Orang yang serakah tidak pernah merasa puas dengan kekayaan yang

Ilustrasi Dok Medium

Apa sebenarnya yang menjadi sumber persoalan dan petaka yang terus menghantui kehidupan di masyarakat atau suatu bangsa? Salah satu jawaban yang layak diajukan adalah sifat tamak, atau hasrat berkuasa, dan nafsu posesif yang tak terkendali dalam diri manusia. Tamak adalah sikap rakus terhadap hal-hal yang bersifat kebendaan tanpa memperhitungkan mana yang halal dan haram. Sifat ini sebagai sebab timbulnya rasa dengki, hasud, permusuhan, serta perbuatan keji dan munkar lainnya. Korupsi, pembegalan, perampokan, penipuan, dan perilaku lacur lainnya bermuara pada ketamakan.

Serakah atau tamak merupakan sikap yang selalu ingin memperoleh sesuatu yang banyak untuk diri sendiri atau kelompoknya. Sudah menjadi suratan, lazimnya orang tamak selalu mengharap pemberian orang lain yang sebanyak-banyaknya, namun dia sendiri justru bersikap pelit atau bakhil. Orang yang tamak selalu merasa bahwa harta kekayaan yang dimilikinya selalu kurang dan berat untuk bersyukur kepada Allah SwT. Rakus atau tamak (al-hirshu) atau (ath-thama’u) yaitu suatu sikap yang tidak pernah merasa cukup, sehingga selalu ingin menambah apa yang seharusnya ia miliki, tanpa memperhatikan hak-hak orang lain.

Rasulullah menggambarkan sikap rakus dengan sangat tandas: “Jika anak Adam memiliki satu lembah emas dia akan mencari agar menjadi dua lembah dan tidak ada yang akan menutup mulutnya melainkan tanah. Dan Allah menerima taubat orang yang bertaubat.” (HR Al-Bukhari dan Muslim). Tamak merupakan tabiat pada kebanyakan manusia yang amat mencintai harta benda. Jika memiliki harta benda, maka ia takut bila kehilangan sebagian dari hartanya dan berhasrat untuk menambah lebih banyak lagi.

Ungkapan tentang bahaya sikap tamak dikemukakan oleh Ibnu Taimiyah, bahwa rakusnya seseorang terhadap harta benda dan kedudukan akan merusak agamanya dan kerusakan ini lebih dahsyat dibanding kerusakan dua serigala yang sedang lapar terhadap kambing yang menyen diri. Kalimat bijak lainnya datang dari Mahatma Gandhi, “Bumi mampu mencukupi semua kebutuhan seluruh manusia, tetapi tidak mampu mencukupi kerakusan seorang manusia.” Begitulah, tamak dapat menyebabkan seseorang lupa menyembah kepadaNya, dapat berlaku kikir, memeras serta merampas hak-hak orang lain.

Secara moral Islam menganjurkan untuk mencari harta sebagai bekal hidup di dunia seolah-olah hidup ini tidak akan berakhir. Dengan kekayaan, seseorang bisa membantu orang lain, mengentaskan mereka dari kemiskinan dan ketidakberdayaan. Begitu juga dengan kekuasaan seseorang bisa membuat aturan yang jauh lebih baik, bisa membantu masyarakat kecil yang teraniaya secara hukum. Namun harta dan kekuasaan harus dicapai dengan cara benar dan halal serta digunakan untuk kepentingan dan kesejahteraan bersama. Hanya orang yang rakus sajalah yang ingin dan ingin terus menumpuk harta tanpa memikirkan nasib orang sekitarnya.

Rasulullah saw mengingatkan, “Hai manusia, berbaik-baiklah dalam mencari (nafkah), karena sesungguhnya hamba tidak mendapatkan (sesuatu), kecuali apa yang telah ditakdirkan padanya.” Tindakan yang rakus termasuk akhlak buruk terhadap Allah. Ini berarti peringatan kepada manusia, agar tidak terlalu mengejar nafkah yang seharusnya bukan milikinya.

Ketamakan terhadap harta hanyalah akan menghasilkan sifat buas, laksana serigala yang terus mengejar dan memangsa buruannya walaupun harta itu bukan haknya. Fitrah manusia memang sangat mencintai harta kekayaan dan berhasrat keras mendapatkannya sebanyak mungkin dengan segala cara dan usaha.

