Di dalam pertemuan keluarga di meja makan bapak ibu dan anak ternyata masing-masing

Fimela.com, Jakarta Nasihat orangtua atau tradisi dalam keluarga bisa membentuk pribadi kita saat ini. Perubahan besar dalam hidup bisa sangat dipengaruhi oleh nilai-nilai dan budaya yang ada di dalam keluarga. Kesuksesan yang diraih saat ini pun bisa terwujud karena pelajaran penting yang ditanamkan sejak kecil. Seperti kisah Sahabat Fimela yang diikutsertakan dalam Lomba My Culture Matters: Budayamu Membentuk Pribadimu ini.

***

Oleh: Nila - Samarinda

Makan bersama adalah momen menyenangkan dalam keluargaku. Berkumpul bersama dan menyantap makanan yang disajikan oleh ibu, rasanya sungguh nikmat. Momen seperti ini setiap hari aku dan keluargaku rasakan. Tak pernah ada rasa bosan ketika harus mengulangnya setiap hari. Makan bersama memberikan kami akan banyak hal. Kami bercerita tentang banyak hal, mulai dari mengomentari resep masakan ibu yang baru, pengalaman baru di sekolah aku dan adik, pekerjaan ayah hari itu hingga sampai urusan pacar baru. Banyak hal yang bisa dijadikan obrolan saat makan bersama.

Momen makan bersama seperti ini tidak hanya ada di rumahku, tetapi juga di rumah saudara ibu dan ayahku. Makan bersama seperti menjadi tradisi yang harus selalu ada di dalam rumah keluarga besar kami. Makan bersama mampu mengakrabkan kami setelah seharian sibuk dengan urusan masing-masing. Bercerita tentang apa saja yang telah kami lalui hari ini juga menjadikan kami pribadi yang lebih terbuka. Hampir tak pernah ada kesempatan untuk memendam semuanya sendiri. Membuat kami juga tak pernah merasa sendiri. Selalu ada saja support yang diberikan oleh keluarga aku ketika salah satu dari kami mendapatkan sebuah masalah yang harus diselesaikan. Selalu ada saja solusi saat kami duduk makan bersama. Makan bersama selalu menyenangkan untuk aku pribadi.

Namun, makan bersama dalam keluarga aku selalu ada etika yang harus kami jaga. Seperti mempersilakan orang tua mengambil atau memilih menu makannya terlebih dahulu sebagai bentuk rasa hormat kami yang muda terhadap yang tua. Tidak berbicara saaat mulut penuh dengan makanan. Kami dipersilakan mengunyah dan menelan makanan terlebih dahulu sebelum berbicara. Tidak bersendawa saat makan. Tidak menyisakan makanan di dalam piring, sehingga kami juga terbiasa untuk mengambil makanan sesuai dengan porsi yang mampu kami habisi. Hingga kebiasaan yang selalu diajarkan orangtua kami tentang membereskan tempat makan kami masing-masing.

Ilustrasi./copyright shutterstock

Hal-hal sederhana yang diajarkan seperti ini sungguh sangat aku syukuri. Di zaman sekarang, etika makan seolah dilupakan. Ketika aku dan keluargaku makan di luar, kami melihat pemandangan yang membuat kami sedikit kurang nyaman dan sedih. Ketika sekumpulan orang duduk bersama untuk makan, sebagian besar mereka justru sibuk dengan handphone-nya masing-masing. Tidak ada percakapan yang menyenangkan yang terjadi karena mereka lebih fokus dengan dunia yang ada di handphone mereka. Hingga etika saat mereka selesai makan. Mereka begitu banyak menyisakan makanan di piring mereka, kemudian pergi dengan kondisi meja makan penuh dan berantakan.

