Saluran islamisasi yang dilakukan oleh sunan kalijaga adalah saluran

Indonesia merupakan Negara multikultural, tidak hanya memiliki keragaman adat istiadat, budaya, bahasa dan etnis, tetapi juga memiliki keragaman kepercayaan. Dalam keragaman kepercayaan, meski Hindu dan Budha merupakan agama tertua yang masuk ke Indonesia tetapi saat ini Indonesia merupakan Negara dengan mayoritas pemeluk agama Islam terbesar di dunia.

Dalam sejarahnya, penyebaran agama Islam di Indonesia berlangsung secara cepat. Ajaran yang memuat nilai ketakwaan pada Tuhan, kedamaian, dan kesetaraan antar manusia menarik minat masyarakat Indonesia untuk menerima dan memeluk agama Islam. Hal ini tercermin dengan adanya kerajaan-kerajaan Islam atau kesultanan di berbagai wilayah Indonesia.

Terdapat beberapa saluran penyebaran pengaruh Islam di Indonesia sehingga bisa tersebar dan perkembangannya pesat di nusantara, antara lain melalui saluran perdagangan, saluran perkawinan, saluran tasawuf, pendidikan, dan seni budaya.

Saluran yang digunakan dalam proses Islamisasi di Indonesia pada awalnya melalui perdagangan dari para pedagang Arab, Persia, maupun Gujarat. Hal ini sesuai dengan perkembangan lalu lintas pelayaran dan perdagangan dunia yang ramai mulai abad ke 7 sampai 16 masehi.

Tidak hanya melakukan transaksi niaga, para pedagang dari Arab, Persia dan Gujarat mengenalkan ajaran dan nilai-nilai Islam kepada mitranya dari Indonesia lalu kepada masyarakat sekitar. Sebagai pedagang, mereka bisa bergaul luwes dengan semua orang, sehingga suasana pelabuhan yang ramai menjadi kesempatan baik untuk mengenalkan ajaran Islam.

Selanjutnya, sejumlah pedagang memutuskan untuk menetapkan dan mendirikan perkampungan yang tidak jauh dari pelabuhan maupun Bandar perdagangan. Adanya perkampungan itu membuat interaksi semakin intens dan membuka kesempatan masyarakat sekitar untuk mengenal lebih jauh ajaran Islam, apalagi budi dan suri teladan yang ditunjukan para pedagang semakin menarik banyak orang untuk memeluk agama Islam.

Saluran perkawinan adalah salah satu cara penyebaran Islam di Indonesia. Pedagang muslim yang menetap ada yang menikah dengan putri raja atau putri bangsawan setempat, karena kedudukan pedagang ini terhormat di mata masyarakat. Pihak pedagang mensyaratkan pihak calon istri untuk mengucapkan kalimat syahadat terlebih dahulu sehingga anak-anak hasil pernikahan mereka pun menganut agama Islam yang dianut orang tuanya.

(Baca juga: Wujud Akulturasi Kebudayaan dengan Agama Islam)

Perkawinan dengan putri kalangan bangsawan dan kerajaan juga membawa pengaruh lebih kuat dalam penyebaran Islam karena perkawinan yang membuahkan keluarga muslim yang saleh mempengaruhi istana untuk mendukung penyebaran Islam. Bahkan, semakin banyak kalangan keluarga istana memeluk Islam dan lambat laut kerajaan yang tadinya bercorak Hindu-Budha perlahan menjadi bercorak Islam.

Tasawuf adalah ajaran ketuhanan yang telah bercampur dengan mistik dan hal-hal magis. Kedatangan ahli tasawuf ke Indonesia diperkirakan sejak abad ke 13 yaitu masa perkembangan dan penyebaran ahli-ahli tasawuf dari Persia dan India yang sudah beragama Islam, dan baru berkembang pesat sekitar abad ke 17.

Pengaruh ajaran tasawuf banyak dijumpai dalam seni sastra berupa babad dan hikayat. Ajaran ini terutama berkembang di Jawa karena ajaran Islam melalui tasawuf disesuaikan dengan pola piker masyarakat yang masih berorientasi pada agama Hindu. Adapun tokoh tasawuf nusantara yang terkenal adalah Hamzah Fansuri, Syamsudin as-Sumatrani, Nurrudin ar-Raniri, Sunan Bonang, Syekh Siti Jenar, dan Sunan Panggung.

