TEMPO.CO, Jakarta - Lukman Hakim Saifuddin, Menteri Agama RI Salah satu jalur penyebaran Islam di Indonesia adalah melalui perangkat budaya. Ajaran Islam yang ditanamkan melalui perangkat budaya ini, mau-tak mau, menyisakan warisan agama lama dan kepercayaan yang ada, yang tumbuh subur di masyarakat pada waktu itu, untuk dilestarikan kemudian dibersihkan dari anasir syirik. Pembersihan anasir syirik ini merupakan satu upaya untuk meneguhkan konsep monoteisme (tauhid) dalam ajaran Islam. Salah contoh, budaya wayang. Wayang adalah bagian dari ritual agama politeisme, namun kemudian diubah menjadi sarana dakwah dan pengenalan ajaran monoteisme. Ini suatu kreativitas yang luar biasa, sehingga masyarakat diislamkan melalui jalur ini. Mereka merasa aman dengan Islam, karena hadir tanpa mengancam tradisi, budaya, dan posisi mereka. Salah satu mazhab yang berkembang di Indonesia adalah mazhab yang saat mengambil konklusi fikihnya disesuaikan dengan konteks lokal. Salah satu contohnya, perihal pelaksanaan perintah zakat fitrah. Secara tekstual, zakat fitrah haruslah diberikan dalam bentuk gandum-sesuai dengan bahan makanan pokok di Arab Saudi. Namun ulama kita berijtihad untuk mengganti gandum dengan beras dalam pelaksanaan zakat fitrah, karena disesuaikan dengan bahan makanan pokok di Indonesia. Bisa dikatakan bahwa proses pengislaman budaya Nusantara oleh para ulama terdahulu dibarengi dengan proses penusantaraan nilai-nilai Islam, sehingga keduanya melebur menjadi entitas baru yang kemudian kita kenal sebagai Islam Nusantara. Dalam sejarah penyebaran Islam di Jawa, Wali Songo memiliki peran yang cukup besar dalam proses akulturasi Islam dengan budaya Jawa. Mereka menghasilkan karya-karya kebudayaan sebagai media penyebaran Islam. Untuk memperkenalkan unsur-unsur budaya baru hasil akulturasi Islam dengan budaya Jawa itu, para wali melakukan pengenalan nilai-nilai baru secara persuasif. Dan, terkait dengan persoalan-persoalan yang sensitif, seperti bidang kepercayaan, para wali membiarkan penghormatan terhadap leluhur sebagaimana yang biasa dilakukan oleh masyarakat Jawa. Untuk itulah tuntutan menghadirkan kembali Islam yang damai, moderat, adil, dan toleran, bukan karena kerinduan semata akan Islam Nusantara yang sejuk dan mendamaikan. Tapi sudah merupakan kebutuhan, terutama semenjak nilai-nilai kenusantaraan kita mulai terkikis oleh paham-paham baru yang meresahkan masyarakat. Jalur perangkat budaya inilah yang harus ditumbuhkembangkan dalam proses Islamisasi dewasa ini. Seperti yang pernah dipaparkan cendekiawan muslim Nurcholish Madjid, Islam semakin diharapkan tampil dengan tawaran-tawaran kultural yang produktif, konstruktif, serta mampu menyatakan diri sebagai pembawa kebaikan untuk semua umat manusia, tanpa eksklusivisme komunal. Inilah sebuah penegasan betapa pentingnya eksistensi Islam kultural. Lebih jauh, Nurcholish memaparkan bahwa beragam budaya dan agama berkembang dalam masyarakat, di mana keduanya tak jarang lebur dan terjadilah akulturasi. Akulturasi tersebut sering kali menyebabkan berbagai hal yang dapat membingungkan orang untuk membedakan mana yang produk agama, dan mana yang merupakan produk budaya. Walaupun antara agama dan budaya tidaklah dapat dipisahkan, tapi yang jelas tidak dibenarkan mencampuradukkan di antara keduanya. Perangkat budaya adalah bentuk investasi masa depan bagi umat Islam Indonesia dalam menghadapi dinamika keberagamaan yang penuh warna. Perangkat budaya ini merupakan sumber etik moral dan pijakan kultural bagi kehidupan berbangsa