Oleh : Irawadi Uska Egois dalam kalimat Arabnya adalah ANANIAH yang berarti mementingkan diri sendiri seraya abai terhadap kepentingan orang lain yang ada di sekitar. Sifat seperti ini sangat berbahaya ! karena bisa berkembang pesat di dalam diri, sehingga dapat menimbulkan penyakit hati (marad al kabid) seperti bakhil (pelit), hasad (dengki), takabur (sombong) dan sebagainya. Benih-benih egois memang sudah ada pada setiap individu, bahkan benih itu hadir tatkala masing-masing individu itu akan hidup di rahim ibunya. Sikap seperti itu tumbuh dalam perjuangan hidup atau mati ketika calon manusia masih berwujud sperma yang berjibaku memperebutkan satu ovum yang tersedia di dalam rahim calon seorang ibu, ‘to be or not to be’. Hal ini tidak dapat disangkal oleh seorangpun jua. “ Ketahuilah !, di dalam tubuh manusia ada segumpal daging. Apabila segumpal daging itu baik, maka baiklah seluruh tubuhnya. Dan apabila daging itu rusak, maka rusaklah seluruh tubuhnya. Ketahuilah olehmu, bahwa segumpal daging itu adalah hati (qalbu)”. (H.R. Bukhari). Hati (qalbu) tersebut dapat berupa materi dan dapat juga bersifat immateri. Lalu bagaimana hubungan hati dan ibadah seseorang kepada Tuhannya..? Amalan jasmani (anggota tubuh) tidak akan diterima tanpa perantara amalan hati seseorang, karena hati merupakan ‘raja’ yang siap dengan perintahnya kapanpun. Sedangkan anggota tubuh laksana prajurit yang juga siap menerima perintah kapan dan dimanapun. Artinya jika sang raja baik, maka baik pula prajuritnya dan sebaliknya,(Ibnu Taimiyah). Dengan demikian amalan hati memiliki kedudukan yang sangat agung, atau dapat dikatakan bahwa pahala amalan hati jauh lebih besar daripada pahala amalan tubuh. Sebagaimana diketahui dosa hati lebih besar dari dosa tubuh. Sehingga dosa syirik atau kufur jauh lebih bermudharat dari dosa zina, riba dan judi. Wallahu A’lam. Dalam suatu kisah diceritakan bahwa ; Tatkala Nabi Musa As melakukan perjalanan munuju bukit Sinai (di mesir), dimana ia menerima perintah-perintah Tuhan. Dalam perjalanan tersebut ia berjumpa dengan seorang yang ahli ibadah (‘abid) yang sedang berkontemplasi (menjauhkan diri dari manusia). Ketika melihat Nabi Musa lewat, sang ‘abid menghentikan zikirnya dan mendekati Nabi Musa dengan penuh semangat yang menggebu. lalu ia berkata ke Musa, “wahai Nabi Allah, engkau pasti akan menemui Tuhan, tolong tanyakan kepada Tuhan di surga apa aku kelak akan ditempatkan di akhirat.? ujarnya dengan penuh keyakinan. Dengan sedikit heran, Nabi Musapun balik bertanya kepada sang ‘abid, Bagaimana engkau begitu yakin bahwa engkau akan masuk surga..? jawab Musa. Bagaimana tidak, wahai Nabi Allah. Aku telah mengasingkan diri dari hiruk pikuk duniawi selama empat puluh tahun, aku telah meninggalkan segala-galanya, aku tidak pernah melakukan dosa, aku hanya beribadah dan berzikir kepada Tuhan, aku tidak minum kalau tidak hujan dan aku tidak makan kalau tida ada buah dan daun-daunan yang jatuh ke pangkuanku. Tidakkah pasti aku masuk surga ? jawab sang ahli ibadah. Dengan penuh tanda tanya.. Nabi Musa berlalu melanjutkan perjalanannya. Setiba di bukit Sinai, Nabi Musa ‘bertemu’ dengan Tuhan dan menceritakan peristiwa yang dialaminya di tengah perjalanan. “Tuhan..! seorang hamba-Mu, ingin tahu di surga tingkat apa gerangan nanti ia engkau tempatkan ?”