Kayu jati adalah jenis tanaman yang menghasilkan bahan kerajinan

Jakarta -

Yuk kenali lebih dalam terkait jenis, manfaat, habitat dan karakteristik pohon jati.

Pohon jati merupakan pohon yang menghasilkan kayu berkualitas tinggi. Pohon jati ini memiliki kayu yang kuat dan awet untuk membuat furniture. Kayu dari pohon jati merupakan kayu berkualitas tinggi dan dihasilkan dari pohon yang berumur lebih dari 80 tahun.

Pohon jati dapat tumbuh hingga ratusan tahun, di Indonesia pohon jati terbesar dan tertua yaitu pohon 'Jati Denok' yang tumbuh di Blora, Jawa Tengah.

Berikut adalah penjelasan mengenai pohon jati yang dikutip dari Dinas Kehutanan Provinsi Yogyakarta:

Jenis-Jenis Pohon Jati

Di masyarakat Jawa terdapat beberapa jenis pohon jati yaitu:

1. Jati lengo atau jati malam, pohon ini memiliki kayu yang keras, berat, terasa halus apabila diraba dan seperti mengandung minyak. Jati lengo juga berwarna gelap, berbercak, dan bergaris.

2. Jati sungu, berwarna hitam, padat, dan berat.

3. Jati werut, yaitu pohon jati yang memiliki kayu yang keras dan serat berombak.

4. Jati doreng, berkayu sangat keras dengan warna loreng-loreng hitam menyala, sangat indah.

5. Jati kembang.

6. Jati kapur, kayunya berwarna keputih-putihan karena mengandung banyak kapur. Kurang kuat dan kurang awet.

Manfaat Pohon Jati

Pohon jati terdiri dari beberapa bagian yang memiliki manfaat sebagai berikut:

1. Daun Jati

Daun jati dapat dimanfaatkan sebagai pembungkus makanan. Nasi yang dibungkus dengan daun jati akan terasa lebih nikmat. Contohnya adalah nasi jamblang yang terkenal dari Cirebon. Selain itu daun jati juga banyak digunakan di Yogyakarta, Jawa Tengah, dan Jawa Timur sebagai pembungkus tempe.

2. Hama Jati

Berbagai jenis serangga hama jati juga sering dimanfaatkan sebagai bahan makanan orang desa. Dua di antaranya adalah belalang jati (Jw. walang kayu), yang besar berwarna kecoklatan, dan ulat jati (Endoclita). Ulat jati bahkan kerap dianggap makanan istimewa karena lezatnya.

3. Kayu Jati

Kayu jati dimanfaatkan untuk membangun rumah dan juga alat pertanian. Kayu jati pada masa perang juga digunakan untuk membangun kapal-kapal niaga dan kapal-kapal perang. Saat ini kayu jati digunakan sebagai furnitur.

Habitat Pohon Jati

Pohon Jati menyebar luas mulai dari India, Myanmar, Laos, Kamboja, Thailand, Indochina, sampai ke Jawa. Pohon Jati sendiri tumbuh di hutan-hutan gugur, yang menggugurkan daunnya di musim kemarau.

Pohon Jati dapat bertumbuh di iklim kering yang nyata, namun tidak terlalu panjang. Memiliki curah hujan antara 1.200-3.000 mm per tahun dan dengan intensitas cahaya yang cukup tinggi sepanjang tahun.

Ketinggian tempat yang optimal adalah antara 0 - 700 m dpl; meski jati bisa tumbuh hingga 1.300 m dpl.

Di luar Jawa, pohon jati dapat ditemukan di Pulau Sulawesi, Pulau Muna, daerah Bima di Pulau Sumbawa, dan Pulau Buru. Pohon jati berkembang juga di daerah Lampung di Pulau Sumatera.

Sedangkan di Jawa, pohon jati menyebar di pantai utara Jawa, mulai dari Kerawang hingga ke ujung timur pulau ini. Namun, hutan jati paling banyak menyebar di Provinsi Jawa Tengah dan Jawa Timur.

