paka n s Tropik 3, Tropik 2 Tropik 4/ Tropik 1 Konsumen /puncak Konsumen II Konsumen I Produsen Apa yang akan terjadi jika tumbuhan yang menempati tin ... 2. Jelaskan keanekragaman spesies yang terdapat pada ekosistem yang Anda amati. 3. Adakah organisme yang spesiesnya berbeda, tetapi memiliki ciri-ciri ... Quis Ipabr /1. Mengapa terjadi perubahan bentuk telepon? br /2. Apa perbedaan paling Jelas dari tiap tiap bentuk telepon tersebutbr /Selamat Menjawabb ... -ciri khas dari takson spesies adalah 2 kata seperti Allium sativumbr /-maka genusnya adalah Allium(kata pertama) br /-untuk famili, ciri khasnya adal ... Perhatikan gambar berikut! br /br /Bagaimana tingkat keanekaragaman yang ditunjukkan oleh kedua tanaman tersebut? Jelaskan!! Jelaskan proses perubahan yang terjadi dalam perkembangan individu bagian yang ditunjukkan angka 1 2 3 dan 4 secara berurutan dalam tabel berikut adalah B. Soal Esal Jawablah dengan tepat dan benar. 1. Permenkes Nomor 329/Menkes/Per/VI/1976 berisi tentang.... 2. 3. 4. 5. Faktor sanitasi tidak mendukung ... Mendiskusikan Berbagai Peran Protista br /br /1. Diskusikan dengan teman Anda tentang macam-macam penyakit (misal malaria dan penyakit tidur) yang di ... jarak bumi dan pluto adalah 5.900 juta km. berapakah jarak tersebut dalam satuan astronomi? coba hitung. 30 April 2019, dibaca 11989 kali. Nomor: SP. 156/HUMAS/PP/HMS.3/4/2019 Jakarta, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), Senin, 29 April 2019, Tim Rhino Health Unit (RHU), Balai TN. Ujung Kulon menemukan seekor badak jawa jantan mati di Blok Citadahan, wilayah kerja Resort Cibunar, Seksi Pengelolaan Taman Nasional (SPTN) II Pulau Handeuleum pada Kamis 21 Maret 2019. Pada saat ditemukan, kondisi bangkai badak jawa masih utuh dan bercula yang berbentuk benjolan atau disebut cula batok, sehingga diperkirakan badak tersebut berusia remaja. Kondisi bangkai badak masih segar dan diperkirakan mati kurang dari 12 jam. Berdasarkan hasil identifikasi dan pencocokan dengan database profil badak jawa, badak yang mati tersebut bernama Manggala dengan ID: 070-2017, dengan ukuran lebar tapak kaki 24-25 cm. Mendengar informasi kematian badak jawa tersebut, maka Sabtu, 23 Maret 2019, Tim gabungan yang terdiri dari petugas TN Ujung Kulon, Rhino Protection Unit (RPU) YABI, WWF Ujung Kulon dan Fakultas Kedokteran Hewan IPB menindaklanjuti dengan melakukan pemeriksaan post mortem (pasca kematian) dan evakuasi bangkai badak. Kondisi bangkai badak mulai membusuk, lidah membiru, dan bola mata menyembul. Berdasarkan hasil pemeriksaan post mortem tersebut kesimpulan awal kematian badak diduga bukan karena penyakit infeksius. Bangkai badak kemudian dikubur didekat lokasi kematian. Kemudian pada Senin, 25 Maret 2019, Tim gabungan kembali dari lapangan dengan membawa beberapa jenis sampel yang diambil dari bangkai badak untuk mengetahui penyebab kematian badak. Sampel tersebut kemudian dianalisis di Fakultas Kedokteran Hewan-IPB, LIPI dan Balai Penelitian Veteriner Bogor. Jenis-jenis sampel yang diambil adalah esophagus, trachea, paru-paru, lambung, hati, usus halus, usus besar, otak, penis, epididymis, dan limpa. Hasil analisis laboratorium nekropsi kematian badak jawa Manggala, saat ini masih dalam tahap akhir pembuatan sediaan histopat disebabkan jaringan sampel yang sulit di analisis karena sudah tidak segar. Pemeriksaan histopat diperkirakan selesai pada tanggal 7 Mei 2019. Terhadap