Menyusun opini dalam bentuk artikel tentang anak putus sekolah

DEWASA ini, masih ada masyarakat yang belum memahami arti pentingnya pendidikan. Beberapa masyarakat beranggapan bahwa pendidikan tidak menentukan kesuksesan. Mereka percaya bahwa kesuksesan diraih dan ditentukan oleh motivasi diri sendiri di luar dari pendidikan seperti Bu Susi Pudjiastuti (Mantan menteri kelautan) yang bisa sukses hanya dengan menempuh pendidikan hingga SMP. Mereka merasa pendidikan yang ditempuh sudah cukup sehingga tidak melanjutkan ke jenjang yang lebih tinggi. Faktor keberuntungan juga merupakan salah satu pembenaran mereka bahwa pendidikan tidak menentukan segalanya.

Selain faktor motivasi, kurangnya biaya untuk menempuh pendidikan merupakan hal yang dapat memutus pendidikan seseorang. Memang pemerintah telah mengeluarkan dana bantuan operasional sekolah sehingga para siswa gratis dalam menempuh pendidikan. Namun, yang menjadi masalah adalah pengeluaran pendukung untuk sekolah seperti biaya perjalanan ke sekolah, membeli buku, seragam, dan peralatan sekolah lainnya, tidak murah harganya.

Mereka harus memikirkan biaya lain selain biaya pendidikan yang bahkan lebih mahal dibandingkan biaya pendidikan itu sendiri. Selain itu, biaya hidup yang semakin tinggi membuat masyarakat lebih memilih untuk bekerja mencari nafkah dibanding harus melanjutkan pendidikan.

Pandemi Covid-19 memperparah dua faktor di atas tentang alasan mengapa anak putus sekolah. Pandemi ini mengakibatkan efek domino di mana tidak hanya masalah kesehatan namun menyangkut masalah lainnya seperti ekonomi dan pendidikan. Seperti yang kita ketahui pandemi ini mengharuskan masyarakat untuk selalu berjaga jarak dan menghindari kerumunan. Otomatis salah satu pilihan untuk melanjutkan pendidikan di Indonesia adalah dengan sistem pembelajaran jarak jauh (PJJ).

Sistem ini meningkatkan risiko anak putus sekolah lantaran terpaksa bekerja demi membantu perekonomian keluarga. Faktor fasilitas juga menjadi alasan untuk tidak melanjutkan sekolah karena ketimpangan ekonomi yang semakin jauh juga berefek pada penyediaan fasilitas penunjang pendidikan sistem jarak jauh. Banyaknya tugas yang diberikan kepada siswa oleh guru untuk mengejar kurikulum membuat tingkat jenuh dan stres siswa semakin tinggi sehingga akan menimbulkan risiko motivasi atau pemikiran untuk putus sekolah.

Hal ini dikonfirmasi dan ditegaskan oleh Nadiem Makarim selaku Menteri Pendidikan pada konferensi pers di YouTube. Dia mengemukakan bahwa ada tiga dampak utama, satu ancaman putus sekolah, ada berbagai macam anak yang terpaksa bekerja, dan karena kondisi sekolah PJJ tidak optimal, akhirnya mereka putus sekolah. Kemudian akhirnya persepsi orang tua berubah dalam peran sekolah dalam proses pembelajaran yang tidak optimal. ”Karena itu, ancaman putus sekolah adalah dampak yang riil dan bisa berdampak seumur hidup bagi anak-anak kita,” ujar Nadiem, Jumat (7/8/2020).

Baca Juga :  Menyoal Polemik Sertifikasi Masjid

Memang tidak ada salahnya memiliki pendapat atau argumen tersendiri karena kita memiliki hak untuk bersuara. Meskipun begitu kita juga tidak bisa memaksakan pilihan seseorang. Namun di era pandemi ini, pendidikan harus tetap di tempuh karena mampu membantu kita untuk menentukan keputusan di masa yang akan datang. Dengan cara melihat dari segala sudut pandang dan pengalaman pada saat menempuh pendidikan.