Di kedua provinsi ini, hutan jati sering terbentuk secara alami akibat iklim muson yang menimbulkan kebakaran hutan secara berkala. Hutan jati yang cukup luas di Jawa terpusat di daerah alas roban Rembang, Blora, Groboragan, dan Pati. Bahkan, jati jawa dengan mutu terbaik dihasilkan di daerah tanah perkapuran Cepu, Kabupaten Blora, Jawa Tengah.

Karakteristik Pohon Jati

1. Tinggi pohon dapat mencapai 50 meter hingga 1,2 meter.

2. Umur pohon jati biasanya adalah diatas 40 tahun.

3. Pohon jati tumbuh sangat lambat sehingga densitas kayunya pun lebih baik. Untuk tumbuh sebesar 40 cm dibutuhkan minimal 50 tahun masa tumbuh pohon jati.

Simak Video "Berburu Jajanan Kekinian di Willow Habitat Bintaro"



(atj/lus)

Kayu jati adalah jenis tanaman yang menghasilkan bahan kerajinan

Ditulis oleh: Febriani Chaniago (171510701059)
Penulis adalah Mahasiswa Program Studi Proteksi Tanaman Fakultas Pertanian Universitas Jember

Tanaman jati merupakan sejenis pohon penghasil kayu yang berkualitas tinggi, kayu yang dihasilkan oleh pohon jati ini sangat kuat dan awet sehingga cocok digunakan sebagai bahan baku pembuatan furniture, kayunya yang berkualitas tinggi membuat kayu jati banyak diminati oleh banyak orang, maka tidak heran jika pohon jati menjadi komoditas unggulan dibidang kehutanan. Kayu jati yang berkualitas tinggi pada umumnya berasal dari pohon yang berumur lebih dari 80 tahun, pohon jati ini juga mampu tumbuh hingga berumur ratusan tahun, di Indonesia pohon jati terbesar dan tertua yaitu pohon “Jati Denok” yang tumbuh di Blora, Jawa Tengah.

Kayu jati juga merupakan kayu yang selalu menjadi primadona di pasaran, terutama dalam daftar buruan industri-industri perkayuan. Hal seperti ini tidak sebanding dengan waktu yang cukup lama yang dibutuhkan pohon jati untuk tumbuh, kondisi seperti ini tentunya berdampak pada stock kayu jati itu sendiri di hutan. Saat ini, pohon jati jenis Tectona grandis memang belum termasuk dalam kategori langka. Namun, apabila kondisi seperti ini terus terjadi maka seiring dengan berjalannya waktu pohon jati akan mengalami kelangkaan. Pohon jati memiliki pertumbuhan yang sangat lambat dengan germinasi rendah (biasanya kurang dari 50 %) yang membuat proses propagasi secara alami menjadi sulit, sehingga tidak cukup untuk menutupi permintaan atas kayu jati.

Jati biasanya diproduksi secara konvensional dengan menggunakan biji, akan tetapi produksi bibit dengan jumlah besar dalam waktu tertentu menjadi terbatas karena adanya lapisan luar biji yang keras, beberapa alternatif telah dilakukan untuk mengatasi ini yaitu seperti merendam biji dalam air, memanaskan biji dengan air atau pasir panas dan menambahkan asam, basa atau bakteri, tetapi alternatif tersebut masih belum optimal untuk menghasilkan jati dalam jangka waktu yang cepat dengan jumlah yang banyak. Umumnya jati yang sedang proses pembibitan rentan terhadap beberapa penyakit, yaitu seperti leaf spot disease yang disebabkan oleh Pomopis sp., Colletotrichum gloeosporioides, Alternaria sp., dan Culvuralia sp., leaf rust yang disebabkan oleh olivea tectonea, dan powdery mildew yang disebabkan oleh Uncinuka tectonae.