Perkembangan Islam yang cepat menyebabkan muncul tokoh ulama atau mubalig yang menyebarkan Islam melalui pendidikan dengan mendirikan pondok pesantren. Pondok pesantren merupakan tempat para pemuda dari berbagai kalangan masyarakat untuk menimba ilmu agama Islam, setelah tamat mereka akan menjadi juru dakwah untuk menyebarkan Islam di daerah masing-masing.

Sebagai lembaga pendidikan Islam, pesantren berperan melahirkan guru agama, kiai, atau ulama. Maka dari pesantren inilah muncul tokoh ulama atau mubalig yang menyebarkan Islam melalui dakwah dan pendidikan. Disamping memberikan dakwah kepada masyarakat, banyak juga lulusan dari pondok pesantren mendirikan pondok-pondok pesantren baru, sehingga saluran pendidikan Islam di Indonesia semakin tersebar.

Berkembangnya agama Islam dapat melalui seni budaya seperti seni bangunan (masjid), seni pahat (ukir), seni tari, seni musik, dan seni sastra. Melalui seni budaya para kalangan ulama seperti Wali Sanga mengajarkan Islam melalui pendekatan budaya agar mudah diterima oleh kalangan masyarakat.

Salah satunya Sunan Bonang yang menciptakan Gending Durama dan kitab Gending Sunan Bonang. Selain itu, ada Sunan Giri yang dikenal sebagai seniman yang menciptakan Gending Asmarandana dan Pucung. Adapun Sunan yang menonjol di antara Wali Sanga adalah Sunan Kalijaga yang memanfaatkan media wayang untuk dakwahnya kepada masyarakat.

Walisongo menerapkan strategi dakwah agar penyebaran Islam dapat berjalan lancar. Srategi dakwah yang dilakukan melalui pembagian wilayah dan pendekatan persuasif. Strategi pembagian wilayah bertujuan untuk memperhitungkan letak strategis dari suatu wilayah. Walisongo mempertimbangkan terlebih dahulu dalam menentukan daerah dakwahnya serta mempertimbangkan faktor geostrategi. Hal ini ditunjukkan dengan pemilihan daerah Jawa Tengah sebagai tempat dakwah Walisongo, seperti Demak, Kudus, dan Muria. Selanjutnya, Walisongo  menggunakan strategi pendekatan persuasif yang berorientasi pada penanaman ajaran Islam dengan menyesuaikan kondisi saat itu. Misalnya Sunan Ampel yang berdakwah kepada Adipati Aria Damar dari Palembang bersedia masuk Islam berkat keramahan dan kebijaksanaan Sunan Ampel. Walisongo juga melakukan pendekatan terhadap tokoh yang memiliki pengaruh di suatu wilayah dan menghindari konflik. Walisongo menyediakan air bersih untuk memenuhi kebutuhan pokok yang dibutuhkan oleh masyarakat seperti materil dan spiritual.

Walisongo menggunakan pendekatan melalui kebudayaan dan kesenian untuk menunjang keberhasilan Islamisasi. Misalnya, Sunan Kalijaga dalam melakukan dakwah secara luwes karena masyarakat Jawa saat itu masih menganut kepercayaan lama. Sunan Kalijaga mendekatkan diri ke dalam masyarakat yang masih awam. Selain itu, Sunan Kalijaga mengenakan pakaian adat Jawa setiap hari dengan menggabungkan unsur Islam. Terdapat alasan Sunan Kalijaga menggunakan pakaian tersebut dikarena apabila mengenakan jubah dikhawatirkan dapat menimbulkan rasa takut masyarakat dan merasa enggan untuk menerima kedatangannya. Salah satu hal yang dapat dikatakan unik ketika Sunan Kalijaga merebut simpati masyarakat terlebih dahulu agar mau menerima agama Islam. Selanjutnya, beliau menjelaskan kepada masyarakat mengenai agama Islam dan menasehati untuk meninggalkan adat dan kebiasaan yang bertentangan dengan ajaran Islam. Akan tetapi, kebudayaan dan kesenian yang sekiranya dapat ditanamkan unsur ajaran Islam akan dipertahankan serta digunakan sebagai media dakwah oleh Sunan Kalijaga. Berbagai media dakwah yang digunakan, yaitu gamelan, gendhing, tembang, wayang, grebeg, suluk, tata kota, selamatan, kenduri, dan upacara tradisional. Tidak hanya itu, Sunan Kalijaga kerap memakai nama samaran, seperti “Ki Dalang” karena kemampuan beliau dalam mengajarkan Islam kepada masyarakat melalui pertunjukan kebudayaan dan kesenian.

