Ketika ada pembangunan rumah ibadah untuk penganut agama selain Islam

Pertanyaan (Zainal, bukan nama sebenarnya):

Bagaimana hukumnya seorang muslim yang membangun tempat ibadah umat lain? Dan bagaimana hukumnya masjid dibangun oleh seorang non-muslim?

Jawaban (Kiai Muhammad Hamdi):

Hukum muslim membangun tempat ibadah umat non-muslim dapat dilihat dari beberapa sudut pandang dan akad yang digunakan. 

Pertama, jika menggunakan akad wakaf, di mana seorang muslim mewakafkan hartanya untuk tempat ibadah agama lain atau untuk fasilitasnya, maka ulama empat mazhab fikih sepakat menghukumi tidak sahnya wakaf tersebut. Hal ini dikarenakan syarat dari wakaf adalah tidak diarahkan ke jalan kemaksiatan (dalam hal ini, penyembahan kepada selain Allah). Sementara penyembahan kepada selain Allah dan penyekutukan Allah adalah kemaksiatan terbesar dalam pandangan Islam. 

Ulama fikih kontemporer Syeikh Wahbah Az-Zuhaili menyatakan:

فَلَا يَصِحُّ وَقْفُ الْمُسْلِمِ عِنْدَ الْحَنَفِيَّةِ عَلَى بِيْعَةٍ أَوْ كَنِيْسَةٍ لِعَدَمِ كَوْنِهِ قُرْبَةً فِيْ ذَاتِهِ وَلَا يَصِحُّ الْوَقْفُ فِيْ مَذْهَبِ الْمَالِكِيَّةِ عَلَى كَنِيْسَةٍ.

وَلَا يَصِحُّ الْوَقْفُ مِنْ مُسْلِمٍ أَوْ ذِمِّيٍّ فِي رَأْيِ الشَّافِعِيَّةِ عَلَى جِهَةٍ مَعْصِيَّةٍ أَوْ مَالَا قُرْبَةَ فِيْهِ كَعِمَارَةِ وَتَرْمِيْمِ الْكَنَائِسِ وَنَحْوِهَا مِنْ مُتَعَّبَدَاتِ الْكُفَّارِ لِلتَّعَبُّدِ فِيْهَا.

وَلَا يَصِحُّ الْوَقْفُ لَدَى الْحَنَابِلَةِ مِنْ مُسْلِمٍ أَوْ ذِمِّيٍّ عَلَى كَنَائِسَ وَبُيُوْتِ نَارٍ وَبِيَعٍ وَصَوَامِعَ وَأَدِيْرَةٍ، وَمَصَالِحِهَا كَقَنَادِيْلِهَا وَفَرَشِهَا وَوَقُوْدِهَا وَسَدَنَتِهَا لِأَنَّهُ كَمَا ذَكَرَ الشَّافِعِيَّةِ إِعَانَةٌ عَلَى مَعْصِيَّةٍ.

Tidak sah wakafnya muslim menurut mazhab Hanafi kepada gereja atau sinagoge (tempat ibadah agama Yahudi) karena tidak terdapat kebaikan (ibadah) dalam substansi wakaf tersebut, dan tidak sah menurut mazhab Maliki wakaf kepada sinagoge.

Tidak sah wakaf baik dari seorang muslim atau pun dzimmi (non-muslim yang tinggal di negara Islam dan bersedia menjalankan peraturan dan hukum yang berlaku di sana), menurut pendapat mazhab Syafii, kepada arah maksiat atau sesuatu yang tidak ada nilai ibadahnya seperti membangun sinagoge, memperbaikinya, dan semacamnya yang berupa tempat-tempat ibadah orang-orang non muslim (yang dibangun) untuk ritual ibadah mereka.

Tidak sah wakaf menurut mazhab Hanbali, baik dari muslim atau pun dzimmi, kepada sinagoge, rumah-rumah api (tempat ibadah kaum Majusi), gereja, biara, kuil, dan fasilitas-fasilitasnya seperti lampu, alas tidur, bahan bakarnya, dan pelayannya karena hal itu—sebagaimana disebutkan oleh mazhab Syafii membantu kemaksiatan.

Kedua, jika menggunakan akad penjualan jasa atau disebut juga dengan akad ijarah (sewa), di mana seorang muslim menjual jasa tenaga dan kemampuannya untuk bekerja membangun tempat ibadah agama lain, maka tiga ulama mazhab (mazhab Maliki, Syafii, dan Hanbali) juga mengharamkan dan tidak mengesahkannya.