Phomosi sp. merupakan penginfeksi paling banyak, tercatat 95% bibit terkena infeksi pada tahun 1993–1994, infeksi tersebut terjadi pada bibit yang berumur 2–8 bulan. Karakterisasi dari infeksi ini yaitu adanya necrosis berwarna coklat muda pada pinggir daun yang kemudian secara bertahap menyebar ke pelepah, infeksi kemudian menyebar kebagian atas daun dan ujung batang yang mengakibatkan bagian daun dari batang sampai mengalami kekeringan, jika tidak disadari dan dikontrol, infeksi ini akan menyebar sampai ke seluruh bibit sehingga proses penanaman pohon jati tidak bisa dilakukan.

Pohon jati sangat cocok tumbuh di wilayah yang beriklim tropis seperti di Indonesia. Hal ini, disebabkan karena wilayah beriklim tropis memiliki kondisi dan cuaca yang sangat mendukung pertumbuhan pohon jati dengan curah hujan sebesar 1200–1300 mm/tahun dan kelembaban lingkungan 60–80%. Curah hujan akan berpengaruh terhadap sifat alami pohon jati yaitu menggugurkan daunnya saat musim kemarau. Pohon jati yang tumbuh di daerah dengan musim kemarau panjang umumnya akan memiliki lingkaran tahun yang lebih artistik atau bernilai estetika tinggi. Pohon ini dapat tumbuh dengan baik di daerah yang memiliki ketinggian maksimal 700 mdpl. Kondisi tanah yang sesuai untuk pertumbuhan jati adalah tanah yang memiliki pH 6–8, memiliki aerasi yang baik, serta mengandung cukup banyak unsur kapur dan fosfor. Jenis tanah yang cocok untuk pertumbuhan pohon jati adalah tanah lempung, lempung berpasir, dan liat berpasir.

Menurut sejumlah ahli botani, jati merupakan spesies asli di Burma, yang kemudian menyebar ke Semenanjung India, Muangthai, Filipina, dan Jawa. Sebagian ahli botani lain menganggap jati adalah spesies asli di Burma, India, Muangthai, dan Laos. Jati paling banyak tersebar di Asia. Selain di keempat negara asal jati dan Indonesia, jati dikembangkan sebagai hutan tanaman di Srilangka (sejak 1680), Tiongkok (awal abad ke-19), Bangladesh (1871), Vietnam (awal abad ke-20), dan Malaysia (1909). Dalam beberapa tahun terakhir, ada upaya untuk mengembangkan jati di Sumatera Selatan dan Kalimantan Selatan. Hasilnya kurang menggembirakan. Jati mati setelah berusia dua atau tiga tahun. Masalahnya, tanah di kedua tempat ini sangat asam. Jati sendiri adalah jenis yang membutuhkan zat kalsium dalam jumlah besar, juga zat fosfor. Selain itu, jati membutuhkan cahaya matahari yang berlimpah. Sekarang, di luar Jawa, kita dapat menemukan hutan jati secara terbatas di beberapa tempat di Pulau Sulawesi, Pulau Muna, daerah Bima di Pulau Sumbawa, dan Pulau Buru. Jati berkembang juga di daerah Lampung di Pulau Sumatera.

Kayu jati mengandung semacam minyak dan endapan di dalam sel–sel kayunya, sehingga dapat awet digunakan ditempat terbuka meski tanpa divernis, apalagi bila dipakai di bawah naungan atap. Di dalam rumah, selain dimanfaatkan sebagai bahan baku furniture atau mebel, kayu jati digunakan pula dalam struktur bangunan. Rumah-rumah tradisional Jawa, seperti rumah joglo Jawa Tengah, menggunakan kayu jati di hampir semua bagiannya, seperti tiang–tiang, rangka atap, hingga ke dinding–dinding berukir. Dalam industri kayu sekarang, jati diolah menjadi venir (veneer) untuk melapisi wajah kayu lapis mahal serta dijadikan keping–keping parket (parquet) penutup lantai. Selain itu juga diekspor ke mancanegara dalam bentuk furniture luar rumah. Ranting–ranting jati yang tak lagi dapat dimanfaatkan untuk mebel, dimanfaatkan sebagai kayu bakar. Kayu jati menghasilkan panas yang tinggi, sehingga dulu digunakan sebagai bahan bakar lokomotif uap, dan sebagian besar kebutuhan kayu jati dunia dipasok oleh Indonesia dan Myanmar.

