Dampak perubahan iklim tanda perubahan iklim dan siklus air

05 April 2017 / Admin / , , , , / 61938 Kali Dilihat / 0 Komentar

Dampak Perubahan Iklim terhadap Keanekaragaman Hayati

Kenaikan suhu permukaan bumi, melelehnya salju di kutub utara dan kenaikan permukaan air laut merupakan beberapa gambaran yang terjadi sebagai dampak pemanasan global. Namun tidak hanya itu, perubahan iklim akibat dari pemanasan global, yang terjadi dengan perlahan-lahan namun pasti, juga membawa dampak yang sangat besar bagi keanekaragaman hayati, mulai dari tingkatan spesies sampai ekosistem. Pada akhirnya kehidupan manusia-pun akan terkena imbas dari perubahan iklim tersebut.

Beberapa dampak langsung terjadinya perubahan iklim terhadap keanekaragaman hayati, diantaraya

1) Spesies range (cakupan jenis)

Masing-masing spesies memiliki rentang suhu tertentu dimana spesies tersebut mampu beradaptasi dan bertahan hidup. Kenaikan suhu bumi akan membuat beberapa jenis spesies berada diluar batas toleransi suhu maksimumnya sehingga tidak mampu bertahan dan kemudian menjadi rentan terhadap kepunahan. Menurut  International Union for Conservation Nature (IUCN), lautan merupakan bagian planet yang paling banyak menanggung akibat dari pemanasan global. Meskipun sejak 1970-an, perairan di seluruh dunia telah memainkan peranan penting dalam melawan pemanasan global dengan menyerap sekitar 93% karbondioksida yang diakibatkan oleh aktivitas manusia.

Terumbu Karang merupakan spesies yang memiliki toleransi yang rendah terhadap kenaikan suhu air laut. Kenaikan suhu air laut menyebabkan bleaching pada terumbu karang, atau penurunan pigmen klorofil pada jaringan endodermis karang. Hal ini lama-lama akan menyebabkan alga dalam terumbu karang mati sehingga yang tersisa hanya cangkang karang berwarna putih dari zat kapur. Sebagai contoh, pada awal tahun 2016 saja, lebih dari 90% karang Great Barrier Reef di Australia telah mati akibat bleaching. Terumbu karang merupakan habitat dari sekitar 25% spesies laut, kepunahannya akan berakibat pada punahnya spesies-spesies laut yang lain yang pada akhirnya akan mengganggu keseimbangan rantai ekosistem.

Dampak perubahan iklim tanda perubahan iklim dan siklus air

Gambar 1. Terumbu karang

2) Perubahan fenologi

Perubahan iklim menyebabkan pergeseran dalam siklus reproduksi dan pertumbuhan organisme. Pada tumbuhan misalnya, masa perbungaan dipengaruhi oleh suhu tertentu. Pemanasan global dapat membuat tumbuhan-tumbuhan tertentu berbunga lebih cepat, sementara serangga-serangga pembantu penyerbukan belum siap sehingga siklus reproduksinya terganggu.

3) Perubahan interaksi antar spesies

Perubahan iklim dapat mengakibatkan terjadinya perubahan interaksi antar spesies sehingga memiliki konsekuensi yang sangat penting bagi stabilitas dan fungsi ekosistem, dimana ekosistem tidak lagi berfungsi ideal. Pemanasan iklim dengan cepat mengubah waktu dan tingkat bunga pada tumbuhan serta migrasi pada hewan yang akan mengganggu interaksi antar spesies.

4) Laju kepunahan

Perubahan iklim mempercepat laju kepunahan beberapa jenis spesies, misalnya spesies yang berada di ujung rantai makanan seperti karnivora, spesies lokal endemik dan spesies migran.

Penyu Hijau (Chelonia mydas) merupakan spesies yang sangat rentan terhadap perubahan iklim karena karakteristik hidupnya dipengaruhi oleh suhu. Penyu Hijau juga memiliki pertumbuhan yang sangat lamban sehingga rentan terhadap ancaman lingkungan. Menurut IUCN Redlist, Penyu Hijau berstatus Endangered (En) atau terancam punah.

5) Penyusutan keragaman sumber daya genetik

Perubahan iklim dapat menyebabkan kemarau yang berkepanjangan, ataupun sebaliknya curah hujan yang terlalu tinggi. Hal-hal tersebut mempunyai dampak yang besar terhadap lingkungan, misalnya kebakaran hutan atau banjir menjadi lebih sering terjadi.

Bencana alam dapat mengakibatkan berkurangnya populasi dan keragaman spesies, spesies endemik terancam punah dan juga hilangnya habitat satwa liar. Apabila terlanjur terjadi kerusakan habitat, maka akan membutuhkan waktu yang sangat lama untuk dapat recovery atau terjadi suksesi secara alami. Beberapa varian dalam spesies dengan gen tertentu mungkin lebih tahan terhadap perubahan lingkungan oleh perubahan iklim sementara varian dengan gen yang berbeda lebih rentan sehingga lebih rentan punah. Apabila terjadi kepunahan, maka jenis-jenis yang sudah terlanjur punah-pun akan sangat sulit untuk dikembalikan keberadaannya.