Untuk menghindari sifat tamak dapat dilakukan dengan selalu meminta pertolongan Allah supaya dijauhkan dari sifat serakah, sederhana dalam memenuhi kebutuhan hidup dan hemat dalam biaya hidup, jangan merasa cemas berlebihan terhadap kejadian di masa datang, puas terhadap apa yang dimiliki, serta meneladani orang-orang yang mulia yang mampu menjauhi sifat serakah.

Selanjutnya, agar tidak dikendalikan nafsu serakah terhadap dunia, membiasakan hidup dengan sifat wara’ (hati-hati), qanaah (merasa puas atas apa yang telah dianugerahkan Allah), membiasakan berempati terhadap kehidupan masyarakat bawah, serta pandai mensyukuri nikmat yang ada. “Dan (ingatlah juga), tatkala Tuhanmu memaklumkan: Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti Kami akan menambah (nikmat) kepadamu, dan jika kamu mengingkari (nikmatKu), Maka Sesungguhnya azab-Ku sangat pedih”. (Qs Ibrahim [14]: 7).

Mutohharun Jinan, Pengajar di Fakultas Agama Islam Universitas Muhammadiyah Surakarta

Artikel ini pernah dimuat di Majalah SM Edisi 11 Tahun 2015

MANUSIA SANGAT TAMAK DAN RAKUS TERHADAP HARTA DAN JABATAN

Oleh
Al-Ustadz Yazid bin Abdul Qadir Jawas حفظه الله

عَنْ كَعْبِ بْنِ مَالِكٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ : قَالَ رَسُوْلُ اللهِ  صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ  مَا ذِئْبَانِ جَائِعَانِ أُرْسِلَا فِيْ غَنَمٍ بِأَفْسَدَ لَهَا مِنْ حِرْصِ الْمَرْءِ عَلَى الْمَالِ وَالشَّرَفِ لِدِيْنِهِ

Dari Ka’ab bin Mâlik Radhiyallahu anhu ia berkata, “Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Dua serigala yang lapar yang dilepas di tengah kumpulan kambing, tidak lebih merusak dibandingkan dengan sifat tamak manusia terhadap harta dan kedudukan yang sangat merusak agamanya.”

TAKHRIJ HADITS
Hadits ini shahih. Diriwayatkan oleh at-Tirmidzi, no. 2376; Ahmad (III/456, 460); Ad-Darimi (II/304); Ibnu Hibban (no. 3218–At-Ta’lîqâtul Hisân) ; Ath-Thabrani dalam Mu’jamul Kabîr (XIX/96, no. 189) dan lainnya.

Hadits ini dishahihkan oleh at-Tirmidzi, Ibnu Hibban, dan lainnya. Lihat Shahîh at-Targhîb wat Tarhîb (no. 1710 dan 3250)

SYARAH HADITS
Di dalam hadits ini Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengabarkan bahwa ketamakan manusia terhadap harta dan jabatan pasti akan merusak agamanya. Ketamakan manusia kepada harta dan kepemimpinan akan membawa kepada kezhaliman, kebohongan dan perbuatan keji. Bahkan menghalalkan segala cara untuk mencapai tujuannya.

Tamak Terhadap Harta
Manusia sangat mencintai harta dan akan terus senantiasa mencarinya, tidak merasa puas dengan yang sedikit, manusia sangat tamak kepada harta dan panjang angan-angan.

Allâh Azza wa Jalla berfirman:

وَتُحِبُّونَ الْمَالَ حُبًّا جَمًّا

Dan kamu mencintai harta dengan kecintaan yang berlebihan. [Al-Fajr/89:20]

وَإِنَّهُ لِحُبِّ الْخَيْرِ لَشَدِيدٌ

Dan sesungguhnya cintanya kepada harta benar-benar berlebihan. [Al-‘Âdiyât/100:8]

Hati orang tua menjadi pemuda karena dua hal, yaitu cinta dunia dan panjang angan-angan. Dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

قَلْبُ الشَّيْخِ شَابٌّ عَلَىٰ حُبِّ اثْنَتَيْنِ : طُوْلُ الْـحَيَاةِ وَحُبُّ الْمَالِ

Hati orang yang tua renta senantiasa muda dalam mencintai dua perkara: hidup yang panjang dan cinta terhadap harta.[1]

Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda:

يَكْبَرُ ابْنُ آدَمَ وَيَكْبَرُ مَعَهُ اثْنَانِ: حُبُّ الْمَالِ وَطُولُ الْعُمُرِ

Anak Adam (manusia) semakin tua dan menjadi besar juga bersamanya dua hal: cinta harta dan panjang umur.[2]

Hikmah dari penyebutan dua hal tersebut yaitu bahwa yang paling dicintai oleh manusia adalah dirinya, ia ingin hidup kekal, maka itu ia mencintai panjang umur. Manusia juga mencintai harta, karena harta merupakan sebab terbesar untuk senantiasa sehat, yang menjadi salah satu sebab panjang umur. Jadi setiap ia merasa hartanya akan habis, bertambah kuatlah kecintaannya kepadanya.

Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

اِقْتَرَبَتِ السَّاعَةُ وَلَا يَزْدَادُ النَّاسُ عَلَى الدُّنْيَا إِلَّا حِرْصًا، وَلَا يَزْدَادُوْنَ مِنَ اللهِ إِلَّا بُعْدًا

Hari Kiamat semakin dekat, dan tidak bertambah (kemauan) manusia kepada dunia melainkan semakin rakus, dan tidak bertambah (kedekatan) mereka kepada Allâh melainkan semakin jauh.[3]

Allâh Azza wa Jalla berfirman tentang manusia:

لَا يَسْأَمُ الْإِنْسَانُ مِنْ دُعَاءِ الْخَيْرِ وَإِنْ مَسَّهُ الشَّرُّ فَيَئُوسٌ قَنُوطٌ

Manusia tidak jemu memohon kebaikan, dan jika ditimpa malapetaka, mereka berputus asa dan hilang harapannya.”[Fush-shilat/41: 49]

Al-Baghawi rahimahullah berkata tentang ayat ini, “Manusia senantiasa meminta kebaikan kepada Rabb-nya, yaitu harta, kekayaan, dan kesehatan.”[4]

Allâh Azza wa Jalla juga berfirman,

بَلْ يُرِيدُ الْإِنْسَانُ لِيَفْجُرَ أَمَامَهُ

Tetapi manusia hendak membuat maksiat terus menerus. [Al-Qiyâmah/75:5]

Sa’id bin Jubair rahimahullah berkata, “Mereka cepat berbuat dosa dan menunda-nunda taubat. Mereka berkata, ‘Saya akan bertaubat, saya akan beramal.’ (Tetapi mereka tidak melakukannya-pent) sampai akhirnya kematian datang kepada mereka dalam keadaan mereka yang paling jelek dan amalan yang paling buruk.”[5]

Panjang angan-angan, merasa masih berusia panjang adalah penyakit berbahaya dan kronis bagi manusia. Jika penyakit ini menjangkiti seorang Muslim, maka itu akan membawa kepada indikasi yang lebih serius. Misalnya ia mulai menjauhi perintah Allâh Azza wa Jalla , enggan bertaubat, cinta kepada dunia, lupa akan kehidupan akhirat yang abadi, dan membuat hati menjadi keras. Allâhul Musta`ân.

Manusia tidak akan pernah puas terhadap apa yang sudah diperolehnya. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

لَوْ أَنَّ لِابْنِ آدَمَ وَادِيًا مِنْ ذَهَبٍ أَحَبَّ أَنْ يَكُونَ لَهُ وَادِيَانِ، وَلَنْ يَمْلَأَ فَاهُ إِلَّا التُّرَابُ، وَيَتُوبُ اللهُ عَلَى مَنْ تَابَ

Sungguh, seandainya anak Adam memiliki satu lembah dari emas, niscaya ia sangat ingin mempunyai dua lembah (emas). Dan tidak akan ada yang memenuhi mulutnya kecuali tanah.’ Kemudian Allâh mengampuni orang yang bertaubat.[6]

Dari ‘Abbas bin Sahl bin Sa’ad, ia berkata, “Saya pernah mendengar Ibnu Zubair dalam khutbahnya di atas mimbar di Mekah berkata:

يَا أَيُّهَا النَّاسُ، إِنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يَقُوْلُ: لَوْ أَنَّ ابْنَ آدَمَ أُعْطِيَ وَادِيًا مَلْأً مِنْ ذَهَبٍ، أَحَبَّ إِلَيْهِ ثَانِيًا، وَلَوْ أُعْطِيَ ثَانِيًا أَحَبَّ إِلَيْهِ ثَالِثًا، وَلَا يَسُدُّ جَوْفَ ابْنِ آدَمَ إِلَّا التُّرَابُ، وَيَتُوْبُ اللهُ عَلَى مَنْ تَابَ.

