Memperhatikan alam semesta oleh seorang muslim dapat dijadikan sebagai sarana

Nama               : Fahira Putri Auliyah

NIM                : 2201816726

Kelas               : LC21 – Management

Alam semesta adalah ruang dimana di dalamnya terdapat kehidupan biotik maupun abiotik serta segala macam peristiwa alam yang dapat diungkapkan maupun tidak. Sebenarnya seluruh kejadian di alam semesta sudah terjadi dan kejadiannya mengikuti segala rencana dan konsep yang sudah tertera di dalam Al-Qur’an.

A. Keterkaitan Islam dan Alam Semesta

Jagad raya ini adalah sebuah massa atau susunan unsur-unsur itu berada dalam perbentangan. Sehingga alam semesta dalam persfektif Al-Quran dapat dipahami sebagai perbentangan unsur-unsur yang saling mempunyai keterkaitan. Pada hakikatnya, alam semesta haruslah dipahami sebagai wujud dari keberadaan Allah SWT, sebab alam semesta dan seluruh isinya serta hukum-hukumnya tidak ada tanpa keberadaan Allah Yang Maha Esa. Segala sesuatu termasuk langit dan bumi merupakan ciptaan Allah Yang Maha Kuasa (Ibrahim,14:11). Allah adalah pemilik mutlak dari alam semesta dan penguasa alam semesta serta pemeliharanya Yang Maha Pengasih (Al-Baqarah, 1: 1-3) sebagai ciptaannya, alam semesta ini menyerah kepada kehendak Allah (Ali Imran, 3: 83) dan memuji Allah (Al-Hadid, 57: 1), (Al-Hasyr, 59:1), (As-Saff, 61:1), lihat pula ayat (Al-Isra, 17:44), (An-Nur24: 41). Antara alam semesta (makhluk) dan Allah mempunyai keterikatan erat, dan bahkan meskipun mempunyai hukumnya sendiri, ciptaan amat bergantung pada pencipta yang tak terhingga dan mutlak

B. Penciptaan Alam Semesta

Jika kita mencari proses penciptaan alam semesta di dalam Al-Quran terdapat salah satu ayat yang menjelaskan prosesnya seperti di surah (As-Sajdah, 32:4 yang artinya “Allah-lah yang telah menciptakan langit dan bumi dan segala yang ada diantara keduanya dalam waktu enam hari, kemudian dia bersemayam di atas Arsy. Kamu semua tidak memiliki seorang penolong dan pemberi syafaat pun selain diri-Nya. Lalu, apakah kamu tidak memperhatikannya ?” . Dari salah satu ayat tersebut Allah SWT menyebutkan penciptaan langit dan bumi dalam enam masa (sittati ayyaamin) selanjutnya para mufasir bersepakat dalam menafsirkan ayat ini, bahwa yang disebut dengan  (sittati ayyaamin) adalah enam tahapan atau proses bukan enam hari sebagaimana mengartikan kata Ayyamin.

C. Pelestarian Alam Semesta

Kita sebagai umat manusia yang bertugas untuk melestarikan Alam Semesta harus mempunyai prinsip dalam melestarikan alam semesta, yaitu:

Di dalam Al-Qur’an surat Al-Anbiya 107, Allah SWT berfirman:

Artinya : “Dan tiadalah kami mengutus kamu, melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam”.

Rahmatan lil alamin bukanlah sekedar motto Islam, tapi merupakan tujuan dari Islam itu sendiri. Sesuai dengan tujuan tersebut, maka sudah sewajarnya apabila Islam menjadi pelopor bagi pengelolaan alam dan lingkungan sebagai manifestasi dari rasa kasih bagi alam semesta tersebut.

  • Moral Responsibility For Nature

Sesuai dengan firman Allah dalam surah al Baqarah: 30

Artinya: Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat: “Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi.

Kenyataan ini saja melahirkan sebuah prinsip moral bahwa manusia mempunyai tanggung jawab baik terhadap alam semesta seluruhnya dan integritasnya, maupun terhadap keberadaan dan kelestariannya

Sama halnya dengan kedua prinsip diatas, prinsip solidaritas muncul dari kenyataan bahwa manusia adalah bagian integral dari alam semesta. Selain itu dalam perspektif ekofeminisme, manusia mempunyai kedudukan sederajat dengan alam dan semua makhluk lain di alam ini. Kenyataan ini membangkitkan dalam diri manusia perasaan solider, perasaan sepenanggungan dengan alam makhluk hidup lain.

