POLITISI gaek Amien Rais kembali membuat berita. Dalam pernyataannya usai mengikuti Gerakan Indonesia Shalat Subuh Berjamaah di Masjid Baiturrahim, Mampang Prapatan, Jakarta Selatan pada Jumat (13/4), Amien memetakan kekuatan partai politik Indonesia sekarang berdasarkan dikotomi: partai Allah (hizbullah) dan partai setan (hizbusyaithon). Mantan Ketua PP Muhammadiyah itu menjelaskan bahwa PKS, Gerindra dan PAN adalah partai politik yang masuk dalam hizbullah. Sedang partai politik mana saja yang masuk dalam hizbusyaithon, Amien emoh menyebutkannya. Insiatif penggunaan nama hizbullah sebagai entitas politik mulai muncul di era kekuasaan Jepang. Ceritanya, pada 13 September 1943 sepuluh ulama (K.H. Mas Mansyur, K.H. Adnan, Dr.Abdul Karim Amrullah, K.H. Mansur, K.H. Mochtar, K.H. Chalid, K.H. Abdul Madjid, K.H. Jacub, K.H. Djunaedi dan K.H. Sodri) mengajukan permohonan kepada Saiko Shikikan (Panglima Tentara Jepang di Indonesia) agar umat Islam diizinkan membentuk “Barisan Penjaga Pulau Jawa” guna menghadapi serangan Inggris, Amerika Serikat dan Belanda. “Barisan ini rencananya akan diatur menurut ketentuan Islam,” ujar Abdul Qadir Djaelani. Berbeda dengan pengajuan pendirian pasukan PETA (Pembela Tanah Air) oleh tokoh nasionalis Gatot Mangkupradja yang langsung disetujui, pembentukan sebuah milisi Islam tidak langsung diamini oleh pemerintah militer Jepang. Alih-alih diterima, menurut pengamat sejarah Zainul Milal Bizawie usul tersebut malah cenderung mendapat penolakan. Situasi itu menimbulkan kekecewaan di kalangan para tokoh Islam. “Karena sudah lama para kiyai, ulama dan para santri menginginkan terbentuknya suatu barisan sukarela dari kalangan Islam mengingat dalam kajian-kajian di pesantren membela tanah air merupakan sebagian dari pada iman,” ungkap Bizawie dalam Laskar Ulama-Santri dan Resolusi Jihad: Garda Depan Menegakan Indonesia (1945-1949). Namun perkembangan-perkembangan situasi menjadikan Jepang merubah kebijakan. Tidak adanya kemajuan signifikan dari pergerakan militer mereka di palagan Pasifik dan munculnya pemberontakan besar kalangan kiyai dan santri pimpinan K.H. Zaenal Moestofa di Singaparna pada Februari 1944, membuat Jepang memperlunak sikap terhadap kalangan Islam. Maka pada 8 Desember 1944 secara resmi pemerintahan militer Jepang mengumumkan terbentuknya pasukan khusus sukarela Islam, di bawah koordinasi Masyumi (Majelis Syura Muslimin Indonesia). “Kesatuan sukarela khusus Islam itu dinamakan Hizbullah atau Tentara Allah, dengan format sebagai korps cadangan untuk kesatuan PETA,” ujar Bizawie. Awal Januari 1945, Masyumi mengumumkan terbentuknya Dewan Pengurus Pusat Hizbullah yang dipimpin oleh K.H. Zaenal Arifin dan Muhammad Roem sebagai wakilnya. Sebagai komandan dan wakil komandan pelatihan, diangkatlah K.H. Mas Mansyur dan Prawoto Mangkusasmito. “Atas persetujuan militer Jepang, pusat pelatihan Hizbullah yang pertama dibentuk di kawasan Cibarusa, Bogor,” ungkap Abdul Qadir Djaelani. Kamp Cibarusa didirikan untuk melahirkan opsir-opsir Hizbullah yang pertama. Pada tahap awal sekira 500 pemuda Islam (berusia antara 18-21 tahun) dari 25 Keresidenan di Jawa dan Madura telah mendaftar sebagai peserta. Mereka lantas dididik dengan ilmu-ilmu kemiliteran dan doktrin-doktrin keislaman oleh para kiyai yang sebelumnya telah masuk PETA. Para instruktur ini menjalankan kerja-kerjanya di bawah supervisi seorang perwira Jepang berpengalaman. Namanya Kapten Yanagawa. Berbeda dengan pendidikan PETA yang menyertakan kegiatan seikerei (ritual penghormatan tehadap Kaisar Jepang dengan cara membungkukkan badan ke matahari terbit), maka di Kamp Cibarusa kegiatan tersebut ditiadakan. Sebagai gantinya maka setiap apel, para siswa Kamp Cibarusa menghadap ke arah barat, kiblat umat Islam, sambil meneriakan takbir sebanyak tiga kali. Setelah 3,5 bulan menjalani pendidikan yang sangat ketat, maka 500 pemuda Islam tersebut dinyatakan lulus. Mereka kemudian disebar ke berbagai tempat di pulau Jawa dan Madura guna mendirikan kesatuan-kesatuan Hizbullah. Bahkan menurut C. van Dijk dalam Darul Islam, Sebuah Pemberontakan alumni-alumni Cibarusa ada juga yang sampai mendirikan kesatuan Hizbullah di Kalimantan dan Sumatera. Menurut sejarawan George Mc T. Kahin, selama hampir sepanjang tahun pertama berdirinya Republik Indonesia, Hizbullah berhasil mengumpulkan antara 20-25 ribu pemuda bersenjata yang kemudian diorganisasi dalam unit-unit batalyon. “Hizbullah dikelola di bawah pimpinan Maysumi, kendati dalam kenyataannya hubungan antara pimpinan Masyumi dan komandan Hisbullah seringkali sangat renggang,” tulis Kahin dalam Nationalism and Revolution in Indonesia. Baca juga: Jimat Perang Tentara Sukarela