Wahai manusia! Sesungguhnya Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ‘Sungguh, seandainya anak Adam diberikan satu lembah yang penuh dengan emas, pasti dia akan ingin memiliki lembah yang kedua, dan jika seandainya dia sudah diberikan yang kedua, pasti dia ingin mempunyai yang ketiga. Tidak ada yang dapat menutup perut anak Adam kecuali tanah, dan Allâh Subhanahu wa Ta’ala menerima taubat bagi siapa saja yang bertaubat.’[7]

Dua hadits ini menjelaskan bahwa manusia sangat tamak dan rakus kepada harta, meskipun hartanya sudah melimpah ruah. Diumpakan, ia memiliki satu lembah emas, tetap saja ia ingin dua lembah emas, kalau sudah memiliki dua lembah emas atau harta yang banyak, maka tetap dia tamak dan berambisi untuk memiliki tiga lembah emas. Dan tidak ada yang dapat mencegah keserakahan manusia, ambisinya dan angan-angannya kecuali kematian. Oleh karena itu di dalam hadits ini, manusia  disuruh bertaubat kepada Allâh Azza wa Jalla atas ketamakannya dan keserakahannya. Dan Allâh Subhanahu wa Ta’ala akan menerima orang yang bertaubat dengan taubat yang ikhlas, jujur, dan benar.

Allâh Azza wa Jalla berfirman:

أَلْهَاكُمُ التَّكَاثُرُ ﴿١﴾ حَتَّىٰ زُرْتُمُ الْمَقَابِرَ ﴿٢﴾ كَلَّا سَوْفَ تَعْلَمُونَ ﴿٣﴾ ثُمَّ كَلَّا سَوْفَ تَعْلَمُونَ ﴿٤﴾ كَلَّا لَوْ تَعْلَمُونَ عِلْمَ الْيَقِينِ ﴿٥﴾ لَتَرَوُنَّ الْجَحِيمَ ﴿٦﴾ ثُمَّ لَتَرَوُنَّهَا عَيْنَ الْيَقِينِ﴿٧﴾ ثُمَّ لَتُسْأَلُنَّ يَوْمَئِذٍ عَنِ النَّعِيمِ

Bermegah-megahan telah melalaikan kamu, sampai kamu masuk ke dalam kubur. Sekali-kali tidak! Kelak kamu akan mengetahui (akibat perbuatanmu itu), kemudian sekali-kali tidak! Kelak kamu akan mengetahui. Sekali-kali tidak! Sekiranya kamu mengetahui dengan pasti, niscaya kamu benar-benar akan melihat neraka Jahim, kemudian kamu benar-benar akan melihatnya dengan mata kepala sendiri, kemudian kamu benar-benar akan ditanya pada hari itu tentang kenikmatan (yang megah di dunia itu).” [At-Takâtsur/102: 1-8]

Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

يَـقُوْلُ ابْنُ آدَمَ : مَالِـيْ ، مَالِـيْ ، وَهَلْ لَـكَ يَا ابْنَ آدَمَ مِنْ مَالِكَ إِلَّا مَا أَكَلْتَ فَأَفْنَيْتَ ، أَوْ لَبِسْتَ فَأَبْلَيْتَ ، أَوْ تَصَدَّقْتَ فَأَمْضَيْتَ

Anak Adam berkata, ‘Hartaku! Hartaku!’ Tidaklah harta yang engkau miliki melainkan apa yang telah engkau makan lalu habis, atau apa yang engkau kenakan lalu usang, atau apa yang engkau sedekahkan lalu engkau biarkan.[8]

Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda :

يَقُوْلُ الْعَبْدُ : مَالِـيْ ، مَالِـيْ ، إِنَّمَا لَـهُ مِنْ مَالِهِ ثَلَاثٌ : مَا أَكَلَ فَأَفْنَى ، أَوْ لَبِسَ فَأَبْلَـى ، أَوْ أَعْطَى فَاقْتَنَى ، وَمَا سِوَى ذٰلِكَ فَهُوَ ذَاهِبٌ وَتَارِكُهُ لِلنَّاسِ.

Seorang hamba berkata, ‘Hartaku! Hartaku! Sesungguhnya ia hanya memiliki tiga hal dari hartanya: apa yang telah ia makan lalu habis, atau apa  yang ia kenakan lalu usang, atau apa yang ia berikan lalu ia simpan untuk akhiratnya. Adapun selain itu, maka ia akan pergi dan ditinggalkannya untuk orang lain.”[9]

Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam menyebutkan dalam hadits ini tentang harta manusia yang dia kumpulkan atau yang ia simpan. Harta manusia yang sebenarnya adalah yang ia sedekahkan. Apa saja yang ia makan dan pakai pasti akan habis. Adapun harta yang ia kumpulkan dan ia simpan itu sama sekali bukan miliknya. Jika ia meninggal dunia, maka seluruh hartanya yang ia simpan dan kumpulkan itu menjadi milik ahli warisnya, bukan miliknya lagi. Yang menjadi miliknya di akhirat hanyalah yang ia sedekahkan.

Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

أَيُّكُمْ مَالُ وَارِثِهِ أَحَبُّ إِلَيْهِ مِنْ مَالِهِ ؟ قَالُوْا : يَا رَسُوْلَ اللهِ مَا مِنَّا أَحَدٌ إِلَّا مَالُهُ أَحَبُّ إِلَيْهِ، قَالَ : فَإِنَّ مَالَهُ مَا قَدَّمَ وَمَالَ وَارِثِهِ مَا أَخَّرَ.

Siapakah di antara kalian yang lebih mencintai harta ahli warisnya daripada hartanya sendiri? Mereka menjawab, ”Ya Rasûlullâh! Tidak ada seorang pun diantara kami melainkan lebih mencintai hartanya sendiri.” Lalu Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ”Sesungguhnya hartanya sendiri itu ialah apa yang telah dipergunakannya (disedekahkannya) dan harta ahli warisnya ialah apa yang ditinggalkannya.”[10]

Dalam hadits lain, Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengingatkan kepada kita tentang fitnah harta yang banyak membinasakan manusia. Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

إِنَّ لِكُلِّ أُمَّةٍ فِتْنَةً وَفِتْنَةُ أُمَّتِيْ الْـمَـالُ

Setiap ummat memiliki fitnah (ujian), dan fitnah ummatku adalah harta.[11]

Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda :

إِنَّمَا أَهْلَكَ مَـنْ كَـانَ قَبْلَكُمُ الدِّيْنَارُ وَالدِّرْهَمُ، وَهُمَا مُهْلِكَاكُمْ

Sesungguhnya dinar dan dirham telah membinasakan orang-orang sebelum kalian dan keduanya juga membinasakan kalian.[12]

Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam menyebutkan bahwa harta adalah fitnah, maka wajib bagi kita untuk waspada. Jangan sampai harta itu membinasakan kita. Allâh Azza wa Jalla menurunkan harta agar manusia melaksanakan ibadah kepada Allâh Azza wa Jalla . Seorang Muslim dan Muslimah wajib menggunakan hartanya untuk mendekatkan diri kepada Allâh Subhanahu wa Ta’ala menurut cara yang sesuai dengan syari’at Islam, seperti mengeluarkan zakatnya, menginfakkan dan menyedekahkannya kepada fakir miskin, membantu dakwah yang sesuai sunnah, membangun masjid, membantu pondok pesantren ahlus sunnah, menunaikan ibadah haji dan umrah, menolong orang-orang yang susah, dan lainnya.

Adapun orang yang tamak kepada harta dan tidak menggunakannya di jalan Allâh Subhanahu wa Ta’ala , maka orang yang demikian pasti celaka dan binasa. Ia akan mengalami kesusahan di dunia dan akhirat.

Penggila harta dan pecinta dunia yang lebih mengutamakan dunia daripada akhirat adalah orang yang paling bodoh dan paling idiot. Sebab, ia lebih mengutamakan khayalan daripada kenyataan, lebih mengutamakan tidur daripada terjaga, lebih mengutamakan bayang-bayang yang segera hilang daripada kenikmatan yang kekal, lebih mengutamakan rumah yang segera binasa daripada tempat tinggal yang kekal,  dan menukar kehidupan yang abadi nan nyaman dengan kehidupan yang tidak lebih dari sekedar mimpi atau bayang-bayang yang segera hilang.

Sesungguhnya orang yang cerdas tidak akan tertipu dengan hal-hal semacam itu. [13]

Imam Ibnul Qayyim rahimahullah berkata:

مُـحِبُّ الدُّنْيَا لَا يَنْفَكُّ مِنْ ثَلَاثٍ: هَمٌّ لَازِمٌ، وَتَعَبٌ دَائِمٌ، وَحَسْرَةٌ لَا تَنْقَضِى

Pecinta dunia tidak akan terlepas dari tiga hal: (1) Kesedihan (kegelisahan) yang terus-menerus, (2) Kecapekan (keletihan) yang berkelanjutan, dan (3) Penyesalan yang tidak pernah berhenti.[14]

Tamak Terhadap Jabatan Dan Kepemimpinan
Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam mencela orang yang mencintai jabatan dan kepemimpinan. Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

