Pluralisme bangsa indonesia dapat menyebabkan hal hal sebagai berikut kecuali

Oleh: Della Sri Wahyuni (Penulis adalah Peneliti Muda pada Lembaga Kajian dan Advokasi Independensi Peradilan)

Makalah ini dipresentasikan pada sesi panel dalam Konferensi Asosiasi Filsafat Hukum Nasional (AFHI) ke-3 di Universitas Airlangga Surabaya, 27-28 Agustus 2013.

Pengantar

Persitegangan antara hukum rakyat dengan hukum negara telah terjadi sejak zaman pendudukan kolonial di Indonesia dan niscaya terjadi pada negara-negara yang terbentuk atas berbagai suku bangsa dengan keragaman budayanya. Persitegangan hukum yang berbeda tersebut tidak jarang berujung pada konflik horizontal maupun vertikal. Ketidakharmonisan hukum rakyat dan negara mengemuka sebagai akibat dari kebijakan pembangunan hukum nasional yang mentransplantasikan hukum yang ‘asing’ dengan berbagai cara kepada masyarakat yang sejatinya mempunyai hukumnya sendiri. Kata asing dalam hal ini dapat dimaknai dalam dua pengertian, di satu sisi ‘asing’ dapat bersumber dari hukum kaum penjajah yang diterapkan di daerah koloni, dan di sisi lain hukum yang  ‘asing’ itu adalah hukum nasional yang menjadi produk dari  unifikasi dan modernisasi hukum, yang mana dua hal tersebut secara langsung maupun tidak menyingkirkan keragaman hukum rakyat atau anasir sistem hukum yang ada di luar sistem hukum negara/nasional.[1]

Salah satu contoh konflik hukum yang nyata dan sekaligus contoh yang berulang dikemukakan adalah konflik hukum adat dan hukum negara.  Undang-undang No. 5 Tahun 1960 (UU Pokok Agraria) dengan jelas memberikan pengakuan terhadap hak masyarakat hukum adat dalam penguasaan tanah dan SDA, tetapi masih ada regulasi lain yang menegasikan prinsip tersebut, UU Kehutanan (UU No. 41 Tahun 1999)  misalnya yang mengakui keberadaan hutan adat, akan tetapi UU tersebut menempatkan hutan adat sebagai bagian dari hutan negara. Konflik sistem hukum tersebut  tidak jarang berujung pada konflik horizontal maupun vertikal dan menggambarkan bahwa sesungguhnya terdapat gap atau kesenjangan antara pembentuk hukum (institusi negara) dengan pengemban hukum (masyarakat). Konflik demikian terkadang juga menjadi penyebab mandulnya hukum negara dalam pelaksanaannya. Hal ini seolah menegaskan bahwa munculnya penolakan terhadap hukum negara bukan sekedar persoalan keterbatasan pemahaman atau ketidaksadaran hukum masyarakat, tetapi lebih dari itu adalah karena ketidaksediaan rakyat menaati hukum yang berbeda dengan keseharian mereka.[2]

Beranjak dari kondisi tersebut, muncul pertanyaan apakah yang dapat dilakukan untuk mendamaikan kedua hukum tersebut atau setidaknya mempersempit kesenjangan diantara kedua hukum itu. Menjawab pertanyaan tersebut, berbagai upaya telah dilakukan bahkan sejak masa kolonial, secara substansi hukum negara mengakui keragaman hukum yang hidup dalam keseharian masyarakat, dan secara strategi pembangunan hukum, negara harus menitikberatkan pengenalan hukum pada masyarakat ketimbang memaksakan keberlakuan hukum negara tersebut. Dalam konteks ini lah, pendekatan pluralisme hukum dalam pembentukan hukum nasional dan pengenalan hukum menjadi amat penting.

