Gereja perdana adalah gereja yang inklusif artinya

Gereja mula-mula, Gereja perdana, jemaat perdana, Kekristenan mula-mula, atau Kekristenan perdana merujuk pada Kekristenan pada masa antara penyaliban Yesus (sekitar tahun 30 Masehi) dan Dewan Nicaea Pertama (325 Masehi) pada abad ke-4 M. Sumber sejarah utama mengenai Kekristenan pada abad pertama (Era Apostolik) adalah kitab Kisah Para Rasul. Pada mulanya, Gereja Kristen terpusat di Yerusalem, dan salah satu pemimpinnya adalah Yakobus dari Yerusalem, yang adalah adik Yesus, dan mati sebagai martir pada sekitar tahun 62 Masehi. Setelah Amanat Agung diberikan, Para Rasul (termasuk Rasul Paulus) kemudian melaksanakan aktivitas misionaris menyebarkan Kekristenan ke kota-kota di seluruh wilayah dunia Helenistik, seperti Aleksandria, Antiokhia, Roma, serta ke luar Kerajaan Roma.

  • e-Misi, Catatan Sejarah Gereja Mula-Mula.
 

Artikel bertopik Kristen ini adalah sebuah rintisan. Anda dapat membantu Wikipedia dengan mengembangkannya.

  • l
  • b
  • s

Diperoleh dari "https://id.wikipedia.org/w/index.php?title=Gereja_perdana&oldid=19483291"

Pertanyaan kritis tersebut disampaikan oleh Dr. Wati Longchar (dari Serampore University, India) dalam kesempatan berbagi pengalaman pelayanan dan pemikiran teologisnya kepada para peserta Konsultasi Nasional (Konas) V Gereja dan AIDS yang diselenggarakan oleh PGI dan PGIW DKI Jakarta di Hotel Lembah Nyiur, Cipayung (12-15/10).

Bagi Longchar untuk menilai sejauh mana gereja sudah menjadi komunitas yang inklusif dapat dilihat dari seberapa besar keberpihakan gereja kepada mereka yang miskin, orang-orang yang disable, yang terbuang, yang terpinggirkan, dan kaum perempuan, termasuk di dalamnya kaum STH (Saudara yang Terinfeksi HIV dan AIDS, istilah lain dari ODHA). Demikian pula, seberapa besar gereja memperjuangkan ketidakadilan yang dialami oleh insan-insan yang tidak berdaya tersebut. Jangan-jangan kita sendiri sebagai bagian dari tubuh Kristus (Gereja) ikut terlibat dan melakukan ketidakadilan kepada mereka.

Inilah yang menurut Longchar bahwa cukup banyak gereja tidak lagi mengindahkan ajaran Kristus. Orang-orang yang memiliki kekuasaan (otoritas) di gereja dengan menyalahgunakan kekuasaan tersebut sudah sepatutnya bertobat dan kembali mengimplementasikan Hukum Kasih yang diajarkan Tuhan.

Longchar menyegarkan ingatan kita kembali dengan dua fokus teologis dari Injil agar gereja mengubah pola pikir dan pola tindaknya selama ini yang kurang berbelarasa. Dua fokus teologis itu adalah:

  1. Lukas 14:12-14. Dalam bacaan tersebut, ada dua kelompok manusia, yaitu: orang-orang kaya (kelompok 1) dan orang-orang miskin, disable, lumpuh, dan buta (kelompok 2). Yesus memerintahkan agar kita merangkul dan berbelarasa kepada mereka yang berada di kelompok 2. Di sinilah gereja harus memberikan keberpihakannya kepada kelompok 2.
  2. Lukas 16:19-21. Perumpamaan ini paralel dengan bacaan pertama di atas, masih memperlihatkan dua kelompok yang kontras (kelompok 1 dan kelompok 2). Orang kaya berjubah ungu dalam bacaan tersebut menyimbolkan orang terhormat, terpandang, dan memiliki kekuasaan (otoritas). Namun, berbeda dengan Lazarus, kelompok dari orang-orang miskin dan disable yang tidak memiliki apa yang dimiliki si kaya tersebut.