Sebagai jenis hutan paling luas di Pulau Jawa, hutan jati memiliki nilai ekonomis, ekologis, dan sosial yang penting. Kayu jati jawa telah dimanfaatkan sejak zaman Kerajaan Majapahit. Jati terutama dipakai untuk membangun rumah dan alat pertanian. Sampai dengan masa Perang Dunia Kedua, orang Jawa pada umumnya hanya mengenal kayu jati sebagai bahan bangunan. Kayu–kayu bukan jati disebut “kayu tahun”, artinya kayu yang keawetannya untuk beberapa tahun saja. Selain itu, jati digunakan dalam membangun kapal–kapal niaga dan kapal–kapal perang. Beberapa daerah yang berdekatan dengan hutan jati di pantai utara Jawa pun pernah menjadi pusat galangan kapal, seperti Tegal, Juwana, Tuban, dan Pasuruan. Namun, galang kapal terbesar dan paling kenal berada di Jepara dan Rembang, sebagaimana dicatat oleh petualang Tomé Pires pada awal abad ke-16.

Daun jati dimanfaatkan secara tradisional di Jawa sebagai pembungkus, termasuk pembungkus makanan. Nasi yang dibungkus dengan daun jati terasa lebih nikmat. Contohnya adalah nasi jamblang yang terkenal dari daerah Jamblang, Cirebon. Daun jati juga banyak digunakan di Yogyakarta, Jawa Tengah dan Jawa Timur sebagai pembungkus tempe. Berbagai jenis serangga hama jati juga sering dimanfaatkan sebagai bahan makanan orang desa. Dua di antaranya adalah belalang jati, yang besar berwarna kecoklatan, dan ulat–jati. Ulat jati bahkan kerap dianggap makanan istimewa karena lezatnya. Ulat ini dikumpulkan menjelang musim hujan, di pagi hari ketika ulat–ulat itu bergelantungan turun dari pohon untuk mencari tempat untuk membentuk kepompong. Kepompong ulat jati pun turut dikumpulkan dan dimakan.

Banyak lahan hutan jati di Jawa, baik yang dikukuhkan sebagai hutan produksi maupun hutan non-produksi, memberikan layanan sebagai pusat penelitian dan pendidikan, pusat pemantauan alam, tempat berekreasi dan pariwisata, serta sumber pengembangan budaya, yang paling menarik untuk dikunjungi adalah Monumen Gubug Payung di Cepu, Blora, Jawa Tengah. Tempat ini merupakan museum hidup dari pepohonan jati yang berusia lebih dari seabad, setinggi rata–rata di atas 39 meter dan berdiameter rata–rata 89 cm. Kita dapat menikmati pemandangan hutan dari ketinggian dengan menumpang loko “Bahagia”. Di sini, kita juga dapat meninjau Arboretum Jati, hutan buatan dengan koleksi 32 jenis pohon jati yang tumbuh di seluruh Indonesia. Ada juga Puslitbang Cepu yang mengembangkan bibit jati unggul yang dikenal sebagai JPP (Jati Plus Perhutani). Pengunjung boleh membeli sapihan jati dan menanamnya sendiri di sini. Pengelola kemudian akan merawat dan menamai pohon itu sesuai dengan nama pengunjung bersangkutan.

Pohon jati mempunyai filosofi yang sangat mendalam dan sangat relevan untuk dapat kita terapkan untuk melengkapi renungan dalam jiwa kita. Biji Keras menghasilkan Kayu yang kuat (Kelas Kuat I dan Kelas Awet II). Biji merupakan awal mula (dasar) tumbuhnya sebuah pohon jati. Makin bagus biji yang kita tanam maka makin bagus juga kualitas pohon Jati yang akan kita dapatkan. Begitu juga dalam kehidupan, kita harus mempunyai dasar yang kuat, untuk tahu memposisikan diri kita sebagai mana mestinya, minimal kita harus mempersiapkan mental untuk berani keluar dari zona nyaman dan meruntuhkan blocking/tekanan mental kita. Selain itu, kita juga harus siap mental jika sewaktu-waktu kita harus jatuh ataupun mengalami kemunduran, jangan sampai hal tersebut merontokan mental kita, akan tetapi sebaliknya jadikanlah sebagai sarana belajar dan evaluasi untuk bangkit lagi, agar kejadian yang sama tidak terulang kepada kita.