Allah berfirman: 

وَتَعَاوَنُوْا عَلَى الْبِرِّ وَالتَّقْوٰىۖ وَلَا تَعَاوَنُوْا عَلَى الْاِثْمِ وَالْعُدْوَانِ

Tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan permusuhan (QS. Al-Maidah [5]:2). 

Dalil inilah yang dijadikan landasan oleh ketiga mazhab dalam hal keharaman umat muslim dalam membangun tempat peribadatan umat lain. Karena hal tersebut bukanlah tolong-menolong dalam kebaikan, tetapi tolong-menolong dalam hal dosa (i.e., mendukung penyekutuan Allah). 

Menurut ketiga mazhab tersebut, benar bahwa Islam mengajarkan toleransi antar umat beragama, tapi toleransi yang dimaksud adalah menghormati umat lain beribadah secara leluasa sesuai keyakinannya. Namun, itu  bukan berarti untuk turut langsung membantu umat lain dalam membangun tempat ibadah mereka. 

Imam Syafii mengatakan:

وَأَكْرَهُ لِلْمُسْلِمِ أَنْ يَعْمَلَ بِنَاءً أَوْ نِجَارَةً أَوْ غَيْرَهُ فِي كَنَائِسِهِمْ الَّتِي لِصَلَوَاتِهِمْ

Aku benci seorang muslim yang bekerja membangun, menjadi tukang kayu, atau lainnya dalam gereja-gereja mereka yang digunakan untuk ibadah mereka.

Ulama mazhab Syafii Syeikh Al-Khathib Asy-Syirbini (w. 1570 M) mengatakan:

وَلَا يَنْبَغِي لِفَعَلَةِ الْمُسْلِمِينَ وَصُيَّاغِهِمْ أَنْ يَعْمَلُوا لِلْمُشْرِكِينَ كَنِيسَةً أَوْ صَلِيبًا

Tidak seharusnya bagi para pekerja dan para tukang cetak emas/perak muslim untuk membuat sinagoge/gereja atau salib bagi orang-orang musyrik (menyekutukan Allah).

Ulama mazhab Syafii, Imam As-Subki mengatakan bahwa kekufuran itu sejatinya dilarang baik untuk muslim maupun non-muslim. Oleh karena itu, membangun tempat ibadah apa pun di mana Allah dipersekutukan, hukumnya haram baik untuk muslim maupun non-muslim sekalipun. 

Murid Imam Malik, Imam Ibnu Al-Qasim, pernah ditanya: bolehkah seseorang mempekerjakan dirinya untuk membangun gereja, menurut Imam Malik?

Imam Ibnu Al-Qasim menjawab, “Tidak boleh karena Imam Malik berkata tidak boleh seseorang mempekerjakan dirinya untuk sesuatu yang diharamkan. Imam Malik juga mengatakan, ‘Seseorang tidak boleh menyewa atau menjual rumahnya untuk digunakan sebagai gereja.’” 

International Islamic Fiqh Academy (مجمع الفقه الإسلامي الدولي) dalam muktamar tahun 1986 di Yordania memberikan putusan haram hukumnya bagi seorang muslim yang bekerja membangun tempat ibadah agama lain atau membantu pembangunannya.

Sementara itu, mazhab Hanafi memperbolehkan seorang muslim untuk bekerja membangun tempat ibadah agama lain, karena substansi dari membangun sebuah bangunan bukanlah suatu kemaksiatan. 

Syeikh Wahbah Az-Zuhaili mengemukakan:

يَجُوْزُ لِلشَّخْصِ عِنْدَ أَبِيْ حَنِيْفَةَ أَنْ يُؤْجِرَ نَفْسَهُ أَوْ سَيَّارَتَهُ أَوْ دَابَّتَهُ بِأَجْرٍ لِتَعْمِيْرِ كَنِيْسَةٍ، أَوْ لِحَمْلِ خَمْرِ ذِمِّيٍّ، لَا لِعَصْرِهَا لِأَنَّهُ لَا مَعْصِيَّةَ فِي الْفِعْلِ عَيْنِهِ.

Boleh bagi seseorang menurut Imam Abu Hanifah untuk menyewakan dirinya, mobilnya, atau tunggangannya dengan upah untuk membangun sinagoge atau membawa khamr milik dzimmi, bukan untuk memeras anggur (untuk dijadikan khamr), karena tidak ada kemaksiatan dalam substansi pekerjaan itu.