إِنَّكُمْ سَتَحْرِصُوْنَ عَلَى الْإِمَارَةِ، وَسَتَكُوْنُ نَدَامَةً يَوْمَ الْقِيَامَةِ، فَنِعْمَ الْمُرْضِعَةُ وَبِئْسَتِ الْفَاطِمَةُ

Sesungguhnya kalian akan berambisi kepada kempemimpinan. Dan hal itu nantinya akan jadi penyesalan pada hari Kiamat, maka kenikmatan (bayi) yang menyusu dan kejelekan (bayi) yang disapih.”[15]

Kenikmatan bayi yang menyusu maksudnya nikmat mendapat kedudukan, harta, kelezatan yang nyata dan tidak nyata ketika ia mendapatkan kepemimpinan tersebut. Dan kejelekan bayi yang disapih maksudnya ketika ia berpisah (lengser) dari kepemimpinan, apakah dengan sebab kematian atau dengan sebab lainnya, dan juga keburukan ketika mendapatkan hukuman di akhirat atas kepemimpinan tersebut.

Al-Muhallab rahimahullah berkata, “Ambisi manusia kepada jabatan dan kedudukan (kepemimpinan) merupakan sebab terjadinya peperangan di antara manusia sampai banyak orang yang terbunuh, harta mereka dirampas, kemaluan mereka diperkosa dan juga berbagai kerusakan besar terjadi di muka bumi dengan sebab ketamakan manusia kepada kepemimpinan.”[16]

Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam sudah mengingatkan manusia agar tidak tamak, tidak bercita-cita dan tidak berambisi kepada jabatan dan kekuasaan, karena kalau itu diberikan kepada orang yang tidak berhak menerimanya, atau kepada orang yang tidak mampu atau tidak jujur dan amanah, maka pasti akan terjadi kerusakan di muka bumi dan pemutusan silaturrahim.

Allâh Azza wa Jalla berfirman:

فَهَلْ عَسَيْتُمْ إِنْ تَوَلَّيْتُمْ أَنْ تُفْسِدُوا فِي الْأَرْضِ وَتُقَطِّعُوا أَرْحَامَكُمْ ﴿٢٢﴾ أُولَٰئِكَ الَّذِينَ لَعَنَهُمُ اللَّهُ فَأَصَمَّهُمْ وَأَعْمَىٰ أَبْصَارَهُمْ

Maka apakah sekiranya kamu berkuasa, kamu akan berbuat kerusakan di bumi dan memutuskan hubungan kekeluargaan? Mereka itulah orang-orang yang dikutuk Allâh; lalu dibuat tuli (pendengarannya) dan dibutakan penglihatannya. [Muhammad/47:22-23]

Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam sendiri tidak mau dijadikan sebagai raja. Dalam sebuah hadits, dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu berkata, “Jibril duduk menghadap Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam kemudian melihat ke arah langit, ternyata ada seorang Malaikat yang turun. Jibril Alaihissallam berkata, “Sesungguhnya Malaikat ini belum pernah turun (sebelum ini) sejak ia diciptakan. Ketika Malaikat tersebut turun, ia berkata,

يَا مُحَمَّدُ ، أَرْسَلَنِيْ إِلَيْكَ رَبُّكَ : أَفَمَلِكًا نَبِيًّا يَجْعَلُكَ ، أَوْ عَبْدًا رَسُوْلًا ؟

Wahai Muhammad! Rabbmu telah mengutusku kepadamu (untuk memberimu pilihan), apakah engkau ingin Allâh menjadikanmu sebagai seorang raja sekaligus nabi? Atau seorang hamba sekaligus rasul?”

Lalu Jibril berkata, “Tawadhu’lah (merendahlah) kepada Rabbmu, wahai Muhammad!” Maka Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab:

Baca Juga  Pintu-Pintu Kebaikan Dan Kewajiban Menjaga Lisan

بَلْ عَبْدًا رَسُوْلاً

Bahkan aku ingin menjadi hamba sekaligus rasul.[17]

Orang yang beriman dengan iman yang benar dan berakal sehat, maka dia tidak cinta kepada dunia dan tidak mau disibukkan dengan dunia, tidak suka dengan kedudukan dan jabatan, karena kecintaan manusia kepada jabatan atau kepemimpinan akan membawa kepada kerusakan.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata, “… Cinta kepada kepemimpinan (kedudukan atau jabatan) merupakan sumber kejahatan dan kezhaliman.”[18]

Orang-orang yang gila kepada harta, kedudukan, jabatan, dan cinta kepada dunia, mereka akan menyesal pada hari kiamat. Yaitu ketika mereka diberikan catatan amalnya dari sebelah kirinya. Semua kekuasaan, jabatan, dan hartanya tidak bermanfaat di akhirat. Allâh Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