specimen berupa cula, gigi taring (atas dan bawah), gigi menur, dan kuku disimpan di Kantor Balai Taman Nasional Ujung Kulon, Labuan. Selanjutnya pada Sabtu, 13 April 2019, tim gabungan melakukan pembongkaran kuburan badak jawa yang dilanjutkan dengan melakukan identifikasi tulang, memisahkan dan mencatat bagian-bagian tulang, merekap dan mendokumentasikan kegiatan, hingga mengangkut tulang belulang ke laboratorium anatomi, Fakultas Kedokteran Hewan IPB, untuk dilakukan analisis fisik tulang. Kelahiran dan kematian satwa merupakan salah satu dinamika populasi di alam. Berdasarkan hasil monitoring dengan kamera video trap, pada tahun 2018 ditemukan kelahiran 4 individu anak badak dan kematian 2 individu badak. Empat anak badak jawa yang terekam kamera untukI pertama kalinya adalah 2 individu badak jawa jantan anak dari Dewi dan Puri, dan 2 individu badak jawa betina anak dari Silva dan Desy, sedangkan 2 individu badak jawa yang mati pada bulan April 2018 adalah Samson (jantan) dan pada bulan Juli 2018 adalah Sari (betina). Dari hasil monitoring tahun 2018 tersebut jumlah populasi badak jawa di TN. Ujung Kulon minimal sebanyak 69 individu. Dengan ditemukannya kematian badak jawa pada tanggal 21 Maret 2019, maka populasi badak jawa di TN. Ujung Kulon pada tahun 2019 adalah 68 individu, dengan struktur umur 57 individu badak dewasa dan 11 individu anak; dengan jenis kelamin 37 individu badak jantan dan 31 individu badak betina. Berbagai upaya konservasi terus dilakukan untuk menyelamatkan dan meningkatkan populasi badak jawa di Taman Nasional Ujung Kulon. Pemerintah dalam hal ini Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan telah melakukan langkah-langkah penyelamatan, antara lain: (a) monitoring kondisi populasi dan habitat secara periodik, (b) perlindungan badak jawa dari ancaman perburuan dan hama penyakit, (c) pembinaan habitat melalui penanaman jenis tumbuhan pakan dan pengendalian jenis invasif spesies, (d) pembangunan sanctuary sebagai area konservasi intensif, (e) pemetaan genetik, (f) pelibatan masyarakat dalam upaya konservasi badak jawa, dan (g) proses pembangunan second habitat untuk badak jawa. Upaya konservasi yang telah dilakukan tersebut terbukti telah memberikan hasil dengan meningkatnya populasi badak jawa di Taman. Nasional Ujung Kulon pada tujuh tahun terakhir.. Hasil monitoring badak jawa tahun 2012 ditemukan 51 individu, 2013 (58 individu), 2014 (57 individu), 2015 (63 individu), 2016 (67 individu), 2017 (67 individu), dan 2018 (69 individu). Adanya peningkatan jumlah populasi badak jawa memberi harapan besar bagi keberlangsungan hidup satwa langka dan endemik tersebut. Saat ini, satu-satunya populasi badak jawa di dunia hanya terdapat di TN Ujung Kulon yang berlokasi di ujung paling barat Pulau Jawa, berada pada wilayah administratif Kabupaten Pandeglang, Provinsi Banten. Badak jawa (Rhinoceros sondaicus Desmarest, 1822) merupakan spesies paling langka diantara lima spesies badak yang ada di dunia sehingga dikategorikan Critically Endangered dalam Red List Data Book yang dikeluarkan oleh International Union for Conservation of Nature and Natural Resources (IUCN). Badak jawa termasuk dalam Apendiks I Convention on International Trade in Endangered Species of Wild Fauna and Flora (CITES), sebagai jenis yang jumlahnya sangat sedikitdi alam dan dikhawatirkan akan punah sehingga dilarang untuk diperdagangkan baik dalam keadaan utuh maupun bagian-bagiannya. Status perlindungan badak jawa juga dikuatkan dengan adanya PP. No. 7 Tahun 1999 tentang Pengawetan Jenis Tumbuhan dan Satwa serta PermenLHK No. P.106 Tahun 2018 tentang Jenis Tumbuhan dan Satwa Yang Dilindungi.(*) Penanggung jawab berita Kepala Biro Hubungan Masyarakat Djati Witjaksono Hadi - 081977933330 Informasi lebih lanjut dapat menghubungi Kepala Balai Taman Nasional Ujung Kulon Anggodo - 081247349017
