Masa iddah bagi istri yang ditinggal mati suami adalah

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا نَكَحْتُمُ الْمُؤْمِنَاتِ ثُمَّ طَلَّقْتُمُوهُنَّ مِنْ قَبْلِ أَنْ تَمَسُّوهُنَّ فَمَا لَكُمْ عَلَيْهِنَّ مِنْ عِدَّةٍ تَعْتَدُّونَهَا

Islam memberikan tuntunan bagi istri jika suami wafat.

EPA/LIONEL CIRONNEAU/POOL

Islam memberikan tuntunan bagi istri jika suami wafat. Hubungan Suami istri ( Ilustrasi )

Rep: Zahrotul Oktaviani Red: Nashih Nashrullah

REPUBLIKA.CO.ID, Ada beberapa hal yang harus dipahami seorang Muslimah jika ditinggal meninggal oleh sang suami. Islam memberikan tuntunan itu agar kehormatan Muslimah tetap terjaga.  

Baca Juga

Pertama, dia harus mengasah kesabaran jiwa dalam menghadapi musibah tersebut. "Dan sungguh Kami berikan cobaan kepadamu dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa, dan buah-buahan. Dan berikanlah berita gembira kepada orang-orang yang sabar." (QS al-Baqarah ayat 155).  

Kesabaran dalam menghadapi se buah musibah adalah salah satu bentuk ke baikan seorang hamba Allah SWT. Rasulullah SAW dalam HR Muslim pernah bersabda, "Sungguh mengherankan perkara seorang Mukmin itu. Sesungguhnya seluruh perkaranya adalah baik baginya. Dan hal itu tidak dimiliki oleh siapa pun kecuali oleh orang Mukmin. Jika mendapat sesuatu yang menggembirakan, dia bersyukur maka itu kebaikan baginya. Jika ditimpa keburukan, dia bersabar maka itu kebaikan baginya."

Seorang wanita yang ditinggal meninggal suaminya hendaknya tidak mengumbar kesedihannya. Apalagi, menyimpan kesedihan tersebut hingga berhari-hari dan menghabiskan harinya dengan menangis. Ini merupakan salah satu contoh ketidaksabarannya dalam menghadapi musibah yang ada. Bahkan, bisa saja karena perilaku sang istri, hal ini dicatat sebagai dosa bagi dirinya dan si mayit.

"Dua perkara yang terdapat pada manusia dan hal itu merupakan bentuk kekufuran adalah mencela nasab dan meratapi mayit." (HR Muslim). Seorang Muslimah yang terus meratapi mayit pun terancam dipakaikan celana dari timah cair dan baju dari kudis pada hari kiamat (HR Muslim). Mereka pun akan dikenakan azab kubur. 

Hendaknya seorang wanita yang sedang mengalami musibah bisa bersa bar dan mengucapkan istirja' dan doa. "(yaitu) orang-orang yang apabila ditimpa musibah, mereka mengucapkan: "Inna lillaahi wa innaa ilaihi raaji'uun," sabda Allah dalam QS al-Baqarah: 156. 

Nabi SAW pun mengajarkan doa kepada Ummu Salamah RA yang ditinggal wafat suaminya, "Sesungguhnya kami adalah kepunyaan Allah dan sesungguhnya kami akan kembali kepada-Nya. Ya Allah, berilah pahala atas musibah yang menimpaku dan gantikanlah dengan yang lebih baik." (HR Muslim).

Setelah bisa melalui musibah ini de ngan kesabaran, seorang Muslimah akan menghadapi masa 'Iddah. Ini adalah masa tunggu seorang wanita karena perceraian atau kematian suami. Seorang istri yang ditinggal wafat suaminya tidak lepas dari dua keadaan: hamil atau tidak hamil. Apabila wanita itu hamil maka 'Iddahnya adalah saat melahirkan selu ruh kandungannya. Allah berfirman dalam QS ath-Thalaq ayat 4, "Dan perempuan-perempuan yang hamil, waktu iddah mereka itu ialah sampai mereka melahirkan kandungannya."

Adapun bagi wanita yang tidak hamil maka masa 'Iddahnya adalah empat bulan 10 hari. Hal ini berlaku baik wanita itu sudah dikumpuli atau belum dikum puli, baik itu wanita muda maupun sudah tua. "Orang-orang yang meninggal dunia di antaramu dengan meninggalkan istri-istri (hendaklah para istri itu) menangguhkan dirinya (ber'iddah) empat bulan 10 hari. Kemudian apabila telah habis 'iddahnya, maka tiada dosa bagimu (para wali) membiarkan mereka berbuat terhadap diri mereka menurut yang patut. Allah mengetahui apa yang kamu perbuat." (QS al-Baqarah: 234).

