Model PEMBELAJARAN yang cocok untuk siswa yang pasif

Oleh: Intan Khaerunnisa*

Pendidikan hak mutlak yang harus dimiliki oleh setiap individu, baik formal maupun non formal.

Di sekolah guru merupakan orang tua bagi siswa, yang mempunyai tanggung jawab akan kemajuan prestasi anak didik.

Mengajar sebuah mengorganisasikan hal-hal yang berhubungan dengan belajar, dapat dipandang sebagai usaha menciptakan situasi yang diharapkan agar anak dapat belajar dengan efektif.

Intan Khaerunnisa. Foto: Ist

Mewujudkan suasana belajar dan KBM agar peserta didik aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan dan keterampilan.

Dalam belajar mengajar merupakan masalah yang kompleks karena melibatkan berbagai faktor yang saling terkait satu sama lain. Dari sekian banyak faktor yang mempengaruhi proses dan hasil interaksi belajar mengajar terdapat dua faktor yang sangat menentukan, yaitu faktor guru sebagai subjek pembelajaran dan faktor peserta didik sebagai objek pembelajaran.

Tanpa ada faktor guru dan peserta didik dengan berbagai potensi kognitif, afektif dan psikomotorik tidak mungkin proses interaksi belajar mengajar di kelas atau di tempat lain dapat berlangsung dengan baik.

Setiap siswa memiliki karakter yang berbeda-beda dalam situasi yang sama. Anak didik dalam menerima pelajaran ada yang positif dan ada pula yang negatif. Apabila menerima secara positif maka anak akan memperhatikan, berbuat sesuatu yang baik, dan menerima sesuatu dengan baik. Sebaliknya, bila anak didik memiliki sikap negatif, maka anak didik akan mencela, menolak, dan tidak menyukainya.

Sebagai seorang guru itu harus memperhatikan karakteristik terhadap anak didiknya. Sebab guru harus mampu mengubah anak yang awalnya negatif dapat berubah menjadi positif. Anak yang selalu pasif, jika ditanya hanya diam dan tidak pernah mau bertanya meskipun sebenarnya belum memahami apa yang disampaikan guru. Karena anak yang semacam itu akan sulit diajak berkembang.

Karena anak disekolah merupakan tanggung jawab seorang guru, dan guru sebagai orang tua kedua bagi siswa. Maka dari itu guru harus mengubah siswa yang pasif menjadi lebih aktif di dalam maupun diluar kelas.

Mengajar bagi guru memang bukan pekerjaan mudah, bahkan bisa dikatakan rumit, karena guru harus mampu mengkondisikan siswa agar belajar aktif sehingga potensi dirinya dapat berkembang dengan maksimal.

Dengan belajar aktif, melalui partisipasi dalam setiap kegiatan pembelajaran akan terlatih dan terbentuk kompetensi kemampuan siswa untuk melakukan sesuatu yang positif, yang pada akhirnya akan membentuk keterampilan sebagai bekal hidupnya.

Seorang guru harus mampu memahami setiap karakteristik siswa, khususnya bagi siswa yang membutuhkan perhatian lebih didalam kegiatan belajar mengajar. Siswa yang selalu diam dan hanya mendengarkan apa yang disampaikan guru ketika KBM berlangsung, harus lebih kita perhatikan dengan tujuan agar anak tersebut dapat lebih aktif dan mampu diajak maju.

Anak yang cenderung pasif didalam kelas bukan berarti bodoh, tetapi mereka hanya merasa malu dan takut kepada teman yang lain, jika apa yang dilakukan itu salah dan akan ditertawakan.

Keaktifan belajar dipengaruhi oleh banyak faktor, baik yang datang dari dalam diri maupun yang datang dari liar diri. Pembelajaran tidak selamanya berjalan dengan mulus, kadang-kadang terjadi atau dijumpai hambatan, terutama berhubungan dengan adanya gejala pasif dari siswa tertentu dalam mengikuti kegiatan belajar.

Gejala semacam ini dapat mengganggu situasi kegiatan belajar. Jika keadaan tersebut dibiarkan, maka sasaran yang ingin dicapai terhambat. Munculnya interaksi pasif dalam kegiatan belajar disebabkan oleh faktor-faktor tertentu. Siswa yang menunjukkan masalah ini dapat memilih siswa yang bermasalah dalam belajarnya yang perlu mendapat bantuan.

Faktor yang menyebabkan anak pasif dalam belajar, faktor yang pertama dari dalam diri sendiri kurangnya kecakapan atau kemampuan, baik bakat maupun pengalaman belajar, kurang berminat terhadap materi pembelajaran yang dipelajari sehingga tidak ada dorongan untuk melakukan kegiatan belajar atau mendapat kesulitan dalam mempelajari materi pembelajaran tersebut.