Pendidikan juga mampu menyiapkan generasi bangsa berikutnya yang mampu bersaing pada dunia global, serta memberikan pemikiran-pemikiran yang logis dan tepat yang membuat kita mampu untuk bertahan di kehidupan nyata. Selain itu, pendidikan dapat menghindarkan diri dari kemiskinan dengan berbagai ilmu yang telah diperoleh serta mampu membangun relasi dengan orang-orang baru.

Dari penjelasan di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa pendidikan dapat meningkatkan peluang kesuksesan seseorang. Karena itu pendidikan tetap harus ditempuh meskipun di era pandemi ini karena pendidikan merupakan fondasi atau aset dalam individu untuk membekali diri di masa yang akan datang.

Berdasar data Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN/Bappenas) mengungkapkan data angka anak putus sekolah di Indonesia pada 2019.

Sepanjang tahun itu, sekitar 4,3 juta siswa Indonesia putus sekolah di berbagai jenjang. Jika 2019 menunjukkan angka 4,3 juta angka putus sekolah, tentu jika terjadi di era pandemi angka tersebut akan meningkat lebih tinggi. Angka putus sekolah akan memengaruhi angka partisipasi kasar pendidikan di Indonesia karena tidak sesuainya usia dengan jenjang pendidikan yang seharusnya ditempuh.

Pada keadaan di luar pandemi, data BPS menyebutkan salah satu alasan tidak melanjutkan pendidikan adalah kurangnya kesadaran masyarakat akan pentingnya pendidikan. Meskipun banyak faktor yang menyebabkan seseorang tidak melanjutkan sekolah seperti bekerja, menikah, kekurangan biaya, atau merasa pendidikan sudah cukup. Pada era pandemi hal-hal tersebut semakin memburuk karena efek domino dari pandemi yang menyulitkan ekonomi dan pendidikan sehingga siswa dihadapkan pada pilihan yang sulit antara turut memperbaiki ekonomi keluarga atau menempuh pendidikan.

Baca Juga :  Tidak Ada Anak Bodoh

Berdasar data di atas pemerintah melalui menteri pendidikan sebaiknya mengevaluasi lebih lanjut tentang sistem pembelajaran jarak jauh di era pandemi ini. Dari penerapan sistem pembelajaran ini, dampak negatif yang ditimbulkan akan lebih besar dari pada dampak positifnya karena banyak faktor yang tidak dipenuhi jika menggunakan sistem pembelajaran jarak jauh dibandingkan dengan sistem pembelajaran tatap muka.

Solusi yang dapat dilakukan pemerintah di era pandemi yaitu menetapkan atau menyusun kembali kurikulum pendidikan yang disesuaikan dengan sistem pembelajaran jarak jauh. Pemerintah juga harus memikirkan bagi siswa yang tidak memiliki fasilitas pendukung pembelajaran jarak jauh.

Solusi yang dapat dilakukan oleh pemerintah yaitu menganggarkan fasilitas-fasilitas pendukung seperti bantuan wifi gratis di pelosok desa dan bantuan gadget bagi siswa yang tidak memiliki fasilitas pendukung dari sistem pembelajaran jarak jauh. Jika pandemi ini berakhir, solusi yang dapat digunakan pemerintah untuk membangkitkan semangat bersekolah kembali yaitu dengan meningkatkan sosialisasi tentang pentingnya pendidikan kepada masyarakat sekitar untuk peningkatan kesiapan masa depan bangsa.

 Kemudian lebih memperbanyak beasiswa bagi masyarakat yang kurang mampu sehingga membuka kesempatan untuk mereka menempuh pendidikan yang lebih tinggi. Program uang saku tambahan juga harus diberikan untuk keperluan biaya pendukung pendidikan bagi masyarakat yang kurang mampu.

Pertimbangan tentang membuka program-program pendidikan terapan yang mengikuti perkembangan zaman seperti pendidikan terapan tentang konten kreator, programmer, pengembangan artificial intelligence, pengembangan akuntansi cryptocurrency, dan lain sebagainya. Sehingga menarik siswa untuk bersemangat dalam menempuh pendidikan sekaligus mempersiapkan pada masa depan industri 4.0. (*)

*) Mahasiswa Jurusan Akuntansi, Fakultas Ekonomi & Bisnis, Universitas Muhammadiyah Malang.