وَأَمَّا مَنْ أُوتِيَ كِتَابَهُ بِشِمَالِهِ فَيَقُولُ يَا لَيْتَنِي لَمْ أُوتَ كِتَابِيَهْ ﴿٢٥﴾ وَلَمْ أَدْرِ مَا حِسَابِيَهْ ﴿٢٦﴾ يَا لَيْتَهَا كَانَتِ الْقَاضِيَةَ ﴿٢٧﴾ مَا أَغْنَىٰ عَنِّي مَالِيَهْ ﴿٢٨﴾ هَلَكَ عَنِّي سُلْطَانِيَهْ

Dan adapun orang yang kitabnya diberikan di tangan kirinya, maka dia berkata, “Alangkah baiknya jika kitabku (ini) tidak diberikan kepadaku. Sehingga aku tidak mengetahui bagaimana perhitunganku, Wahai, kiranya (kematian) itulah yang menyudahi segala sesuatu. Hartaku sama sekali tidak berguna bagiku. Kekuasaanku telah hilang dariku.” [Al-Hâqqah/69:25-29]

Jadi cinta harta, dunia, kedudukan, jabatan, dan lainnya akan merusak agama seseorang dan merusak kehormatannya. Kemudian akan menjadi penyesalan yang berkepanjangan sampai hari Kiamat. Inilah akibat orang yang mengutamakan dunia daripada akhirat. Padahal hidup ini untuk beribadah kepada Allâh Subhanahu wa Ta’ala .

Mudah-mudahan kita diberikan hidayah taufik untuk melaksanakan ibadah kepada Allâh Subhanahu wa Ta’ala dan ikhlas semata-mata karena-Nya.

Semoga Allâh menjadikan kita para hamba-Nya yang tujuan hidupnya akhirat dan tidak tertipu dengan dunia.

FAWAA’ID

  1. Dunia merupakan tempat ujian dan cobaan.
  2. Manusia dihiasi dengan kecintaan kepada harta, wanita, dan perhiasan dunia lainnya.
  3. Manusia sangat tamak kepada harta.
  4. Hati manusia senantiasa muda dengan cinta dunia dan panjang angan-angan.
  5. Manusia tidak pernah puas dengan apa yang diperolehnya.
  6. Harta merupakan fitnah bagi ummat Islam.
  7. Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak khawatir ummat Islam fakir, tapi Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam khawatir dibukakan pintu-pintu dunia kepada manusia sehingga mereka berlomba-lomba mencarinya.
  8. Harta banyak membinasakan manusia.
  9. Harta yang baik adalah yang dipegang dan dikuasai oleh orang yang shalih.
  10. Islam tidak melarang ummat Islam kaya, tapi kekayaan yang digunakan untuk mendekatkan diri kepada Allâh Azza wa Jalla dan beribadah kepada-Nya, serta digunakan untuk menegakkan agama Islam dan menolong kaum Muslimin.
  11. Manusia sangat ambisi dan serakah kepada jabatan dan kepemimpinan.
  12. Ketamakan dan ambisi manusia kepada jabatan dan kepemimpinan merupakan sumber kejahatan dan kezhaliman.
  13. Kerusakan yang ada di muka bumi di antaranya disebabkan keserakahan manusia kepada harta dan jabatan.
  14. Banyak di antara manusia yang diberikan kekayaan kemudian mereka menjadi sombong dan angkuh.
  15. Banyak juga di antara manusia yang diberikan kekuasaan atau jabatan, lalu mereka berbuat kezhaliman, kejahatan, dan memutuskan silaturrahim.
  16. Ketamakan manusia kepada harta dan jabatan akan merusak agama mereka, dan ini merupakan musibah yang besar.
  17. Ketamakan manusia kepada harta dan jabatan lebih sangat merusak agama dan kemuliaan seseorang daripada serigala yang menerkam sekumpulan kambing.
  18. Hadits ini sebagai peringatan bagi manusia agar berhati-hati dan zuhud terhadap dunia dan jabatan (jangan mengharap jabatan).
  19. Hadits ini menganjurkan untuk bertaubat kepada Allâh Azza wa Jalla dari segala macam perbuatan dosa dan maksiat dan dari ketamakan terhadap dunia sebelum datangnya kematian.
  20. Kita dianjurkan mengambil pelajaran dari kebinasaan ummat-ummat terdahulu dengan sebab harta dan wanita.
  21. Hendaknya seorang Muslim membekali dirinya di dunia dengan ilmu yang bermanfaat, melakukan amal-amal shalih, dan berlomba melakukan kebajikan dengan ikhlas dan ittiba’ sebagai bekal menuju kehidupan yang abadi, yakni akhirat.

