Proses penguraian kotoran hewan dapat menghasilkan gas rumah kaca berupa

Salah satu sumber energi alternatif adalah biogas. Gas ini berasal dari berbagai macam limbah organik seperti sampah biomassa, kotoran manusia dan kotoran hewan. Biogas merupakan gas yang dihasilkan oleh bakteri metanogenik anaerobik (bakteri penghasil gas metan yang hanya dapat hidup dalam kondisi bebas oksigen) dari proses perombakan bahan-bahan organik. Karena sifat gas metan yang mudah terbakar, biogas dapat dipakai sebagai sumber energi alternatif bagi masyarakat.

Kementerian Pertanian melaksanakan program pengelolaan limbah ternak, yaitu Biogas Asal Ternak Bersama Masyarakat. Kegiatan ini adalah pemanfaatan hasil samping peternakan berupa kotoran ternak segar (KTS) mennjadi biogas dan pupuk organik.

Beberapa contoh nyata dari kegiatan ini adalah kegiatan yang dilakukan oleh warga di Desa Paya Tungel. Dengan bimbingan teknis dari Balai Pengkajian dan Penerapan Teknologi, kelompok ternak Cinta Maju mengembangkan proyek biogas skala terbatas. Biogas yang mereka buat berasal dari bahan baku kotoran ternak yang diolah dalam suatu instalasi biogas sederhana. Caranya dengan membuat tangki penampungan limbah dari batu bata dan semen, kemudian membuat jaringan pipa dari instalasi biogas ke rumah-rumah warga.

Aksi serupa juga sudah dilakukan oleh warga di Desa Cabbeng, Bone, Sulawesi Selatan sejak tahun 2013 dan warga Desa Mundu, Klaten sejak tahun 2014. Pasokan kotoran bahan baku biogas berupa limbah sapi berasal dari ternak warga. Karena pada umumnya warga dari tiga desa ini adalah peternak.

Biogas yang dihasilkan dimanfaatkan oleh warga sebagai sumber energi pengganti listrik dan gas elpiji. Tujuan penggunaan teknologi sederhana ini adalah mengantisipasi kelangkaan bahan bakar minyak dan sebagai aksi pengendalian pencemaran lingkungan.

Biogas memang merupakan energi alternatif yang sangat dianjurkan untuk mengantisipasi perubahan iklim. Karena pengelolaan limbah ternak menjadi biogas terbukti menurunkan emisi GRK. Berdasarkan laporan RAN GRK Kementerian Pertanian, pada tahun 2012, setelah program ini dilaksanakan terjadi serapan karbon sebesar 2.044.395 CO2-e.

Hal ini dapat dipastikan karena penggunaan biogas mencegah pelepasan gas CH4 yang dihasilakan oleh limbah ternak ke atmosfer. Selain itu, biogas tidak menghasilkan asap seperti pada pembakaran bahan bakar fosil. Dan karena biogas berasal dari limbah, maka sangat membantu pengelolaan limbah dan sampah untuk mewujudkan lingkungan yang bersih.

Sumber :
  • Laporan RAN GRK Kementerian Pertanian 2014
  • http://majalahenergi.com/forum/energi-baru-dan-terbarukan/bioenergy/potensi-biogas-untuk-masyarakat-indonesia
  • http://www.biru.or.id/index.php/news/2017/01/01/264/5-desa-di-indonesia-ini-bukti-nyata-transisi-energi-biogas.html
  • http://www.kompasiana.com/novi.ardiani/biogas-sumber-energi-terbarukan-untuk-indonesia-mandiri-dan-mendunia_5683bbe0c2afbd2209d9e0ff
  • http://www.kompasiana.com/masfathan66/memasak-dan-memanaskan-air-tanpa-listrik-dan-elpiji_591be3821297731a26f96ce9
  • http://mediaindonesia.com/news/read/94971/menuju-mandiri-energi-desa-mundu-arisan-biogas/2017-03-05

Coba sebutkan alat-alat atau struktur tubuh yang dimiliki oleh tumbuhan dan jelaskan fungsinya masing-masing minimal 42​

deni mendorong sebuah kotak dengan gaya 20N sejauh 2km.besar usaha yang telah dilakukan dayu sebesar... joule​

Berikan 3 contoh yang menunjukkan bahwa tumbuhan juga bergerak

Tolong jawab donk, Plisss yaa​

apa perbedaan antara mikroskop binokuler dan mikroskop stereo?​

tolong di bantu ya ka sekarang ada gambar di atas bantuin aku ya ka plisss:)​

bagaimanakah sikap manusia terhadap tumbuhan?​

kalau kita menggunakan kelapa untuk membuat kue Mengapa kulit kelapa yang berwarna coklat harus dikupas terlebih dahulu sebelum Kelapa diparut​

seorang peneliti menyilangkan mangga manis (Mm) dengan mangga asem (mm) tentukan perbandingan fenotipe dan genotipe keturunan pertamanya (F1) dan bera … pa persen kemungkinan muncul keturunan mangga manisdijawab kak​