Penelitian pertama badak Jawa dilakukan oleh para penyelidik alam dari luar daerah pada tahun 1787, ketika dua binatang ditembak di Jawa. Tulang badak Jawa dikirim kepada para penyelidik alam Belanda Petrus Camper, yang meninggal tahun 1789 sebelum sempat menerbitkan penemuannya bahwa badak Jawa adalah spesies tersendiri. Badak Jawa lainnya ditembak di Pulau Sumatra oleh Alfred Duvaucel yang mengirim spesimennya ke ayah tirinya, Georges Cuvier, ilmuwan Prancis yang terkenal. Cuvier menyadari binatang ini sebagai spesies tersendiri tahun 1822, dan pada tahun yang sama diidentifikasi oleh Anselme Gaëtan Desmarest sebagai Rhinoceros sondaicus. Spesies ini adalah spesies badak terakhir yang diidentifikasi.[6] Desmarest pada awalnya mengidentifikasi badak ini berasal dari Jawa, tetapi nantinya mengubah dan mengatakan spesimennya berasal dari pulau Jawa.[7] Nama genusnya Rhinoceros, yang di dalamnya juga terdapat badak India, berasal dari bahasa Yunani: rhino berarti hidung, dan ceros berarti tanduk; sondaicus berasal dari kata Sunda, daerah yang meliputi pulau Sumatra, Jawa, Kalimantan dan kepulauan kecil disekitarnya. Badak Jawa juga disebut badak bercula-satu kecil (sebagai perbedaan dengan badak bercula-satu besar, nama lain badak India). Terdapat tiga subspesies, yang hanya dua subspesies yang masih ada, sementara satu subspesies telah punah:
Evolusi Badak India berhubungan dekat dengan badak Jawa; mereka adalah dua anggota tipe genus badak.Leluhur badak pertama kali terpisah dari Perissodactyl lainnya pada masa Eosen awal. Perbandingan DNA mitokondria memberikan kesan bahwa leluhur badak modern terpisah dari leluhur Equidae sekitar 50 juta tahun yang lalu.[14] Famili yang masih ada, Rhinocerotidae, pertama kali muncul pada Eosen akhir di Eurasia, dan leluhur spesies badak modern muncul dari Asia pada awal Miosen.[15] Badak Jawa dan badak India adalah satu-satunya anggota genus Rhinoceros yang pertama kali muncul pada rekaman fosil di Asia sekitar 1,6 juta-3,3 juta tahun yang lalu. Perkiraan molekul memberikan kesan bahwa spesies telah terbentuk lebih awal, sekitar 11,7 juta tahun yang lalu.[14][16] Walaupun masuk ke dalam tipe genus, badak Jawa dan India dipercaya tidak berhubungan dekat dengan spesies badak lainnya. Penelitian berbeda telah mengeluarkan hipotesis bahwa mereka mungkin berhubungan dekat dengan Gaindetherium atau Punjabitherium yang telah punah. Analisis klad Rhinocerotidae meletakkan Rhinoceros dan Punjabitherium yang telah punah pada klad dengan Dicerorhinus, badak Sumatra. Penelitian lain mengusulkan bahwa badak Sumatra lebih berhubungan dekat dengan dua spesies badak di Afrika.[17] Badak Sumatra mungkin terpisah dari badak Asia lainnya 15 juta tahun yang lalu.[2][15] Badak Jawa lebih kecil daripada sepupunya, badak india, dan memiliki besar tubuh yang dekat dengan badak hitam. Panjang tubuh badak Jawa (termasuk kepalanya) dapat lebih dari 3,1–3,2 m dan mencapai tinggi 1,4–1,7 m. Badak dewasa dilaporkan memiliki berat antara 900 dan 2.300 kilogram. Penelitian untuk mengumpulkan pengukuran akurat badak Jawa tidak pernah dilakukan dan bukan prioritas.