Sebut dan jelaskan faktor faktor penyebab kelemahan umat islam baik secara eksternal maupun internal

Seiring berjalannya waktu eksistensi masyarakat muslim di berbagai negara terus bertambah. Akan tetapi, eksistensi negara mayoritas muslim dinilai masih perlu ditingkatkan agar mampu berkembang pesat seperti kejayaannya pada masa silam. Oleh karena itu, dalam rangka menyusun kesadaran pola pikir masyarakat muslim, Fakultas Ilmu Agama Islam (FIAI) Prodi Pendidikan Agama Islam (PAI) UII mengadakan acara yang bertemakan “Imajinasi Membingkai Peradaban Islam”. Acara pada Kamis (15/07) tersebut menghadirkan Prof. Fathul Wahid, S.T., M,Sc., Ph.D. selaku Rektor UII dan Drs. Imam Mudjiono, M.Ag., sebagai pembicara melalui platform daring.

Prof. Fathul Wahid mengungkap beberapa hal yang membuat umat Islam saat ini sedikit mengalami kemunduran. Ia menyebut masyarakat kurang mengapresiasi bakat di dalam dirinya, kurang mampu mengikuti perkembangan zaman, dan lamban dalam menelaah realita sosial. 

“Kegagalan dalam memahami realitas kontemporer menyebabkan kita gagap melihat perkembangan yang ada sehingga seringkali kita menggunakan kacamata yang lama dengan yang baru yang akhirnya esensinya terlewat,” ungkapnya.

Ia juga menekankan peranan ilmu sangat berpengaruh terhadap berkembangnya kemajuan pola pikir seorang muslim. “Kemudian ilmu itu mendapat posisi yang luar biasa penting dalam kehidupan kita, karena pandangan kita itu dipengaruhi oleh ilmu yang kita kuasai termasuk untuk mengisi hati kita, menjaga eksistensi hati,” ujarnya saat menjadi pemateri.

Di samping itu, Imam Mudjiono berpendapat, kemunduran kaum muslim saat ini tak lain karena banyak masyarakat yang telah meninggalkan kitab suci, yakni Al-Qur’an. Sehingga saat ini kitab suci yang merupakan pedoman kehidupan bagi umat muslim itu hanya sebagai ajang perlombaan, hanya sedikit orang yang mampu mengamalkan isi kandungan dari kitab suci tersebut.

“Orang Islam mundur karena meninggalkan kitab suci mereka. Al-Qur’an hanya dijadikan ajang perlombaan dan ayat-Nya hanya dijadikan tulisan di atas kertas putih kecil,” imbuhnya.

Ia juga menjelaskan, kemajuan pola pikir dan peradaban masyarakat non muslim cenderung mengamalkan kandungan yang terdapat di dalam Al-Qur’an. Sehingga, peradaban masyarakat non muslim secara tidak langsung telah menjalankan hal hal yang terdapat di dalam kandungan kitab suci umat Islam.

“Non muslim disiplin, kerja keras, masalah gatal kepada ilmu, pengabdian, kepedulian kepada fakir miskin mereka amalkan, ini jawaban sangat strategis dari Syaikh Amir Syakib Arslan,” ucapnya.

Pada akhir acara, ia menerangkan bahwa solusi cerdas dalam meningkatkan paradigma berpikir hebat adalah dengan cara mengevaluasi diri sendiri dan mengajak lingkungan sekitar untuk berpikir progresif. “Mari mahasiswa kita mari para siswa kita, kita latih kita wujudkan kita bangkitkan mimpi itu. Dulu Bung Karno pernah bilang gantungkan cita citamu setinggi langit, tapi tidak banyak yang mengamalkan,” pungkasnya. (AMG/ESP)

Pertanyaan tersebut adalah sebuah judul buku yang ditulis oleh seorang penulis sekaligus wartawan sebuah majalah yang populer di jamannya, terutama di negara Mesir.  Majalah yang dimaksud adalah “al Manar”.  Pada awalnya majalah ini didukung penuh oleh pemerintah yang berkuasa pada waktu itu, namun, lambat laun majalah tersebut dilarang terbit karena tulisan-tulisannya dianggap menyerang dan berseberangan dengan pemerintah yang berkuasa, hingga pada akhirnya majalah tersebut dilarang lagi terbit hingga saat ini.

Hal ikhwal terbitnya buku "limaadza taakhral muslumuna wa limaadza taqaddama ghairuh” -judul asli buku tersebut- adalah sebuah pertanyaan yang diajukan oleh seorang koresponden majalah tersebut, yang berasal dari Sambas, Kalimantan Barat yang bernama Syekh Basyuni Imran yang hidup dari tahun 1906-1976. Beliau adalah seorang ulama yang haus dengan ilmu pengetahuan, dan telah melanglang buana ke berbagai negara  seperti Mekkah, Mesir, dan sebagainya, untuk memperdalam ilmu pengetahuannya. Nah, pada saat beliau menetap di Mesir itulah, beliau berkenalan dan menjadi murid dari pimpinan redaksi dari majalah “al manar” tersebut.