Seorang wanita bergolongan darah B heterozigot menikah dengan pria bergolongan darah A hetero- zigot, maka kemungkinan golongan darah anak- anaknya ad … alah... .​

Liputan6.com, Jakarta Jika pemanasan global terjadi dipicu dari bahan bakar fosil dan pabrik industri, sapi juga ikut menyebabkan gas efek rumah kaca. Berdasarkan jurnal berjudul, Beef Consumption Reduction and Climate Change Mitigation, yang ditulis Elham Darbandi dan Sayed Saghaian dari University of Kentucky, Amerika Serikat, para peneliti percaya, emisi gas rumah kaca dari sektor peternakan sapi ikut menyumbang 65 persen.

Dalam hal sapi, gas metana ikut meningkatkan efek rumah kaca. Ternak berkaki empat atau istilahnya ruminansia [sapi, kambing, domba] menghasilkan gas metana yang keluar dari sendawa, kentut, dan kotoran hewan ternak. Sebagaimana dikutip dari tulisan berjudul Animal Agriculture’s Impact on Climate Change, gas metana menyumbang 16 persen dari total efek pemanasan global. Potensi pemanasan global mencapai 28 hingga 36 kali lipat, yang berujung menghasilkan karbon dioksida.

Jika gas metana tidak ditekan dari sapi, maka pemanasan global yang ada pada peternakan sapi bisa meningkat. Apalagi di Indonesia, tingkat konsumsi daging sapi digencarkan terus menerus. Hal ini bertujuan demi ketercukupan nasional terhadap kebutuhan protein hewani dari daging sapi. Kementerian Pertanian mencatat, produksi daging sapi nasional pada tahun 2018 sebesar 403.668 ton.  

Peneliti ternak Lies Mira Yusiaiti menjelaskan, ada inovasi kreatif yang bisa dilakukan peternak untuk mengurangi gas metana pada hewan ruminansia. Penggunaan teknologi Natural Methane Reducing [NMR] dari dedauan yang mengandung kandungan tannin. Tannin dapat menekan gas metana yang keluar dari sapi. Dedaunan yang digunakan meliputi daun jati [Tectona grandis], kaliandra [Calliandra calothyrsus], dan mahoni [Swietenia mahagoni].

“Tannin dalam suatu tanaman atau dedauan memiliki jenis berbeda dan tingkat kandungannya pun berbeda. Kombinasi dari berbagai jenis daun punya potensi lebih tinggi dalam menurunkan metan dibandingkan hanya memilih salah satu. Hal ini didasari jenis tannin yang punya mekanisme ikatan yang berbeda beda, tergantung dari jenis daun,” kata Lies kepada Health Liputan6.com melalui surat elektronik, ditulis Rabu [2/1/2019].

Dedaunan banyak ditemukan di sekitar lingkungan peternak, terutama di daerah pedesaan. Di pedesaan kekayaan biodiversity yang tinggi. Teknologi Natural Methane Reducing diterapkan Lies dan tim melalui program Pemberdayaan Kemitraan Masyarakat [PKM] di Desa Banyusoco, Playen, Gunung Kidul dan Desa Bercak, Berbah, Sleman. Peternak sebelumnya sudah memberikan dedaunan, kearifan lokal yang ada di sekitarnya. Namun, peternak belum memahami manfaat dari daun yang diberikan.

“Peternakan sapi, misalnya, di daerah urban [dekat perkotaan] yang sering memiliki kendala dalam mendapatkan daun. Sehingga dikembangkan tanaman yang mudah tubuh dan memiliki kandungan tannin yang tinggi.  Kami mencoba memberikan bibit tanaman yang potensial menghasilkan tannin, mengidentifikasi tanaman yang sudah ada, dan memiliki kandungan tannin tinggi,” papar Lies, peneliti ternak dari Fakultas Peternakan Universitas Gadjah Mada [UGM].