Seperti yang kita ketahui, pendidikan merupakan jembatan mencerdasarkan generasi bangsa, dan berperan penting dalam kemajuan suatu negeri. Selain itu, jika kita mengacu pada amanat UUD 1945, mengatakan bahwa setiap warga negara berhak memperoleh pendidikan.

Namun bukan rahasia lagi, biaya pendidikan menjadi faktor kuat banyaknya masyarakat berlatar belakang ekonomi menengah kebawah tidak bisa merasakan pendidikan bangku sekolah.

Tidak sedikit pula yang berpendapat bahwa pendidikan hari ini sudah menganut paham liberalisasi.
Dalam sistem ini, sitiap individu memiliki hak mutlak untuk mengelola aset yang ia miliki untuk mendapatkan manfaat/keuntungan sebesar-besarnya.

Sistem ini juga memungkinkan setiap orang untuk memelih pekerjaan atau usaha sesuai dengan kehendaknya. Pemerintah tidak memiki hak untuk melakukan intervensi.

Jiak kita mengamati pidato HARDIKNAS 2017 di Institut Teknologi Sepuluh November Surabaya, Menteri Riset Teknologi dan Pendidikan Tinggi, Muhammad Nasir, menekankan tema pendidikan adalah “meningkatkan relevansi pendidikan dalam mendukung pertumbuhan ekonomi,” Nasir melanjutkan dengan mengusulkan bahwa esensi dari pendidikan tinggi adalah untuk menghasilkan lulusan dan penelitian yang bermanfaat bagi industri indonesia. Definisi sempit inilah yang tertatanam dalam kesadaran mayoritas masyarakat Indonesia. Pernyataan seperti ini bisa melahirkan beragam persepsi masyarakat, dan wajar saja jika saya mengatakan beberap masyarakat akan berpikir bahwa pendidikan hadir hanya untuk membetuk karakter karakter individualis dan cuma melahirkan output yang hanya sibuk memikirkan kecemasannya ketika lulus ingin menjadi di dunia kerja.

Tetapi apa yang memprihatinkan dari semua ini, mahalnya biaya pendidikan seakan menghadirkan kelas di tatanan sosial antara si mampu dan yang tidak mampu.

Data UNICEF tahun 2016 sebanyak 2,5 juta anak Indonesia tidak dapat menikmati pendidikan lanjutan yakni sebanyak 600 ribu anak usia sekolah dasar (SD) dan 1,9 juta anak usia Sekolah Menengah Pertama (SMP).

Begitupula data statistik yang dikeluarkan oleh BPS, bahwa di tingkat provinsi dan kabupaten menunjukkan terdapat kelompok anak-anak tertentu yang terkena dampak paling rentan yang sebagian besar berasal dari keluarga miskin sehingga tidak mampu melanjutkan pendidikan ke jenjang selanjutnya.

Benarkah ini karena faktor ekonomi atau sistem yang tidak berpihak pada mereka?

Pusat Studi Kependudukan dan Kebijakan Universitas Gadjah Mada, mengumumkan hasil penelitian Hasil Bantuan Siswa Miskin Endline di Sumatera Utara, Jawa Barat, Jawa Timur, Nusa Tenggara Barat, Nusa Tenggara Timur, dan Sulawesi Selatan. Ada temuan menarik.

Sebanyak 47,3 persen responden menjawab tidak bersekolah lagi karena masalah biaya, kemudian 31 persen karena ingin membantu orang tua dengan bekerja, serta 9,4 persen karena ingin melanjutkan pendidikan nonformal seperti pesantren atau mengambil kursus keterampilan lainnya.

Mereka yang tidak dapat melanjutkan sekolah ini sebagian besar berijazah terakhir sekolah dasar (42,1 persen) maupun tidak memiliki ijazah (30,7 persen). Meski demikian, rencana untuk menyekolahkan anak ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi ternyata cukup besar, yakni 93,9 persen. Hanya 6,1 persen yan menyatakan tidak memiliki rencana untuk itu.

