Hukum menangisi orang yang sudah meninggal Menurut Islam

Dalam kehidupan, selalu ada rute yakni mulai dari seseorang dilahirkan, menjadi bayi dan anak anak, remaja dan dewasa, hingga tua dan meninggal dunia. Hal itu merupakan hal alami yang terjadi pada setiap makhluk hidup tak terkecuali manusia. Sebab dunia memang hanya sementara dan akhirnya tetaplah akan ditinggalkan juga, entah cepat atau lambat.

Untuk urusan meninggal dunia sendiri ya sobat, tentu tak ada istilah tua dan muda, hukum wanita meninggal saat melahirkan, semua bisa mengalaminya bahkan seseorang yang baru lahir pun jika memang takdirnya meninggal dunia maka meninggallah ia, tak ada esuatupun yang bisa mencegah sebab menjadi hak Allah dan Allah satu satunya yang paling tepat untuk menentukan kapan seseorang meninggal dunia.

Nah sobat, ketika sobat ditinggalkan oleh orang orang disayangi yang meninggal dunia misalnya nenek dan kakek di keutamaan meninggal di malam jumat , tentu menjadi sumber kesedihan tersendiri yang kadang terus teringat dalam aktifitas sehari hari, memang hal itu adalah sesuatu yang wajar sebagai bentuk adanya rasa kasih sayang dan kesedihan akan kehilangan.

Ibaratnya ditinggal mati hewan kesayangan saja bisa menjadi kesedihan tersendiri ya sobat. Namun sobat, tentu kesedihan itu hanyalah berlangsung sementara dan selanjutnya diganti dengan ungkapan doa untuk almarhum sebab sejauh apapun dan sebanyak apapun kesedihan tidak akan bisa mengembalikan orang yang meninggal dunia.

Lalu bagaimana dengan meratapi sobat atau dikenal dengan larangan menangisi orang meninggal? yakni kesedihan yang terus menerus hingga berlebihan dan mungkin lupa akan hal lainnya, lupa akan segala rutinitas hariannya karena terus teringat dengan almarhum, untuk masalah ini penulis bahas lebih detail ya sobat, yuk simak selengkapnya. Hukum Meratapi Orang yang Sudah Meninggal.

Dalam hal ini ada berbagai pandangan ya sobat, seperti yang tertera dalam sumber sumber syariat berikut.

1. Kesedihan yang Wajar

  • “Tidak halal seorang perempuan yang beriman kepada Allah dan hari akhir, berkabung karena kematian, lebih dari tiga malam, kecuali atas kematian suami, maka harus berkabung empat bulan sepuluh hari.” (HR. Bukhari)
  • “Telah datang seorang perempuan kepada Nabi Saw. kemudian ia berkata: sesungguhnya anak perempuanku ditinggal mati oleh suaminya dan matanya menjadi bengkak (karena menangis), apakah boleh saya suruh dia memakai celak? Maka jawab Rasulullah: Tidak! Dua kali atau tiga kali, tiap kali ditanya selalu menjawab tidak.” (HR. Bukhari dari Ummu Habibah)

Dari kedua hadist tersebut ialah contoh bahwa sedih akan meninggalnya seseorang diperbolehkan ya sobat, namun juga tidak dilakukan dengan berlebihan, sebab justru akan menjadi beban tersendiri untuk orang yang sudah meninggal, tak apa meneteskan air mata yang mana memang sebuah hal biasa sebagai manusia yang berperasaan, namun tak harus terus terusan menangis dan melupakan akan mendoakan serta dilanjutkan dengan cara menghilangkan kesedihan.

2. Kesedihan Sejenak Setelah Kepergian Almarhum

  • “Sesungguhnya mata akan meneteskan air dan hati akan bersedih. (Akan tetapi) kami tidak akan mengatakan kecuali apa yang akan diridhai Rabb kami dan sesungguhnya kami sungguh sangat sedih dengan kepergianmu wahai Ibrahim.” (HR. al-Bukhari)
  • Al-Bukhari meriwayatkan dari Anas radhiallahu anhu bahwa ia berkata: Aku menyaksikan putri Rasulallah shallallahu alaihi wasallam dimakamkan dan Rasulallah shallallahu alahi wasallam duduk di atas kubur, dan aku melihat kedua matanya meneteskan air mata.” (HR. al-Bukhari)

Untuk kedua hadist di atas ialah kisah Rasulullah yang juga sedih karena ditinggal meninggal dunia oleh sosok yang disayangi, namun tentu Rasulullah juga tidak terus terusan bersedih melainkan kesedihan hanya bentuk perasaan alami saja atau mendapat manfaat menangis , selanjutnya kesedihan tersebut diganti dengan doa yang jauh lebih bermanfaat untuk almarhum.