Ibnu Najim Al-Hanafi (w. 1563 M) dalam kitab Al-Bahr Ar-Ra’iq Syarh Kanz ad-Daqa’iq, mengatakan:

وَفِي التَّتَارْخَانِيَّة: وَلَوْ أَجَّرَ الْمُسْلِمُ نَفْسَهُ لِذِمِّيٍّ لِيَعْمَلَ فِي الْكَنِيسَةِ فَلَا بَأْسَ بِهِ

Di dalam Al-Fatawa At-Tatarkhaniyah (kitab kumpulan fatwa mazhab Hanafi karya Syeikh Alim bin Al-‘Ala Ad-Dahlawi): Jika seorang muslim menyewakan (menjual jasa) dirinya kepada seorang dzimmi untuk bekerja di sinagoge, maka tidak apa-apa.

Grand Mufti Mesir Syeikh DR. Syauqi Ibrahim ‘Allam dalam salah satu fatwanya memilih pendapat mazhab Hanafi yang menghalalkan dan memperbolehkan seorang muslim yang bekerja membangun tempat ibadah agama lain.

Para ulama yang membolehkan muslim bekerja membangun atau merawat tempat ibadah agama lain umumnya mengutip ayat berikut ini sebagai dalil:

وَلَوْلَا دَفْعُ اللّٰهِ النَّاسَ بَعْضَهُمْ بِبَعْضٍ لَّهُدِّمَتْ صَوَامِعُ وَبِيَعٌ وَّصَلَوٰتٌ وَّمَسٰجِدُ يُذْكَرُ فِيْهَا اسْمُ اللّٰهِ كَثِيْرًاۗ

Seandainya Allah tidak menolak (keganasan) sebagian manusia dengan sebagian yang lain, tentu telah dirobohkan biara-biara, gereja-gereja, sinagoge-sinagoge, dan masjid-masjid yang di dalamnya banyak disebut nama Allah (QS. Al-Hajj [22]:40). 

Para ulama tersebut berpendapat bahwa Allah tidak menghendaki kehancuran rumah-rumah ibadah. Sehingga tidak mengapa bagi muslim untuk membangun atau memeliharanya, termasuk rumah ibadah umat lain seperti gereja dan sinagoge.

Non-muslim membangun masjid

Apabila non-muslim memberikan hartanya untuk pembangunan masjid, jika harta yang diberikan tersebut berupa wakaf, maka terdapat perbedaan di antara beberapa ulama mazhab. Mazhab Maliki  dan Hanafi berpendapat bahwa wakaf tersebut tidak sah. Sementara mazhab Syafii dan Hanbali menganggap sah. 

Berikut adalah argumen dari beberapa ulama mazhab yang dikemukakan oleh Syeikh Wahbah Az-Zuhaili:

1. Mazhab Maliki

وَالْمُعْتَمَدُ لَدَى الْمَالِكِيَّةِ قَوْلٌ آخَرُ لِابْنِ رُشْدٍ وَهُوَ بُطْلَانُ وَقْفِ الذِّمِّيِّ عَلَى الْكَنِيْسَةِ مُطْلَقاً وَبُطْلَانُ وَقْفِ الْكَافِرِ لِنَحْوِ مَسْجِدٍ وَرِبَاطٍ وَمَدْرَسَةٍ مِنَ الْقُرَبِ الْإِسْلَامِيَّةِ.

Pendapat yang kuat menurut mazhab Maliki adalah pendapat lain dari Ibnu Rusyd yaitu batalnya wakaf dari seorang dzimmi untuk sinagoge secara mutlak, dan batalnya wakaf dari non-muslim untuk semisal masjid, pesantren, dan madrasah yang berupa kebaikan-kebaikan Islami.

2. Mazhab Hanafi berpendapat bahwa hukum wakafnya non-muslim untuk masjid adalah tidak sah, karena hal tersebut bukan amal baik menurut kepercayaan non-muslim.

أَمَّا وَقْفُ غَيْرِ الْمُسٍلِمِ عَلَى الْمَسْجِدِ فَغَيْرُ صَحِيْحٍ لِأَنَّهُ وَإِنْ كَانَ قُرْبَةً فِيْ نَظَرِ الْإِسْلَامِ لَيْسَ قُرْبَةً فِي اعْتِقَادِ الْوَاقِفِ.

Adapun wakafnya non-muslim untuk masjid, maka tidak sah, karena meskipun hal itu merupakan ibadah dalam pandangan Islam, akan tetapi bukan ibadah dalam keyakinan sang pemberi wakaf.