[2] Tidak terdapat perbedaan besar antara jenis kelamin, tetapi badak Jawa betina ukuran tubuhnya dapat lebih besar. Badak di Vietnam lebih kecil daripada di Jawa berdasarkan penelitian bukti melalui foto dan pengukuran jejak kaki mereka..[18] Seperti sepupunya di India, badak Jawa memiliki satu cula (spesies lain memiliki dua cula). Culanya adalah cula terkecil dari semua badak, biasanya lebih sedikit dari 20 cm dengan yang terpanjang sepanjang 27 cm. Badak jawa jarang menggunakan culanya untuk bertarung, tetapi menggunakannya untuk memindahkan lumpur di kubangan, untuk menarik tanaman agar dapat dimakan, dan membuka jalan melalui vegetasi tebal. Badak Jawa memiliki bibir panjang, atas dan tinggi yang membantunya mengambil makanan. Gigi serinya panjang dan tajam; ketika badak Jawa bertempur, mereka menggunakan gigi ini. Di belakang gigi seri, enam gigi geraham panjang digunakan untuk mengunyah tanaman kasar. Seperti semua badak, badak Jawa memiliki penciuman dan pendengaran yang baik tetapi memiliki pandangan mata yang buruk. Mereka diperkirakan hidup selama 30 sampai 45 tahun.[18] Kulitnya yang sedikit berbulu, berwarna abu-abu atau abu-abu-coklat membungkus pundak, punggung dan pantat. Kulitnya memiliki pola mosaik alami yang menyebabkan badak memiliki perisai. Pembungkus leher badak Jawa lebih kecil daripada badak india, tetapi tetap membentuk bentuk pelana pada pundak. Karena risiko mengganggu spesies terancam, badak Jawa dipelajari melalui sampel kotoran dan kamera. Mereka jarang ditemui, diamati atau diukur secara langsung.[19] Perkiraan yang paling optimistis memperkirakan bahwa lebih sedikit dari 100 badak Jawa masih ada di alam bebas. Mereka dianggap sebagai mamalia yang paling terancam; walaupun masih terdapat badak Sumatra yang tempat hidupnya tidak dilindungi seperti badak Jawa, dan beberapa pelindung alam menganggap mereka memiliki risiko yang lebih besar. Badak Jawa diketahui masih hidup di dua tempat, Taman Nasional Ujung Kulon di ujung barat pulau Jawa dan Taman Nasional Cat Tien yang terletak sekitar 150 km sebelah utara Kota Ho Chi Minh.[9][20] Binatang ini pernah menyebar dari Assam dan Benggala (tempat tinggal mereka akan saling melengkapi antara badak Sumatra dan India di tempat tersebut[13]) ke arah timur sampai Myanmar, Thailand, Kamboja, Laos, Vietnam, dan ke arah selatan di semenanjung Malaya, serta pulau Sumatra, Jawa dan Kalimantan.[21] Badak Jawa hidup di hutan hujan dataran rendah, rumput tinggi dan tempat tidur alang-alang yang banyak dengan sungai, dataran banjir besar atau daerah basah dengan banyak kubangan lumpur. Walaupun dalam sejarah badak Jawa menyukai daerah rendah, subspesies di Vietnam terdorong menuju tanah yang lebih tinggi (diatas 2.000 m), yang disebabkan oleh gangguan dan perburuan oleh manusia.[11] Tempat hidup badak Jawa telah menyusut selama 3.000 tahun terakhir, dimulai sekitar tahun 1000 SM, tempat hidup di utara badak ini meluas ke Tongkok, tetapi mulai bergerak ke selatan secara kasar pada 0.5 km per tahun karena penetap manusia meningkat di daerah itu.[22] Badak ini mulai punah di India pada dekade awal abad ke-20.[13] Badak Jawa diburu sampai kepunahan di semenanjung Malaysia tahun 1932.