3. Kesedihan yang Berlebihan

  • Muslim merwayatkan dari Abu Hurairoh radhiallahu anhu, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu alaihi wasalam bersabda, “Dua hal yang ada pada manusia dan keduanya menyebabkan mereka kafir: mengingkari keturunan dan meratapi kematian.”(HR. Muslim)
  • Muslim meriwayatkan dari Abdulloh radhiallahu anhu ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu alaihi wasalam bersabda, “Bukanlah dari golongan kami orang yang menampari pipi (ketika ditimpa kematian), merobek pakaian dan yang mengeluh serta meratapi seperti kebiasaan jahiliah.” (HR. Muslim)

Nah sobat, jelas dari kedua hadist tersebut bahwa kesedihan yang berlebihan tidaklah diperbolehkan dalam islam sebab menyakiti dir sendiri, emngurangi fokus dalam beribadah, dan memberi beban pada orang yang sudah meninggal dunia, tentu jauh lebih baik jika diisi dengan mendoakan agar almarhum memiliki kehidupan yang lebih baik di akherat.

4. Pendapat Ulama

  • Muhammad ibn Isma’il al-Shan’ani rahimahullah berkata, “Meratapi mayat adalah menangis dengan mengeraskan suara sambil menyebutkan sifat dan keadaan mayat serta perbuatan dan jasa-jasa baiknya. Hadits tersebut sebagai dalil yang menunjukkan haramnya yang demikian, dan ini disepakati ulama” (Subulus Salam, 1/880)
  • Imam Ibnu Daqiq al-Ied rahimahullah menjelaskan bahwa perbuatan-perbuatan termasuk adalah ungkapan perasaan tidak ridha terhadap ketetapan takdir, mak perbuatan termasuk pun diharamkan. (Ihkam al-Ahkam, Hlm.264)
  • Imam al-Nawawi rahimahullah berkata, “Meratap adalah perbuatan haram dan sangat buruk. Ia harus ditinggalkan dan dicegah karena dapat menambah duka, menyingkirkan kesabaran, menyalahi kepasrahan terhadap ketetapan Allah, dan tidak tunduk pada perintah-Nya.” (Syarh Shahih Muslim, VI/336)
  • Syaikh Abdullah Alu Bassam rahimahullah berkata, “Apapun yang Allah ambil dan berikan, semuanya adalah milik-Nya, dan dibalik itu ada hikmah sempurna dan tindakan yang tepat. Siapapun yang menentang hikmah ini, ia sekan menentang putusan dan takdir Allah yang justru inti maslahat, hikmah, asas keadilan dan kebaikan.” (Fikih Hadits Bukhari Muslim, Hlm.430-431)

Jelas bahwa ulama juga berpendapat hal yang sama ya sobat, yakni kesedihan tentu yang wajar saja sebagai ungakapn kasih sayang, namun tetap tidak diperbolehkan sedih yang berlebihan sebab menjadi suatu bentuk melawan takdir Allah dan tidak mengikuti apa yang telah Allah gariskan yang juga dapat menjurus kepada putus asa.

5. Hubungan Meratapi dengan Keadaan Orang yang Sudah Meninggal

  • l-Mughiroh bin Syu’bah berkata, aku telah mendengar Rasulullah shallallahu alaihi wasalam bersabda, “Siapa saja yang diratapi akan disiksa dengan ratapan itu pada hari kiamat nanti.” (HR. Muslim)
  • Dari Abu Burdah bin Abi Musa. Ia berkata, “Abu Musa al-Asy’ari jatuh sakit hingga tak sadarkan diri sementara kepalanya berada di pangkuan istrinya. Lalu berteriaklah istrinya hingga tak dapat mengendalikan dirinya. Ketika Abu Musa siuman, ia berkata, ‘Sungguh aku terbebas dari orang yang Rasulullah telah terbebas darinya. Sesungguhnya Rasulullah terbebas dari kebiasaan wanita yang berteriak-teriak ketika tertimpa musibah dan wanita yang biasa mencukur rambutnya serta merobek-robek bajunya.”(HR.al-Bukhari dan Muslim)
  • Muslim meriwayatkan bahwa Rasulallah shallallahu alaihi wasallam bersabda, “Seorang wanita yang meratapi mayat jika tidak bertaubat sebelum matinya, pada hari kiamat kelak ia akan dibangkitkan dengan jubah dari ter dan perisai dari kudis.” (HR. Muslim)
  • Al-Bazzar dalam Musnadnya meriwayatkan bahwa Rasulallah shallallahu alaihi wasallam bersabda, “Ada dua suara yang dilaknat di dunia dan di akherat; suara seruling saat dianugerahi nikmat dan ratapan saat ditimpa musibah.” (HR. al-Bazzar)