Kasih sayang dan kepedulian muncul dari kenyataan bahwa sebagai sesama anggota komunitas ekologis, semua makhluk hidup mempunyai hak untuk dilindungi, dipelihara, tidak disakiti, dan dirawat. Sebagaimana dimuat dalam sebuah Hadis shahih yang diriwayatkan oleh Shakhihain: Dari Anas radhiyallahu ‘anhu bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Tidak seorang pun muslim yang menanam tumbuhan atau bercocok tanam, kemudian buahnya dimakan oleh burung atau manusia atau binatang ternak, kecuali yang dimakan itu akan bernilai sedekah untuknya.”

Mengingat karena semua kerusakan atau pencemaran lingkungan di dunia ini di sebabkan karena tangan ulah tangan manusia, maka dalam hal pelestarian ini haruslah diingat hal-hal yang berhubungan dengan kerusakan lingkungan hidup, diantaranya adalah:

  1. Penebangan pohon di hutan secara liar
  2. Membuang sampah sembarangan
  3. Polusi udara menyebabkan menyebarnya penyakit bagi makhluk hidup

Hal-hal yang harus diketahui dalam melestarikan lingkungan hidup seperti air, udara, tanah diantaranya adalah:

  1. Air :Melakukan penyuluhan mengenai penghematan air yang dilakukan sedini mungkin
  2. Tanah : Memberikan penyuluhan mengenai tidak membuang sampah sembarangan dan mendaur ulang sampah
  3. Udara : Melakukan penanaman kembali atau Reboisasi

Allah SWT memerintahkan manusia untuk merenungkan ciptaan-Nya.

msmcgartland.pbworks.com

Allah SWT memerintahkan manusia untuk merenungkan ciptaan-Nya.Alam semesta (ilustrasi)

Red: Nashih Nashrullah

REPUBLIKA.CO.ID, Tafakur memiliki kedudukan istimewa, terbukti dengan banyaknya ayat Alquran yang memotivasi kita untuk bertafakur. Dalam sebuah ayat, Allah mengajak akal kita berpetualang menafakuri air dan binatang ternak.

Baca Juga

"Dan Allah menurunkan dari langit itu air (hujan) dan dengan air itu dihidupkan-Nya bumi sesudah matinya. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda (kebesaran Tuhan) bagi orang-orang yang mendengarkan (pelajaran). Dan sesungguhnya pada binatang ternak itu benar-benar terdapat pelajaran bagi kamu. Kami memberimu minuman dari apa yang berada dalam perutnya (berupa) susu yang bersih antara tahi dan darah, yang mudah ditelan bagi orang-orang yang meminumnya” (QS An Nahl [16]: 65-66).

Terkadang, ajakan tafakur berbentuk pertanyaan, “Maka apakah mereka tidak memperhatikan unta, bagaimana ia diciptakan? Dan langit bagaimana ia ditinggikan? Dan gunung-gunung bagaimana ia ditegakkan? Dan bumi bagaimana ia dihamparkan?” (QS Al Ghaasyiah [88]: 17-20). 

Terkadang, pertanyaan yang diajukan disertai ancaman. Biasanya ditujukan kepada orang kafir. Difirmankan, “Maka apakah mereka tidak melihat langit dan bumi yang ada di hadapan dan di belakang mereka? Jika Kami menghendaki, niscaya Kami benamkan mereka di bumi atau Kami jatuhkan kepada mereka gumpalan dari langit.” (QS Saba' [34]: 9).