dan bernegara. Menurut pengamatan cendekiawan Abdurrahman Wahid (almarhum), dalam buku Membangun Demokrasi (1999), ketika Islam datang ke tanah Jawa, Islam dengan cepat beradaptasi dengan apa yang ada. Akulturasi antara Islam dan budaya setempat berlangsung secara damai. Proses akulturasi dan adaptasi antara budaya yang satu dan budaya yang lain-atau dalam antropologi kultural disebut konsep integrasi kultural-ini tidak dapat dihindari karena pluralitas agama, budaya, dan adat-istiadat yang ada tidak-bisa-tidak saling bergesekan. Abdurrahman Wahid melihat dalam proses akulturasi timbal-balik antara Islam dan budaya lokal ini terakomodasi suatu kaidah atau ketentuan dasar dalam ilmu ushul fikih. Kaidah itu berbunyi: "al-'adah muhakkamah", yang berarti, "adat itu dihukumkan", atau lebih lengkapnya, "adat adalah syariat yang dihukumkan" (al-'adat syari'ah muhakkamah). Artinya, adat dan kebiasaan suatu masyarakat adalah sumber hukum dalam Islam. Dalam ilmu ushul fikih, budaya lokal dalam bentuk kebudayaan itu disebut 'urf . Karena 'urf suatu masyarakat-sesuai dengan uraian di atas-mengandung unsur yang salah dan yang benar sekaligus, maka dengan sendirinya orang-orang muslim harus melihatnya secara kritis. Hal ini sesuai dengan berbagai prinsip Islam yang menentang tradisionalisme. Kemampuan mengawinkan kearifan lokal dan nilai-nilai Islam ini mempertegas bahwa antara agama dan budaya lokal tidak dapat dipisahkan satu sama lain, tapi tentu bisa dibedakan antara keduanya. Untuk itu, sejak kedatangan Islam di Indonesia pada abad VII Masehi hingga sampai detik ini, Islam mampu bertahan dan berakulturasi dengan kearifan lokal. Hal ini memperlihatkan bahwa Islam sebagai agama rahmatan lil 'alamin mampu beradaptasi dan berdialog dengan budaya lokal, kebiasaan, dan cara berpikir penduduk setempat yang saat itu masih dipengaruhi oleh kebudayaan Hindu dan Buddha. Pada titik singgung inilah perangkat budaya menemukan bentuknya sebagai investasi besar bagi tumbuh dan berkembangnya Islam di Indonesia. Sebuah investasi, yang mau-tak mau, harus dirayakan, dipelihara, dan disemai agar kehadiran Islam di tengah perangkat-perangkat budaya lokal, selalu teduh dan meneduhkan. *
Keragaman suku bangsa yang tersebar di Nusantara merupakan kondisi objektif yang penting dan sangat berpengaruh dalam keseluruhan proses penyebaran dan pembentukan tradisi Islam di Indonesia. Perbedaan suku bangsa itu tidak hanya menyangkut perbedaan bahasa, adat istiadat, dan sistem sosio-kultural pada umumnya, tetapi juga perbedaan orientasi nilai yang menyangkut sistem keyakinan dan keragaman masyarakat. Setiap suku bangsa, selain memiliki kepercayaan lokal masing-masing, juga memiliki sistem pengetahuan dan cara pandang yang berbeda satu dengan yang lainnya. Masuknya unsur baru dalam kehidupan tentu saja mendapat reaksi yang berbeda-beda. Adanya hukum adat yang terbentuk dari tradisi sosial budaya masyarakat setempat merupakan bentuk paling jelas dari institusi lokal yang mengatur tatanan masyarakat. Berdasarkan pengelompokan yang diperkenalkan oleh pelopor studi hukum adat, Van Vollenhoven, terdapat Sembilan belas wilayah hukum adat yang mengisyaratkan agama Islam tersosialisasikan dalam masyarakat yang memiliki ciri adat tertentu. Interaksi antara hukum Islam dan hukum adat yang tinggi telah ada sebelum Islam menjadi perdebatan diberbagai daerah. Daerah yang keterkaitannya dengan adat begitu tinggi dan paling intens menerima proses islamisasi antara lain Aceh, Sumatera Barat, dan Sulawesi Selatan. Terutama menyangkut