Sebutkan salah satu Tokoh seni rupa di wilayah Kalimantan

Sudah lama saya ingin menulis tentang tokoh-tokoh seni kota Tenggarong. Tentang latar belakang kehidupannya. Tentang sepak terjang seninya. Juga tentang pekaryaan yang dulu pernah mereka kreasi. Saya tahu ada banyak sekali tokoh seni dari kota bekas pusat kerajaan ini. Sayangnya, tidak banyak riwayat hidup maupun jejak kesenimanan mereka yang terdokumentasikan dengan baik. Kajian melalui penelusuran literaturpun lumayan susah dilakukan sebab banyak diantara tokoh-tokoh tersebut, terutama mereka yang merupakan seniman angkatan orde lama, tidak tercatatkan sepak terjangnya dalam bidang seni. Beberapa diantaranya memang pernah menerbitkan karya, sayangnya karya mereka inipun tak mudah untuk ditemukan saat ini. Mendokumentasikan karya-karya seniman lokal mungkin belum dianggap terlalu penting bagi pemerintah lokal.

Lemahnya sistem dokumentasi dan pengarsipan pemerintah setempat juga adalah sebuah persoalan lain dalam kasus ini. Padahal, beberapa dari mereka dulunya juga adalah pejabat tertentu di lingkungan pemerintahan. Nama Achmad Dahlan dan Zailani Idris mungkin bisa disebut dalam kaitan ini. Achmad Dahlan adalah sastrawan Kaltim yang sempat menjabat sebagai Bupati di Kabupaten Kutai (sekarang bernama Kabupaten Kutai Kartanegara). Begitu pula halnya dengan Zailani Idris, seniman tari beken yang pernah menjadi Kepala Bagian Sosial di Pemerintah Kabupaten Kutai.

Penelusuran sejarah dan jejak kesenian mereka secara online melalui wikipedia atau situs-situs lainnya juga tak bisa banyak membantu. Saya kemudian menjadi cukup beruntung ketika sastrawan nasional asal Kutai Barat Korrie Layun Rampan bersama kawan-kawannya menyusun buku Kalimantan Timur Dalam Sastra Indonesia pada tahun 2011 silam. Melalui buku yang terbit atas hasil kerjasama Panitia Dialog Borneo-Kalimantan dengan Dinas Pendidikan Kalimantan Timur itu saya setidaknya punya sedikit referensi untuk “menyaksikan” lagi pergulatan seni manusia-manusia yang dulu telah menorehkan jejaknya tersendiri dalam lembaran sejarah pergerakan seni di Tenggarong.

Tulisan ini saya putuskan untuk saya buat secara bersambung dalam wujud serial. Semoga upaya ini setidaknya bisa menjadi jembatan silaturahmi historikal-romantik antara mereka yang dulu memulai pergerakan seni di Tenggarong dengan generasi sekarang yang menjadi penerus semangatnya. di bagian pertama ini, saya merasa sangat terhormat untuk menulis tentang Ahmad Dahlan.

Ahmad Dahlan sebetulnya bukanlah orang Tenggarong. Ia lahir di kota Samarinda pada 17 Desember 1928. Di ibukota Provinsi Kalimantan Timur ini pula ia menyelesaikan pendidikan dasar dan menengahnya sebelum kemudian ia melanjutkan pendidikannya ke Universitas Gajah Mada (UGM) Yogyakarta. Di UGM, Ahmad Dahlan menempa kemampuannya di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik. Latar belakang pendidikannya inilah pula yang mungkin lantas mengantarkannya memasuki dunia birokrasi dengan menjadi Pegawai Negeri Sipil.

Ahmad Dahlan juga disebut-sebut sebagai salah seorang yang membidani berdirinya Universitas Mulawarman (UNMUL) yang saat itu masih bernama Universitas Kalimantan Timur (UNIKAT). Dedikasinya dalam bidang pendidikan ini diteguhkannya dengan menjadi pengajar dan memimpin salah satu fakultas di UNMUL sebagai seorang Dekan.