Prinsipnya, tafakur harus dilakukan sesuai dengan kapasitas akal yang terbatas. Akal tidak bisa menjangkau hal-hal yang tidak bisa disentuh panca indera. Karenanya, Rasulullah melarang menafakuri wujud dan bentuk Allah. Sabdanya, Berpikirlah kamu akan ciptaan-ciptaan Allah, dan jangan kamu berpikir tentang Dzat Allah. (HR Ath Thabrani)

Imam Al Ghazali menjelaskan, ciptaan Allah terbagi dua. Yaitu ciptaan yang tidak diketahui wujudnya, ini tidak mungkin ditafakuri. Serta ciptaan yang diketahui asal dan jumlahnya, namun tidak diketahui secara rinci, untuk mengetahuinya kita harus berpikir. Inilah obyek tafakur yang sempurna.

Dua di antara obyek tafakur yang sempurna adalah, pertama, alam semesta. Obyek ini meliputi, langit dengan semua yang ada di dalamnya seperti matahari, bintang dsb. Juga bumi dengan semua yang ada di dalamnya seperti gunung, hewan, tumbuhan dsb. Serta semua fenomena yang terjadi di dalamnya seperti proses terjadinya hujan, dsb.

Obyek ini disebutkan dalam banyak ayat. Di antaranya, Dan Dialah Tuhan yang membentangkan bumi dan menjadikan gunung-gunung dan sungai-sungai padanya. Dan menjadikan padanya semua buah-buahan berpasangan. Allah menutupkan malam kepada siang. Sesungguhnya pada yang demikian itu terdapat tanda-tanda (kebesaran Allah) bagi kaum yang memikirkan. (QS Ar Ra'd [13]: 3).

Kedua, manusia. Allah SWT berfirman, Dan mengapa mereka tidak memikirkan tentang (kejadian) diri mereka? (QS Ar Rum [30]: 8). Dalam diri manusia terdapat banyak hal yang bisa ditafakuri. Dari susunan tubuhnya hingga organ-organ tubuh yang menakjubkan.

Karena obyeknya begitu luas, maka untuk manafakurinya tidak dibatasi ruang dan waktu. Tidak salah kalau Malik Badri menyebut tafakur sebagai ibadah bebas tidak kenal batas. 

Memperhatikan alam semesta oleh seorang muslim dapat dijadikan sebagai sarana

sumber : Harian Republika

Umat Islam disuruh untuk bertafakur dan merenungi ciptaan Allah.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Fenomena penciptaan alam semesta beserta segala isinya adalah bukti nyata Kemahakuasaan Sang Khalik. Orang beriman sebagai makhluk yang berpikir disu ruh untuk merenungi, betapa hebat ke kuasaan Allah SWT yang telah menciptakan segala sesuatu.

Ahli agama dan filsafat tempo dulu sudah bertafakur tentang hakikat alam semesta. Banyak orang yang akhirnya me nyadari keberadaan Tuhan dengan merenungi ciptaan-Nya. Seperti Nabi Ibrahim AS yang juga menemukan Rabbnya melalui tafakur.

Bertafakur dan merenung adalah model berpikir yang dianjurkan dalam Islam. Seperti Firman Allah SWT, “Sesungguhnya da lam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal. (Yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk, atau dalam keadaan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi. (Mereka berkata), ‘Ya Tuhan kami, tiadalah Engkau menciptakan ini semua, dengan sia-sia. Maha Suci Engkau, maka peliharalah kami dari siksa neraka.” (QS Ali Imran [3]:190-191).

Ayat ini menyuruh umat Islam untuk merenungi fenomena yang terjadi di alam semesta. Tujuannya, agar bertambah keimanan di dada seorang hamba setelah ia menyadari betapa hebat kuasa Allah SWT yang mengatur alam tempat ia berada.

Rasulullah SAW dalam Hadisnya juga mengatakan, “Merenung sesaat lebih besar nilainya daripada amal-amal kebajikan yang dikerjakan oleh dua jenis makhluk (manusia dan jin).” (HR Ibnu Majah). Artinya, Allah SWT lebih menghargai orang yang bertafakur dan menyadari hakikat dirinya sebagai makhluk dan Allah SAW sebagai Khalik. Ketimbang seseorang yang hanya sibuk beribadah tanpa menyadari untuk siapa ia melakukan itu.