Jelas ya sobat, meratapi orang yang sudah meninggal memberi dampak yang tidak baik yakni menyiksa diri sendiri baik di akherat maupun di dunia, baik untuk orang yang meratapi maupun orang yang diratapi, sebab itu hendaknya dihindari saja ya sobat, tentu Allah menyukai semua yang wajar dan tidak berlebihan termasuk dalam hal meratapi orang yang sudah meninggal.

Jadi jelas Kesimpulannya yaitu :

  • Boleh bersedih atas orang yang sudah meninggal untuk sementara karena perasaan alami manusia yang memiliki kasih sayang namun tidak terus menerus dilakukan.
  • Sama sekali tidak bersedih atas kematian seseorang justru merupakan hal yang aneh yang mendandakan tidak adanya rasa kasih sayang.
  • Kesedihan sebaiknya diganti dengan doa untuk memberi bekal lebih pada orang yang meninggal dunia.
  • Meratapi akan memberikan kesusahan di dunia dan di akherat untuk orang yang meratapi maupun orang yang diratapi.
  • Meratapi merupakan tindakan berlebihan yang tidak ada dalam agama, meratapi berarti mengingkari takdir Allah dan tidak menerima apa yang telah digariskannya.
  • Meratapi wjaib dihindari sebab dapat berujung pada rasa putus asa yang juga tidak dianjurkan dalam agama serta dapat membawa keburukan lebih banyak lagi.
  • Yang terbaik ketika menghadapi orang yang meninggal dunia ialah didoakan sebanyak banyaknya sehingga orang yang meninggal dunia tersebut juga mendapatkan kebahagiaan di alamnya.

Demikian yang dapat disampaikan. Semoga bermanfaat untuk sobat pembaca smeua dan dapat diterapkan atau diamalkan dalam kehidupan sehari hari sehingga setia[ urusan selalu bernilai ibadah dan menjadi jalan pahala. Terima kasih.

Diriwayatkan dalam lebih dari satu hadits dari Nabi SAW bahwa almarhum menderita karena ratap tangis keluarganya atas dirinya.

Misalnya, Muslim diriwayatkan dalam Shahihnya  dari Ibn ‘Umar bahwa Hafsah menangis untuk’ Umar, dan dia berkata, “Tenanglah, wahai anakku! Apakah kamu tidak tahu bahwa Rasulullah SAW berkata: ‘Orang yang meninggal menderita karena tangisan keluarganya atas dirinya’? “

Dan itu juga membuktikan bahwa Nabi SAW menangis untuk almarhum pada lebih dari satu kesempatan, seperti ketika ia menangis pada kematian putranya Ibraahim, sebagaimana diriwayatkan oleh al-Bukhaari dan Muslim dari hadits Anas Ra. Dia juga menangis pada kematian salah satu putrinya, ketika ia dikuburkan, sebagaimana diriwayatkan oleh al-Bukhaari, 1258 dari hadits Anas seperti manfaat menangis.

Dan dia menangis ketika salah satu cucunya meninggal, sebagaimana diriwayatkan oleh al-Bukhaari (1284) dan Muslim (923), dari hadits Usaamah ibn Zayd. Jika diminta, bagaimana kita bisa berdamai di antara hadits-hadits yang melarang orang yang sudah meninggal dan yang mengizinkannya?

Jawabannya adalah:

Nabi SAW menjelaskan bahwa dalam hadits yang diriwayatkan oleh al-Bukhaari (7377) dan Muslim (923) dari Usaamah ibn Zayd, yang menurutnya Nabi SAW menangis untuk putra salah satu putrinya. Sa’d ibn ‘Ubaadah berkata: “Apa ini, wahai Rasulullah?” Dia berkata,

“Ini adalah welas asih yang Allah tempatkan di dalam hati para hamba-Nya. Allah menunjukkan belas kasihan kepada para hamba-Nya yang berbelas kasihan. ”

Al-Nawawi berkata: Apa artinya ini adalah bahwa Sa’d berpikir bahwa semua jenis tangisan adalah haram, dan bahwa air mata menetes adalah haram. Dia berpikir bahwa Nabi SAW telah melupakan itu, jadi dia mengingatkannya.