Peneliti PSKK UGM, Triyastuti Setianingrum, mengatakan dalam Focused Group Discussion, pendidikan merupakan investasi modal manusia (human capital investment) dan pemerintah harusnya memberi perhatian yang sungguh terhadap hal ini, terlebih dalam merespons perubahan komposisi demografi.

Tingginya angka penduduk usia kerja hanya akan menjadi bonus (window of opportunity) apabila penyediaan kesempatan kerja sudah sesuai dengan jumlah penduduk usia kerja serta ditopang oleh kualitas angkatan kerja yang baik.

Triyas menambahkan, seperti siklus, kasus anak putus sekolah saling mempengaruhi satu sama lain dengan persoalan kemiskinan. Putus sekolah mengakibatkan bertambahnya jumlah pengangguran, bahkan menambah kemungkinan kenakalan anak dan tindak kejahatan dalam kehidupan sosial masyarakat. Begitu seterusnya karena tingkat pendapatan yang rendah, ( sumber: CNN INDONESIA).

Menurut saya, harus ada perhatian serius dari pemerintah seperti:

Pendidikan murah bahkan gratis

Diketahui bersama pendidikan merupakan elemen penting untuk membangun masyarakat di dalam sebuah negara. Namun, di Indonesia, belum semua masyarakat mampu mengakses pendidikan yang terjangkau. Padahal, sudah menjadi kewajiban negara untuk menyediakan pendidikan yang murah, bahkan gratis di Indonesia sesuai amanah Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 31. Anggota Komisi X DPR RI dari Fraksi Persatuan Pembangunan, Reni Marlinawati, mengatakan dalam undang-undang disebutkan pemerintah wajib membiayai pendidikan warga negaranya.

“Sekolah gratis bukan sesuatu yang harus diminta masyarakat karena itu sudah menjadi hak. Di era Jokowi sekarang dicanangkan program Wajib Belajar 12 tahun hingga SMA. Untuk sekolah negeri saat ini sudah gratis tapi memang masih ada persoalan di masyarakat terkait adanya pungutan biaya lain di sekolah,” ujarnya seperti yang dikutip mediaindonesia.com Senin (1/5/2017).

Secara konseptual dan regulasi sesungguhnya masyarakat berhak memperoleh pendidikan gratis. Pungutan yang terjadi di sekolah, menurutnya, karena implementasi kebijakan yang tidak sesuai ketentuan.

Konsistensi kurikulum yang jelas, sebagaimana kita tahu kurikulum telah berganti sebanyak 11 kali

Kalian pastinya sudah tidak asing lagi dengan apa yang disebut kurikulum atau sebuah program pendidikan yang diberikan oleh suatu lembaga pendidikan yang berisi tentang rancangan pembelajaran. Jika kamu ingat kembali masa-masa sekolah, mungkin kamu dibingungkan dengan kurikulum yang berganti-ganti. Lalu sebenarnya sudah berapa kali Indonesia berganti kurikulum?
Seperti yang dikutip brilio.net (2/5/2015) dari kemendikbud.go.id ternyata selama ini Indonesia telah berganti kurikulum sebanyak 11 kali, terhitung sejak Indonesia merdeka. Yaitu pada tahun 1947, 1952, 1964, 1968, 1975, 1984, 1994, 2004, 2006, 2013, dan 2015.

Pemerintah harus kembali bertanggung jawab secara penuh dalam sektor pendidikan, sebagaimana yang kita tahu hadirnya RUU BHP yang merubah status pendidikan milik publik kebentuk badan hukum yang menyebabkan konsekuensi ekonomi. RUU tentang Badan Hukum Pendidikan (RUU BHP). Berubahnya status pendidikan dari milik publik ke bentuk Badan Hukum jelas memiliki konsekuensi ekonomis dan politis amat besar. Dengan perubahan status itu Pemerintah secara mudah dapat melemparkan tanggung jawabnya atas pendidikan warganya kepada pemilik badan hukum yang sosoknya tidak jelas. Perguruan Tinggi Negeri pun berubah menjadi Badan Hukum Milik Negara (BHMN).

Penulis: Adi Novriansyah (Mahasiswa Politeknik ATI Makassar)