Jelaskan hubungan yang terjadi atas dilakukan kritik musik

Apa Itu Kritik Musik? Ini Pengertian, Sejarah, Jenis, Fungsi dan Cara Penulisannya

TRIBUNNEWS.COM - Simak pengertian kritik musik dalam artikel ini.

Selain itu terdapat juga sejarah, jenis, fungsi dan cara penulisan kritik musik.

Setak 500 SM, kritik musik sudah dilakukan.

Dua orang Yunani, yakni Xenophones dan Heraclitus menjadi yang pertama kali melakukan ini.

Baca juga: Apa Itu Tulang Belikat? Berikut Pengertian, Letak, Fungsi, dan Masalah yang Sering Dialami

Baca juga: Apa Itu Tari Sekapur Sirih? Berikut Sejarah dan Gerak Tari Tradisional Asal Jambi

Ilustrasi majalah musik (KOMPAS.com/NIBRAS NADA NAILUFAR)

Kala itu, Xenophones dan Heraclitus mengkritik seorang pujangga besar bernama Homerus yang saat bernyanyi sering membicarakan hal yang tidak pantas tentang dewa dan dewi.

Sejak saat itu, kritik musik sering digunakan untuk membantu memperbaiki sebuah karya musik dan sebagai bentuk apresiasi.

Baca juga: Apa itu Sumber Daya Alam? Berikut Manfaat, Contoh hingga Cara Pelestariannya

Lantas apa itu kritik musik?

Pengertian kritik musik

Menurut Ketut Wisnawa dalam buku Seni Musik Tradisi Nusantara (2020), kritik musik berasal dari kata 'kritik' dan kata 'musik'. Kata 'kritik' berasal dari Bahasa Yunani yakni krinein yang berarti memisahkan serta merinci.

Maka dapat disimpulkan jika kritik musik adalah upaya penganalisaan dan pemberian evaluasi terhadap sebuah karya musik, tujuannya agar dapat meningkatkan pemahaman tentang musik, memperluas apresiasi serta membantu memperbaiki sebuah karya musik.

Ilustrasi bermain musik. (Bombaert/Getty Images/iStockphoto)

Nationalgeographic.co.id - Musik sebagai "alat" untuk mengubah suasana hati seseorang mungkin sudah bukan menjadi rahasia. Banyak orang sudah membuktikannya secara langsung. Lantas bagaimana dengan kaitan antara musik dengan empati seseorang?

Sebuah penelitian mengungkapkan bahwa musik memiliki hubungan yang erat dengan tingkat empati seseorang. Orang dengan empati tinggi diketahui mengolah musik secara berbeda di otak mereka daripada orang dengan empati yang lebih rendah.

Baca Juga: Delapan Barang Berumur 50 Abad Milik Irak Dikembalikan Oleh Inggris

Menurut Zachary Wallmark, Southern Methodist University, orang yang berempati tinggi dan berempati rendah sebenarnya memiliki banyak kesamaan ketika mendengarkan musik. Kesamaan yang dimiliki keduanya adalah keterlibatan yang setara di wilayah otak mereka, area otak yang berkaitan dengan pendengaran, emosi, dan pemrosesan motorik sensorik.

Meskipun demikian, peneliti menemukan bahwa orang-orang yang memiliki empati tinggi cenderung lebih suka mendengarkan musik daripada yang lain. Hal ini disebabkan karena orang dengan empati tinggi menggunakan lebih banyak jaringan sosial otak mereka daripada orang-orang yang rendah dalam berempati.

Bagian otak yang digunakan untuk kesadaran sosial dan pengaturan emosi sosial diaktifkan ke tingkat yang lebih tinggi ketika musik dimainkan.

Dalam penelitian sebelumnya, diketahui bahwa sekitar 20% manusia memiliki rasa empati yang tinggi. Penelitian yang dilakukan oleh Southern Methodist University dan Uniersity of Californis ini merupakan penelitian pertama yang bertujuan untuk menunjukkan koneksi antara saraf, musik, dan empati.

Untuk mendapatkan jawaban atas pertanyaan penelitian mereka, para peneliti memainkan dua musik yang populer dan tidak populer kepada 20 mahasiswa University of California. Selagi mendengarkan musik, peneliti memindai otak mereka dengan mesin MRI. Setelah itu, partisipan diminta untuk mengisi kuesioner yang digunakan untuk menilai tingkat empati mereka. 