. Jawab Tuhan, “Wahai Musa, sampaikan kepadanya bahwa tempatnya di Neraka.” Tentu terkejut nabi musa mendengar jawaban Tuahn tersebut. Nabi musa lalu kembali menemui sang ‘abid. Melihat kembali kedatangan Nabi Musa, ia bergegas menyongsong kedatangan Nabi Musa, ia ingin cepat mengetahui di surga tingkat berapa kelak tempatnya di akhirat. seraya bertanya kepada Nabi Musa, di surga tingkat ke berapa tempatku kelak wahai Nabi Allah ?, tanya sang ‘abid. Nabi Musa sejenak terdiam, ia kesulitan memberikan jawaban yang agak santun agar si ahli ibadah tidak terkejut dan bisa berakibat ‘Stroke’. Sang ‘abid terus mendesak Nabi Musa dengan memegang dan bahkan sedikit mengguncang bahu Nabi Musa. Lalu Nabi Musa berkata ; “sabar wahai sahabatku. Kata Tuhan kepadaku tadi, tempatmu di Neraka.” Maka tergelenjek (terkejut) lah sang ahli ibadah mendengar jawaban Nabi Musa. Bagaimana mungkin wahai Musa, ibadah empat puluh tahun diganjar Tuhan dengan Neraka ? Tidak mungkin. Engkau pasti salah dengar !. Mohon engkau kembali kepada Tuhan dan tanyakan lagi di surga ke berapa tempatku kelak?. Dan Nabi Musapun kembali dan di tengah perjalanan ia bergumam, “jangan-jangan tadi aku memang salah dengar”. BACA JUGA : BEDAH AL-QUR’AN DI BULAN RAMADHAN Setibanya di bukit Sinai, Musa lalu bertanya lagi kepada Tuhan. Lalu secepat itukah keputusan-Mu berubah wahai Tuhan, tanya Musa. Jawab Tuhan, “Saat engkau berjalan ke sini, sang ‘Abid itu jatuh dan tersungkur bersujud serta menangis terisak-isak, ia memohon kepada-Ku, kalau benar ia akan dimasukkan ke Neraka – ia berharap tubuhnya diperbesar sebesar Neraka, agar tidak ada tempat bagi orang lain di Neraka selain dirinya. Nah, saat ini ia tidak lagi egois, ia telah kembali kepada realitas kehidupan nyata, dengan memikirkan kehidupan dan kepentingan orang lain, tentu dengan tidak mengabaikan kewajiban syar’i yang indivudualis.” Lalu pertanyaannya untuk kita, adakah kita egois dalam shalat, puasa, zakat, haji-umrah dan sebagainya. Apalagi di tengah kemiskinan yang akan mendekatkan kepada kekafiran. #Allahu_wa-antum_A’lam. (AHy)
Ilustrasi: Farcry Perang muncul bukan karena dorongan kebencian tetapi karena ketamakan manusia yang egois. Perang terjadi karena bertujuan untuk menjajah, untuk memiliki milik orang lain. Tempat yang tidak ada prospeknya tidak mungkin ada perang tetapi sebaliknya tempat yang prospeknya bagus akan mengalami perang. Selama keserakahan terus bercokol dalam diri manusia, maka peperangan tidaklah mungkin selesai. Keserakahan dan kerakusan menghadirkan kompetisi untuk merebut wilayah dengan jalan peperangan. Selama dalam jiwa manusia terus dikuasai ketamakan dan kerakusan Ini menyatakan bahwa peperangan akan semakin banyak. Seluruh jumlah peperangan dan seluruh jumlah korban yang terjadi selama 200 tahun terakhir dalam abad ke-21 adalah jauh lebih besar dibanding dengan jumlah total seluruh peperangan dari tahun 0 sampai tahun 1900. Perseteruan menimbulkan kerusakan relasi manusi-manusia secara global, dimana bangsa bangkit melawan bangsa, kerajaan melawan kerajaan. Perseteruan muncul akibat kebencian. Perseteruan dapat memicu perang tetapi rata-rata tidak memicu perang jika kebencian belum mencapai puncak kesepakatan melahirkan perang yang massif. Bahaya sifat benci yang menjalar mempengaruhi orang lain. Satu orang benci terhadap satu orang