Faktor yang kedua dari luar diri sendiri adanya masalah dilingkungan keluarga atau lingkungan teman-temannya.

Cara untuk mengatasi siswa yang pasif dalam pembelajaran memberi sentuhan pada titik peka anak sebagai orang tua sekaligus sebagai pendidik bagi anak, harus memiliki kesabaran untuk memulai menyentuh titik peka anak dengan memberi perhatian khusus pada hal-hal yang amat menarik perhatian anak dan juga mengembangkan rasa percaya diri anak.

Guru harus dapat membangkitkan rasa percaya diri anak karena percaya diri adalah motivasi bagi anak untuk melakukan tantangan bahwa dirinya itu bisa. Setelah itu memberikan pertanyaan atau stimulus kepada siswa dan memberikan penghargaan atau penghormatan kepada siswa yang bisa menjawab pertanyaan tersebut.

Menjadi seorang guru bukan pekerjaan mudah, karena selain menjadi orang tua juga menjadi pendidik bagi anak didiknya. Guru juga tidak hanya mentransferkan IPTEK tetapi juga mampu membentuk anak didik yang berkepribadian yang baik, memiliki keterampilan, cerdas dan spiritual.

Maka dari itu guru harus menciptakan suasana kelas yang menyenangkan, yang mampu membuat siswa menjadi aktif ketika KBM berlangsung.

Harus dilakukan guru terhadap anak didik yang pasif dikelas dengan cara memberikan perhatian khusus terhadap anak didiknya dan memberi kesempatan kepada mereka untuk berpartisipasi aktif bertanya sehingga proses belajar mengajar berjalan dengan lancar.

*Penulis Mahasiswi UMM

Menghasilkan lulusan berkualitas dan berkarakter mulia adalah dambaan banyak pihak, mulai kepala sekolah, guru, orang tua, hingga pemerintah. Untuk itu, berbagai cara dilakukan oleh sekolah, mulai dari tambahan remedial, memberikan bimbingan belajar khusus, sampai dengan guru memberikan les privat kepada siswa yang memerlukan perhatian khusus.Salah satu sebab hasil belajar belum optimal adalah model pembelajaran yang digunakan kurang sesuai dengan materi yang sedang dibahas. Oleh karena itu, guru harus mencari model pembelajaran yang tepat dan media yang cocok.Salah satu yang bisa dilakukan adalah menggunakan cooperative learning model. Cooperative learning adalah model pembelajaran dengan memberikan tugas kepada siswa yang lebih pandai dalam sebuah kelompok kecil yang hasilnya akan dipresentasikan kepada kelompok lain di dalam kelas. Hasil kelompok tersebut kemudian didalami dan ditanggapi sehingga terjadi proses belajar yang aktif dan dinamis.Falsafah model pembelajaran ini adalah pembelajaran gotong royong. Robert Slavin mengatakan cooperative learning adalah salah satu bentuk paham pembelajaran konstruktivis. Pembelajaran konstruktivisme adalah suatu teknik pembelajaran yang melibatkan siswa untuk membina sendiri secara aktif pengetahuan dengan menggunakan pengetahuan yang telah siswa miliki sebelumnya.Model ini sangat bagus karena komunikasi antarsiswa secara informal membuat siswa cepat memahami suatu materi yang sedang dibahas. Siswa yang agak terlambat menerima materi pelajaran, dengan penjelasan temannya yang lebih pandai, akan lebih mudah menerima dan memahami materi yang sedang didiskusikan, di samping mereka juga terlatih untuk belajar mendengarkan pendapat orang lain.Bagi siswa yang pandai, cara ini menjadi sarana untuk menanamkan karakter peduli, tenggang rasa, sifat berbagi, bertanggungjawab kepada teman sejawat, dan melatih kemampuan berkomunikasi. Secara tidak langsung, melalui aktivitas ini, siswa yang pandai akan memperdalam dan memperluas pengetahuannya, dia akan belajar lebih keras agar bisa lebih baik menjelaskan kepada teman di kelompoknya.

Model pembelajaran ini sangat menunjang kebijakan zonasi karena siswa pandai tidak menumpuk pada satu sekolah, akan tetapi menyebar ke berbagai sekolah di mana siswa tersebut bertempat tinggal. Tentu ini akan mempermudah bagi sekolah untuk menerapkan model cooperative learning (pembelajaran kooperatif).

