Sensus apa yang akan di lakukan BPS tahun 2023?

Mataram (Suara NTB) – Serikat Pekerja Nasional (SPN) meminta kepada dewan pengupahan untuk menaikkan Upah Minimum Provinsi (UMP) tahun 2023 sebesar 13 persen. Sesuai dengan kenaikan angka inflasi dan pertumbuhan ekonomi di Provinsi NTB saat ini.

Ketua SPN Provinsi NTB, Lalu Wirasakti mengatakan, KSPI selaku komando serikat pekerja nasional tetap mengacu usulan UMP mengacu pada inflasi dan pertumbuhan ekonomi. Presiden KSPI juga sudah menemui Presiden Jokowi dan bersepakat tidak mengacu pada Peraturan Pemerintah No. 36 Tahun 2021 ditengah kondisi saat ini.

“Dewan Pengupahan semestinya mengacu pada Permenaker No 18 tahun 2022, walaupun bahasanya maksimal 10 persen. Tapi perumusannya sudah sangat jelas,” kata Wirasakti kepada Suara NTB, Jumat, 25 November 2022. Sebelum Gubernur NTB, Dr. H. Zulkieflimansyah menetapkan UMP 2023, menurutnya harus dipertimbangkan terlebih dahulu agar UMP benar-benar sudah mengakomodir kepentingan banyak orang.

“Kalau hanya mengacu pada PP No 36 Tahun 2021, seakan-akan perwakilan buruh yang ada di dewan pengupahan seakan akan melakukan pengkhianatan. Apalagi yang masuk dalam dewan pengupahan hanya unsur KSPSI (Konfederasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia), tidak ada unsur lain. Pertanyaan kita, di NTB ini apa hanya ada SPSI yang ada organisasinya, seharusnya organisasi lain juga dilibatkan sebagai penyeimbang,” ujarnya.

Wirasakti menambahkan, mengacu pada kenaikan inflasi NTB dihitungnya 6 persen, ditambah pertumbuhan ekonomi NTB yang cukup bagus dihitung 7 persen, maka total angkanya sekitar hampir 13 persen. Seharusnya, UMP 2023 juga tidak jauh-jauh dari angka itu, jika tidak 13 persen, minimal naik 10 persen. “Ingat lho, tiga tahun ini upah itu tidak pernah naik. Kecil sekali kalau PP 36. Belum kita bicara upah sektoral. Pengusaha kan selalu alasannya begitu (ekonomi sedang tidak baik). Lalu kurang apa yang diberikan pemerintah, lalu bagaimana pemberiannya pengusaha kepada pekerja. Makanya SPN bersama konfederasi dan federasi lain mengawal Permaneker No 18 ini,” imbuhnya.

Secara nasional, KSPSI di tingkat pusat memberikan masukan-masukan kepada pemerintah, baik dalam bentuk penyampaikan langsung secara terbuka. Di NTB, karena pertimbangan kondusifitas daerah, SPN tidak melakukan aksi-aksi terbuka (demo). Tetapi sangat berharap, pemerintah atau dewan pengupahan juga lebih bijak menyikapi persoalan saat ini.

“Sebelum ditetapkan usulan dewan pengupahan ini, Pak Gubernur pasti memutuskan usulan ini. Tapi SPN tetap menolak kenaikan 5,38 persen yang diusulkan APINDO (atau UPM NTB hanya naik Rp118.655 tahun 2023),” demikian Wirasakti. Terpisah, Ketua Kamar Dagang Industri (Kadin) Provinsi NTB, H. Faurani, SE., MBA lebih longgar. Menurutnya, jika kenaikan yang diusulkan unsur pekerja sampai 10 persen, masih bisa dipenuhi. Walaupun, dunia usaha saat ini tengah recovery dan bangkit.

