Sebutkan kaum bangsawan yang berjuang melawan belanda beserta daerah perjuangannya

Nama Pangeran Diponegoro mungkin sudah tidak asing di telinga Sobat SMP. Beliau merupakan salah satu pahlawan nasional yang turut melawan penjajahan Belanda. Di bulan kemerdekaan ini, Direktorat SMP akan mengupas sosok Pangeran Diponegoro serta peristiwa Perang Diponegoro sebagai upaya perlawanan terhadap penjajahan Belanda.

Pangeran Diponegoro adalah putra dari Sri Sultan Hamengku Buwono III memiliki nama asli Raden Mas Ontowiryo, lahir pada 11 November 1785 di Yogyakarta. Sosok Pangeran Diponegoro dikenal secara luas karena memimpin Perang Diponegoro atau disebut sebagai Perang Jawa karena terjadi di tanah Jawa. Perang ini merupakan salah satu pertempuran terbesar yang pernah dialami oleh Belanda selama masa pendudukannya di Nusantara.

Perang tersebut terjadi karena Pangeran tidak menyetujui campur tangan Belanda dalam urusan kerajaan. Selain itu, sejak tahun 1821 para petani lokal menderita akibat penyalahgunaan penyewaan tanah oleh warga Belanda, Inggris, Prancis, dan Jerman. Van der Capellen mengeluarkan dekrit pada tanggal 6 Mei 1823 yang menyatakan bahwa semua tanah yang disewa orang Eropa dan Tionghoa wajib dikembalikan kepada pemiliknya per 31 Januari 1824. Namun, pemilik lahan diwajibkan memberikan kompensasi kepada penyewa lahan Eropa.

Pangeran Diponegoro membulatkan tekad untuk melakukan perlawanan dengan membatalkan pajak Puwasa agar para petani di Tegalrejo dapat membeli senjata dan makanan. Kekecewaan Pangeran Diponegoro juga semakin memuncak ketika Patih Danureja atas perintah Belanda memasang tonggak-tonggak untuk membuat rel kereta api melewati makam leluhurnya. Beliau kemudian bertekad melawan Belanda dan menyatakan sikap perang. 

Pada hari Rabu, 20 Juli 1825, pihak istana mengutus dua bupati keraton senior yang memimpin pasukan Jawa-Belanda untuk menangkap Pangeran Diponegoro dan Mangkubumi di Tegalrejo sebelum perang pecah. Meskipun kediaman Diponegoro jatuh dan dibakar, pangeran dan sebagian besar pengikutnya berhasil lolos karena lebih mengenal medan di Tegalrejo. Pangeran Diponegoro beserta keluarga dan pasukannya bergerak ke barat hingga Desa Dekso di Kabupaten Kulonprogo, dan meneruskan ke arah selatan hingga keesokan harinya tiba di Goa Selarong yang terletak lima kilometer arah barat dari Kota Bantul.

Pangeran Diponegoro kemudian pindah ke Selarong, sebuah daerah berbukit-bukit yang dijadikan markas besarnya. Pangeran Diponegoro kemudian menjadikan Goa Selarong, sebuah goa yang terletak di Dusun Kentolan Lor, Guwosari Pajangan Bantul, sebagai basisnya. Pangeran menempati goa sebelah barat yang disebut Goa Kakung, yang juga menjadi tempat pertapaannya, sedangkan Raden Ayu Retnaningsih (selir yang paling setia menemani Pangeran setelah dua istrinya wafat) dan pengiringnya menempati Goa Putri di sebelah Timur.

Penyerangan di Tegalrejo memulai perang Diponegoro yang berlangsung selama lima tahun. Diponegoro memimpin masyarakat Jawa, dari kalangan petani hingga golongan priyayi yang menyumbangkan uang dan barang-barang berharga lainnya sebagai dana perang, dengan semangat “Sadumuk bathuk, sanyari bumi ditohi tekan pati”; “sejari kepala sejengkal tanah dibela sampai mati”. 

Sebanyak 15 dari 19 pangeran bergabung dengan Diponegoro. Bahkan Diponegoro juga berhasil memobilisasi para bandit profesional yang sebelumnya ditakuti oleh penduduk pedesaan, meskipun hal ini menjadi kontroversi tersendiri. Perjuangan Diponegoro dibantu Kyai Mojo yang juga menjadi pemimpin spiritual pemberontakan. Dalam perang jawa ini Pangeran Diponegoro juga berkoordinasi dengan I.S.K.S. Pakubuwono VI serta Raden Tumenggung Prawirodigdoyo Bupati Gagatan. 