BerandaSejarah Indonesia 11Sejarah Berdirinya Hizbullah Pada Masa Pendudukan Jepang (Tugas dan Tujuan)
Pada tanggal 7 September 1944, PM Jepang, Kaiso mengeluarkan janji tentang kemerdekaan untuk Indonesia. Sementara keadaan di medan perang, Jepang mengalami berbagai kekalahan. Jepang mulai merasakan berbagai kesulitan. Keadaan tersebut memicu Jepang untuk menambah kekuatan yang telah ada. Jepang merencanakan untuk membentuk pasukan cadangan khusus dan pemuda-pemuda Islam sebanyak 40.000 orang. Rencana Jepang untuk membentuk pasukan khusus Islam tersebut, cepat tersebar di tengah masyarakat. Rencana ini segera mendapat sambutan positif dari tokoh-tokoh Masyumi, sekalipun motivasinya berbeda. Begitu pula para pemuda Islam lainnya, mereka menyambut dengan penuh antusias. Bagi Jepang, pasukan khusus Islam itu digunakan untuk membantu memenangkan perang, tetapi bagi Masyumi pasukan itu digunakan untuk persiapan menuju cita-cita kemerdekaan Indonesia. Berkaitan dengan hal itu maka para pemimpin Masyumi mengusulkan kepada Jepang untuk membentuk pasukan sukarelawan yang khusus terdiri atas pemuda-pemuda Islam. Oleh karena itu, pada tanggal 15 Desember 1944 berdiri pasukan sukarelawan pemuda Islam yang dinamakan Hizbullah (Tentara Allah) yang dalam istilah Jepangnya disebut Kaikyo Seinen Teishinti. Tugas pokok Hizbullah adalah sebagai berikut: 1) Sebagai tentara cadangan dengan tugas: a) melatih diri jasmani maupun rohani dengan segiat-giatnya, b) membantu tentara Dai Nippon, c) menjaga bahaya udara dan mengintai mata-mata musuh, dan d) menggiatkan dan menguatkan usaha-usaha untuk kepentingan perang. 2) Sebagai pemuda Islam, dengan tugas: a) menyiarkan agama Islam, b) memimpin umat Islam agar taat menjalankan agama, dan c) membela agama dan umat Islam Indonesia. Untuk mengoordinasikan program dan kegiatan Hizbullah, maka dibentuk pengurus pusat Hizbullah. Ketua pengurus pusat Hizbullah adalah KH. Zainul Arifin, dan wakilnya adalah Moh. Roem. Anggota pengurusnya antara lain, Prawoto Mangunsasmito, Kiai Zarkasi, dan Anwar Cokroaminoto. Setelah itu, dibuka pendaftaran untuk anggota Hizbullah. Pada tahap pertama pendaftaran melalui Syumubu (kantor Agama). Setiap keresidenan diminta mengirim 25 orang pemuda Islam, rata-rata mereka para pemuda berusia 17-25 tahun. Berdasarkan usaha tersebut, terkumpul 500 orang pemuda. Para anggota Hizbullah ini kemudian dilatih secara kemiliteran dan dipusatkan di Cibarusa, Bogor, Jawa Barat. Pada tanggal 28 Februari 1945, latihan secara resmi dibuka oleh pimpinan tentara Jepang. Pembukaan latihan ini dihadiri oleh pengurus Masyumi, seperti K.H. Hasyim Asyari, K.H. Wahid Hasyim, dan Moh. Natsir. Dalam pidato pembukaannya, pimpinan tentara Jepang menegaskan bahwa para pemuda Islam dilatih agar menjadi kader dan pemimpin barisan Hizbullah. Tujuannya adalah agar para pemuda dapat mengatasi kesukaran perang dengan hati tabah dan iman yang teguh. Para pelatihnya berasal dari komandan-komandan Peta dan di bawah pengawasan perwira Jepang, Kapten Yanagawa Moichiro (pemeluk Islam, yang kemudian menikah dengan seorang putri dari Tasik). Latihan dilakukan di Cibarusa selama tiga setengah bulan. Program latihannya di samping keterampilan fisik kemiliteran, juga dalam bidang mental rohaniah. Keterampilan fisik kemiliteran dilatih oleh para komandan Peta, sedangkan bidang mental kerohanian dilatih oleh K.H. Mustafa Kamil (bidang kekebalan), K.H. Mawardi (bidang tauhid), K.H. Abdul Halim (bidang politik), dan Kiai Tohir Basuki (bidang sejarah). Sementara itu, sebagai ketua asrama adalah K.H. Zainul Arifin. Latihan di Cibarusa berhasil membina kader-kader pejuang yang militan. Pelatihan itu juga menumbuhkan semangat nasionalisme para kader Hizbullah. Setelah selesai pelatihan, mereka kembali ke daerah masing-masing untuk membentuk cabang-cabang Hizbullah beserta program pelatihannya. Dengan demikian, berkembanglah kekuatan Hizbullah di berbagai daerah. Para anggota Hizbullah menyadari bahwa tanah Jawa adalah pusat pemerintahan tanah air Indonesia maka harus dipertahankan. Apabila Jawa yang merupakan garis terdepan diserang musuh, Hizbullah akan mempertahankan dengan penuh semangat. Semangat ini tentu pada hakikatnya bukan karena untuk membantu Jepang, tetapi demi tanah air Indonesia. Jika Barisan Pelopor disebut sebagai organisasi semimiliter di bawah naungan Jawa Hokokai, maka Hizbullah merupakan organisasi semimiliter berada di bawah naungan Masyumi. |