“Pekerja ini adalah aset kita, bagian utama dari perusahaan. Jadi tidak baik juga kalau pekerja ini selalu dimarjinalkan. Masih banyak cara yang bisa dilakukan perusahaan untuk menekan biaya. Misalnya efisiensi perjalanan-perjalan cukup dengan zoom. Saat ini kita butuhkan persatuan, semangat, kekompakan,” ujarnya.

Ia menyadari perusahaan masih berat, tetapi pekerja juga jauh lebih berat bebannya dengan keadaan saat ini. Tetapi dengan kebijakan-kebijakan yang digulirkan pemerintah, perusahaan masih bisa terbantu. Salah satunya keringanan kredit yang dikeluarkan aturannya oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK) kepada pengusaha. “Belum lagi kita bicara tidak semua usaha berat. Cuma kadang-kadang ada perusahaan yang ikut-ikutan susah, walaupun tidak susah sebenarnya,” demikian Faurani. (bul)

JAKARTA, KOMPAS.com - Komoditas harga telur ayam terpantau mulai merangkak naik menjelang Natal dan Tahun Baru (Nataru) 2023.

Mengutip dari infopanganjakarta, Senin (12/12/2022), harga telur ayam naik Rp 250 dari harga kemarin menjadi Rp 31.150 per kilogram secara nasional.

Di DKI Jakarta harga telur ayam naik menjadi Rp 31.650 per kilogram. Padahal pada bulan November kemarin harga telur ayam masih bertengger Rp 28.500 per kilogram.

JAKARTA, KOMPAS.com - Kepala Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) Hasto Wardoyo mengatakan, saat ini angka kematian ibu dan bayi di Indonesia masih cukup tinggi.

Hal tersebut disampaikan Hasto saat membacakan pidato Menko PMK di acara webinar tentang implikasi hasil sensus penduduk 2020 terhadap kebijakan pembangunan kependudukan, Kamis (4/2/2021).

"Di Indonesia, angka kematian ibu dari data tahun 2015 dari susenas masih cukup tinggi dengan 305 per 100.000 penduduk dan angka kematian bayi pada tahun 2017 sebesar 24 per 1.000 kelahiran hidup," ujar Hasto.

Baca juga: Kurangi Angka Kematian Ibu dan Bayi dengan Ikut KB

Padahal, kata dia, kesehatan ibu dan anak sangat penting dan termasuk ke dalam salah satu faktor yang mempengaruhi Sustainable Development Goals (SDGs).

Pada tahun 2030, dunia mendorong target penurunan angka kematian ibu harus di bawah 70 per 100.000 kelahiran hidup.

Sedangkan angka kematian bayi dan balita proporsinya ditargetkan turun hingga 12 per 1000 kelahiran hidup.

Pemerintah Indonesia pun meresposn itu dengan berupaya melakukan perbaikian gizi yang difokuskan pada pencegahan stunting.

"Stunting disebabkan oleh faktor multidimensi terutama dalam 1.000 hari kehidupan pertama yaitu mulai dari janin hingga balita atau baduta," kata dia.

Berdasarkan hasil survei status gizi balita Indonesia tahun 2019, angkatan stunting di Tanah Ari masih cukup tinggi yakni sebesar 27,6 persen.

Artinya, dari 10 orang balita, tiga di antaranya stunting.

Baca juga: Angka Kematian Ibu dan Bayi di Brebes Capai 587 Kasus

Oleh karena itu, Presiden Joko Widodo pun menargetkan agar angka stunting bisa turun hingga 14 persen pada tahun 2024.

Adapun pada 21 Januari 2021 BPS telah merilis dan berdasarkan hasil tersebut diketahui bahwa jumlah penduduk Indonesia per September 2020 ada sebanyak 270,2 juta jiwa.

Kontribusi pertambahan penduduk paling besar disumbangkan oleh Jawa Barat mencapai 5,2 juta dan Jawa Tengah sebanyak 4,13 juta, dan Jawa Timur 3,18 juta jiwa.