Pada tahun 1827, Belanda melakukan penyerangan terhadap Diponegoro dengan menggunakan sistem benteng sehingga Pasukan Diponegoro terjepit. Pada tahun 1829, Kyai Mojo, pemimpin spiritual pemberontakan, ditangkap. Menyusul kemudian Pangeran Mangkubumi dan panglima utamanya Alibasah Sentot Prawirodirjo menyerah kepada Belanda. Akhirnya pada tanggal 28 Maret 1830, Jenderal De Kock berhasil menjepit pasukan Diponegoro di Magelang. Di sana, Pangeran Diponegoro menyatakan bersedia menyerahkan diri dengan syarat sisa anggota laskarnya dilepaskan. Oleh karena itu, Pangeran Diponegoro ditangkap dan diasingkan ke Manado, kemudian dipindahkan ke Makassar hingga wafatnya di Benteng Rotterdam tanggal 8 Januari 1855.

Perang Diponegoro yang terjadi selama lima tahun (1825 – 1830) telah menelan korban tewas sebanyak 200.000 jiwa penduduk Jawa, sementara korban tewas di pihak Belanda berjumlah 8.000 tentara Belanda dan 7000 serdadu pribumi.

Selain melawan Belanda, perang ini juga merupakan perang (sesama) saudara antara orang-orang keraton yang berpihak pada Diponegoro dan yang anti-Diponegoro (antek Belanda).  Akhir perang ini menegaskan penguasaan Belanda atas Pulau Jawa.

Setelah perang Diponegoro, pada tahun 1832 seluruh raja dan bupati di Jawa tunduk menyerah kepada Belanda kecuali bupati Ponorogo Warok Brotodiningrat III, justru hendak menyerang seluruh kantor belanda yang berada di kota-kota karesidenan Madiun dan di jawa tengah seperti Wonogiri, karanganyar yang banyak dihuni oleh Warok.

Begitulah peristiwa perang Diponegoro yang dipimpin langsung oleh Pangeran Diponegoro. Semoga setelah membaca artikel ini, pengetahuan SMP Sobat mengenai perjuangan para pahlawan nasional akan semakin bertambah, ya. Sebab menurut Presiden Soekarno, bangsa yang besar adalah bangsa yang menghormati jasa para pahlawannya. 

Baca Juga  Pentingnya Dukungan Kejiwaan dan Psikososial Bagi Peserta Didik

Penulis: Pengelola Web Direktorat SMP

Referensi: 

http://repositori.kemdikbud.go.id/20225/

http://repositori.kemdikbud.go.id/8315/

http://repositori.kemdikbud.go.id/20595/

Sebutkan kaum bangsawan yang berjuang melawan belanda beserta daerah perjuangannya

Sebutkan kaum bangsawan yang berjuang melawan belanda beserta daerah perjuangannya
Lihat Foto

Nicholas Ryan Aditya

Koleksi meriam VOC yang ada di Museum Bahari, Jakarta, Selasa (8/10/2019)

KOMPAS.com - Bangsa Indonesia tidak akan menjadi bangsa yang bebas merdeka saat ini bila tidak ada usaha untuk bangkit dan melepaskan diri dari penjajahan.

Penjajah Belanda dapat menguasai bangsa Indonesia dalam waktu lama karena mudah dipecah belah dan perjuangan yang dilakukan bersifat kedaerahan.

Namun kesadaran rakyat di nusantara untuk bangkit dari penjajahan mulai tumbuh.

Periode yang disebut Kebangkitan Nasional mulai muncul seiring lahirnya generasi muda terdidik dan peduli terhadap kemerdekaan Indonesia.

Pada 1908 muncul Boedi Oetomo, organisasi nasional pertama yang meletakkan semangat kebangkitan nasional bagi perjuangan bangsa Indonesia dalam meraih kemerdekaan.

Tetapi tahukah kamu bagaimana kondisi bangsa Indonesia sebelum 1908?

Baca juga: Galangan Kapal, Saksi Sejarah Bahari Era VOC

Kondisi Indonesia sebelum 1908

Dikutip dari situs resmi Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI, negara-negara di Eropa melakukan ekspedisi untuk mencari sumber-sumber ekonomi baru ke seluruh dunia pada abad ke-15.

Pencarian sumber ekonomi baru karena rusaknya ekonomi Eropa akibat peperangan dan berkembangnya teknologi pelayaran.

Melalui ekspedisi tersebut, bangsa Eropa menemukan sumber ekonomi dan lahan baru untuk melakukan perdagangan.

Ternyata kemudian, bangsa Eropa tidak sekadar berdagang melainkan menguasai dan menjajah negara-negara yang dianggap baru diketemukan.