Ketika melihat hal seperti itu, ayah selalu berkata, “Coba kamu lihat, mereka duduk bersama satu meja, tapi pikiran dan jiwa mereka tidak duduk bersama di sana. Mereka terlihat dekat namun sebenarnya mereka sangat jauh.” Hal seperti ini yang selalu ayah aku hindari. Di mana kami duduk bersama, namun pikiran kamu jauh melayang entah kemana. Tidak ada keakraban yang terjalin ketika kita sibuk dengan handphone masing-masing. Tidak akan ada rasa nyaman saling berbagi cerita ketika mereka lebih memilih untuk merasakan nyaman berbagi cerita di media sosial. Mereka akan merasa sendiri. Ketika ada masalah lebih memilih memendam sendiri. Keluarga aku selalu melarang kami menggunakan handphone di saat makan bersama. Jika ada hal penting, keluarga kami akan menelpon ke telpon rumah.

Begitu pula dengan tidak menyisakan makanan di piring makan. Orangtuakua serta kakek nenek, om dan tanteku selalu mengajarkan kami para anak-anak untuk tidak menyisakan makanan di piring kami. Kami dilarang keras mengambil makanan dengan porsi banyak namun tidak menghabiskannya. Kata mereka, itu dosa. Mubazir. Karena kebiasaan ini pula, aku dan keluarga aku selalu mengambil porsi makanan sesuai kemampuan menghabiskannya.

Ilustrasi. (Foto: Pexels.com)

Pada suatu hari, kami makan di salah satu restoran di Singapura. Restoran tersebut menerapkan sanksi ketika kita menyisakan makanan di piring. Untuk kami sekeluarga, ini hal biasa. Kami tidak merasa ini menjadi sebuah masalah. Karena kami tidak pernah menyisakan makanan di piring makan kami. Bukan kerena kami pelit, ini mengajarkan kami untuk lebih bersyukur atas rejeki yang Tuhan beri ke kami. Kata ayah, “Habiskanlah makananmu, jangan dibuang. Di luar sana banyak sekali yang ingin makan makanan yang kamu makan saat ini."

Satu hal lagi hal penting yang keluarga aku ajarkan, yaitu membereskan piring makan setelah kami makan. Di rumah kami, kami selalu mencuci piring makan kami sendiri. Kalaupun aku dan adik aku tidak sempat mencuci piringnya seperti saat sarapan karena diburu waktu berangkat sekolah, kami selalu meletakkan piring kotor kami di tempat pencucian piring. Hal ini cukup membantu ibu kami yang akan mencucinya setelah kami selesai makan. Orangtua kami selalu mengajarkan kami mandiri. Ayah selalu berkata, "Kembalikan ke kondisi semula seperti sebelum kamu menggunakannya." Hal ini juga berlaku untuk barang-barang lainnya yang kami gunakan, tidak hanya piring makan. Jika barang yang kami pinjam itu bersih, maka kami harus mengembalikannya juga dalam keadaan bersih.

Jadi, jika kemarin ramai dengan istilah tumpuk di tengah, aku dan keluarga aku sudah melakukannya semenjak dari zaman dulu. Jika ada yang bilang, untuk apa membereskan piring makan di restoran atau di warung makan karena mereka punya pegawai untuk membereskannya, maka ayah bilang ini tentang etika kamu pribadi. Anak pintar harus bisa bertanggungjawab atas apapun yang dia lakukan, bahkan untuk hal kecil seperti membereskan piring makan mu sendiri.

Aku bahagia dan merasa beruntung karena aku diajarkan hal-hal sederhana seperti ini oleh keluarga besar ku. Hingga besar seperti ini, hingga mereka tak ada lagi, kebiasaan itu akan tetap aku teruskan hingga anak-anakku nanti. Bukan demi orang lain, tapi demi diri sendiri. Ini etika. Etika adalah penilaian terhadap dirimu sendiri.

Makan bersama keluarga terbukti memberikan asupan nutrisi yang baik kepada anak–anak.

Istimewa

Gerakan Kembali ke Meja Makan

Red: Karta Raharja Ucu

“Kenapa keluarga masa kini sangat mudah dipecah-belah, kenakalan remaja, pornografi, narkoba meningkat, dan terjadi perceraian di sana-sini? Semua ini terjadi karena kurangnya komunikasi dan waktu bincang-bincang di keluarga, bahkan untuk sekadar makan bareng” (Roslina Verauli, Psikolog).Kita berada di era revolusi industri 4.0. Revolusi Industri 4.0 menjadi harapan sekaligus tantangan bagi keluarga di Indonesia. Keluarga kini dituntut untuk beradaptasi dengan kemajuan teknologi yang semakin berkembang dan mempengaruhi kehidupan setiap anggotanya secara struktural maupun kultural.