Iklim kota Jogja yang nyeni mungkin menjadi faktor kuat yang membuat Ahmad Dahlan terjun dalam dunia penulisan sastra. Di dalam buku Kalimantan Timur Dalam Sastra Indonesia, Ahmad Dahlan bahkan disebut sebagai generasi pertama penulisan karya sastra Kalimantan Timur bersama beberapa nama antara lain Haji Umar, Mansyah Usman, Maswan Dachri, Achmad Noor dan lain-lain. Keberadaan kakaknya, Oemar Dahlan yang saat itu memimpin sebuah surat kabar bernama Masjarakat Baroe juga bisa jadi merupakan faktor yang mendorong semangatnya menjadi lebih besar untuk menulis sajak-sajak. Sejak tahun 1946, sajak-sajak Ahmad Dahlan sudah mulai dipublikasikan di surat kabar tersebut. Selain itu, tercatat ada 3 antologi yang menyertakan sajak-sajaknya di era 70an, yaitu Antologi 3 Yang Tak Masuk Hitungan(1974), Apa Kata Mereka Tentang 3 Yang Tak Masuk Hitungan (1975) dan Seorang Lelaki Di Terminal Hidup (1976).

ini kali tiada tahan

mengembara di kayangan

mengikuti awan berarak-arakan

menuruti angin bertiup-tiupan

membuntuti margsatwa beterbangan

selamat tinggal, angkasa

aku kembali ke dunia nyata!

(Balik Kembali – Ahmad Dahlan, 1947)

Hubungan kesejarahan Ahmad Dahlan dengan kota Tenggarong kemungkinan mulai terbangun ketika ia mulai menjabat sebagai Bupati Kutai pada tahun 1965. Jika menurut pada masa periodesasinya menjadi Bupati di Kutai selama 14 tahun (1965-1979) maka ketiga antologi puisi tadi jelas diterbitkan saat ia masih menjabat sebagai Bupati. Ini sekaligus menunjukkan kepedulian besarnya pada dunia kesusastraan Kaltim di masa itu. sebagai Bupati Ketiga pasca penyerahan kekuasaan Daerah Istimewa Koetai kepada Pemerintah Republik Indonesia, Ahmad Dahlan mencatat sejarah sebagai Bupati dengan masa jabatan terlama di Kabupaten ini.

Jasa terbesarnya bagi perkembangan pergerakan seni di Tenggarong adalah keputusannya untuk mendirikan Lembaga Pembinaan Kebudayaan Kutai (LPKK) dan membangun Gedung Serapo waktu itu. Lembaga inilah yang kemudian menjadi semacam laboratorium kesenian bagi anak-anak muda Tenggarong saat itu. Dari lembaga ini pula kelak bermunculan tokoh-tokoh seni lokal yang kuat dalam berbagai pekaryaan seperti Zailani Idris (koreografer tari), Datoq Marangan (teater dan sastra), Karno Wahid (sastra), Sukardhi Wahyudi (sastra), Haji Ismed Rizal (pencipta lagu), Dian Nebula (musik/pencipta lagu) dan banyak lagi lainnya.

Hanya ini foto kenangan gedung Serapo LPKK yang dapat saya temukan 

(sumber foto: kutaikartanegara.com)

Menurut saya, totalitas dan keberanian Ahmad Dahlan dalam membuat kebijakan bagi dunia seni juga dapat dilihat dari posisi Gedung Serapo yang ia bangun bersebelahan dengan Museum Mulawarman Tenggarong yang notabene dulunya adalah pusat kerajaan Kutai Kartanegara Ing Martadipura. Rasanya tidak mudah untuk mendapatkan persetujuan membangun sesuatu di area itu. Dari fakta ini, terlihat bahwa Ahmad Dahlan juga memiliki hubungan yang sangat baik dengan Keluarga Besar Kesultanan Kutai Kartanegara Ing Martadipura saat itu. Meski tidak dilahirkan di Tenggarong yang penuh sejarah, Ahmad Dahlan menaruh kepedulian yang dalam tentang kepahlawanan kerabat Kesultanan Kutai Kartanegara Ing Martadipura. Dalam sebuah puisinya, ia bahkan sempat menuliskan empatinya yang besar terhadap tanah Kutai.

Kami berdesakan di tempat berdebu

Dengan mata kehilangan sinar dan layu

Bukan sekedar untuk dikagumi nilai budayaku

Tetapi juga keperihan menerima keruntuhan dinastiku

Kami tidak membuat sejarah lagi

Hanya terserah engkau untuk memberi arti

Kepada kami yang tersungkur dari panggung

…………………………………………….