Saksikan video menarik berikut ini:

Scroll down untuk melanjutkan membaca

Limbah peternakan merupakan salah satu penyebab terjadinya global warming yang menyebabkan perubahan iklim dan cuaca yang ekstrim dipermukaan bumi, perubahan iklim ini disebabkan oleh adanya gas rumah kaca [GRK] seperti CH4, CO2 dan N2O. Gas metana merupakan tipikal GRK [Gas Rumah Kaca] yang diemisi pada sektor pertanian termasuk peternakan, terutama dari ternak ruminansia. Salah satu cara untuk menurunkan emisi gas rumah pada sektor peternakan adalah dengan pemberian pakan. Salah satu pakan yang digunakan untuk mengurangi emisi metana adalah leguminosa, pada penelitian ini digunakan limbah tauge. Penambahan suplemen berupa lipida juga dilakukan agar dapat menurunkan produksi metan, penambahan lipida sebagai suplemen yang bersumber dari asam-asam lemak tidak jenuh dapat mempengaruhi pola fermentasi yang mengarah pada efisiensi energi [Baldwin, 1983]. Asam lemak tidak jenuh dapat menurunkan produksi gas metan [CH4] dan meningkatkan produksi asam propionat, peningkatan proporsi asam propionat dapat meningkatkan efisiensi energi yang menyebabkan penurunan sintesis metan [CH4]. Tujuan dari penelitian ini adalah mengidentifikasi pemberian pakan limbah tauge dan omega 3 pada perlakuan yang berbeda dalam memproduksi gas rumah kaca [CH4 dan CO2] dengan menggunakan metode sungkup tertutup. Ternak yang digunakan untuk penelitian adalah ternak domba lokal yaitu domba Garut dan domba Jonggol, ternak yang digunakan sebanyak 24 ekor ternak yang berusia 1-2 tahun [I1] yang terdiri dari 12 domba Garut dan 12 domba Jonggol, ternak tersebut diberi perlakuan pakan yaitu R40K60 [40% rumput dan 60% konsentrat], LT40K60 [40% limbah tauge dan 60% konsentrat] dan LT40K60O [40% limbah tauge, 60% konsentrat dan ditambahkan omega 3 sebagai supplement]. Hasil penelitian menunjukan bahwa kandungan TVS awal sebelum perlakuan lebih besar dibandingkan analisis setelah perlakuan, hal ini menunjukan bahwa TVS dikonversi mejadi gas metana sehingga terjadinya penurunan niali TVS setelah perlakuan. Perlakuan bangsa yang berbeda tidak berpengaruh terhadap Kandungan C/N yang dihasilkan [P>0.05], tetapi pakan yang berbeda berpengaruh nyata [P<0.05] terhadap kandungan C/N yang dihasilkan. Hasil analisis produksi gas sebelum perlakuan dengan menggunakan uji t yaitu tidak ada perbedaan produksi gas yang dihasilkan pada domba Jonggol dan Garut. Produksi gas yang dihasilkan dari feses pada analisis minggu ketiga dan keenam setelah perlakuan tidak dipengaruhi pakan dan bangsa yang berbeda [P>0.05].

  • home
  • nasional
  • Sapi di peternakan Inggris[dailymail.co.uk]

    TEMPO.CO, New Delhi - Emisi gas rumah kaca yang mempengaruhi pemanasan global tak hanya berasal dari pembakaran bahan bakar fosil dan penggundulan hutan, tapi juga sendawa hewan ternak. Gas metana yang dikeluarkan ternak, terutama sapi, mencapai 14,5 persen dari total emisi gas rumah kaca di dunia. Peneliti International Livestock Research Institute [ILRI] Kenya, Asaah Ndambi, mengatakan konsumsi daging sapi yang meningkat di dunia seiring dengan naiknya jumlah penduduk di negara berkembang dan perubahan gaya hidup akan mempercepat kenaikan temperatur di bumi.Meningkatnya pendapatan dan urbanisasi secara cepat di Asia dan Afrika juga menyebabkan permintaan produksi ternak meningkat. Karena itu, menurut Asaah Ndambi, langkah strategis untuk mengurangi emisi gas rumah kaca di sektor ternak adalah mengubah pola konsumsi dengan diet protein nonhewani.

    “Kebiasaan masyarakat India tidak makan daging sapi perlu dilestarikan. Itu akan ikut mencegah meningkatnya pemanasan global,” kata Asaah dalam Annual Media Briefing on Climate Change for Journalists of the Global South yang diselenggarakan Centre for Science and Environment di New Delhi, India, awal November lalu.

    Mengubah pola konsumsi protein itu tentu tidak mudah. Sebab, produksi ternak dunia menyediakan sepertiga dari total suplai protein makanan. Saat ini terdapat 19 miliar ternak dengan nilai aset US$ 1 triliun. Sekitar 33 persen dari total lahan pertanian dipakai untuk produksi pakan ternak.