Sunan Kalijaga menggunakan wayang sebagai salah satu media dakwahnya. Beliau mengenalkan Islam melalui pertunjukan wayang yang sangat digemari masyarakat. Pada saat beliau berdakwah agama Islam sebagai dalang yang berkeliling di wilayah Pajajaran hingga Majapahit. Tidak hanya sebagai dalang wayang saja, beliau juga menjadi dalang pantun. Apabila ada masyarakat yang ingin mengadakan pertunjukan wayang, maka Sunan Kalijaga tidak memungut uang melainkan cukup membaca dua kalimat syahadat, dan menyebabkan Islam dapat berkembang dengan cepat. Di dalam pertunjukan wayang, lakon yang dibawakan oleh Sunan Kalijaga tidak hanya mengangkat kisah Mahabarata dan Ramayana, terdapat pula lakon yang digemari oleh masyarakat yaitu Dewa Ruci. Lakon Dewa Ruci ini menjadi bentuk pengembangan dari lakon Nawa Ruci. Lakon Dewa Ruci ini mengisahkan Bima yang merupakan salah satu Pandawa saat mencari kebenaran melalui bimbingan Begawan Drona hingga Bima bertemu dengan Dewa Ruci. Selain lakon Dewa Ruci, Sunan Kalijaga juga memunculkan tokoh-tokoh wayang seperti Semar, Gareng, Petruk, dan Bagong yang telah diselusupi ajaran-ajaran Islam. Dalam menjadi dalang, Sunan Kalijaga memaparkan ajaran tasawuf saat memainkan wayang terutama saat lakon Dewa Ruci. Hal ini menyebabkan masyarakat dari seluruh lapisan menjadi senang. Saat pertunjukan wayang, Sunan Kalijaga memodifikasi bentuk wayang, sebelumnya berbentuk gambar manusia menjadi gambar dekoratif dengan bentuk tubuh yang tidak mirip dengan manusia. Penggunaan pertunjukan wayang sebagai media dakwah penyebaran Islam oleh Sunan Kalijaga. Hal tersebut menunjukkan keahlian beliau dalam memadukan unsur ajaran Islam dengan unsur budaya masyarakat Jawa. Oleh karea itu, kebudayaan dan kesenian merupakan sesuatu yang tidak dapat lepas dari masyarakat.

Selain lakon Dewa Ruci dan Punakawan, Sunan Kalijaga juga memasukan ajaran Islam pada tokoh Yudistira dan Bima. Seperti yang dikisahkan dalam lakon Yudistira mendapatkan azimat Kalimasada  karena tidak mau berperang. Azimat ini berguna untuk melindungi diri sendiri, menjauhkan musuh, dan memelihara stabilitas pemerintahan kerajaan. Azimat Kalimasada merupakan sebuah teks yang dapat bertahan lama dan merupakan kalimat syahadat. Oleh karena itu, Yudistira meninggal dalam keadaan Islam. Kalimat “Kalimasada” berasal dari kalimat Syahada yang artinya “yang bersaksi”. Dalam lakon Bima digambarkan seperti shalat. Hal ini disebabkan karena dalam cerita Hindu Bima digambarkan sebagai sosok yang kuat, sedangkan shalat merupakan tiang agama yang artinya tanpa shalat agama dari seseorang runtuh. Sementara itu, Arjuna dilambangkan sebagai puasa, Nakula, dan Sadewa dilambangkan sebagai zakat dan haji. Berdasarkan pelambangan tersebut, Sunan Kalijaga telah menggambarkan masyarakat Jawa mengenai badan manusia dengan wayang. Hal ini dapat diartikan tradisi wayang kulit yang dipertunjukkan dianggap sama seperti kehidupan. Dalam ajaran Islam Nabi Muhammad Saw mengajarkan kepada kita untuk tidak melihat seseorang dari luarnya saja.

Gamelan digunakan sebagai media dakwah oleh Sunan Kalijaga ketika pertunjukan dan acara lainnya. Dalam pertunjukan wayang, ketukan gamelan sudah digubah Sunan Kalijaga agar iramanya sesuai dengan lakon yang akan dimainkan. Selain digunakan dalam pertunjukan wayang, gamelan digunakan untuk mengundang masyarakat agar datang ke masjid. Gamelan juga digunakan saat acara Grebeg dan Sekaten yang bertujuan untuk mengundang banyak perhatian dari masyarakat.