Pesan yang hendak disampaikan dalam kedua fokus teologis tersebut adalah bahwa gereja perlu memperhatikan kebutuhan orang-orang miskin, disable persons, orang-orang yang terbuang dan terpinggirkan, termasuk juga di dalamnya orang-orang yang terinfeksi HIV dan AIDS. Orang-orang seperti ini banyak mengalami stigma dan diskriminasi dari masyarakat, termasuk juga dari gereja.

Agar gereja dapat mejadi komunitas yang inklusif, maka gereja tidak boleh lagi melakukan stigma dan diskriminasi kepada orang-orang miskin, orang-orang cacat (disable persons), orang-orang yang terbuang dan terpinggirkan, termasuk juga di dalamnya orang-orang yang terinfeksi HIV dan AIDS. Untuk menjadi gereja yang inklusif, maka gereja harus bertindak nyata dalam berbelarasa dan menegakkan keadilan bagi sesama.

Oleh: Boy Tonggor Siahaan

  • Diskriminasi
  • Gereja dan AIDS
  • HIV
  • Konas
  • Stigma

Liputan6.com, Jakarta - Agama harus sampai pada religiusitas. Dan beragama harus mengembangkan kehidupan inklusif. Pemahaman agama yang sempit didasari cara pandang agama yang sempit, karena bukan melihat agama dalam pengertian realitasnya.

Dalam realitasnya adalah pluralisme agama yang hidup di bumi Indonesia. Oleh karena itu, yang lebih penting dikemukakan dalam konteks ini adalah pemahaman religiusitas.

Dengan adanya pemahaman religiusitas yang memadai, maka kita akan mencetak, seperti dikatakan Spranger, manusia religius.

Manusia religius adalah manusia yang memahami hakikat agama dalam bingkai pluralisme.

Manusia Religius

Dalam konteks ini, manusia religius merupakan manusia yang menyerahkan kehidupannya kepada Yang Ilahi. Dia tidak akan sekali-kali mempolitisasi agamanya untuk kepentingan politik dan kekuasaan.

Karena politik dan kekuasaan diarahkan untuk menjatuhkan lawan dan akan begitu selamanya, sementara agama diarahkan pada yang suci dan mulia.

Dengan demikian, manusia religius pertama-tama tidak memandang apa agama yang dianut, tetapi bagaimana mengarahkan seluruh kehidupannya kembali kepada Yang Ilahi.

Dalam realitas pluralisme ini, agama dipahami dalam konteks privat daripada publik.

Dalam konteks beragama, religiusitas itu tidak memikirkan diri sendiri, justru memberikan diri untuk keselamatan orang lain. Iman harus menghasilkan buah kebaikan, perdamaian, keadilan, dan kesejahteraan.

Pada intinya, beragama secara benar adalah bila kita mampu mengendalikan diri kita sendiri untuk tidak memuaskan diri sendiri.

Jadi, cara beragama yang sehat tidak cukup hanya menyangkut acara ritual di antara tempat dinding rumah ibadah saja, tetapi perlu diimplementasikan dalam realasinya di tengah-tengah agama lain.

Oleh karena itu kita perlu menafsirkan kembali cara beragama kita kepada Tuhan. Cara kita beragama harus dikembalikan dalam realitas sosial. Bila engkau masih melakukan korupsi, kolusi, ataupun nepotisme, selesaikanlah lebih dahulu, baru merayakan ibadat.

Peribadatan kita menjadi memuakkan, ketika dalam waktu yang bersamaan tangan kita berlumuran dosa-dosa sosial.

Seperti dikatakan Romo Mangun Wijaya, bahwa orang yang memiliki religiusitas itu tidak memikirkan dirinya sendiri, tetapi justru memberikan diri untuk keselamatan orang lain.

Sejauh mana cara beragama kita kepada Tuhan sudah kita arahkan kepada orang lain, sesama kita yang membutuhkan kehadiran kita untuk keselamatan.

Kita harus mengajarkan pada generasi hari ini untuk beragama menggunakan kepekaan hati dan nalar sehat.

Dengan cara beragama yang demikian, kita akan mengembangkan humanisme dalam religiusitas kita beragama, sehingga akan membuat bangsa ini semakin kuat dalam ikatan sosial-religius, dalam beragama di tengah-tengah agama lain.

Dalam konteks relasi lintas agama, setiap orang boleh saja meyakini kebenaran agamanya secara fundamental, tetapi dia tidak boleh memaksakan keyakinannya itu kepada orang lain, apalagi dengan cara-cara kekerasan.