Selama masa 'Iddah, ada beberapa hal yang hendaknya diperhatikan oleh seorang wanita. Beberapa, di antaranya, wanita tersebut wajib tinggal di rumah di mana suaminya meninggal dunia, tidak berpindah tempat kecuali karena ada alasan syar'i. Rasulullah SAW bersabda kepada Furai'ah binti Malik RA, "Tinggallah di rumahmu hingga masa 'iddahmu selesai." (HR Tirmidzi).

Dia pun harus berada di dalam rumah dan tidak keluar rumah kecuali ada kebutuhan mendesak. Muslimah juga wajib berkabung (ihdad) selama batas waktu yang telah ditentukan. Nabi pernah bersabda, "Seorang wanita yang beriman kepada Allah dan hari akhir tidak boleh berkabung lebih dari tiga hari kecuali karena kematian suami, yaitu selama empat bulan 10 hari." (HR Muslim).

Dia  hendaknya tidak memakai make up, perhiasan, pakaian yang bagus, atau wewangian. Hal ini berdasarkan hadis Ummu Salamah RA secara marfu', "Seorang wanita yang ditinggal mati suaminya dilarang memakai pakaian yang dicelup dengan 'ushfur (pewarna merah), pakaian merah, mengenakan perhiasan, mewarnai kuku, dan celak." (HR Bukhari). 

Masa iddah bagi istri yang ditinggal mati suami adalah

Ada adab yang perlu dijaga oleh istri yang suaminya wafat.

Foto : MgRol_92

Adab Istri yang Ditinggal Wafat Suami di Masa Iddah

Rep: Imas Damayanti Red: Ani Nursalikah

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Khusus bagi perempuan yang ditinggal mati suami dan sedang menjalani masa iddah (batasan waktu yang masih tersisa dari bekas nikah), ada adab yang perlu dijaga.

Baca Juga

Muhammad Bagir dalam buku Muamalah Menurut Alquran, Sunnah, dan Para Ulama menjelaskan, istri yang ditinggal mati suami hendaknya menunjukkan kesedihan (hidad/ihdad) atas wafatnya suami yang selama ini hidup bersamanya. Menunjukkan kesedihan merupakan manifestasi atas kesetiaan istri terhadap suami.

Tak hanya itu, adab semacam itu juga untuk menunjukkan dan tidak menyinggung perasaan keluarga almarhum suaminya. Demikian pula dianjurkan sepanjang masa iddahnya itu, seorang istri yang ditinggal mati suami menghindari wangi-wangian di pakaian dan tubuhnya (kecuali sedikit saja apabila diperlukan).

Kalaupun dia terpaksa harus keluar rumah, dijelaskan, hendaknya dia berpenampilan sesederhana mungkin tanpa mengenakan kosmetik atau perhiasan dan lain sebagainya yang sekiranya dapat menimbulkan fitnah. Baik fitnah yang bentuknya gangguan, gunjingan, maupun juga fitnah-fitnah lainnya yang memungkinkan.

Baik itu fitnah bagi dirinya sendiri maupun fitnah yang barangkali dapat menimpa orang-orang di sekelilingnya. Adab semacam ini perlu untuk diperhatikan sebab adab adalah cirinya akhlak orang-orang Islam.

Masa iddah bagi istri yang ditinggal mati suami adalah

Infografis 4 Etika Istri Keluar Rumah untuk Bekerja - (Republika.co.id)

  • adab istri
  • istri ditinggal wafat
  • suami meninggal
  • suami wafat
  • masa iddah

Masa iddah bagi istri yang ditinggal mati suami adalah

Silakan akses epaper Republika di sini Epaper Republika ...

CARA menghitung masa iddah wajib diketahui setiap perempuan yang berstatus janda dan hendak menikah lagi di kemudian hari. Ada perbedaan masa iddah antara perempuan yang dicerai dengan ditinggal wafat suaminya.

Dikutip dari NU Online, Senin (20/12/2021), Ustadz Yazid Muttaqin, alumnus Pondok Pesantren Al Muayyad Surakarta, kini aktif sebagai penghulu di Kantor Kementerian Agama Kota Tegal, menjelaskan bahwa perempuan yang berpisah dengan suaminya, baik karena dicerai maupun karena ditinggal mati, memiliki masa iddah atau masa tunggu yang harus dipenuhi sebelum ia menikah kembali dengan laki-laki lain. Ada banyak hal yang tidak boleh dilakukan oleh seorang perempuan yang bercerai sampai masa iddahnya telah selesai.

Baca juga: Hukum Menikahi Saudara Tiri, Bolehkah dalam Islam? 

Ia melanjutkan, masa iddah ini berbeda-beda tergantung bagaimana kondisi perempuan itu saat terjadinya perceraian. Perempuan yang ditinggal mati suaminya maka dia harus menjalani masa iddah selama 4 bulan 10 hari.

