Senin, 06 September 2021 - 14:21 WIB
Syekh Abdurrauf As-singkili adalah seorang ulama besar Aceh yang terkenal. Ia memiliki pengaruh yang besar dalam penyebaran agama Islam di Sumatera, Nusantara dan Asia Tenggara pada umumnya. Sebutan gelarnya yang juga terkenal ialah Teungku Syiah Kuala (bahasa Aceh, artinya Syekh Ulama di Kuala). Nama lengkapnya ialah Aminuddin Abdul Rauf bin Ali Al-Jawi Tsumal Fansuri As-Singkili.Keluarganya berasal dari Persia yang datang dan menetap di Singkil, Aceh, pada akhir abad ke-13. Pada masa mudanya, ia mula-mula belajar pada ayahnya sendiri. Ia kemudian juga belajar pada ulama-ulama di Fansur dan Banda Aceh. Selanjutnya, ia pergi menunaikan ibadah haji, dan dalam proses pelawatannya ia belajar pada berbagai ulama di Timur Tengah untuk mendalami agama Islam.Dalam kitabnya yang berjudul Umtad Al Muhtajin, Syeikh Kuala menjelaskan bagaimana ia membangun jaringan intelektualnya. Gurunya tersebar dari Yaman, Qatar, Aden hingga dataran Hijaz. Ia belajar tidak hanya ilmu ‘lahir’ saja tetapi juga ilmu ‘batin’. Kemasyuhrannya dalam penguasaan dua ilmu tersebut melahirkan banyak karya yang sampai sekarang masih menjadi bahan rujukan para ulama maupun cerdik pandai.Syekh Kuala tidak hanya familiar bagi masyarakat Aceh saja, tetapi dikenal di seantero ranah Melayu dan dunia Islam internasional. Syeikh Kuala atau Syeikh Abdurauf Singkel adalah tokoh tasawuf juga ahli fikih yang disegani. Lelaki asal Singkel, Fansur Aceh Utara ini dikenal sebagai salah satu ulama produktif. Karyanya banyak mulai tasawuf hingga fikih. Pengaruhnya sangat besar dalam perkembangan Islam di Nusantara. Tak salah kalau menghormati jasanya namanya diabadikan menjadi nama Universitas di Banda Aceh.Prof. Dr. Azyumardi Azra menyebutnya sebagai salah satu orang yang bertanggung jawab dalam membuka jaringan ulama Nusantara di dunia internasional. Berkat jasanya orang-orang Indonesia kemudian masuk dalam jajaran jaringan ulama dunia. Tidak salah kalau kemudian muncul nama-nama ulama besar seperti Syeikh Nawawi al Bantani, Syeikh Mahfudz At Turmusy, dan lain-lain yang mempunyai reputasi mendunia.Rektor Institut Agama Islam Al Falah Assunniyah (INAIFAS), Gus Rijal Mumazziq Z, menyebut Syekh Abdurrauf as-Sinkili (1615-1693), ulama besar asal Aceh, sebagai sosok yang mula-mula merintis tafsir Al-Qur'an di kawasan Nusantara. Dalam buku ‘Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII dan XVIII’ karya Azyumardi Azra disebutkan, as-Sinkili adalah ulama terkemuka dengan reputasi internasional. Sebab, mata rantai intelektual dan tarekat yang membentang antara Hijaz dan Nusantara di kawasan Asia Tenggara bertaut pada dirinya.