[23] Pada akhir perang Vietnam, badak Vietnam dipercaya punah sepanjang tanah utama Asia. Pemburu lokal dan penebang hutan di Kamboja mengklaim melihat badak Jawa di Pegunungan Cardamom, tetapi survey pada daerah tersebut gagal menemukan bukti.[24] Populasi badak Jawa juga mungkin ada di pulau Kalimantan, walaupun spesimen tersebut mungkin merupakan badak Sumatra, populasi kecil yang masih hidup di sana.[21] Badak Jawa adalah binatang tenang dengan pengecualian ketika mereka berkembang biak dan apabila seekor inang mengasuh anaknya. Kadang-kadang mereka akan berkerumun dalam kelompok kecil di tempat mencari mineral dan kubangan lumpur. Berkubang di lumpur adalah sifat umum semua badak untuk menjaga suhu tubuh dan membantu mencegah penyakit dan parasit. Badak Jawa tidak menggali kubangan lumpurnya sendiri dan lebih suka menggunakan kubangan binatang lainnya atau lubang yang muncul secara alami, yang akan menggunakan culanya untuk memperbesar. Tempat mencari mineral juga sangat penting karena nutrisi untuk badak diterima dari garam. Wilayahi jantan lebih besar dibandingkan betina dengan besar wilayah jantan 12–20 km² dan wilayah betina yang diperkirakan 3–14 km². Wilayah jantan lebih besar daripada wilayah wanita. Tidak diketahui apakah terdapat pertempuran teritorial.[25] Jantan menandai wilayah mereka dengan tumpukan kotoran dan percikan urin. Goresan yang dibuat oleh kaki di tanah dan gulungan pohon muda juga digunakan untuk komunikasi. Anggota spesies badak lainnya memiliki kebiasaan khas membuang air besar pada tumpukan kotoran badak besar dan lalu menggoreskan kaki belakangnya pada kotoran. Badak Sumatra dan Jawa ketika buang air besar di tumpukan, tidak melakukan goresan. Adaptasi sifat ini diketahui secara ekologi; di hutan hujan Jawa dan Sumatra, metode ini mungkin tidak berguna untuk menyebar bau.[25] Badak Jawa memiliki lebih sedikit suara daripada badak sumatra; sangat sedikit suara badak Jawa yang diketahui. Badak Jawa dewasa tidak memiliki musuh alami selain manusia. Spesies ini, terutama sekali di Vietnam, adalah spesies yang melarikan diri ke hutan ketika manusia mendekat sehingga sulit untuk meneliti badak.[4] Ketika manusia terlalu dekat dengan badak Jawa, badak itu akan menjadi agresif dan akan menyerang, menikam dengan gigi serinya di rahang bawah sementara menikam keatas dengan kepalanya.[25] Sifat anti-sosialnya mungkin merupakan adaptasi tekanan populasi; bukti sejarah mengusulkan bahwa spesies ini pernah lebih berkelompok.[9] Makanan Badak Jawa adalah hewan herbivora dan makan bermacam-macam spesies tanaman, terutama tunas, ranting, daun-daunan muda dan buah yang jatuh. Kebanyakan tumbuhan disukai oleh spesies ini tumbuh di daerah yang terkena sinar matahari: pada pembukaan hutan, semak-semak dan tipe vegetasi lainnya tanpa pohon besar. Badak menjatuhkan pohon muda untuk mencapai makanannya dan mengambilnya dengan bibir atasnya yang dapat memegang. Badak Jawa adalah pemakan yang paling dapat beradaptasi dari semua spesies badak. Badak diperkirakan makan 50 kg makanan per hari. Seperti badak Sumatra, spesies badak ini memerlukan garam untuk makanannya. Tempat mencari mineral umum tidak ada di Ujung Kulon, tetapi badak Jawa terlihat minum air laut untuk nutrisi sama yang dibutuhkan.