Konseptualisasi Pluralisme Hukum

Isu maupun kajian seputar pluralisme hukum bukan isu baru ataupun ranah studi baru di Indonesia. Secara sederhana, pluralisme hukum hadir sebagai kritikan terhadap sentralisme dan positivisme dalam penerapan hukum kepada rakyat. Terdapat beberapa jalan dalam memahami pluralisme hukum. Pertama, pluralisme hukum menjelaskan relasi berbagai sistem hukum yang bekerja dalam masyarakat. Kedua, pluralisme hukum memetakan berbagai hukum yang ada dalam suatu bidang sosial. Ketiga, menjelaskan relasi, adaptasi, dan kompetisi antar sistem hukum. Ketiga, pluralisme hukum memperlihatkan pilihan warga memanfaatkan hukum tertentu ketika berkonflik. Dari tiga cara pandang tersebut dan masih banyak cara pandang lainnya, secara ringkas kita bisa katakan bahwa pluralisme hukum adalah kenyataan dalam kehidupan masyarakat. Senada dengan itu, meminjam ungkapan dari Brian Z. Tamanaha, legal pluralism is everywhere.[3] Ungkapan ini menegaskan bahwasanya di area sosial keragaman sistem normatif adalah keniscayaan. Namun, hal menarik tentang pluralisme hukum bukan hanya terletak pada keanekaragaman sistem normatif tersebut, melainkan pada fakta dan potensi untuk saling bersitegang hingga menciptakan ketidakpastian. Ketidakpastian ini menjadi salah satu titik lemah yang “diserang” dari pluralisme hukum, walaupun hal ini tidak sepenuhnya benar karena permasalahan pokok dari potensi konflik tersebut adalah adanya relasi yang asimetris dari sistem normatif tersebut.

Berjalinan dengan itu, John Griffiths mengemukakan konsep pluralisme hukum yang lemah (weak pluralism)  dan pluralisme hukum yang kuat (strong pluralism).[4] Pluralisme hukum disebut sebagai  pluralisme hukum yang lemah ketika negara mengakui kehadiran anasir sistem hukum lain di luar hukum negara, tetapi sistem-sistem hukum non negara tersebut tunduk keberlakuannya di bawah hukum negara. Sementara itu, pluralisme hukum yang kuat hadir ketika negara mengakui keberadaan hukum non negara dan sistem hukum tersebut mempunyai kapasitas keberlakuan yang sama dengan hukum negara.

Pandangan Tamanaha dan Griffiths di atas pada akhirnya membawa kita pada ulasan tentang kelemahan  dan kritik terhadap pluralisme hukum. Ketika ketimpangan dominasi kekuasaan diantara eksponen berbagai sistem hukum tersebut tetap langgeng, maka pluralisme hukum bisa jadi sebatas mitos atau delusi, dan terciptanya ketidakpastian hukum bukan tidak mungkin terjadi apabila pluralisme hukum membuka ruang pengakuan bagi setiap sistem hukum lain di luar hukum negara tanpa adanya batasan yang jelas. Dua hal ini setidaknya memberikan ‘peringatan’ pada kita bahwa pluralisme hukum yang semula hadir untuk mengkritik juga tidak sepi dari kritikan. Pada bagian berikut ini akan dibahas ihwal kritik atas pluralisme hukum dan kaitannya dengan permasalahan yang ada pada konteks pembangunan sistem hukum di Indonesia.

Kritik dan Permasalahan pada Pluralisme Hukum dalam Konteks Indonesia

Sebagaimana pemaparan sebelumnya, pluralisme hukum boleh dikatakan menjadi jawaban terhadap kekurangan yang ditemui pada cara pandang sistem hukum nasional di Indonesia yang cenderung sentralistik.  Hal ini bisa dilihat dari beberapa kebijakan dan ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengandung  ide pluralisme hukum di dalamnya. Contoh klasik adalah UU Agraria yang secara jelas menyebut pengakuan terhadap hak masyarakat hukum adat dan tanah ulayat. Pada perkembangannya, tidak saja di tingkat nasional tetapi juga di tingkat daerah juga bermunculan peraturan daerah yang mencoba mengakui atau mengintegrasikan keberagaman hukum di tingkat lokal seiring dengan pemberlakuan otonomi daerah dan otonomi khusus.  Sebagai contoh, maraknya pembentukan perda syariah di daerah, qanun di Aceh,[5] dan pembentukan lembaga-lembaga adat yang diakui sebagai media penyelesaian sengketa adat.[6]