persoalan untuk mempertemukan atau menyelaraskan agama dan adat dalam kehidupan sehari-hari. Kepercayaan dan tradisi lokal dalam masyarakat yang masih terdapat sisa-sisa tradisi meghalithikum (adalah kebudayaan yang menghasilkan bangunan-bangunan dari batu besar, seperti menhir adalah tugu yang melambangkan arwah nenek moyang sehingga menjadi benda pujaan. Dolmen adalah bentuknya seperti meja batu berkakikan tiang satu dan merupakan tempat sesaji). Pada dasarnya tertumpu pada keyakinan tentang adanya aturan tetap yang mengatasi segala yang terjadi dalam alam dunia. Tradisi kepercayaan dan sistem sosial budaya adalah produk masyarakat lokal dalam menciptakan keteraturan. Seperti tradisi lokal itu adalah melakukan upacara adat, menghadirkan tata cara menanam dan memanen, melakukan selamatan serta melakukan upacara peralihan hidup. Contoh lain tradisi lokal:
Di Tapanuli, kepercayaan lokal dikenal dengan nama parmalim atau agama si Raja Batak. Di Kepulauwan Mentawai disebut Sabulungan, di Dayak disebut Kaharingan, di Toraja disebut Aluk to dolo. Di Sulawesi Tengah di sebut Parandangan, di Sumbawa disebut Baramarapu, di Nias disebut Ono niha. Di Sika (Maumere) disebut Ratu bita bantara. Kepercayaan lokal tersebut memang berbeda di setiap daerah, hal itu menunjukkan keragaman budaya yang ada di Indonesia. Kemudian tadi dijelaskan mengenai kebudayaan megalithikum yang belum disebutkan adalah ada juga arca-arca (ini mungkin melambangkan nenek moyang mereka dan menjadi pemujaan), kubur batu (peti mayat dari batu yang keempat sisinya berdindingkan papan-papan batu, alas dan bidang atasnya juga dari papan batu). Punden berundap-undap (yaitu bangunan pemujaan yang tersusun berttingkat-tingkat). Pada umumnya kebudayaan megalithikum ini terdapat di seluruh Indonesia seperti di Sumatera, Bali, Jawa, dan Sulawesi. Di samping itu masyarakat Jawa telah mengenal cerita wayang dan ini adalah merupakan asli budaya Jawa. Indonesia sejak zaman neolithikum atau zaman batu muda di mana alat yang dibuat sudah diasah sehingga menjadi halus dan indah. Dikatakan bahwa sejak zaman Neolithikum bangsa Indonesia telah mengenal: 1.Cara pertanian padi 2.Mengenal alat pemotong padi 3.Teknik pembuatan batik 4.Peternakan 5.Teknik pembuatan periuk belanga 6.Membuat alat-alat dari logam 7.Pembuatan rumah panggung 8.Mendirikan monument (bangunan pemujaan) 9.Sudah mengenal organisasi pemerintahan secara teratur yang dikepalai Kepala Desa dan menurut Adat 10.Membuat/menggunakan mata uang. Perpaduan Tradisi Lokal dengan Hindu-Budha
Telah diketahui bahwa sebelum masuknya pengaruh kebudayaan Hindu-Budha, masyarakat Indonesia telah memiliki kebudayaan yang telah tumbuh dan berkembang dalam masyarakat. Kebudayaan asli masyarakat Indonesia tersebut sudah cukup maju. Masuknya budaya Hindu-Budha membawa perubahan dalam kehidupan budaya masyarakat Indonesia. Unsur kebudayaan Hindu-Budha yang masuk ke Indonesia lambat laun diterima dan diolah ke dalam kebudayaan Indonesia, tetapi tanpa menghilangkan sifat kebudayaan asli Indonesia. Dengan demikian, lahirlah kebudayaan baru yang merupakan akulturasi kebudayaan Indonesia dan Hindu-Budha. Wujud akulturasi antara kebudayaan Indonesia dengan kebudayaan Hindu-Budha tersebut, antara lai sebagai berikut:
Contoh tahun candrasangkala adalah sirna ilang kertaning bumi yang artinya: Sirna : berarti angka 0 Ilang : berarti angka 0 Kertaning : berarti 4 Bumi : berarti 1 Jadi, sirna ilang kertaning bumi dalam tahun Saka adalah 1400 dan sama dengan tahun 1478 M. Perpaduan Tradisi Lokal, Hindu-Budha, dan Islam di Indonesia Bersamaan dengan masuk dan berkembangnya agama Islam, berkembang pula kebudayaan Islam di Indonesia. Unsur kebudayaan Islam itu lambat laun diterima dan diolah ke dalam kebudayaan Indonesia tanpa menghilangkan kepribadian Indonesia, sehingga lahirlah kebudayaan baru yang merupakan akulturasi kebudayaan Indonesia dan Islam. Akulturasi kebudayaan Indonesia dan Islam itu juga mencakup unsur kebudayaan Hindu-Budha. Perpaduan kebudayaan Indonesia dan Islam, antara lain dapat dilihat sebagai berikut:
Fisik Bangunan. Pada makam Islam sering kita jumpai bangunan kijing atau jirat (bangunan makam yang terbuat dari tembok batu bata) yang kadang-kadang disertai bangunan rumah (cungkup) di atasnya. Dalam ajaran Islam tidak ada aturan tentang adanya kijing atau cungkup. Adanya bangunan tersebut merupakan ciri bangunan candi dalam ajaran Hindu-Budha. Tidak berbeda dengan candi, makam Islam, terutama makam para raja, biasanya dibuat dengan megah dan lengkap dengan keluarga dan para pengiringnya. Setiap keluarga dipisahkan oleh tembok dengan gapura (pintu gerbang) sebagai penghubungnya. Gapura itu belanggam seni zaman pra-Islam, misalnya ada yang berbentuk kori agung (beratap dan berpintu) dan ada yang berbentuk candi. Tata Upacara Pemakaman. Pada tata cara upacara pemakaman terlihat jelas dalam bentuk upacara dan selamatan sesudah acara pemakaman. Tradisi memasukkan jenazah dalam peti merupakan unsur tradisi zaman purba (kebudayaan megalithikum yang mengenal kubur batu) yang hidup terus menerus sampai sekarang. Demikian pula, tradisi penaburan bunga di makam dan upacara selamatan tiga hari, tujuh hari, empat puluh hari, seratus hari, dan seribu hari untuk memperingati orang yang telah meninggal merupakan unsur Islam dan juga unsur agama Hindu-Budha. Dan hingga saat ini tetap dilaksanakan oleh sebagian masyarakat Islam.
Penempatan Makam. Dalam penempatan makampun terjadi akulturasi antara kebudayaan lokal, Hindu-Budha dan Islam. Misalnya, makam terletak di tempat yang lebih tinggi dan dekat dengan masjid. Contohnya, makam raja-raja Mataram yang terletak di bukit Imogiri dan makam para wali yang berdekatan dengan masjid. Dalam agama Hindu-Budha makam dalam candi.
Bentuk Bangunan. Bentuk masjid di Indonesia, terutama di pulau Jawa, bentuknya seperti pendopo (balai atau ruang besar tempat rapat) dengan komposisi ruang yang berbentuk persegi dan beratap tumpang. Cirri khusus bangunan masjid di Timur Tengah biasanya bagian atapnya berbentuk kubah, tetapi di Jawa diganti dengan atap tumpang dengan jumlah susunan bertingkat dua, tiga, dan lima. Menara. Menara merupakan bangunan kelengkapan masjid yang dibangun menjulang tinggi dan berfungsi sebagai tempat menyerukan azan, yaitu tanda datangnya waktu shalat. Di Jawa terdapat bentuk menara yang dibuat seperti candi dengan susunan bata merah dan beratap tumpang, seperti menara masjid Kudus (Jawa Tengah). Letak Bangunan. Dalam ajaran Islam, letak bangunanmasjid tidak diatur secara khusus. Namun, di Indonesia, penempatan masjid khususnya masjid agung, diatur sedemikian rupa sesuai dengan komposisi mocopat (yaitu masjid ditempatkan di sebelah barat alun-alun), dan dekat dengan istana (keraton) yang merupakan symbol tempat bersatunya rakyat dengan raja di bawah pimpinan imam. Selain itu, adanya kentongan atau bedug yang dibunyikan di masjid Indonesia sebagai pertanda masuknya waktu shalat. Hal itu juga menunjukkan adanya unsur Indonesia asli. Bedug atau kentongan tidak ditemukan pada masjid di Timur Tengah.