(Penilaian – Ahmad Dahlan, 1972)

Sayangnya, “Monumen” seni Ahmad Dahlan itu sudah tak bisa kita lihat lagi sekarang. Di masa Pemerintahan Gubernur Awang Farouk Ishak, gedung Serapo LPKK digusur habis dan kini diatas lahannya dibangun sebuah gedung baru guna perluasan areal Museum Mulawarman. Tanda tangan Ahmad Dahlan di batu tanda peresmian gedung Serapo yang dulu sering saya lihat saat masih belajar di LPKK entah dimana rimbanya sekarang.

Dalam beberapa karya sajaknya, kita sebetulnya juga bisa menyaksikan kegelisahan Ahmad Dahlan. Ada kesan terjadinya semacam “peperangan” batin dalam dirinya sebagai seorang seniman dan sebagai seorang birokrat. Sosok yang sempat menjadi Anggota DPR/MPR-RI mewakili Kalimantan Timur ini pernah menulis 3 buah sajak panjang yang ia bagi dalam tiga bagian berjudul Apa Yang Kau Cari, Bupati. Sajak ini pula nampaknya yang menjadi sajak paling dikenang oleh para “alumnus” Serapo LPKK. Kalau tak salah, saya pernah mendengar bahwa sajak ini pernah dipentaskan di Serapo dalam bentuk dramatisasi puisi di hadapan seorang Bupati yang terpilih setelah masa kepemimpinan Ahmad Dahlan.

Apa Yang Kau Cari, Bupati adalah sebuah puisi lugas sekaligus kontemplatif. Dalam puisi itu, Ahmad Dahlan seolah sedang berbicara dan mengingatkan dirinya sendiri tentang niatan atas kekuasaan. Sampai di era sekarang, puisi ini masih terasa sangat aktual. Ini adalah puisi yang seharusnya dibaca oleh Bupati atau pemimpin manapun.

Tahun 1986 barangkali menjadi tahun duka bagi masyarakat Kutai dan Tenggarong. Tahun itu, Ahmad Dahlan berpulang keharibaan Tuhan Yang Maha Kuasa. Ia meninggal dunia dalam sebuah kecelakaan lalu lintas di Jakarta. Saya tidak punya data yang bisa menunjukkan dimana ia dimakamkan. Dan kini, kita hanya bisa mengenangnya melalui sajak-sajaknya serta sebuah jalan di kawasan Lapangan Pemuda Tenggarong yang mengabadikan namanya.

Berikut beberapa petikan puisi Ahmad Dahlan yang masih terasa sangat aktual bagi kita di era sekarang:

Apa yang kau cari, Bupati

Di atas daun yang segar pada rumput yang mati

Di atas tanah yang datar pada lubuk yang sunyi

Di mata yang berharap dan yang putus harap

Kata guru kita saling beringat-ingatan

Meski kau Bupati, aku sastrawan

Karena itu buka lebar jendela

Biar sinar terang masuk menerpa

Aku kirim pesan di berkas cahaya

Apalagi kau dan aku satu

Nyawamu adalah nyawaku

Rohmu adalah rohku

Napasmu adalah napasku

Hatimu adalah hatiku

Rahasiamu adalah rahasiaku

Seperti esanya engkau denganku

Demikian pula kau harus berpadu

Di daun segar dan di rumput kurus

Di tanah subur dan di padang tandus

Di senyum mekar dan di senyum hambar

Di mata bersinar dan di mata membakar

Apa Yang Kau Cari, Bupati (II) – Ahmad Dahlan)

Apa yang kau cari, Bupati

Dengan hiasan katamu mengiakan

Tapi deburan hatimu meniadakan

Wajahmu cerah mengandung harapan

Tapi di hatimu singgah tak berkesan

Sebaliknya engkau dipuji, tapi hati membenci

Engkau disanjung, tetapi makna dipujung

Seperti balon engkau melambung tinggi ke atas

Seperti daun kayu rapuh di tanah kau terhempas

Dan anjing ini jinak menjilat-jilat tanganmu

Penuh harapan mendapatkan upah sepotong daging

Tapi suatu waktu dia melolong geram

Menghantammu agar jatuh terpelanting

Sebutkan salah satu Tokoh seni rupa di wilayah Kalimantan

Nala Arung ( Penulis ,Musisi )