Melalui MRI, peneliti kemudian mengidentifikasi area otak partisipan yang responsif terhadap musik. Peneliti kemudian membandingkan hasil dari partisipan yang terbukti sangat empatik, dengan partisipan yang memiliki tingkat empati lebih rendah.

Baca Juga: Hati-Hati Tertular Depresi! Ketahui Bagaimana Cara Penularannya

Penelitian mengungkapkan bahwa pemilik empati tinggi, bagian otak mereka yang mengatur kesenangan menjadi aktif ketika mendengarkan musik populer. Bagian otak tersebut dianggap sebagai "pusat penghargaan", cenderung membawa emosi positif pada manusia.

Orang dengan empati tinggi menunjukkan lebih banyak aktivitas di area korteks prefrontal — bagian yang mengontrol aspek perilaku sosial.  

“Studi ini menunjukkan tentang kekuatan empati dalam memodulasi persepsi musik, sebuah fenomena yang mengingatkan kita pada konsep empati dimana perasaan menjadi sebuah karya seni,” ucap Marco Iacoboni, seorang ahli saraf di UCLA.

(Dimuat di koran Tribun Jogja 12 April 2015. Versi di postingan ini adalah versi panjang sebelum dipotong oleh editor)

Musik adalah hiburan. Pernyataan ini diamini oleh mayoritas masyarakat Indonesia, setidaknya bagi mereka yang memutakhirkan perbendaharaan musik yang dikonsumsi melalui media besar seperti televisi dan radio. Karena media besar memang menjadikan musik sebagai industri showbiz, jual hiburan. Walau sebenarnya di luar yang mayoritas itu masih ada minoritas, segelintir orang yang menganggap musik lebih dari sekadar hiburan.

Apakah sah menganggap musik hanya sebagai hiburan? Sah saja, tapi ada baiknya kita tahu bahwa fungsi musik lebih dari hiburan. Sesuai penjabaran Antropolog Musik Alan P Merriam, musik memiliki 10 fungsi pokok dalam masyarakat. (Merriam, 1964). Hiburan adalah salah satunya. Selain itu musik berfungsi sebagai pengungkapan emosional, penghayatan estetis, komunikasi, perlambangan, reaksi jasmani, berkaitan dengan norma sosial, pengesahan lembaga sosial, kesinambungan budaya, dan pengintegrasian Masyarakat.

Dengan seabreg fungsi musik yang ternyata cukup penting bagi kehidupan masyarakat, lalu kenapa musik hanya dimaknai sebagai hiburan belaka? Pemahaman ini berbahaya karena ia menjadikan masyarakat kita adem ayem saja menerima suguhan musik seadanya di industri musik Indonesia. Yang penting menghibur. Cukup. Bodo amat lagunya monoton dan nyaris seragam baik dari segi musik maupun lirik.

Kritik Musik

            Ada dua faktor yang menjadikan musik (industri) Indonesia maju terus dengan kondisi yang sekarang–sebagai ornamen hiburan pengisi waktu luang. Pertama adalah kurangnya kritik musik yang mengiringi perjalanan industri musik Indonesia.

Meninggalnya kritikus dan pengamat musik Denny Sakrie adalah kehilangan besar bagi musik Indonesia. Karena beliau adalah satu dari sedikit kritikus yang cukup produktif menulis kritik serta mengarsipkan musik Indonesia. Tanpa Alm. Denny Sakrie kita ibarat kehilangan kanon yang menembakkan kritikan ke musik Indonesia.

Kenapa kritik musik penting? Ibarat DPR sebagai legislatif yang mengiringi sepak terjang pemerintah sebagai eksekutif agar tidak bekerja sesuka hati, kritik musik adalah pengingat agar musik tidak dibuat sesuka hati. Kritik musik bertugas menjaga kualitas musik yang ada. Meminjam istilah Suka Hardjana, dalam musik, ada korelasi antara kritik dan apresiasi. Kritik musik akan memicu adanya apresiasi yang lebih baik dari para penikmatnya.

Kurangnya kritik musik berkorelasi dengan faktor kedua yang menjadikan industri musik Indonesia sekadar jualan showbiz. Industri musik (pop) Indonesia merasa aman karena tidak ada legislatif yang mengkritisinya, ia jadi jalan sesuka hati. Tidak peduli dengan 9 fungsi pokok lain dari musik dan sekadar jualan hiburan.