[18] Reproduksi Sifat seksual badak Jawa sulit dipelajari karena spesies ini jarang diamati secara langsung dan tidak ada kebun binatang yang memiliki spesimennya. Betina mencapai kematangan seksual pada usia 3-4 tahun sementara kematangan seksual jantan pada umur 6 tahun. Kemungkinan untuk hamil diperkirakan muncul pada periode 16-19 bulan. Interval kelahiran spesies ini 4–5 tahun dan anaknya membuat berhenti pada waktu sekitar 2 tahun. Empat spesies badak lainnya memiliki sifat pasangan yang mirip.[25] Faktor utama berkurangnya populasi badak Jawa adalah perburuan untuk culanya, masalah yang juga menyerang semua spesies badak. Cula badak menjadi komoditas perdagangan di Tiongkok selama 2.000 tahun yang digunakan sebagai obat untuk pengobatan tradisional Tiongkok. Secara historis kulitnya digunakan untuk membuat baju baja tentara Tiongkok dan suku lokal di Vietnam percaya bahwa kulitnya dapat digunakan sebagai penangkal racun untuk bisa ular.[26] Karena tempat hidup badak mencakupi banyak daerah kemiskinan, sulit untuk penduduk tidak membunuh binatang ini yang dapat dijual dengan harga tinggi.[22] Ketika Convention on International Trade in Endangered Species of Wild Fauna and Flora pertama kali diberlakukan tahun 1975, badak Jawa dimasukan kedalam perlindungan Appendix 1: semua perdagangan internasional produk badak Jawa dianggap ilegal.[27] Survey pasar gelap cula badak telah menentukan bahwa badak Asia memiliki harga sebesar $30.000 per kilogram, tiga kali harga cula badak Afrika.[2] Hilangnya habitat akibat pertanian juga menyebabkan berkurangnya populasi badak Jawa, walaupun hal ini bukan lagi faktor signifikan karena badak hanya hidup di dua taman nasional yang dilindungi. Memburuknya habitat telah menghalangi pemulihan populasi badak yang merupakan korban perburuan untuk cula. Bahkan dengan semua usaha konservasi, prospek keselamatan badak Jawa suram. Karena populasi mereka tertutup di dua tempat kecil, mereka sangat rentan penyakit dan masalah perkembangbiakan. Ahli genetika konservasi memperkirakan bahwa populasi 100 badak perlu perlindungan pembagian genetika spesies.[20] Ujung KulonPemburu Eropa dengan R. s. sondaicus yang terbunuh di Ujung Kulon, 1895Semenanjung Ujung Kulon dihancurkan oleh letusan gunung Krakatau tahun 1883. Badak Jawa mengkolonisasi kembali semenanjung itu setelah letusan, tetapi manusia tidak pernah kembali pada jumlah yang besar, sehingga menjadi tempat berlindung.[20] Pada tahun 1931, karena badak Jawa berada di ambang kepunahan di Sumatra, pemerintah Hindia Belanda menyatakan bahwa badak merupakan spesies yang dilindungi, dan masih tetap dilindungi sampai sekarang.[11] Pada tahun 1967 ketika sensus badak dilakukan di Ujung Kulon, hanya 25 badak yang ada. Pada tahun 1980, populasi badak bertambah, dan tetap ada pada populasi 50 sampai sekarang. Walaupun badak di Ujung Kulon tidak memiliki musuh alami, mereka harus bersaing untuk memperebutkan ruang dan sumber yang jarang dengan banteng liar dan tanaman Arenga[5] yang dapat menyebabkan jumlah badak tetap berada dibawah kapasitas semenanjung.[28] Ujung Kulon diurus oleh menteri Kehutanan Republik Indonesia.[11] Ditemukan paling sedikit empat bayi badak Jawa pada tahun 2006.[29][30] Foto induk Badak Jawa beserta bayinya, diperkirakan berumur sekitar 4 – 6 bulan, berhasil diabadikan oleh tim WWF pada November 2007. Ketika difoto, bayi badak tersebut sedang menyusu ibunya. Keberadaan badak tersebut diketahui ketika ditemukan jejak badak berukuran 15/16 cm di sekitar daerah aliran sungai Citadahan pada tanggal 30 Oktober 2007. Hal ini merupakan kabar gembira karena membuktikan adanya kelahiran badak baru di Ujung Kulon.[30] Pertumbuhan populasi badak Jawa di Ujung Kulon