Penderitaan rakyat nusantara

Awal mula penjajahan Belanda di Indonesia terkait Vereenigde Oost-Indische Compagnie (VOC) yang berdiri pada 20 Maret 1602.

Berbagai bentuk kekerasan menimpa penduduk di nusantara dan mengakibatkan penderitaan dalam berbagai segi kehidupan. 

Beberapa peraturan penjajah Belanda yang menyengsarakan rakyat nusantara yaitu:

Baca juga: Memaknai Hari Kebangkitan Nasional (Bag 1)

VOC melakukan politik adu domba (devide et impera) yaitu saling mengadu domba antara kerajaan yang satu dengan kerajaan lain atau adu domba di dalam satu kerajaan di berbagai daerah di nusantara.

Politik adu domba ini berakibat pada makin melemahnya kerajaan-kerajaan di Indonesia dan merusak seluruh sendi kehidupan masyarakat di nusantara.

Penduduk di nusantara makin menderita ketika Daendels berkuasa (1808-1811). Penerapan kerja paksa (rodi) untuk membangun jalan sepanjang pulau Jawa (Anyer-Panarukan) membuat rakyat makin sengsara.

Penderitaan berlanjut karena Belanda menerapkan Cultuurstelsel (tanam paksa). Aturan Tanam Paksa diterapkan oleh Gubernur Jenderal Hindia Belanda Van Den Bosch pada 1828.

Sistem Tanam Paksa mewajibkan rakyat menanam tanaman sesuai ketentuan pemerintah Hindia Belanda di sawah atau ladangnya. Hasil tanam paksa diserahkan pada pemerintah Hindia Belanda.

Tanam Paksa mengakibatkan rakyat diperas tenaga dan kekayaannya sehingga jatuh miskin.

Padahal penjajah mendapatkan kekayaan berlimpah dari nusantara untuk membangun negara Belanda menjadi kaya di Eropa.

Baca juga: Memaknai Hari Kebangkitan Nasional (Bag 2)

Perlawanan ulama dan bangsawan nusantara

Penderitaan rakyat di nusantara menumbuhkan benih perlawanan di berbagai daerah. Perjuangan melawan penjajah dipimpin ulama atau kaum bangsawan.

Para ulama atau kaum bangsawan di nusantara yang memimpin perjuangan melawan penjajah antara lain:

  • Sultan Hasanuddin di Sulawesi Selatan
  • Sultan Ageng Tirtayasa di Banten
  • Tuanku Imam Bonjol di Sumatera Barat
  • Pangeran Diponegoro di Jawa Tengah

Namun perjuangan tersebut belum berhasil karena perjuangan masih bersifat kedaerahan dan belum terorganisasi secara modern. 

Politik Balas Budi

Penderitaan rakyat di nusantara menyadarkan beberapa orang Belanda yang tinggal atau pernah tinggal di nusantara, antara lain:

  • Baron Van Houvell
  • Edward Douwes Dekker
  • Mr. Van Deventer

Baca juga: Hari Kebangkitan Nasional Harus Jadi Momentum Konsolidasi

Edward Douwes Dekker dengan nama samaran Multatuli menulis buku Max Havelaar pada 1860. Menggambarkan penderitaan rakyat Lebak, Banten akibat penjajahan Hindia Belanda.

Mr. Van Deventer mengusulkan agar pemerintah Belanda menerapkan politik balas budi "Etische Politic". Politik balas budi terdiri tiga program yaitu:

  1. Edukasi
  2. Transmigrasi
  3. Irigasi

Atas desakan berbagai pihak, akhirnya pemerintah Belanda menerapkan politik balas budi.

Namun, politik balas budi bukan untuk kepentingan rakyat Indonesia melainkan untuk kepentingan pemerintah Hindia Belanda.

Contoh Politik Balas Budi untuk kepentingan pemerintah Hindia Belanda:

  • Irigasi untuk pengairan perkebunan milik Belanda.
  • Pembangunan sekolah (edukasi) untuk menyediakan tenaga terampil dan murah.

Meski demikian, di sisi lain, pembangunan sekolah di nusantara menimbulkan dampak positif bagi bangsa Indonesia yaitu munculnya masyarakat terdidik.

Masyarakat terdidik ini mulai memiliki pemahaman dan kesadaran akan kondisi rakyat di nusantara yang sebenarnya.

Rakyat di nusantara dalam kondisi bodoh, terbelakang dengan kemiskinan di mana-mana.

Mereka yang mengenyam pendidikan dan sadar nasib rakyat di nusantara selanjutnya menjadi tokoh-tokoh kebangkitan nasional.

Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.