Pertanyaan yang jauh dari Mesir melintasi Samudera Hindia berasal dari daerah terpencil di Nusantara, pedalaman Sambas. Pertanyaan itu dimuat di majalah al-Manar pada tahun 1929 dan mendapat banyak perhatian. Berhubung karena sangat sibuk, maka Rasyid Ridha meminta pada Amir Syakib Arselan, seorang penulis dan wartawan untuk menjawabnya. 

Satu tahun kemudian muncullah jawaban lengkap dalam bentuk sebuah buku dengan judul yang sama. Buku ini sudah banyak diterjemahkan dalam berbagai bahasa, termasuk dalam bahasa Indonesia yang diterjemahkan oleh Buya Hamka. Sebuah pertanyaan besar telah menembus ruang dan melampaui masa dari pertengahan pertama abad ke-20 sampai pertengahan abad ke-21. Sampai saat ini,  umat belum bisa memberi jawaban secara konkrit.

Arslan menjawab pertanyaan Basyuni Imran dalam beberapa seri di Al-Manar, yang kemudian diterbitkan sebagai buku dengan judul pertanyaan Basyuni Imran “Limadza ta’akhkhara l-muslimuna wa limadza taqaddama ghayruhum?” Pemikiran Syakib Arslan dalam buku ini harus dipahami dalam konteks masanya, yakni masa kolonialisasi dunia Islam oleh Barat dan masa antara dua Perang Dunia I dan II (interwar). Beliau  geregetan melihat pudarnya semangat umat Islam meraih kejayaannya kembali, terutama dengan keluar dari penjajahan dan ketergantungan dari Barat, lalu membangun peradaban berdasarkan atas spirit Islam.

Arslan memulai dengan mengidentifikasi faktor-faktor yang menyebabkan Islam meraih kebesaran dan kemajuan Islam di masa, sebelum kemudian menganalisis sebab-sebab kemunduran dan keruntuhannya. Setelah itu dia menawarkan jalan keluarnya.

Pertama, Arslan percaya kalau sumber kemajuan Islam “ada di dalam Islam itu sendiri”. Ini terbukti dari sejarah kemunculan Islam di semenanjung Arabia yg mampu menyatukan berbagai etnik dan ras yang ada di Arab, dan membawa mereka keluar dari barbarisme kepada peradaban, dari kekejaman kepada cinta dan simpati, dan menghapus politeisme dan merestorasi peribadatan kepada Tuhan Yang Maha Esa. Pada saat itu tidak ada kekuatan yang dapat mencegah perkembangan Islam ke segenap penjuru dunia, kecuali perpecahan dan perang saudara di antara mereka sendiri, seperti yang terjadi di akhir periode Usman bin Affan dan periode Ali bin Abi Thalib. Dan Islam pun mampu membangun peradaban dunia pada Abad Pertengahan dengan gemilang. Menurutnya, sebagian besar bagian dari kekuatan penginspirasi yang mengantarkan kemenangan dan capaian-capaian mereka itu pada masa dia telah hilang, walau jejaknya mungkin masih bisa dilacak. Spirit itu justru ada pada orang lain, terutama, saat itu, Eropa, Amerika dan Jepang.

Menurut Arslan, beberapa sebab kemunduran Islam itu adalah kebodohan, ilmu yang tanggung, kemalasan, lemahnya semangat berkorban, dan hilangnya etos kerja, dinamisme, kepercayaan diri dan keberanian.

Selain itu, dia juga menambahkan dua sebab lain, yakni ultra-modernisme dan  konservativisme. Dalam hal ini dia mengatakan: “Sebab utama lain dari kemunduran muslim adalah kekeraskepalaan buta mereka yang membuat mereka mempertahankan konvensi-konvensi usang. Sangat bahaya bagi sebuah bangsa adalah orang yang mengutuk semua yang lama sebagai absurd dan tidak bermanfaat, tanpa memberikan pemikiran kepada nilai intrinsiknya, hanya karena ia ‘lama’. Namun, yang bahayanya tidak kurang adalah orang yang muncul dari aliran konservatif yang ngeyel bahwa perubahan terlarang dalam semua hal. Dengan demikian, ‘ultra-modern’ yang canggih dan konvensionalis konservatif sama-sama menghancurkan Islam.”

Arslan mengkritik kaum muslim konservatif karena dia menganggap bahwa mereka melanggengkan kemiskinan dengan mereduksi Islam hanya berurusan dengan masalah akhirat.