Cat Tien Sedikit anggota R.s. annamiticus yang tersisa hidup di Taman Nasional Cat Tien, Vietnam. Badak ini pernah menyebar di Asia Tenggara. Setelah perang Vietnam, badak Jawa dianggap punah. Taktik digunakan pada pertempuran menyebabkan kerusakan ekosistem daerah: penggunaan Napalm, herbisida dan defolian dari Agen Oranye, pengeboman udara dan penggunaan ranjau darat. Perang juga membanjiri daerah dengan senjata. Setelah perang, banyak penduduk desa miskin, yang sebelumnya menggunakan metode seperti lubang perangkap, kini memiliki senjata mematikan yang menyebabkan mereka menjadi pemburu badak yang efisien. Dugaan kepunahan subspesies mendapat tantangan ketika pada tahun 1988, seorang pemburu menembak betina dewasa yang menunjukan bahwa spesies ini berhasil selamat dari perang. Pada tahun 1989, ilmuwan meneliti hutan Vietnam selatan untuk mencari bukti badak lain yang selamat. Jejak kaki badak segar yang merupakan milik paling sedikit 15 badak ditemukan di sepanjang sungai Dong Nai.[32] Karena badak, daerah tempat mereka tinggal menjadi bagian Taman Nasional Cat Tien tahun 1992.[26] Pada awal tahun 2000-an, populasi mereka dikhawatirkan telah sangat berkurang di Vietnam; beberapa pelindung alam memperkirakan hanya 3-8 badak saja yang masih bertahan hidup, dan mungkin tidak ada yang jantan.[20][29] Para pelindung alam memperdebatkan apakah badak Vietnam memiliki kemungkinan selamat; beberapa berdebat bahwa badak dari Indonesia harus dibawa masuk untuk menyelamatkan populasi di Vietnam, dan lainnya berdebat bahwa populasinya dapat pulih kembali.[4][33] Di penangkaranTidak terdapat satupun badak Jawa di kebun binatang. Pada tahun 1800-an, paling sedikit empat badak dipamerkan di Adelaide, Kolkata dan London. Paling sedikit 22 badak Jawa telah didokumentasikan dan disimpan di penangkaran, dan mungkin jumlahnya lebih besar karena spesies ini kadang-kadang dikira sebagai badak India.[34] Badak Jawa tidak pernah ditangani dengan baik di penangkaran: badak tertua yang hidup hanya mencapai usia 20 tahun, sekitar setengah dari usia yang dapat dicapai badak di alam bebas. Badak Jawa terakhir yang ada di penangkaran mati di Kebun Binatang Adelaide, Australia tahun 1907, tempat spesies tersebut sedikit diketahui karena telah ditunjukan sebagai badak India.[18] Akibat dari program panjang dan mahal tahun 1980-an dan 1990-an untuk mengembangbiakan badak Sumatra di kebun binatang gagal, usaha untuk melindungi badak Jawa di kebun binatang tak dapat dipercaya.[2] Usaha persiapan habitat keduaBadak Jawa yang hidup berkumpul di satu kawasan utama sangat rentan terhadap kepunahan yang dapat diakibatkan oleh serangan penyakit, bencana alam seperti tsunami, letusan gunung Krakatau, gempa bumi. Selain itu, badak ini juga kekurangan ruang jelajah dan sumber akibat invasi langkap (arenga) dan kompetisi dengan banteng. Penelitian awal WWF mengidentifikasi habitat yang cocok, aman dan relatif dekat adalah Taman Nasional Halimun di Gunung Salak, Jawa Barat, yang dulu juga merupakan habitat badak Jawa. Jika habitat kedua ditemukan, maka badak yang sehat, baik, dan memenuhi kriteria di Ujung Kulon akan dikirim ke wilayah yang baru. Habitat ini juga akan menjamin keamanan populasinya.[5]
Page 210 Mei adalah hari ke-130 (hari ke-131 dalam tahun kabisat) dalam kalender Gregorian.
9 Mei - 10 Mei - 11 Mei
|