Selintas lalu, situasi tersebut dapat diapresiasi sebagai sebuah terobosan pembaruan hukum dan upaya untuk mengakomodasi keragaman normatif yang ada di masyarakat. Namun demikian, dalam praktiknya dijumpai pelbagai permasalahan yang membawa kita pada kondisi yang dilematis dan keadaan pluralisme hukum yang lemah sebagaimana pandangan Griffiths. Pasalnya, keberadaan hukum ‘rakyat’ atau hukum adat tersebut bergantung  pada pengakuan hukum negara. Lebih jauh dari itu, apa yang disebut dengan hukum adat adalah konstruksi oleh hukum negara, dengan demikian hukum adat bukanlah hukum yang hidup dan dipercayai oleh masyarakat melainkan hukum ‘adat’ yang dirumuskan oleh hukum negara. Kondisi ini tidak jauh berbeda dengan keberadaan lembaga adat tersebut, dimana hasil dari penyelesaian lembaga adat tidak jarang dimentahkan oleh lembaga peradilan atau lembaga ini nyaris tidak bertaji dalam menyelesaikan sengketa adat di lingkungan masyarakat adat sebab lembaga adat tersebut tidak mempunyai kapasitas mengeksekusi keputusan layaknya institusi peradilan. Lain halnya dengan perda syariah, yang mana di beberapa daerah perda tersebut mengundang penolakan keras oleh masyarakat di daerah yang bersangkutan. Pasalnya, ketentuan dalam perda-perda demikian bertolak belakang dengan ketentuan undang-undang yang secara hierarki harus selaras, bahkan pada titik tertentu perda tersebut dinilai bertentangan dengan HAM.

Pelbagai kondisi di atas cukup menggambarkan kelemahan dan kritikan terhadap pluralisme hukum sebagaima yang telah disinggung sebelumnya yakni membuka peluang konflik norma yang akhirnya memunculkan ketidakpastian hukum yang bagaimana pun merupakan prinsip penting dalam penegakan hukum. Selain itu, kritikan sekaligus pertanyaan substansial tentang pluralisme hukum yang mengemuka dari gambaran permasalahan tersebut adalah apakah pluralisme hukum menyediakan solusi praktis bagi penyelesaian masalah hukum dalam masyarakat? yang lebih jauh lagi apakah pendekatan pluralisme hukum masih relevan bagi pembangunan hukum Indonesia ke depan yang khususnya dituangkan dalam produk legislasi? Jawaban dari pertanyaan tersebut akan menjadi pokok bahasan pada bagian di bawah ini.

Relevansi/Kegunaan Pluralisme Hukum dalam Pembangunan Hukum Indonesia ke Depan

Pluralisme hukum memang tidak seketika menyelesaikan permasalahan yang muncul dalam masyarakat. Akan tetapi, pluralisme hukum hadir untuk memberikan pemahaman yang baru kepada praktisi hukum, pembentuk hukum negara (para legislator) serta  masyarakat secara luas bahwa disamping hukum negara terdapat sistem-sistem hukum lain yang lebih dulu ada di masyarakat dan sistem hukum tersebut berinteraksi dengan hukum negara dan bahkan berkompetisi satu sama lain.[7] Disamping itu, pluralisme hukum memberikan penjelasan terhadap kenyataan adanya tertib sosial yang bukan bagian dari keteraturan hukum negara. Pandangan sentralistik berpendapat bahwa satu-satunya institusi yang berperan menciptakan keteraturan sosial adalah negara melalui hukum yang dibentuk dan ditetapkan oleh negara. Pada realitanya, banyak terdapat ‘kekuatan lain’ yang tidak berasal dari negara. Diantaranya, hukum adat, hukum agama, kebiasaan-kebiasaan, perjanjian-perjanjian perdagangan lintas bangsa dan sebagainya. Kekuatan-kekuatan tersebut sama-sama memiliki kemampuan mengatur tindakan-tindakan masyarakat yang terikat di dalamnya, bahkan terkadang anggota atau komunitas dalam masyarakat lebih memilih untuk mentaati aturan-aturan yang dibentuk oleh kelompoknya dibanding aturan hukum negara.

Jika demikian, tidak berlebihan kalau dikatakan bahwa pluralisme hukum masih atau tetap dibutuhkan di negara ini. Terkait dengan itu, pada tahun 2010 Learning Centre Perkumpulan untuk Pembaruan Hukum Berbasis Masyarakat dan Ekologis (HuMa) menyelenggarakan survey di tiga kabupaten/kota guna mencari tahu kebutuhan masyarakat akan pluralisme hukum dalam substansi hukum. Survey ini melibatkan 212 responden yang terdiri dari kalangan mahasiswa, birokrat pemerintahan, penegak hukum, dosen, organisasi rakyat dan aktivis LSM. Dari hasil survey tersebut, 4 (empat) urusan hukum yang dipandang penting memuat unsur pluralisme hukum adalah: urusan perdata umum; adat; pidana, dan penguasaan tanah.[8]

Hasil survey tersebut tentunya bisa diperdebatkan lebih lanjut, tetapi setidaknya menunjukkan bahwa rakyat mempunyai pilihan sendiri terhadap sistem hukum yang mereka percayai dapat mengatur urusan kehidupannya dan menyelesaikan konflik diantara mereka. Hal ini seyogyanya menjadi bahan pertimbangan yang signifikan bagi Pemerintah dan Legislator ketika  merumuskan hukum nasional maupun strategi pembangunan hukum nasional. Disamping itu, juga bagi penegak hukum agar memahami bahwa masyarakat memiliki pilihan cara untuk mengakses keadilan dalam menyelesaikan sengketa diantara mereka.