Cara penulisan karya sastra pada zaman Islam dilakukan dalam bentuk gancaran dan tembang. Di Jawa, tembang merupakan suatu bentuk yang lazim, tetapi di daerah Melayu, tembang dan gancaran ada semua. Cerita yang ditulis dalam bentuk gancaran disebut hikayat, sedangkan cerita yang ditulis dalam bentuk tembang disebut syair. Di daerah Melayu, karya sastra itu ditulis dengan menggunakan huruf Arab, sedangkan di Jawa, naskah itu ditulis dengan menggunakan huruf Jawa dan Arab (terutama yang membahas soal keagamaan).
Akulturasi dalam penyebutan nama raja di Jawa lebih kelihatan karena raja tetap memakai nama Jawa dibelakang gelar sultan, sunan, atau panembahan, seperti Sultan Trenggono. Di samping itu, juga muncul tradisi baru di Jawa, yaitu pemakaian gelar raja secara turun-temurun, sedangkan untuk membedakan raja yang satu dengan yang lainnya ditentukan dengan menambah angka urutan di belakang gelar, seperti Hamengkubuwono I, II, III, dan seterusnya. Begitu pula, dengan sistem pengangkatan raja pada masa berdirinya kerajaan Islam di Nusantara tetap tidak mengabaikan cara-cara pengangkatan raja pada masa sebelumnya. Di Kerajaan Aceh, tata cara pengangkatan raja diatur dalam permufakatan hukum adat. Catatan tambahan
Di Kerajaan Aceh, tata cara pengangkatan raja diatur dalam permufakatan hukum adat. Tata cara pengangkatan raja di Kerajaan Aceh adalah raja berdiri di atas tabal (tabuh/beduk yang dipalu pada ketika meresmikan penobatan raja, mengumumkan penobatan raja), kemudian disertai ulama sambil membawa al-Qur’an berdiri di sebelah kanan dan perdana menteri memegang pedang di sebelah kiri. Di Jawa, pengangkatan raja dilakukan oleh para wali. Raden Fatah menjadi Sultan Demak dengan permufakatan para wali dan dilakukan di masjid Demak. Pengangkatan Sultan Hadiwijaya dari Kesultanan Pajang dan Penembahan Senopati dari Mataram juga tidak terlepas dari peran Wali Sanga. Perbedaan tata cara pengangkatan raja di setiap daerah menunjukkan bahwa tradisi lokal tetap digunakan.
Bentuk akulturasi ilmu tasawuf dengan budaya pra-Islam tampak dalam hal-hal sebagai berikut: Dalam rangka mendekatkan diri kepada Tuhan, muncul usaha mencari Tuhan dari kalangan sufi. Seperti ajaran manunggaling kawulo gusti yang diajarkan oleh Syeikh Siti Jenar. Ajaran Syeikh Siti Jenar banyak dipengaruhi oleh unsur budaya pra-Islam. Akibatnya, ia dihukum oleh para wali, karena dianggap menyesatkan. Filsafat Jawa sangat erat sekali hubungannya dengan dunia pewayangan. Oleh karena itu, dalam penyebaran Islam di pulau Jawa para walimenggunakan wayang sebagai medianya. Tokoh yang terkenal adalah Sunan Kalijaga. Perbandingan Konsep Kekuasaan di Kerajaan Hindu-Budha dengan Kerajaan yang bercorak Islam. Dalam ajaran Hinduisme dan Budhisme terdapat suatu pandangan yang dikenal sebagai kosmogoni (asal-usul alam semesta). Dalam konsepsi tersebut manusia mengaggap bahwa antara dunia manusia dan jagat raya terdapat kesejajaran. Pandangan tersebut memengaruhi alam pikiran manusia sehingga melahirkan konsepsi tentang hubungan antara manusia dan jagat raya. Selanjutnya, hal Itu dihubungkan dengan kegiatan politik dan kekuasaan yang berwujud dalam susunan pemerintahan. Hal itu terjadi juga pada kerajaan yang bercorak Hindu-Budha yang menganggap raja dan kerajaannya (mikro kosmos) merupakan gambaran nyata dari jagat raya (makro kosmos). Menurut pandangan masyarakat pada zaman Hindu-Budha, raja dianggap sebagai orang tokoh yang diidentikkan dengan dewa. Kekuasaan raja dianggap tidak terbatas. Ia tidak dapat diatur dengan cara duniawi karena dalam dirinya terdapat kekuatan yang mencerminkan roh dewa yang mengendalikan kehendak pribadinya. Negara dianggap sebagai citra kerajaan para dewa, baik dalam aspek material maupun aspek spiritualnya. Raja dan para pegawainya memiliki kekuasaan dan kekuatan yang sepadan dengan yang dimiliki oleh para dewa. Oleh sebab itu, apa yang dilakukan raja tidak boleh dibantah oleh siapa pun.