Tapi Nabi SAW menjelaskan bahwa menangis dan meneteskan air mata bukanlah haram atau makruh, melainkan welas asih dan sesuatu yang baik. Apa itu haram meratap dan meratap, dan tangisan yang disertai oleh satu atau kedua tindakan ini, sebagaimana Nabi SAW berkata: “Allah tidak menghukum untuk air mata yang ditumpahkan atau untuk dukacita di hati, bukan Dia menghukum atau menunjukkan belas kasihan karena ini “dan dia menunjuk lidahnya.

Syekh al-Islam Ibnu Taimiyah diminta  seperti yang dikatakan di al- Fataawa, 24/380 apakah tangisan seorang ibu atau saudara laki-laki dan perempuan memiliki efek pada almarhum. Dia berkata: “Sebaliknya tidak ada dosa dalam air mata yang ditumpahkan oleh mata dan kesedihan di dalam hati, tetapi meratap dan meratap dilarang.”

 Berkenaan dengan tangisan bagi orang yang meninggal bahkan setelah beberapa waktu berlalu, tidak ada yang salah dengan itu, selama tidak disertai dengan ratapan, meratap atau merasa tidak senang dengan kehendak dan keputusan Allah seperti hukum lelaki membuat wanita menangis dalam islam.

Muslim meriwayatkan bahwa Abu Hurairah  berkata: Nabi SAW mengunjungi makam ibunya dan menangis, dan mereka yang ada di sekitarnya juga menangis. Dia berkata:

“Saya meminta izin kepada Tuhan saya untuk berdoa memohon pengampunan baginya, dan Dia tidak memberi saya izin; dan saya meminta izin kepada Dia untuk mengunjungi makamnya dan Dia memberi saya izin. Jadi kunjungi kuburan, karena mereka akan mengingatkan Anda tentang kematian. ” Dan Allaah tahu yang terbaik.

“Kami pasti akan menguji Anda melalui rasa takut dan lapar, dengan cara mengurangi harta benda, nyawa, dan hasil panen Anda. Berikan kabar gembira kepada mereka yang sabar. Ketika kejadian seperti itu menimpa mereka, mereka berkata: “Kita milik Tuhan dan kita pasti akan kembali ke hadirat-Nya.” Mereka adalah orang-orang yang memiliki dukungan dan kasih karunia yang konstan dari Guru mereka. Mereka adalah orang-orang yang berada di jalan yang benar. ” (Al-Baqarah 155-157)

Ini telah diriwayatkan dari Nabi Muhammad SAW:

“Aneh adalah cara orang percaya untuk ada kebaikan dalam setiap urusannya dan ini tidak terjadi pada orang lain kecuali dalam kasus orang percaya karena jika dia memiliki kesempatan untuk merasa senang, dia berterima kasih (Tuhan), sehingga ada kebaikan baginya di dalamnya, dan jika ia mendapat masalah dan menunjukkan pengunduran diri (dan bertahan dengan sabar), ada kebaikan baginya di dalamnya. ” (Referensi: Sahih Muslim 2999, Referensi dalam buku: Buku 55, Hadis 82, referensi: Buku 42, Hadis 7138)

Menangis atas peristiwa semacam itu tidak dilarang asalkan Anda tidak memberontak melawan Allah dan Anda menyerah pada perintah-Nya. Memang telah diceritakan tentang Nabi Muhammad SAW bahwa ia telah menangis untuk kematian anak-anak dan cucu-cucunya. Setelah pemakaman dan penguburan, keluarga terdekat akan berkumpul dan menerima pengunjung.

Sudah menjadi kebiasaan bagi masyarakat untuk menyediakan makanan bagi keluarga selama beberapa hari pertama masa berkabung (biasanya tiga hari). Umumnya, periode berkabung berlangsung selama 40 hari, tetapi tergantung pada tingkat keagamaan keluarga, periode berkabung mungkin jauh lebih singkat seperti hukum menangis saat puasa.

Menangis sudah mengacu pada air mata dari mata. Adapun ratapan, menurut para ulama ada hubungannya dengan kata-kata dan suara yang berasal dari wanita atau pria yang meratap.

Kata-kata yang dimaksud di sini adalah pujian, mencantumkan sifat-sifat baiknya, keingintahuan nyanyian wanita yang terkenal ketika mereka meratap dan meratapi, berteriak dan tindakan terkenal lainnya yang dilakukan oleh perempuan yang menangis. Beberapa fuqaha mengatakan bahwa ini berlaku jika ada juga yang menangis, dan yang lain mengatakan bahwa itu tidak harus disertai dengan menangis; melainkan terhubung dengan tindakan ratapan yang disebutkan di atas.