Kita ingin membentengi diri atau saudara-saudara kita dari gerakan fundamentalis, kita harus mengikuti metode kerja dengan memproduksi makna religiusitas yang mudah dimengerti, dan juga berisi janji-janji yang pasti tentang keselamatan.

>

Eksklusif vs Inklusif dan Sikap Tuhan Yesus - Pada pembahasan materi agama Kristen kali ini mengenai sikap ekslusif dan inklusif di dalam gereja dan juga tentang sikap Tuhan Yesus serta Gereja yang Terus-menerus Diperbaharui, agar sobat dapat lebih memahami materi ini, simak penjelasan singkat berikut ini!
Apa yang kita lihat dalam pelajaran ini adalah suatu bentuk perlawanan terhadap eksklusivisme atau ketertutupan. Gereja perdana adalah gereja yang inklusif, artinya gereja itu terbuka, tidak membeda-bedakan orang. Bahkan terhadap orang-orang yang dalam masyarakat Yahudi biasanya diasingkan, ditolak, dan dijauhi orang banyak pun gereja membuka dirinya lebar-lebar.

Gereja perdana adalah gereja yang inklusif artinya
Eksklusif vs Inklusif dan Sikap Tuhan Yesus
Di kalangan orang Yahudi dahulu ada sebuah doa yang dapat menggambarkan sikap yang eksklusif, atau bahkan patriarkal (=menganggap laki-laki sebagai penguasa tertinggi), seperti misalnya doa berikut ini:

“Terpujilah Engkau, ya Allah, Raja semesta alam, karena Engkau tidak menciptakan aku sebagai seorang bukan Yahudi.“Terpujilah Engkau, ya Allah, Raja semesta alam, karena Engkau tidak menciptakan aku sebagai budak.

“Terpujilah Engkau, ya Allah, Raja semesta alam, karena Engkau tidak menciptakan aku sebagai seorang perempuan.”