Hal ini dapat dilihat dengan awetnya perilaku lip-sync dan minus one di acara musik televisi yang sudah hampir sewindu berlangsung. Atau simak bagaimana aksi Duo Serigala yang menghebohkan kancah musik nusantara karena goyang dribble yang sensual, bukan olah vokal cengkok dangdut yang aduhai.

Akhirnya masyarakat luas hanya menjadi masyarakat penonton, tidak terlalu peduli dengan apresiasi lebih. Yang bisa mereka lakukan hanya marah-marah di media sosial tatkala mengetahui lagu Pusing Pala Barbie dari grup Putri Bahar ternyata sangat mirip dengan tembang populer Meghan Trainor All About That Bass. Ini dikarenakan kurangnya kritik musik yang komprehensif menggugat industri musik dan artist yang berkarya di jalurnya.

Refleksi

            Musik adalah instrumen penting bagi kehidupan berbangsa. Kenapa? Karena musik mengajarkan kita agar mengolah nalar dan rasa, dua hal yang penting dalam menumbuhkan keharmonisan dalam hidup.

Musik mengasah kemampuan manusia bernalar karena pada dasarnya musik adalah matematika. Musik adalah hitung-hitungan logaritma yang presisi antara melodi, ritme, tempo, dan unsur musikal lainnya. Tanpa nalar matematika, musik yang dihasilkan pasti kurang bagus misalnya fals atau bertempo tidak konstan. Musik membiasakan pendengarnya untuk bernalar, kemudian menggunakan nalarnya untuk memahami lingkungan sekitar. Nalar penting agar manusia tidak terjebak asumsi dan praduga dalam membuat karya atau menyelesaikan masalah.

Musik juga penting karena ia mengajarkan manusia agar peka terhadap rasa. Terlebih bagi kita manusia timur yang konon mengedepankan spiritual rasa dalam kehidupan. Musik membiasakan kita peka dalam menyikapi mana yang indah, melodi musik mana yang menimbulkan rasa kagum dan nyaman dalam hati, mana perpaduan instrumen yang harmonis. Rasa penting agar manusia peka terhadap lingkungan sekitarnya.

Sudah sepatutnya kita melakukan refleksi. Sudahkah musik yang dibuat, diedarkan, dan didengarkan di Indonesia menjadikan kita manusia Indonesia yang lebih baik? Sudahkah musik yang kita dengarkan melatih kita agar lebih peka mengolah nalar dan rasa?

Sudah saatnya ada lebih banyak kritik dilontarkan pada musik Indonesia, agar para pendengar musik Indonesia tidak sekadar menjadi apa yang disebut Adorno sebagai entertainment listener atau pendengar hiburan. (Adorno, 1941). Agar pendengar musik Indonesia memiliki apresiasi yang lebih terhadap musik berkualitas dan punya bargaining position lebih baik, tidak hanya diam dan mengeluh pusing pala Barbie mendengarkan musik Indonesia.

Perkara mendengarkan musik ini menjadi penting jika konteksnya kita luaskan ke ranah sosial politik. Jika dalam hal mendengarkan musik saja manusia Indonesia diam dan tidak protes saat disuguhkan epigon dan musik banal di industri musik, malah membiasakan diri menikmatinya. Tidak menutup kemungkinan manusia Indonesia akan abai dalam menyikapi isu yang lebih luas seperti sosial dan politik.

Mari bersama-sama mengkritik musik yang kita dengar, mengapresiasi musik dengan lebih baik. Belajar bernalar dan mengolah rasa di sana, agar kita menjadi manusia Indonesia yang lebih baik dan membawa bangsa ke arah yang lebih baik.

Yogyakarta, 26 Maret 2015.

Thought wanderer. Linux enthusiast. Radiohead adorer. Co-founder & editor of Serunai.co, co-founder and editor of Arung Wacana, drumming for Auretté and The Polska Seeking Carnival, author of "Pias: Kumpulan Tulisan Seni dan Budaya" (2017, Warning Books/Tan Kinira Books. 2020, Warning Books), "Wonderland: Memoar Dari Selatan Yogyakarta" (2020, Elevation Books), and "Aubade: Kumpulan Tulisan Musik" (2021, Arung Wacana). Lihat semua pos dari Aris Setyawan

Telah Terbit April 13, 2015Maret 30, 2019

Video yang berhubungan

Postingan terbaru

LIHAT SEMUA