Penutup

Pluralisme hukum sebagai pendekatan atau kajian tidak lain adalah alat bantu bagi negara dalam proses pembentukan hukum dan pembangunan hukum yang lebih dekat dengan masyarakat ke depannya. Pendekatan ini bukanlah pendekatan final yang nihil kelemahan dan kritik atau bukanlah solusi yang serta merta menyelesaikan  segala permasalahan hukum yang ada pada masyarakat hingga lapis terbawah. Pluralisme hukum hadir untuk memberikan perspektif keberagaman sistem normatif pada Pemerintah, Legislator baik di tingkat pusat maupun daerah, dan aparat penegak hukum bahwa sudah saat nya membuang jauh-jauh cara berhukum yang sentralistik dengan mengabaikan keragaman. Namun di sisi lain, kepastian hukum tetap menjadi prinsip penting yang perlu diperhatikan di tengah-tengah perspektif keberagaman sistem hukum tersebut. Inilah  tantangan kajian pluralisme hukum saat ini dan di masa mendatang.

Pada akhirnya, keberhasilan pluralisme hukum dalam pembentukan hukum maupun pengembangan hukum memerlukan prasyarat, yaitu political will dari instansi terkait, seperti Pemerintah, DPR, DPRD, dan institusi peradilan (MA dan MK) untuk mengimplementasikan kajian pluralisme hukum dalam ‘produk’ lembaga mereka. Hal utama adalah bagaimana produk tersebut mengakomodasi pluralitas sistem normatif tanpa menghilangkan esensi kepastian hukum di dalamnya. Tulisan singkat ini hanya sebagai pembuka diskusi, oleh karenanya tidak hendak menjawab seluruh permasalahan yang ada.

[1] Meminjam istilah yang diungkapkan oleh Prof Soetandyo Wignjosoebroto, lihat Myrna A. Safitri (Ed), Untuk Apa Pluralisme Hukum ?: Konsep, Regulasi, Negosiasi dalam Konflik Agraria di Indonesia (Jakarta: Epistema Institut, 2011), hlm. 4.

[2] Ibid.

[3] Tamanaha, B. Z. 2008, “Understanding legal pluralism: past to present, local to global”. Sydney Law Review 30: 375-411 sebagaimana dikutip dalam Marcus Colchester dan Sophie Chao, ed, Beragam Jalur Menuju Keadilan: Pluralisme Hukum dan Hak-Hak Masyarakat Adat di Asia Tenggara (Jakarta: Epistema Institute, 2012), hlm. xi.

[4] Griffiths, J. 1986, “What is legal pluralism?” Journal of Legal Pluralism: 6-8 sebagaimana dikutip dalam ibid., hlm. xii.

[5] Dasar hukum pembentukan Qanun di Aceh adalah UU No. 18 Tahun 2001 tentang Pemerintahan Aceh. Melalui pranata otonomi khusus yang berlaku di Aceh, Pemerintah Daerah Aceh mengintegrasikan hukum syariah (islam) dan hukum adat dalam Qanun.

[6] Sebagai contoh, pembentukan majelis dan dewan adat Dayak di Kalimantan

[7] Lidwina Inge Nurtjahyo, Menelusuri perkembangan kajian pluralisme hukum di Indonesia dalam Untuk Apa…, hlm. 50.

[8] Hasil lengkap dari survey tersebut adalah sebagai berikut: (a) urusan perdata umum menjadi pilihan bidang yang harus mengadopsi pluralisme hukum dan menjadi prioritas di kalangan mahasiswa, birokrat, dan penegak hukum; (b) bagi kalangan dosen, urusan adat lah yang menjadi prioritas (31%); (c) di kalangan organisasi rakyat, prioritas adalah urusan penguasaan tanah (24%); dan (d) pada kalangan aktivis LSM, pengarusutamaan ada dalam bidang pengelolaan lingkungan dan sumber daya alam (27%).  Hasil lengkap dapat dibaca dalam ibid., hlm. 14-15.