Nama lainnya, Tengku Syiah Kuala, lalu diabadikan jadi lembaga pendidikan di Aceh Ahad , 17 Feb 2019, 16:09 WIB Wordpress.com Red: Hasanul Rizqa REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Di antara karya besar Syekh Abdur Rauf as-Singkili adalah Tarjuman al-Mustafid. Itulah terjemahan dan tafsir Alquran pertama dalam bahasa Melayu. Kitab tersebut banyak dipengaruhi karya Abdullah bin Umar bin Muhammad Syairazi al-Baidawi (meninggal 1286), yakni Tafsir Anwar al-Tanzil wa Asrar al-Ta’wil, yang dalam bahasa Arab dan memang sudah legendaris di penjuru dunia. Toh buah tangan syekh asal Aceh itu juga tidak kalah terkenal. Sebagai contoh, Tarjuman al-Mustafid diketahui pernah terbit pada 1884/1885 dalam edisi dua jilid di Istanbul, Turki. Karya-karyanya yang lain juga menjadi bacaan penting, baik oleh alim ulama maupun sultan-sultan Melayu. Di samping itu, mubaligh kelahiran Singkel ini juga kerap memanfaatkan sastra sebagai medium penyebaran gagasan sufistik. Sebuah syair karyanya yang terkenal adalah Syair Ma’rifat yang salinan atasnya ditulis di Bukittinggi pada 1859. Syekh Abdur Rauf memiliki banyak murid sekembalinya dari Tanah Suci. Ulama Aceh ini bahkan menjadi rujukan penting para mubaligh yang merintis dakwah ke berbagai daerah di Nusantara. Hal itu sejalan dengan sifat strategis Aceh sebagai poros peradaban Islam di Kepulauan Indonesia. Pada waktu itu, jelas Liaw Yock Fang dalam Sejarah Kesusastraan Melayu Kelasik (2011), Aceh merupakan tempat persinggahan para calon jamaah haji asal Sumatra, Jawa, Kalimantan, Sulawesi, dan lain-lain. Ketika tinggal di Aceh, tidak sedikit dari mereka yang menyempatkan diri untuk menimba ilmu-ilmu agama kepada ulama setempat. Poros Sejumlah ulama Nusantara Salah seorang murid Syekh Abdur Rauf adalah Syekh Burhanudin Ulakan (1646-1692). Dia condong mengikuti gurunya dalam bertarekat Syatariyah. Setelah belajar di Aceh, mubaligh asal Pariaman itu berangkat ke Tanah Suci. Sepulangnya dari Haramain, dia mendirikan surau Syatariyah di Ulakan. Jasanya yang paling dikenang adalah mendakwahkan Islam kepada kaum bangsawan Kerajaan Pagaruyung. Murid lainnya dari Syekh Abdur Rauf adalah Syekh Abdulmuhyi. Putuhena menyebutkan, dai asal Jawa Barat itu pernah bermukim di Aceh, untuk kemudian berangkat ke Tanah Suci untuk mendalami ilmu-ilmu agama. Sempat pula dia berkunjung ke Baghdad (Irak) untuk berziarah pada makam Syekh Abdul Qadir Jailani (1077-1166). Sepulangnya dari rihlah keilmuan itu, Abdulmuhyi menyebarkan dakwah Islam, termasuk tarekat Syatariyah, di Jawa Barat. Tokoh berikutnya yang pernah menimba ilmu dari Syekh Abdur Rauf as-Singkili adalah Abdulmalik bin Abdullah (1678-1736) dan Dawud al-Jawi ar-Rumi. Sosok yang pertama berasal dari Semenanjung Melayu. Sebagaimana jamaknya ulama-ulama perantau, dia juga berangkat ke Tanah Suci untuk melaksanakan ibadah haji sekaligus pengembaraan keilmuan. Kembali ke Tanah Air, kiprahnya terutama pada bidang syariat dan fiqih. Adapun Dawud al-Jawi diduga merupakan keturunan Turki. Putuhena mengungkapkan, dialah khalifah utama dari tarekat Syatariyah sepeninggalan Syekh Abdur Rauf. Karya-karya Sang Ulama Sepanjang hayatnya, Syekh Abdur Rauf telah menghasilkan puluhan karya tulis. Di samping Tarjuman al-Mustafid, ada pula buku-buku lain yang ditulisnya berkenaan dengan bidang fiqih, hadits, tauhid, dan tasawuf. Semuanya tidak hanya berbahasa Melayu, melainkan juga Arab. Di antara karya-karyanya adalah, Syarh Hadits Arba’in Imam An-Nawawi, yang ditulisnya atas permintaan elite Kesultanan Aceh. Selanjutnya, Mawa’iz al-Badi yang berisi nasihat-nasihat akhlak seorang Muslim. Sementara itu, Daqaiq al-Hurf, Tanbih al-Masyi, dan Kifayat al-Muhtajin ila Masyrah al- Muwahhidin al-Qailin bi Wahdatil Wujud membahas gagasan-gagasan dalam bidang tasawuf. Pada 1105 Hijriah atau 1693 Masehi, Syekh Abdur Rauf menghembuskan nafas terakhir. Jasadnya dimakamkan di dekat muara sungai Aceh. Tepatnya pada samping masjid yang dibangunnya di Kuala Aceh, Deyah Raya, Kecamatan Kuala, sekira 15 kilometer dari Banda Aceh. Dalam bahasa setempat, daerah tersebut dinamakan sebagai kuala. Oleh karena itu, sosok ulama-salik yang wafat dalam usia 73 tahun itu secara anumerta digelari Tengku Syiah Kuala. Nama itu kelak diabadikan menjadi perguruan tinggi tertua di Aceh, Universitas Syiah Kuala.