Selain menggunakan wayang dan gamelan, Sunan Kalijaga dalam berdakwah juga menggunakan tembang-tembang yang merupakan kebudayaan dan kesenian dari masyarakat Jawa. Tembang-tembang yang digubah oleh Sunan Kalijaga seperti tembang Rumekso Ing Wengi dan tembang Ilir-ilir. Dalam tembang Rumekso Ing Wengi ini melambangkan doa saat malam hari setelah melaksanakan shalat tahajud. Doa yang dipanjatkan bertujuan meminta agar senantiasa dihindarkan dari gangguan negatif, serta dalam gaya bahasa sesuai dengan pikiran masyarakat Jawa. Hal yang disampaikan dalam tembang Rumekso Ing Wengi dapat menusuk hati pembacanya. Tembang ini disusun Sunan Kalijaga dikarenakan masyarakat Jawa masih kesulitan dalam menghafal dan melafalkan doa berbahasa Arab. Selain tembang Rumekso Ing Wengi, terdapat juga tembang Ilir-ilir dan Gundul-gundul Pacul yang menggambarkan keagungan ajaran Islam dan mengandung nasihat-nasihat kehidupan.

Grebeg berasal dari kata gumrebeg yang artinya “riuh” atau “rame”, jika dipahami menjadi “keramaian” dan berujung perayaan. Hal ini sering dijumpai saat acara grebeg terdapat konvoi barisan prajurit yang membawa gunungan disertai dengan iringan gamelan. Sekaten berasal dari kata sekati yang artinya “nama dua alat gamelan”. Sekaten merupakan bagian dari serangkaian acara grebeg yang merupakan gagasan Walisongo dalam menggabungkan kebudayaan masyarakat Jawa dengan ajaran Islam. Hal ini dikarenakan grebeg dan sekaten merupakan kebudayaan yang sudah ada sejak kerajaan Hindu Budha.

Ide untuk menggabungkan kebudayaan grebeg dan sekaten dengan ajaran Islam muncul saat Sunan Kalijaga mencoba menarik masyarakat datang ke masjid dan bertepatan dengan peringatan Maulid Nabi Muhammad Saw. Sunan Kalijaga memiliki inisiatif untuk menggabungkan unsur kebudayaan yang sudah lama dikenal oleh masyarakat Jawa. Lalu menggunakan gamelan dan tari-tarian di lingkungan kraton untuk meramaikan pelaksanaan Grebeg Maulid. Seperangkat gamelan diletakkan dihalaman masjid untuk ditabuh agar menarik perhatian masyarakat. Komplek masjid dihiasi dengan pernak-pernik menarik yang mengundang masyarakat datang ke komplek masjid Demak. Awalnya masyarakat maerasa malu untuk datang, perlahan-lahan mulai berdatangan dengan melewati gapura dan dituntun untuk mengucapkan kalimat syahadat. Selanjutnya masyarakat akan diajarkan dan dituntun cara berwudhu dengan baik. Selain Grebeg Maulid, terdapat juga Grebeg Syawal yang diselenggarakan saat hari raya Idul Fitri dan Grebeg Besar saat hari raya Idul Adha. Saat perayaan Grebeg dan Sekaten juga terdapat Gunungan. Gunungan ini dimaknai sebagai lambang kemakmuran dan sebagai rasa syukur terhadap Tuhan. Gunungan ini akan dibagikan kepada masyarakat. Penggunaan Grebeg dan Sekaten sebagai media dakwah Islam ini menuai sukses besar dan masyarakat ikut menyukainya.

Penulis: Beka Rafiq Ardiansyah

Editor: Rahmat Alwi

Referensi:

Hatmansyah. 2015. Strategi dan Metode Dakwah Walisongo. Jurnal “Al-Himar”. Vol. 03, No. 05.Januari-Juni. Hlm 10-  13

Solikin, Syaiful M., dan Wakidi. Tanpa Tahun. Metode Dakwah Sunan Kalijaga Dalam Proses Islamisasi    Di Jawa.FKIP Unila. Hlm 5-6

Agus Sunyoto. 2017. Atlas Walisongo. Pustaka IIMaN, Tangerang Selatan. Cetakan V, Maret. Hlm 267-268

Supriyanto. 2009. Dakwah Sinkretis Sunan Kalijaga. Jurnal Dakwah dan Komunikasi. Vol. 3, No. 1. Januari-Juni. Hlm3-4

Iswara. N. Raditya. 2018. Grebeg Maulid dan Cara Syiar Islam Para Wali. 20 November. Diakses dari https://tirto.id/grebeg-maulud-dan-cara-syiar-islam-para-wali-daix pada Selasa 22 Desember 2020