yang lain akan memicu kebencian antar kelompok, akhirnya akan muncul kekuatan korps. Gejala ini mengakibatkan dunia tidak akan pernah damai sampai kapanpun. Selama kebencian masih muncul dalam diri manusia, tidak mungkin muncul damai. Kebencian bukan hanya antar personil melainkan juga antar otoritaskekuatan. Kalau ini semua terjadi, akan berefek pada bencana alam yaitu munculnya gempa bumi, kelaparan, dll. Apa yang sebetulnya ada di belakang orang saling iri dan benci ? Mengapa orang bisa begitu benci kepada orang lain Inti dari suatu kebencian adalah karena kita terganggu egoisitasnya. Ketika manusia jatuh ke dalam dosa, ada dua ciri yang langsung terjadi yaitu perseteruan antar manusia karena hubungan manusia dengan Tuhan sudah tidak harmonis lagi, seluruh dunia dan ekstensinya akan terkutuk karena kerusakan moral Ilahi (dosa) tersebut. Orang semakin egois akan semakin banyak merasa “terganggu“ sehingga segala sesuatu akan menimbulkan kebencian terhadap orang lain. Sebaliknya, orang yang tidak peduli ketika dia dirugikan, difitnah, dibangkrutkan, tidak akan membenci orang lain. Perseteruan merupakan demonstrasi dari munculnya fakta dosa sebagai kerusakan moral yang hakiki. Namun fakta dosa yang sangat merusak relasi manusia dengan sesama berusaha ditutup atau dilupakan oleh manusia, tetapi dengan adanya perseteruan justru menunjukkan bahwa kerusakan moral itu ada dengan begitu jayanya bahkan makin lama semakin matang. Dunia mencoba menyelesaikan masalah ini dengan cara mengglobalkan dunia ini. Di era komunikasi yang semakin maju ini, dunia seolah-olah semakin menyatu sehingga muncul istilah “dunia tanpa batas“. Ketika dunia tanpa batas, manusia justru semakin sektarian berkelompok-kelompok, manusia saling mencurigai, sehingga manusia “pasang pagar“ setinggi mungkin. Makin “pasang pagar“ manusia semakin tidak bisa rukun, perseteruan semakin banyak terjadi. Bahkan dalam 1 kelompok pun menjadi pecah. Semakin orang egois sentrismemikirkan diridiri menjadi pusat, akan semakin banyak perseteruan. Dunia saat ini justru terus mendorong semangat egois. Suara-suara yang menyuarakan untuk menyerang orang lain yang merugikan diri terus didengungkan. Di saat seperti itu, Tuhan justru menyatakan bahwa Dia mengasihi manusia. Tuhan menciptakan manusia essensinya menebarkan Spirit Cinta Ilah, manusia harus saling mengasihi sesamanya. Cinta Kasih Tuhan harusnya membangkitkan kesadaran manusia tidak saling iri dan benci melahirkan perseteruan dan permusuhan yang menyebabkan manusia selalu merasa hampa, kehilangan ketenangan dan kedamaian jiwanya di atas bumi. Cinta yang demikian adalah cinta yang altruis, lawan dari egois. Altruis adalah kerinduan kita untuk melihat orang lain lebih baik daripada kita, mau berkorban demi kebaikan orang lain, kita rela diperlakukan buruk sekalipun. Ketika merasa dirugikan, Kita harus mencintai orang yang iri dan benci dan menjahati kita. Karen kita tahu orang yang berlaku jahat itu, sering lupa dan tidak sadar dia lagi kehilangan hakikat cinta dari Tuhan yang ditanamkan sejak manusia dan alam Diciptakannya. Kebencian juga muncul karena semangat kompetitif persaingan. Ketika masuk ke dalam persaingan, kebencian menjadi lebih jahat karena tidak suka melihat orang lain lebih baik, berposisi lebih tinggi, lebih sukses dari diri. Jiwa persaingan yang