Umat Islam disuruh untuk bertafakur dan merenungi ciptaan Allah dan dilarang untuk memikirkan Zat Allah SWT. Kerdilnya ilmu yang dimiliki manusia tidak akan sanggup untuk membahas Zat Allah yang Maha Luas. Alquran menegaskan, berpikir dan merenung tentang kejadian alam dengan segala fenomenanya ini dapat dijadikan tanda adanya sang Pencipta, yaitu Allah SWT.

Dalam konsep kaum sufi , tafakur tidak hanya sekadar untuk mengetahui dan menetapkan adanya Tuhan, tetapi lebih dari itu, untuk mencari nilai dan rahasia dari sua tu objek yang sedang dipikirkan dan di renungkannya sebagai makhluk yang di ciptakan Tuhan tanpa sia-sia. Filsuf Is lam abad ke-20 Sayid Hussein an-Nasr mengatakan, kosmologi sufi dengan de mikian bertalian dengan aspek-aspek kua litatif dan simbolik benda-benda, bukan dengan aspek-aspek kuantitatif benda- ben da.

Ia menangkap, ada cahaya di atas benda- benda sehingga dengan demikian, benda- benda itu menjadi objek perenungan (ta fakur) yang bernilai, mudah dimengerti serta jernih, dan hilang kekaburan serta ke gelapannya.

Dalam Alquran, ada beberapa ka ta yang memiliki makna sama yang me merintahkan manusia untuk bertafakur. Di antaranya, kata-kata naiara (QS 50: 6-7) dan QS 86: 5-7), tadabbara (QS 38: 29 dan QS 47: 24), faqiha (QS 17: 44), tazakkara (QS 16: 17) dan QS 39: 9) jahirna (QS 21: 78-79), dan aqala (QS 8: 22 dan QS 16: 11-12).

Selain itu, ada pula sebutan-sebutan yang memberi sifat bagi seseorang yang berpikir, yaitu ulu al-albab yaitu orangorang yang berakal (QS 12: lll dan QS 3: 190), ulu al-‘ilm atau orang- orang yang berilmu (QS 3: 18), ulii an-nuha atau orangorang yang berakal (QS 20: 128), dan ulii alabsar atau orang-orang yang mempunyai penglihatan (QS 24: 44).

Kata ayat (tanda) dalam Alquran biasanya dihubungkan dengan perbuatan berpikir atau bertadabur (QS 3: 41 dan QS 19: 10). Biasanya, ayat yang menerangkan tentang fenomena-fenomena alam, akan dipakai kata-kata ayat sebagai indikasi untuk bertafakur. Para mufassir menyebut ayat ini dengan istilah ayat kauniyah.

Ayat kauniyah membahas ten tang kejadian alam (kosmos) yang meng indikasikan ada sesuatu yang terkandung di balik tanda itu. Tanda itu harus diper hatikan dan direnungkan untuk mengetahui arti yang terkandung di dalamnya. Jadi, tafakur atau memikirkan dan merenungkan kosmos ini adalah anjuran yang jelas dan tegas dalam Alquran.

Menurut kalangan kaum sufi , bertafakur adalah suatu jalan untuk memperoleh pengetahuan tentang Tuhan dalam arti yang hakiki. Imam al-Ghazali mengatakan, inilah yang diwadahi oleh tasawuf untuk merenung dan bertafakur, yang selanjutnya menjadi jalan yang akan membawa pada kebenaran hakiki. Al Ghazali mengatakan, pemahaman, pemikiran, dan perenungan tersebut dimulai dari hati yang berpusat di dada, bukan dilakukan melalui akal yang berpusat di kepala.

Pendapat ini sejalan dengan firman Allah SWT dalam Alquran surah al-Hajj ayat 46, surah at-Taubah ayat 93, dan surah Muhammad ayat 24 yang mengatakan, alat bertadabur adalah hati, bukan akal. Menurut al-Gazali, hati laksana cermin yang dapat menangkap sesuatu yang ada di luarnya. Untuk dapat menangkapnya dengan baik, hati harus bersih dari kotoran dan noda. Maksudnya, hati harus bersih dari berbagai macam dosa.

Memperhatikan alam semesta oleh seorang muslim dapat dijadikan sebagai sarana

sumber : Dialog Jumat Republika

Silakan akses epaper Republika di sini Epaper Republika ...