sumber : Islam Digest Republika Silakan akses epaper Republika di sini Epaper Republika ... Syekh Abdurrauf bin Ali al-Fansuri as-Singkili (Singkil, Aceh 1024 H/1615 M - Kuala Aceh, Aceh 1105 H/1693 M) adalah seorang ulama besar Aceh yang terkenal.[1] Ia memiliki pengaruh yang besar dalam penyebaran agama Islam di Sumatra dan Nusantara pada umumnya.[2] Sebutan gelarnya yang juga terkenal ialah Teungku Syiah Kuala (bahasa Aceh, artinya Syekh Ulama di Kuala).
Nama lengkapnya ialah Aminuddin Abdul Rauf bin Ali Al-Jawi Tsumal Fansuri As-Singkili.[3] Menurut riwayat masyarakat, keluarganya diduga berasal dari Persia atau Arabia, yang datang dan menetap di Singkil, Aceh, pada akhir abad ke-13. Namun hal itu belum dapat dipastikan karena minimnya catatan sejarah keluarganya, serta tidak didukung nama keluarga yang mencirikan keturunan Arab ataupun Persia. Beberapa ahli berpendapat bahwa ia merupakan putra asli pribumi beretnis Minang Pesisir di Singkil yang telah menganut agama Islam pada masa itu. Pendapat lain mengatakan dari etnis Batak Singkil beregama Islam yang tidak diketahui lagi marganya. Pada masa mudanya, ia mula-mula belajar pada ayahnya sendiri. Ia kemudian juga belajar pada ulama-ulama di Fansur dan Banda Aceh. Selanjutnya, ia pergi menunaikan ibadah haji, dan dalam proses pelawatannya ia belajar pada berbagai ulama di Timur Tengah untuk mendalami agama Islam.
Menurut Syed Muhammad Naquib al-Attas,[4] syaikh untuk Tarekat Syattariyah Ahmad al-Qusyasyi adalah salah satu gurunya.[5] Nama Abdurrauf muncul dalam silsilah tarekat dan ia menjadi orang pertama yang memperkenalkan Syattariyah di Indonesia. Namanya juga dihubungkan dengan terjemahan dan tafsir Al-Qur’an bahasa Melayu atas karya Al-Baidhawi berjudul Anwar at-Tanzil Wa Asrar at-Ta'wil, yang pertama kali diterbitkan di Istanbul tahun 1884.[6] Ia diperkirakan kembali ke Aceh sekitar tahun 1083 H/1662 M dan mengajarkan serta mengembangkan tarekat Syattariah yang diperolehnya. Murid yang berguru kepadanya banyak dan berasal dari Aceh serta wilayah Nusantara lainnya. Beberapa yang menjadi ulama terkenal ialah Syekh Burhanuddin Ulakan (dari Pariaman, Sumatra Barat), Syeikh Nur Qodim Al Baharuddin (dari Djagat Besemah Libagh-Semende Panjang/Sumatera Selatan) dan Syekh Abdul Muhyi Pamijahan (dari Tasikmalaya, Jawa Barat). Azyumardi Azra menyatakan[7] bahwa banyak karya-karya Abdurrauf Singkil yang sempat dipublikasikan melalui murid-muridnya. Di antaranya adalah:[8]
Abdurrauf Singkil meninggal dunia pada tahun 1693, dengan berusia 73 tahun. Ia dimakamkan di samping masjid yang dibangunnya di Kuala Aceh, desa Deyah Raya Kecamatan Kuala, sekitar 15 Km dari Banda Aceh.
|