Perempuan yang dicerai dalam keadaan hamil masa iddahnya sampai melahirkan. Perempuan yang selama hidupnya belum pernah mengalami haid dan perempuan yang sudah manupouse masa iddahnya selama 3 bulan.

Baca juga: Hukum Memindahkan Makam Menurut Ajaran Islam, Haram atau Boleh? 

Sedangkan perempuan yang dicerai oleh suaminya dalam keadaan tidak hamil, sudah pernah mengalami haid dan sudah pernah berhubungan badan masa iddahnya adalah 3 kali suci.

Bila dilihat keempat masa iddah tersebut bisa dipahami bahwa masa iddah perempuan yang ditinggal mati, perempuan yang hamil, dan perempuan yang belum pernah haid atau sudah maupouse ditentukan dengan batasan waktu yang pasti seperti 4 bulan 10 hari dan 3 bulan, atau dengan sebuah peristiwa yang terukur yakni melahirkan.

Dengarkan Murrotal Al-Qur'an di Okezone.com, Klik Tautan Ini: https://muslim.okezone.com/alquran

Sedangkan masa iddah bagi perempuan yang dicerai suaminya tidak ditentukan dengan batasan waktu yang jelas, namun dengan sebuah peristiwa yang tidak bisa diukur secara pasti, yakni tiga kali suci.

Masa tiga kali suci ini tidak bisa dipastikan ukuran waktunya mengingat siklus haid seorang perempuan bisa jadi berbeda-beda satu sama lain. Apalagi bila seorang perempuan mengalami masalah hormonal yang tidak normal, tidak menutup kemungkinan akan mengalami masa suci yang sangat panjang sehingga menyebabkan masa iddahnya semakin lama.

Baca juga: 7 Syarat Hak Asuh Anak dalam Hukum Islam, Nomor 1 soal Kesehatan Wajib Terpenuhi 

Ini dikarenakan masa suci dapat terjadi dalam kurun waktu yang tidak terbatas. Berbeda dengan masa haid yang batas maksimalnya hanya 15 hari.

Tentang batasan masa haid dan suci ini, Syekh Salim bin Sumair Al-Hadlrami menjelaskan batas minimal masa haid adalah satu hari satu malam, umumnya masa haid 6 atau 7 hari, dan maksimal masa haid 15 hari 15 malam. Sedangkan masa suci di antara dua masa haid paling cepat adalah 15 hari, umumnya 24 atau 23 hari, dan paling lama tidak terbatas. (Salim bin Sumair Al-Hadlrami, Safînatun Najâh, [Beirut: Darul Minhaj, 2009], halaman 29).

Baca juga: Hukum Menikahi Ibu Tiri Menurut Islam, Haram atau Boleh? 

Permasalahannya kemudian adalah bila masa iddah ditentukan dengan batasan tiga kali suci tanpa bisa dipastikan bilangan waktunya, lalu bagaimana cara menghitung masa iddah tiga kali suci? Kapan seorang perempuan dinyatakan belum atau telah selesai menjalani masa iddah tiga kali suci?

Dalam hal ini para ulama fikih memberikan patokan umum yang dapat digunakan untuk menentukan kapan seorang perempuan telah menyelesaikan masa iddahnya.

Syekh Nawawi Banten dalam kitabnya Nihayatuz Zain —juga ulama Syafiiyah lainnya dalam kitab mereka— memberi patokan yang dapat digunakan untuk menghitung masa iddah sebagai berikut:

فَإِن طلقت طَاهِرا وَقد بَقِي من الطُّهْر لَحْظَة انْقَضتْ الْعدة بالطعن فِي حَيْضَة ثَالِثَة أَو طلقت حَائِضًا وَإِن لم يبْق من زمن الْحيض شَيْء فتنقضي عدتهَا بالطعن فِي حَيْضَة رَابِعَة إِذْ مَا بَقِي من الْحيض لَا يحْسب قرءا قطعا

Artinya: "Apabila seorang perempuan dicerai dalam keadaan suci dan masih tersisa sedikit waktu dari masa suci itu maka masa iddahnya berakhir pada saat masuk masa haid yang ketiga. Atau bila ia dicerai dalam keadaan haid, meskipun tidak tersisa sedikit pun masa haid, maka iddahnya berakhir pada saat masuk masa haid yang keempat, karena masa haid yang tersisa pada saat dicerai secara pasti tidak dihitung sebagai masa suci." (Muhammad Nawawi Al Jawi, Nihayatuz Zain, [Bandung: Al Ma’arif, tt], halaman 328).

Wallahu a'lam bishawab.

Baca juga: Hukum Suami Minum Susu Istri, Boleh atau Haram? Ini Kata Ustadz Khalid Basalamah 

  • #Hukum Islam
  • #Masa Iddah
  • #Cara Menghitung Masa Iddah