Dari doa ini kita dapat melihat bahwa kedudukan sebagai orang bukan Yahudi (goyim, orang asing), budak, dan perempuan dipukul rata begitu saja dan dianggap sebagai kehinaan. Memang, tradisi Yahudi pada waktu itu menganggap orang-orang selain Yahudi sebagai goyim, atau orang asing, yang tidak mendapat perkenan Allah. Mereka hanya berfungsi sebagai pelayan untuk orang Yahudi. Namun kisah kita ini menggambarkan betapa gereja perdana itu adalah sebuah komunitas yang revolusioner, yang membongkar pemahaman-pemahaman eksklusif yang membangun tembok-tembok di antara manusia dari berbagai bangsa. Kaum perempuan yang di kalangan masyarakat kita bahkan sampai sekarang seringkali dianggap sebagai warga kelas dua dan tidak penting, sehingga di beberapa gereja mereka tidak mendapatkan tempat atau tidak boleh menjadi pemimpin – justru mendapatkan tempat yang tinggi dan terhormat di kalangan jemaat. Penerimaan terhadap sida-sida atau orang kebiri ini sebetulnya dipahami oleh gereja perdana sebagai penggenapan terhadap janji Allah untuk menerima mereka dan semua orang yang disingkirkan oleh masyarakat umumnya, seperti yang tertulis dalam Kitab Yesaya 56: 4. Sebab beginilah firman TUHAN: “Kepada orang-orang kebiri yang memelihara hari-hari Sabat-Ku dan yang memilih apa yang Kukehendaki dan yang berpegang kepada perjanjian-Ku, 5. kepada mereka akan Kuberikan dalam rumah-Ku dan di lingkungan tembok-tembok kediaman-Ku suatu tanda peringatan dan nama -- itu lebih baik dari pada anak-anak lelaki dan perempuan -- suatu nama abadi yang tidak akan lenyap akan Kuberikan kepada mereka. 6. Dan orang-orang asing yang menggabungkan diri kepada TUHAN untuk melayani Dia, untuk mengasihi nama TUHAN dan untuk menjadi hamba-hamba-Nya, semuanya yang memelihara hari Sabat dan tidak menajiskannya, dan yang berpegang kepada perjanjian-Ku, 7. mereka akan Kubawa ke gunung-Ku yang kudus dan akan Kuberi kesukaan di rumah doa-Ku. Aku akan berkenan kepada korban-korban bakaran dan korban-korban sembelihan mereka yang dipersembahkan di atas mezbah-Ku, sebab rumah-Ku akan disebut rumah doa bagi segala bangsa. Sikap Tuhan Yesus terhadap orang-orang yang marjinal justru bertolak belakang dengan hukum-hukum Taurat Israel. Yesus lebih mencerminkan keterbukaan Allah seperti yang digambarkan dalam Kitab Yesaya yang dikutip di atas. Misalnya, Tuhan Yesus pun dikecam para ahli Taurat dan orang Farisi karena Ia menembuhkan orang yang sakit pada hari Sabat – yang dianggap sebagai pelanggaran terhadap hukum Taurat. Sementara itu, mereka justru tidak akan segan-segan menyelamatkan lembu mereka yang terperosok ke dalam sumur, meskipun pada hari Sabat (Luk. 14:2-5) Kalau harus melakukan perbuatan baik, Yesus tidak mau menunggu sampai Sabat berlalu. Ia akan segera menyembuhkan orang yang sakit itu, karena Ia tahu orang itu membutuhkannya. Dalam Markus 2:27 Tuhan Yesus kepada orang banya, “Hari Sabat diadakan untuk manusia dan bukan manusia untuk hari Sabat.” Terhadap orang kusta, Yesus tidak segan-segan menyentuhnya dan menyembuhkannya. Perempuan yang mengalami pendarahan selama 12 tahun, yang menurut hukum Taurat harus dianggap najis, dibiarkan menjamah-Nya dan perempuan itu menjadi sembuh. Kalau Tuhan Yesus tidak segan-segan menghampiri orang-orang yang tersingkirkan oleh masyarakatnya, kaum marjinal, maka komunitas yang Tuhan Yesus ingin¬kan pun tentunya adalah komunitas yang inklusif, terbuka bagi setiap orang, apapun juga latar belakang ras, etnis, kelas sosial, bahkan juga kondisi fisiknya. Kedekatan Yesus terhadap perempuan Samaria dan perempuan Kanaan – kedua-duanya orang-orang bukan Yahudi dan pemberitaan Injil kepada sida-sida Etiopia ini adalah gambaran yang diberikan oleh Lukas, si penulis Kisah para Rasul, untuk melukiskan betapa terbukanya gereja kepada semua orang. Dalam Galatia 3:26-29 dikatakan, 26 Sebab kamu semua adalah anak-anak Allah karena iman di dalam Yesus Kristus. 27 Karena kamu semua, yang dibaptis dalam Kristus, telah mengenakan Kristus. 28 Dalam hal ini tidak ada orang Yahudi atau orang Yunani, tidak ada hamba atau orang merdeka, tidak ada laki-laki atau perempuan, karena kamu semua adalah satu di dalam Kristus Yesus. 29 Dan jikalau kamu adalah milik Kristus, maka kamu juga adalah keturunan Abraham dan berhak menerima janji Allah. Keterbukaan yang digambarkan oleh Paulus di atas tidak mungkin bisa terjadi bila Roh Kudus tetap membelenggu kita. Baru ketika Allah melalui Roh-Nya yang kudus membebaskan kita dari belenggu Taurat (Gal. 5:18), maka kita akan menjadi bebas. Para reformator di Abad Pertengahan mempunyai semboyan, Ecclesia reformata, ecclesia semper reformanda. Artinya, gereja yang telah diperbaharui harus terus menerus memperbaharui dirinya. Dengan kata lain, tidak cukup pembaharuan yang terjadi sekali di masa Peter Waldo, Jan Hus, Martin Luther, atau Yohanes Calvin. Pembaharuan harus terus-menerus terjadi, karena gereja harus terus bertumbuh, berubah menjadi lebih baik, dan berusaha menjawab tantangan-tantangan baru di dalam masyarakatnya. Sayang sekali, kadang-kadang gereja terpaku pada masa lampau, bahkan pada ajaran-ajaran yang sudah tidak relevan, sehingga gagal untuk memahami tugas pembaharuan dirinya. Mahatma Gandhi, seorang tokoh kemerdekaan India, di masa mudanya pernah berniat pergi ke gereja untuk ikut beribadah. Gandhi telah banyak membaca Alkitab, khususnya kitab Injil Matius. Dia ingin sekali berkenalan dengan Yesus yang diakui sebagai Tuhan oleh orang Kristen. Gandhi sangat terkesan oleh ajaran-ajaran Yesus yang dirasakannya begitu luhur dan agung. Malangnya, saat itu ia hidup dan bekerja di Afrika Selatan dan pemerintah negara itu mempraktikkan politik apartheid, yaitu politik diskriminasi rasial. Orang kulit berwarna dilarang bergaul dengan orang kulit putih. Mereka dilarang memasuki gedung-gedung atau tempat-tempat yang khusus disediakan untuk orang-orang kulit putih. Mereka pun dilarang menikah dengan orang kulit putih. Orang yang berani melanggar aturan-aturan ini akan dihukum dan dijebloskan ke dalam penjara.