Dalam konsep kekuasaan kerajaan yang bercorak Islam, mengkultuskan raja tidak berlaku karena dalam ajaran agama Islam kedudukan antara manusia dengan Tuhan sangat berbeda. Tuhan berada di atas segala-galanya. Ajaran Islam menempatkan raja dalam kedudukan yang tidak semulia dan seagung pada zaman Hindu-Budha, tetapi sebagai khalifatullah, yaitu sebagai wakil penguasa di dunia dan akan dimintai pertanggungjawabannya nanti. Manusia yang akan diangkat sebagai khalifatullah akan mendapat tanda-tanda khusus dari Tuhan dalam bentuk perlambang tertentu. Berdasarkan hal tersebut, seorang raja harus memiliki legitimasi (pengesahan) dari Tuhan. Bentuk legitimasi itu oleh orang Jawa disebut wahyu atau cahaya nubuwat atau pulung. Seseorang yang mendapat wahyu dari Tuhan berupa pulung keraton atau kekuatan suci, ia akan menjadi penguasa tanah Jawa. Selain itu, seorang raja harus memiliki perlambang yang mempunyai kekuatan magis. Dalam kitab Babad Tanah Jawi, dikisahkan bahwa takhta Kerajaan Majapahit sebelum diserahkan kepada Raden Patah harus terlebih dahulu diduduki (dilungguhi) oleh Sunan Giri selama empat puluh hari sebagai syarat untuk menolak bala. Perlambang lainnya yang menunjukkan kekuatan magis adalah alat gamelan berupa gong. Di Kerajaan Banjar, tanda yang berkekuatan magis berupa payung, keris, umbul-umbul, mahkota dan gamelan. Di Ternate, benda yang dianggap mempunyai kekuatan magis, antara lain mahkota kereta keranjang, paying, bendera, keris dan pedang. Penghapusan konsep dewa raja pada zaman islam tidak mengurangi tuntutan pokok, yaitu kekuasaan raja yang menyeluruh dan mutlak atas seluruh rakyat. Sultan sebagai seorang raja yang berkuasa atas rakyatnya dianggap dapat menghubungkan mereka dengan alam gaib. Hal itu dapat dilihat dalam tradisi pemberian gelar pangeran (susuhunan, panembahan) kepada seorang sultan atau raja. Karena raja menduduki posisi sentral, seluruh aparat pemerintahan merupakan perpanjangan kekuasaan raja. Kekuatan apapun yang mungkin dimiliki oleh para pejabat diyakini diperoleh dari raja. Jadi, baik dalam kerajaan-kerajaan Hindu-Budha maupun Islam, konsepsi magis-religius memainkan peran yang menentukan, tidak hanya dalam melegitimasi kekuasaan raja, tetai juga dalam menjelaskan peranan orang yang memerintah dan yang diperintah serta hubungan antara raja dan rakyatnya. Rangkuman:
Daftar Rujukan: 1.Hamka. Sejarah Umat Islam. Pustaka Nasional, 1997. 2.Khan, Ong Hok. Dari Soal Priyayi sampai Nyi Biorong. Penerbit Buku Kompas, Jakarta, 2002. 3.Sulistyo, Basuki. Mitos Bubuksah Kajian-Kajian Struktural dan Maknanya. Yogyakarta, Balai Arkeologi Depdiknas, 2000. 4.Yatim, Badri. Sejarah Peradaban Islam. Rajawali Press, 2000. TERIMAKASIH |