seperti ini akan menghasilkan kerusakan relasi karena selalu terjadi benturan, makin tinggi makin besar benturan yang terjadi. Di saat manusia mau di posisi yang lebih tinggi bahkan dengan cara menjatuhkan orang lain, Tidak ada orang mau rela turun dari tempat yang tinggi ke tempat yang lebih rendah. Rela merendahkan diri bahkan sampai pada tingkat budak, dan menjadi budak sampai mati. Kesabaran puas dihina, diejek, diludahi, karena dianggap miskin, kekurangan, rendah. Itulah kerendahan diri yang tidak akan muncul dari Cinta Tuhan hilang dan hidup dikuasai moralitas yang rusak. Manusia saling berebut Eksistensi bahkan berusaha merebut Eksistensi Tuhan sang Penciptanya. Di saat manusia mati-matian menggeber kerusakan, kerusakan moral karena dosanya untuk menjadi seperti Tuhan, Tuhan justru mendemonstrasikan bagaimana manusia harus merendahkan diri. Raja-raja dan Pemimpin-Pemimpin Negara yang melayani rakyatnya dengan cinta kasih umur dan masa kekuasaanya diperpanjang Tuhan, dipermuliakan oleh Tuhan. Tetapi yang sombong, angkuh menindas rakyat, baik Raja atau Pemimpin Negara pasti dihancrkan Tuhan. Dalam sejarah peradaban manusia orang yang sombong dan angkuh (Merasa diri adalah Tuhan) akan dihancurkan oleh Tuhan. Kita perlu membalikkan posisi melekat pada jiwa yang diterangi cahya Ilahi yang sesungguhnya. Kalau tadinya kita hidup dalam cengkeraman dosa (moralitas yang rusak dan jahat), penuh dengan kebencian, penuh dengan persaingan, penuh dengan kesombongan. Kita harus sadar bahwa Tuhan selalu mengajak kita kembali, hidup mengikuti prinsip Tuhan yaitu penuh dengan cinta kasih, mengasihi orang lain, belajar merendahkan diri, belajar untuk melayani. Jadilah pelayan yang rendah hati bagi sesama ciptaan Tuhan yang berdiri sama tinggi duduk sama rendah. Manusia juga dengan serakahnya menyedot seluruh hasil bumi sehingga lapisan tanah di bawah permukaan bumi menjadi berlubang. Akibatnya terjadi gempa tektonik di mana-mana. Ketika manusia menghancurkan alam, akibatnya temperatur bumi menjadi naik, setiap 3 tahun naik 1 derajat, lapisan es di kutub menjadi banyak yang cair, berarti air di permukaan bumi menjadi naik. Semuanya itu menimbulkan kekacauan ekologi. Konyolnya adalah manusia menyalahkan Tuhan jika terjadi kecelakaan. Timbullah pertanyaan kalau ada Tuhan mengapa kita sengsara Manusia hanya melihat bagian ujungnya dan tidak mau mengakui kausalitas, lalu melempar kesalahan kepada Tuhan. Ketika akan mengerjakan sesuatu manusia tidak bertanya kepada Tuhan, tetapi ketika tiba sengsara maka Tuhan yang disalahkan. Hukum kausalitas menyatakan bahwa apa yang terjadi sebelumnya akan berdampak sekarang, dan hal ini akan terus berputar; efek yang terjadi sekarang harus kita lihat penyebab sebelumnya. Tuhan tidak pernah memaksa kita untuk ikut Dia, kita yang punya kesadaran mengikuti Dia. Ketika kita di titik pertama sudah meninggalkan Tuhan, maka semua resiko harus kita tanggung sendiri. Ketika Tuhan sudah melepaskan dan membiarkan kita untuk berjalan sendiri maka kita akan mengalami kehancuran diri. Karena pada saat Tuhan memalingkan diri, Setanlah yang bermain bersama dengan kita. Kuncinya adalah kita harus hidup di dalam Tuhan dibawah kedaulatan otoritas penuh, kalau tidak kita akan diterkam oleh kehancuran. Disadur dan ditulis oleh Freddy Watania Editor: Freddy Watania |