    Di Indonesia, konsumsi protein hewani per kapita per hari yang hanya 4,7 gram masih di bawah standar Badan Kesehatan Dunia [WHO]. WHO menetapkan konsumsi minimal 6 gram per kapita per hari. Pemerintah Indonesia berupaya meningkatkan konsumsi dan kebutuhan daging dengan 23 persen di antaranya dipasok dari sapi. Tapi, Salah satu kunci mencegah pemanasan global adalah diet daging dan memperbaiki manajemen ternak,” kata Asaah kepada Tempo di New Delhi.

    Metana [CH4] adalah gas tidak berbau yang menimbulkan efek rumah kaca. Komposisi metana di atmosfer bumi lebih rendah dibanding karbon dioksida [CO2], tapi koesifien daya tangkap panas metana lebih tinggi, yakni 25 kali karbon dioksida. Pemanasan global disebabkan oleh naiknya jumlah emisi gas rumah kaca, termasuk metana. Metana mempertipis lapisan ozon yang melindungi bumi, sehingga suhu naik.Selain berasal dari penguraian sampah organik, metana muncul dari aktivitas pertanian dan transportasi. Sekitar 50 persen metana diproduksi dari aktivitas manusia di sektor pertanian. Dari jumlah itu, 60 persen berasal dari ternak ruminansia, yang dihasilkan melalui proses metanogenesis dalam sistem pencernaan ternak.

    Metana dikeluarkan lewat mulut ternak ke atmosfer. Dalam riset D.P. Morgavi [2008], ditunjukkan sapi potong dapat mengemisi metana 60-70 kilogram per tahun, sapi perah 110-145 kg per tahun, dan domba 8 kg per tahun. Live Science melaporkan per tahun seokor sapi menghasilkan gas metana 120 kg, domba 8 kg, babi 1,5 kg, dan manusia hanya 0,12 kg.

    Laporan Food and Agriculture Organization [FAO] tahun lalu pun menunjukkan bahwa emisi dari sektor pertanian [termasuk peternakan], kehutanan, dan perikanan telah meningkat dua kali lipat dalam 50 tahun terakhir dan akan bertambah 30 persen pada 2050 bila tak ada upaya luar biasa untuk menguranginya.Aktivitas di sektor pertanian, kehutanan, dan penggunaan lahannya lainya menghasilkan lebih dari 10 miliar ton gas rumah kaca. Emisi pertanian dari penanaman dan produksi ternak meningkat dari 4,7 miliar ton pada 2001 menjadi lebih dari 5,3 miliar ton pada 2011. ”Peningkatan 14,1 persen ini terutama terjadi di negara-negara berkembang karena ada perluasan lahan pertanian,” kata Francesco Tubiello dari Divisi Iklim, Energi, dan Pertanahan FAO.Sumber terbesar emisi gas rumah kaca di sektor pertanian adalah fermentasi enterik [fermentasi di tubuh hewan ternak]. Metana diproduksi ternak selama proses mencerna makanan dan dilepas melalui sendawa ke atmosfer. Jumlah metana dari ternak pada 2011 tercatat 39 persen dari sektor pertanian. Terdapat peningkatan emisi dari fermentasi enterik sebesar 11 persen antara 2001 dan 2011.Menurut FAO, pada 2011, gas rumah kaca yang terkait dengan pertanian sebanyak 44 persen terjadi di Asia, 25 persen di Amerika, 15 persen di Afrika, 12 persen di Eropa, dan 4 persen di Oseania. Pada 1990-an, Asia bahkan berkontribusi 38 persen—lebih kecil dibanding pada saat ini—dan Eropa berkontribusi 21 persen.

    Salah satu upaya mitigasi di sektor ternak yang bisa dilakukan, menurut Asaah Ndambi, adalah memperbaiki manajemen pakan ternak dan kotoran. Caranya, antara lain, menggunakan suplemen pakan ternak, mengoptimalkan pakan lokal seperti sisa tanaman, dan meningkatkan kualitas pakan. Langkah lainnya, memperbaiki gen untuk meningkatkan produktivitas ternak, mengawasi kesehatan dan siklus ternak, serta mengurangi sampah dalam rantai pasokan ternak. ”Juga harus meningkatkan pola reuse, recylce, dan reduce dalam mata rantai peternakan,” kata Asaah Ndambi.

    Upaya di sektor lainnya juga perlu dilakukan. Deputy Director General Centre for Science [CSE] Chandra Bhushan mengatakan pengurangan pemanasan global tidak cukup hanya didesakkan kepada negara-negara berkembang. Sebab, kata dia, negara maju seperti Amerika juga punya kontribusi besar memanaskan bumi. ”Pertemuan 119 kepala negara di Paris ini menjadi sangat penting untuk negosiasi yang adil antara negara maju dan negara berkembang,” kata Chandra di New Delhi.

    AHMAD NURHASIM [NEW DELHI]