan memperhatikan hukum internasional.
  4. Ketentuan lebih lanjut mengenai kebijakan tata kelola dan kelembagaan Laut sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Pemerintah.

BAB XI
PERAN SERTA MASYARAKAT

Pasal 70

  1. Penyelenggaraan Pembangunan Kelautan dilakukan oleh Pemerintah dan Pemerintah Daerah dengan melibatkan peran serta masyarakat.
  2. Peran serta masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan secara perseorangan, kelompok, organisasi profesi, badan usaha, atau organisasi kemasyarakatan lain sesuai dengan prinsip keterbukaan dan kemitraan.
  3. Peran serta masyarakat dalam Pembangunan Kelautan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan melalui partisipasi dalam:
    1. penyusunan kebijakan Pembangunan Kelautan;
    2. Pengelolaan Kelautan;
    3. pengembangan Kelautan; dan
    4. memberikan masukan dalam kegiatan evaluasi dan pengawasan.
  4. Peran serta masyarakat selain sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dapat dilakukan melalui partisipasi dalam:
    1. melestarikan nilai budaya dan wawasan bahari serta merevitalisasi hukum adat dan kearifan lokal di bidang Kelautan; atau
    2. pelindungan dan sosialisasi peninggalan budaya bawah air melalui usaha preservasi, restorasi, dan konservasi.
  5. Ketentuan lebih lanjut mengenai bentuk dan tata cara peran serta masyarakat dalam Pembangunan Kelautan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Pemerintah.

BAB XII
KETENTUAN PERALIHAN

Pasal 71

  1. Badan Koordinasi Keamanan Laut tetap menjalankan tugas dan fungsinya sampai dengan terbentuknya Badan Keamanan Laut sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59 ayat (3).
  2. Sebelum terbentuknya Badan Keamanan Laut, kegiatan dan program kerja yang dilaksanakan oleh Badan Koordinasi Keamanan Laut disesuaikan dengan Undang-Undang ini.

BAB XIII
KETENTUAN PENUTUP

Pasal 72

Pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku, ketentuan mengenai pembentukan badan koordinasi sebagaimana diatur dalam Pasal 24 ayat (3) Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1996 tentang Perairan Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1996 Nomor 73 Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3647) dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.

Pasal 73

Peraturan pelaksanaan Undang-Undang ini harus telah ditetapkan paling lambat 2 (dua) tahun setelah berlakunya undang-undang ini.

Pasal 74

Undang-Undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.

Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Undang-Undang ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.

 Disahkan di Jakarta
pada tanggal 17 Oktober 2014
 PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,ttd

DR. H. SUSILO BAMBANG YUDHOYONO

Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 17 Oktober 2014
 
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIAREPUBLIK INDONESIA,ttd

AMIR SYAMSUDIN

 

Undang-Undang Nomor 32 tahun 2014 tentang Kelautan

Video yang berhubungan

Postingan terbaru

LIHAT SEMUA