Ketika Gandhi berkunjung ke gereja orang kulit putih di Afrika Selatan, ia ditolak karena warna kulitnya. Gandhi kecewa. Dr. E. Stanley Jones, seorang misionaris di India, pernah bertanya kepada Gandhi, “Tn. Gandhi , meskipun Tuan banyak kali mengutip kata-kata Kristus, mengapa tampaknya Tuan menentang keras untuk menjadi pengikut-Nya?” Gandhi menjawab, “Oh, I don’t reject your Christ. I love your Christ. It’s just that so many of you Christians are so unlike your Christ.” Artinya, “Oh, aku tidak menolak Kristusmu. Aku mengasihi Kristusmu. Tapi begitu banyak dari kalian orang Kristen yang sangat berbeda dengan Kristusmu.”

Apa yang dikatakan oleh Gandhi sungguh sebuah kritik yang tajam bagi kita orang Kristen, karena kita seringkali gagal mencerminkan siapa Yesus Kristus yang sesungguhnya yang kita kenal dan sembah itu.

Mari kita nyanyikan lagu di bawah ini bersama-sama, sambil menghayati kembali bagaimana gereja perdana dahulu membuka dirinya kepada setiap orang yang mau datang dan bergabung ke dalamnya:

KJ No. 257 “Aku Gereja, Kaupun Gereja”Aku Gereja, kau pun Gereja, kita sama-sama Gerejadan pengikut Yesus di seluruh duniakita sama-sama Gereja.Gereja bukanlah gedungnya, dan bukan pula menaranya;

Bukalah pintunya, lihat di dalamnya, Gereja adalah orangnya.

Aku Gereja, kau pun Gereja, kita sama-sama Gerejadan pengikut Yesus di seluruh duniakita sama-sama Gereja.Berbagai macam manusia, terdiri dari bangsa-bangsa,

lain bahasanya dan warna kulitnya, tempatnya pun berbeda juga.

Aku Gereja, kau pun Gereja, kita sama-sama Gerejadan pengikut Yesus di seluruh duniakita sama-sama Gereja.Di waktu hari Pentakosta Roh Kudus turunlah ke dunia;

G’reja disuruh-Nya membawa berita kepada umat manusia.

Dalam bagian ini kita telah belajar bagaimana gereja terbentuk melalui pekerjaan Roh Kudus yang dijanjikan dan diutus oleh Tuhan Yesus sendiri. Di bawah pimpinan Roh Kudus sendirilah gereja melaksanakan berbagai langkah pembaharuan yang diwujudkan antara lain di dalam sikap gereja yang terbuka terhadap banyak orang yang sebelumnya tersingkir atau ditolak oleh orang Yahudi pada zaman itu, seperti misalnya orang-orang asing (helenis), kaum perempuan, dan orang-orang kasim (orang kebiri). Penerimaan ini sendiri sudah diteladankan oleh Yesus Kristus melalui pelayanan-Nya yang tidak memilah-milah. Sebaliknya, dengan gamblang Yesus Kristus memperlihatkan keterbukaan-Nya kepada orang-orang ini, dengan sikapnya yang menerima dan mau mendekati mereka.


Sekian pembahasan mengenai Eksklusif vs Inklusif dan Sikap Tuhan Yesus dan juga tentang Gereja yang Terus-menerus Diperbaharui serta nyanyian aku gereja, kau pun gereja, selamat belajar!