3. Mazhab Syafii dan Hanbali

وَقَالَ الشَّافِعِيَّةُ وَالْحَنَابِلَةُ: اَلْعِبْرَةُ بِكَوْنِ الْوَقْفِ قُرْبَةً فِيْ نَظَرِ الْإِسْلَامِ سَوَاءٌ أَكَانَ قُرْبَةً فِي اعْتِقَادِ الْوَاقِفِ أَمْ لَا فَيَصِحُّ وَقْفُ الْكَافِرِ عَلَى الْمَسْجِدِ لِأَنَّهُ قُرْبَةٌ فِيْ نَظَرِ الْإِسْلَامِ.

Mazhab Syafii dan Hanbali mengatakan, “Yang menjadi tolak ukur adalah adanya wakaf (ditujukan) untuk amal kebaikan dalam pandangan Islam, baik wakaf tersebut adalah kebaikan menurut kepercayaan sang pemberi wakaf atau pun tidak. Oleh karena itu, wakafnya non-muslim untuk masjid adalah sah, karena hal tersebut adalah amal baik dalam pandangan Islam.

Apabila non-muslim mewasiatkan hartanya untuk pembangunan masjid, maka wasiat tersebut boleh dan sah. Imam Nawawi berkata di dalam Raudhah ath-Thalibin mengatakan:

يَجُوزُ لِلْمُسْلِمِ وَالذِّمِّيِّ الْوَصِيَّةُ لِعِمَارَةِ الْمَسْجِدِ الْأَقْصَى وَغَيْرِهِ مِنَ الْمَسَاجِدِ

Boleh bagi muslim dan dzimmi berwasiat untuk kemakmuran Masjid Al-Aqsha dan masjid-masjid lainnya.

Jika akad yang digunakan adalah hadiah, infak, atau sedekah yang sifatnya sukarela dari non-muslim, maka hal itu boleh dan sah. Begitu pula jika seorang non-muslim bekerja membangun fisik masjid, maka mayoritas ulama memperbolehkannya, selama ia tidak dijadikan sebagai pengurus masjid atau orang yang memiliki wewenang dalam kemakmuran masjid. Misalnya, Masjid Istiqlal sendiri dirancang oleh Friedrich Silaban, seorang Nasrani.

Syeikh Wahbah Az-Zuhaili mengatakan di dalam Tafsir Al-Munir:

وَالْأَصَحُّ أَنَّهُ يَجُوْزُ اسْتِخْدَامُ الْكَافِرِ فِيْ بِنَاءِ الْمَسَاجِدِ وَالْقِيَامِ بِأَعْمَالٍ لَا وِلَايَةٌ لَهُ فِيْهَا كَنَحْتِ الْحِجَارَةِ وَالْبِنَاءِ وَالنِّجَارَةِ.

Pendapat yang terkuat adalah bahwasanya boleh meminta non-muslim menjadi pekerja/tukang dalam pembangunan masjid dan menjalankan pekerjaan-pekerjaannya, bukan memberi kekuasaan padanya, seperti mengukir batu, membangun (fisik masjid), dan menjadi tukang kayu (kusen atau mebel).

Kesimpulan

Sahabat KESAN yang budiman, ulama empat mazhab (Syafii, Maliki, Hanbali, dan Hanafi) sepakat mengharamkan seorang muslim yang membangun tempat ibadah umat non-muslim, jika akadnya adalah wakaf. 

Namun, jika dengan akad jual beli (seorang muslim yang memberikan tenaga/keahliannya) atau sewa maka ulama mazhab Hanafi membolehkan, tetapi ketiga ulama mazhab selainnya (Syafii, Maliki, dan Hanbali) mengharamkan. 

Sementara itu, terkait dengan non-muslim yang membangun masjid dengan akad wakaf, maka ulama mazhab Maliki  dan Hanafi menyatakan tidak sah. Sementara mazhab Syafii dan Hanbali menganggap sah. 

Wallahu a’lam bi ash-shawabi.

Referensi: Al-Fiqh Al-Islami Wa Adillatuh dan Tafsir Al-Munir; Wahbah Az-Zuhaili; Al-Umm; Asy-Syafii; Mughni Al-Muhtaj; Al-Khathib Asy-Syirbini; Al-Bahr Ar-Ra’iq; Ibn Najim Al-Hanafi; Raudhah Ath-Thalibin; An-Nawawi.

###

*Jika artikel di aplikasi KESAN dirasa bermanfaat, jangan lupa share ya. Semoga dapat menjadi amal jariyah bagi kita semua. Aamiin. Download atau update aplikasi KESAN di Android dan di iOS. Gratis, lengkap, dan bebas iklan. 

**Punya pertanyaan terkait Islam? Silakan kirim pertanyaanmu ke [email protected]