Bagaimana cara menerapkan cooperative learning model?Model ini sangat mudah diterapkan di dalam kelas. Guru memilih beberapa siswa yang lebih pandai dan diberikan penjelasan terlebih dahulu apa yang harus dilakukan dalam kelompok. Kemudian, siswa dibagi dalam beberapa kelompok kecil yang anggotanya tidak lebih dari sepuluh siswa agar interaksi antarmereka lebih dinamis. Keaktifan anggota kelompok sangat penting untuk mencapai keberhasilan optimal dalam membahas materi yang ditugaskan kepada mereka. Oleh karena itu, tugas guru untuk mengontrol dan memfasilitasi siswa pada saat diskusi berlangsung sangat penting.Penelitian yang dilakukan oleh Slavin menunjukkan hasil yang positif. Siswa yang mempraktikkan cooperative learning hasilnya lebih baik dari model pembelajaran konvensional. Begitu pula Roger dan Jhonson yang membandingkan model cooperative learning dengan model individual dan model kompetisi. Hasilnya, siswa lebih efektif belajar ketika bekerja sama. Dengan bekerja sama, prestasi lebih kuat untuk dicapai. Di samping itu komunikasi dan toleransi antarsiswa jadi lebih baik karena mereka tidak membedakan ras, agama, latar belakang keluarga, dan perbedaan lainnya.

Apakah cooperative learning bisa diterapkan pada saat pandemi?

Bagi daerah perkotaan dengan jaringan internet yang baik, model cooperative learning sangat bisa diterapkan. Guru bisa memanfaatkan teknologi untuk menerapkan model ini. WhatsApp, Zoom, Google Meet, Webex, dan platform lainnya dapat digunakan untuk belajar kelompok. Bahkan, dengan sort message pun bisa digunakan walaupun agak sedikit rumit karena siswa harus memahami teks yang dikirim temannya dengan cermat.Bagaimana untuk daerah yang jaringannya belum bagus? Dengan kondisi pandemi seperti ini saya kira pertemuan terbatas tetap bisa dilakukan di sekolah dengan tetap disiplin melaksanakan protokol kesehatan. Siswa bisa datang ke sekolah secara terbatas dan bergiliran sehingga tetap bisa menjaga protokol kesehatan. Guru bisa menggunakan kelas untuk melaksanakan diskusi kelompok. Hal ini bagus sekaligus sebagai cara untuk menghilangkan kebosanan siswa yang sudah hampir empat bulan belajar di rumah.Baca juga:   Penguatan Pendidikan Karakter di Masa PandemiKoordinasi yang lebih intensif antara pihak sekolah, dinas pendidikan, orang tua dan masyarakat harus dilakukan agar tetap mengutamakan keselamatan siswa dalam proses belajar mengajar. Kebijakan dari pemerintah untuk memberikan kelonggaran juga penting sekaligus sebagai bagian partisipasi masyarakat dalam menyosialisasikan kondisi pandemi Covid-19 dengan bijak.

Cooperative learning bisa dilakukan di semua jenjang dan satuan pendidikan, baik di SD, SMP, SMA, maupun perguruan tinggi/sederajat. Penerapan model ini di setiap jenjang memerlukan strategi yang baik. Di satuan jenjang SD/sederajat perlu perhatian lebih karena tahap awal mendidik anak untuk melatih berkomunikasi dan bersosialisasi dengan teman sejawat, di SMP dan SMA/sederajat sangat bagus untuk melatih anak mulai berani mengeluarkan pendapat, berani tampil presentasi mengkomunikasikan hasil kelompoknya, di perguruan tinggi/sederajat tentu sangat bagus untuk melatih bernegosiasi dan kemampuan lainnya yang sangat bermanfaat ketika mereka terjun di masyarakat maupun di lingkungan kerjanya.

Cooperative learning juga sangat ampuh untuk membentuk karakter anak kita, baik karakter moral, karakter kinerja, karakter relasional, maupun karakter spiritual (Jhonson). Pendapat bahwa sekolah/madrasah menjadi tempat menimba ilmu pengetahuan dan pengembangan karakter dapat kita praktikkan dengan baik dan nyata. Bahwa pendidikan bukan hanya mencari ilmu, tetapi juga mencetak generasi hebat, dapat kita persiapkan dengan sebaik-baiknya serta dapat realisasikan.

Setiap upaya maksimal dan kerja keras tentu akan menghasilkan sesuatu yang terbaik. Kita yakinkan bahwa upaya tidak akan dikhianati hasil. (*)

Didik Suhardi, Ph.D.
Direktur PSMP Kemdiknas (2008–2015) dan Sekretaris Jenderal Kemdikbud (2015–2019)

Video yang berhubungan

Postingan terbaru

LIHAT SEMUA