MARAAJI’:

  1. Tafsîr al-Baghawi, cet. Daar Thaybah.
  2. Kutubus Sittah, Musnad Imam Ahmad, dan kitab hadits lainnya.
  3. Fat-hul Bâri, Darul Fikr.
  4. ‘Uddatush Shâbirîn wa Dzakhîratusy Syâkirîn, karya Ibnul Qayyim, tahqiq dan takhrij Syaikh Salim al-Hilali, dan tahqiq Isma’il bin Ghazi Marhaba, Daar ‘Alamil Fawa`id.
  5. Majmû’ Fatâwâ Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah.
  6. Ighâtsatul Lahafân min Mashâyidis Syaithâ
  7. Mawâridul Amân al-Muntaqa min Ighâtsatil Lahafâ
  8. Shahîh at-Targhîb wat tarhîb, Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Albani.
  9. Silsilah al-Ahâdîts ash-Shahîhah, Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Albani.
  10. Dunia Lebih Jelek Dari Bangkai Kambing, karya penulis, cet. Pustaka at-Taqwa.

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 07/Tahun XX/1437H/2016M. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196.Kontak Pemasaran 085290093792, 08121533647, 081575792961, Redaksi 08122589079] _______ Footnote

[1] Shahih: HR. Al-Bukhâri, no. 6420 dan Muslim, no. 1046 (114). Lafazh ini milik Muslim.


[2] Shahih: HR. Al-Bukhâri, no. 6421 dan Muslim, no. 1047, dari Anas bin Malik rahimahullah.
[3] Shahih: HR. Al-Hakim, IV/324 dari Ibnu Mas’ud Radhiyallahu anhu . Dishahihkan oleh Syaikh al-Albani dalam Silsilah al-Ahâdîts ash-Shahîhah, no. 1510
[4] Tafsîr al-Baghawi, IV/71, cet. Daar Thaybah.
[5] Tafsîr al-Baghawi, IV/513, cet. Daar Thaybah.
[6] Muttafaq ‘alaih: HR. Al-Bukhâri, no. 6439 dan Muslim, no. 1048
[7] Shahih: HR. Al-Bukhâri, no. 6438
[8]  Shahih: HR. Muslim, no. 2958, dari Abdullah bin asy-Syikhkhir Radhiyallahu anhu.
[9] Shahih: HR. Muslim, no. 2959, dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu
[10] Shahih: HR. Al-Bukhâri, no. 6442. Dari ’Abdullah bin Mas’ud Radhiyallahu anhu.
[11] Shahih: HR. At-Tirmidzi, no. 2336;  Ahmad, IV/160; Ibnu Hibban, no. 2470-al-Mawaarid), dan al-Hakim (IV/318). Lafazh ini milik at-Tirmidzi, beliau rahimahullah berkata, “Hadits ini hasan shahih.” Dari Sahabat Ka’ab bin ‘Iyadh Radhiyallahu anhu . Lihat Silsilah al-Ahâdîts ash-Shahîhah, no. 592
[12] Shahih: HR. Al-Bazzar, V/51, no. 1612 dengan sanad jayyid.
[13] Diringkas dari ‘Uddatush Shâbirîn wa Dzakhîratusy Syâkirîn, hlm. 355-356, karya Ibnul Qayyim, tahqiq dan takhrij Syaikh Salim al-Hilali, dan hlm. 434-435 tahqiq Isma’il bin Ghazi Marhaba, cet. Daar ‘Alamil Fawa`id.
[14] Ighâtsatul Lahafân (I/87-88) dan lihat Mawâridul Amân al-Muntaqa min Ighâtsatil Lahafân (hlm. 83-84).
[15] Shahih: HR. Al-Bukhâri, no. 7148
[16] Fat-hul Baari (XIII/126), cet. Darul Fikr.
[17] Shahih: HR. Ahmad, II/231 dan Ibnu Hibban (no. 2137-Mawâriduz Zham`aan). Dishahihkan oleh Syaikh al-Albani dalam Silsilah al-Ahâdîts ash-Shahîhah, no. 1002 dan Shahîh Mawâridhuz Zham`ân, no. 1290
[18] Majmû’ Fatâwâ, XVIII/162

Video yang berhubungan

Postingan terbaru

LIHAT SEMUA