Era Industri 4.0 ditandai dengan aktivitas dan mobilitas setiap anggota keluarga yang tinggi yang menyebabkan waktu berkumpul bersama keluarga semakin terbatas bahkan hampir tidak ada. Padahal para pakar menyebutkan waktu bersama keluarga adalah adalah dasar untuk membentuk keeratan dan keluarga harmonis.

Keluarga yang harmonis, damai penuh cinta kasih dan rasa keamanan merupakan wahana yang baik bagi pertumbahan dan perkembangan anak termasuk perkembangan psikologi. Sebaliknya, penelitian menunjukan anak yang tumbuh dari keluarga yang kacau, rapuh, tidak terdapat rasa aman, anak cenderung memiliki rasa empati, toleransi yang kurang dan anak bersifat agresif.

Di tengah-tengah mobilitas orang tua yang tinggi, ada semangat untuk mengatur waktu bersama agar keharmonisan keluarga tetap terjaga. Namun, karena tuntutan pekerjaan semangat hanya tinggal semangat. Peran dan fungsi orang tua tidak optimal.

Peran ayah dan ibu sebagai instruktur, pendamping anak-anaknya tidak berjalan maksimal. Ayah dan ibu sebagai panutan gagal ditunjukkan. Pada saat berkumpul sebagai besar waktu dihabiskan di depan layar TV atau ponsel pintar masing-masing. Anak terlalu asyik berselancar di dunia maya mencari hiburan, begitu pula dengan anggota keluarga lainnya.

Lantas bagaimana mengatasinya? Apakah cukup lewat emotikon, emoji, dan video call? Teknologi yang semakin canggih telah menghubungkan antar-individu secara real time dan tidak terkendala jarak dan waktu. Kita bisa menelepon, menuliskan pesan teks, mengirim email, teleconference, bahkan berkomunikasi visual dengan Skype. Semua ini membuat kita semakin merasa berkomunikasi dengan peralatan modern ini sudah "cukup" sehingga melupakan pembicaraan yang benar-benar tatap muka secara fisik.

Seorang pengamat keluarga pernah menyatakan interaksi yang paling intensif terjadi bila orang saling menyentuh. Meskipun teknologi informasi menawarkan banyak peranti canggih, tetapi tidak sampai memenuhi esensi kebutuhan orang akan komunikasi: adanya sentuhan fisik dan emosi yang hanya didapat jika bertatap muka, berada dalam satu waktu dan ruang yang sama. Sentuhan fisik dan ekspresi emosi tidak bisa diketik atau diwakilkan dengan emotikon, emoji, bahkan video call sekalipun.

Saat ini, terkikisnya budaya berkumpul dan makan bersama sudah mengkhawatirkan. Mari kita mengingat lagi, kapan kita terakhir melakukan aktivitas bersama keluarga, atau setidaknya meluangkan sedikit waktu, pikiran, emosi bersama keluarga dengan mengesampingkan hal lainnya (family time)?

Sebuah studi yang dilakukan pada 2015 lalu menunjukkan bahwa budaya berkumpul dan makan bersama keluarga sudah mulai terkikis (Ibrahim, dalam Triananda, 2015). Sebanyak 20 persen dari 1.165 responden mengaku jarang makan bersama keluarga di rumah.

Lima dari 10 pria mengaku tak punya waktu untuk makan bersama keluarga di rumah karena terlalu sibuk. Alasan serupa ditemui pada responden remaja. Sekitar 26 persen responden remaja mengaku sibuk dan bosan dengan menu yang disajikan menjadi alasan mereka enggan makan di rumah bersama keluarga.

  • gerakan kembali ke meja makan
  • opini
  • analisis
  • bkkbn
  • muhammad yani

Di dalam pertemuan keluarga di meja makan bapak ibu dan anak ternyata masing-masing

Silakan akses epaper Republika di sini Epaper Republika ...