Mereka juga dia tuduh memerangi ilmu-ilmu alam, matematika, dan semua seni kreatif, mengutuknya sebagai praktik orang-orang kafir. Ini menghindarkan muslim dari manfaat ilmu pengetahuan.

Lalu, bagaimana menggapai kemajuan?

Arslan menganjurkan kembali kepada nilai-nilai Islam karena umat Islam pernah berjaya dengan itu. Namun, Arslan juga menganjurkan umat Islam belajar dari Eropa dan Amerika, yang dia sebut musuh, dan Jepang dalam mencapai kemajuan. Inti sari ajaran Islam adalah bahwa manusia harus menggunakan akalnya sebaik-baiknya sebagai petunjuk yang membantunya berpikir dan setelah itu berserah diri kepada Allah terkait hasilnya.

Menurutnya, Islam pada hakekatnya adalah pemberontakan terhadap tradisi negatif dan buruk. Islam bukanlah agama pasif dan konservatisme yang statis, tapi agama yang aktif dan dinamik. Untuk kembali bangkit dan meraih kemajuan yang tinggi, Arslan menyarankan “jihad” dalam pengertian “pengorbanan” jiwa dan harta dalam membangun peradaban. Peradaban Barat dan peradaban maju mana pun, menurutnya, menerapkan jihad dalam pengertian ini juga. Untuk meraih ilmu pengetahuan, misalnya, bangsa-bangsa itu harus mengeluarkan dana dan sumberdaya yang besar.

Arslan meminta muslim melihat bagaimana Eropa pada masa itu mau berkorban untuk mencapai peradaban. Orang Eropa juga menjaga identitas mereka masing-masing. Ini untuk mengritik negeri-negeri Islam yang tidak mau berkorban untuk kemajuan, dan malah meniru identitas orang lain dan meninggalkan identitasnya sendiri.

“Contoh paling bagus adalah orang-orang Eropa. Pelajari mereka sebaik mungkin; kita tidak akan mendapati satu negara pun dari mereka yang ingin kehilangan identitas mereka menjadi orang lain.  Inggris tetap menjadi Inggris, Perancis tetap menjadi Perancis, dst.”

Dia meminta umat Islam belajar kepada Jepang. Sampai 1868 Jepang masih sama dengan bangsa-bangsa Timur tertinggal lainnya. Tetapi mereka bertekad untuk mengejar bangsa-bangsa maju, dan mulailah mereka mempelajari ilmu-ilmu Eropa. Mereka membangun industri seperti industri Eropa. Itulah mereka lakukan secara konsisten selama 50 tahun.

“Nah setiap umat Islam yang hendak bangkit dan menyusul bangsa-bangsa yang maju pun bisa melakukan hal itu sambil tetap berpegang teguh kepada agama. Seperti halnya bangsa Jepang, mereka mempelajari segala ilmu Eropa tanpa terkecuali namun tetap memegang teguh agama yang mereka yakini."

Dia lalu mengatakan bahwa hal itu harus menjadikan Alquran sebagai inspirasi, bukan aspirasi, untuk menggapai kemajuan: “Jika Muslim berusaha berdasarkan inspirasi dari Al-Quran mereka akan dapat mencapai derajat seperti orang-orang Eropa, Amerika, dan Jepang dalam belajar dan ilmu pengetahuan dan perkembangan. Namun, mereka dapat menjaga iman mereka, sebagaimana orang lain melakukan. Lebih lagi, jika kita menggali inspirasi dari Al-Quran, maka kita akan berkembang lebih baik daripada yang lain.”

Seruan menjadikan Al-Qur'an sebagai inspirasi sejalan dengan gerakan modernisme Islam yang lain. Hanya saja bagaimana metodologi pengambilan inspirasi dari Al-Qur'an masih absurd. Namun, bagaimanapun juga, kesediaannya untuk belajar kepada peradaban lain, seperti Barat dan Jepang, menunjukkan sikap keterbukaannya. Tapi keterbukaan yang ditawarkan adalah keterbukaan kritis dan berjarak, karena nilai utama yang dijadikan sumber inspirasi tetaplah nilai Islam dan Al-Qur'an. Di sinilah dia berupaya mempertahankan “ashalah” (otentisitas) dan sekaligus tidak anti pada “mu’asharah” (modernitas) dalam pemikiran dan gerakannya. 

Nah kata kunci dari kemunduran kaum muslim hingga saat ini adalah mereka jauh dari kitab suci Al-Qur’an. Dalam arti kaum muslim menjadikan kitab suci Al-Qur'an, sekadar ritual semata saja, dan tidak ada usaha untuk memahami kandungannya yang selanjutnya menjadikannya inspirasi dalam kehidupan sehari-hari. Padahal inspirasi apapun yang diinginkan oleh segenap kaum muslimin PASTI ada dalam Al-Qur'an. Wallahu a’lam bissawab.

Penulis: Sage al Banna, S.Ag., M.Pd.