Mengapa Pohon Jati begitu menarik ? Jati memang bisa tumbuh pada tanah yang tandus sekalipun dan bisa bertahan hidup pada lokasi dengan curah hujan yang sangat rendah, kebalikannya justru di tempat yang curah hujannya tinggi perkembangannya kurang baik di samping pertumbuhannya juga kualitas kayunya kurang bagus. Kayu Jati di Jawa Timur dan Jawa Tengah lebih baik dari Jawa Barat karena di Jawa Barat curah hujannya tinggi. Jadi kita harus mampu bertahan hidup dalam situasi yang serba sulit dan serba kekurangan sumberdaya yang dianggap orang lain sulit untuk bertahan hal tersebut untuk menunjukan kualitas kita. Kalau kita dimanjakan dengan sumberdaya yang melimpah maka kita tidak akan berkembang dan kualitas kita tidak akan teruji.

Seperti yang diuraikan diatas, banyak manfaat dari pohon jati seperti kayu, ranting untuk kayu bakar, daunnya untuk bungkus, bahkan serangganya (ulat jati, kepompong dan belalang) bisa dimakan, bahkan ulat Jati mempunyai kadar protein yang sangat tinggi. Artinya, seluruh potensi hidup kita (langkah kita, suara kita, tangan kita, mata kita) harus bermanfaat bagi semua orang di sekeliling kita walaupun kita hidup di tempat yang sangat terbatas sumber dayanya. Kendatipun ada benalu atau yang memanfaatkan kita atau yang ikut hidup pada diri kita, harus kita yakini bahwa mereka bermanfaat bagi orang lain dan lingkungan kita. Pohon jati yang tumbuh dengan gagah dan kuat ternyata tidak sombong dan sangat toleren terhadap tumbuhan kecil di sekelilingnya dan memberikan ruang tumbuh pada tumbuhan untuk berkembang pada separuh dari hidupnya. Sama seperti hidup kita, segagah apapun kita selayaknya memberikan ruang untuk berkembangnya orang lain dibawah kita (baik dari sisi jabatan atau pola hidup atau si kaya dan si miskin) agar mereka mampu bertahan hidup dan menghidupi lingkungannya.

Untuk sampai masa tebang jati membutuhkan waktu paling tidak 40 tahun, bahkan di Jawa Timur dan Jawa Tengah daur jati mencapai 60 tahun dan ada yang 80 tahun. Jadi kayu jati yang kita gunakan saat ini adalah kayu–kayu yang ditanam oleh pendahulu kita, yang mungkin sekarang sudah tidak ada di dunia ini lagi dan apabila kita menanam tidak mungkin kita akan ikut memanennya. Ini mengajarkan kepada kita bahwa kita harus menghargai jerih payah pendahulu kita dalam menyiapkan kebahagiaan bagi hidup kita dan begitupun selanjutnya kita harus menyiapkan agar generasi kita nanti kita perlakukan dengan hal yang sama untuk menyongsong kebahagian bagi mereka. Banyak dilakukan upaya oleh para peneliti kita dengan teknologi dan hasil penelitiannya untuk memperpendek daur jati (katanya bisa 15 tahun) dengan kualitas yang sama dengan daur atau masak tebang umur 60 tahun dan 80 tahun. Pertanyaannya, mampukah kita dengan kondisi yang dimanjakan oleh semua elemen di lingkungan kita menyumbangkan pemikiran dan sumber daya kita secepatnya pada lingkungan kita dengan kualitas yang sama.