Perubahan iklim mempengaruhi pola musim yang berdampak besar terhadap sistem pertanian, termasuk di Indonesia. Penanaman tanaman-tanaman pangan seperti padi, palawija ataupun sayur-mayur masih sangat bergantung pada musim. Kemarau yang terlalu panjang atau hujan yang turun terus menerus sepanjang tahun tentu dapat mengakibatkan gagal panen yang pada akhirnya mempengaruhi ketersediaan dan ketahanan pangan manusia.

Bagaimana kita dapat menghadapi perubahan iklim?

Jawabannya mudah: Pada dasarnya perubahan iklim merupakan suatu keniscayaan, namun kita dapat memperlambat lajunya. Kita perlu menyadari bahwa bumi ini bukan milik generasi kita saja, seperti kata pepatah, "Alam ini bukanlah warisan dari nenek moyang, tetapi pinjaman dari anak cucu kita." Sesuatu yang dipinjam, hendaknya dikembalikan lagi secara utuh, tidak berkurang jumlah atau kualitasnya. Buatlah bahwa bumi yang kita tinggali ini tetap nyaman bagi anak cucu kita nanti; 1) Manfaatkanlah sumberdaya alam termasuk bahan bakar fosil dan sumberdaya air yang ada dengan bijak, seperlunya dan tidak boros; 2) Lakukanlah budidaya yang ramah lingkungan; 3) Cintailah alam dengan merawat dan tidak merusaknya.

Anti-BLH

Post Terkait

Koran Kaltara adalah media terbesar di Kalimantan Utara yang berkantor pusat di Tanjung Selor mengusung tagline "Cerdas untuk Pembaruan" senantiasa menghadirkan berita-berita yang informatif dan inspiratif.

Apa itu siklus air? Sederhananya, siklus air — juga dikenal sebagai siklus hidrologi — adalah proses di mana air bergerak melalui daratan, laut, dan atmosfer bumi.

Air dalam tiga fase alaminya, baik itu gas, cair atau padat, merupakan bagian dari siklus alam yang terus-menerus menyegarkan pasokan air yang kita, dan setiap makhluk hidup lainnya, butuhkan untuk bertahan hidup.

Dari persediaan air dunia yang terbatas, sekitar 97%-nya adalah air asin dan 3% sisanya adalah air tawar yang kita gunakan untuk minum, mandi, atau mengairi tanaman. Namun, sebagian besar dari air itu berada di luar jangkauan, terperangkap di dalam es atau jauh di bawah tanah. Hanya sekitar 1% dari total pasokan air dunia yang tersedia untuk menopang semua kehidupan di Bumi.

Bagaimana siklus air bekerja?

Air yang tersimpan di danau, sungai, samudra, dan laut terus-menerus dipanaskan oleh matahari. Saat permukaan memanas, air dalam bentuk cair menguap dan menjadi uap, keluar ke atmosfer. Angin dapat mempercepat proses penguapan tersebut. Tanaman juga melepaskan uap air melalui pori-pori, atau stoma, daun dan batangnya, yang dikenal sebagai transpirasi.

Begitu berada di udara, uap mulai mendingin dan mengembun di sekitar partikel debu, asap, atau polutan lainnya yang tersuspensi, dan membentuk awan. Awan ini dapat bergerak mengelilingi planet ini dalam pita horizontal yang dikenal sebagai sungai atmosfer — fitur utama dari siklus global yang mendorong sistem cuaca.

Ketika uap air yang cukup terkumpul, tetesan yang tersuspensi di awan mulai bergabung dan tumbuh lebih besar. Akhirnya, di awan menjadi terlalu berat dan jatuh ke tanah dalam bentuk hujan — atau salju dan hujan es, tergantung pada suhu udara. Curah hujan ini mengisi kembali sungai, danau, dan badan air lainnya, dan siklusnya dimulai lagi.

Air juga merembes melalui tanah di bawah pengaruh gravitasi dan tekanan, di mana air terkumpul di reservoir bawah tanah atau akuifer. Ini terus bergerak ke ketinggian yang lebih rendah, kadang-kadang selama ribuan tahun, dalam proses yang disebut aliran air tanah sebelum akhirnya merembes ke badan air untuk bergabung kembali dengan siklus.

Bagaimana perubahan iklim mengganggu siklus air?

Penelitian terbaru menunjukkan bahwa di beberapa bagian dunia, siklus air semakin cepat merespons perubahan iklim yang disebabkan oleh manusia.

Suhu yang lebih hangat memanaskan atmosfer yang lebih rendah dan meningkatkan penguapan, menambahkan lebih banyak uap air ke udara. Lebih banyak air di udara berarti peluang curah hujan yang lebih besar, sering kali dalam bentuk badai yang intens dan tidak dapat diprediksi. Sebaliknya, peningkatan penguapan juga dapat mengintensifkan kondisi kering di daerah-daerah yang rawan kekeringan, dengan air yang keluar ke atmosfer dan bukannya tetap berada di tanah di tempat yang dibutuhkan.

Sebuah studi baru-baru ini oleh para peneliti di Institute of Marine Sciences di Barcelona, Spanyol, mengilustrasikan bagaimana perubahan iklim mempercepat siklus air dengan menganalisis salinitas permukaan laut, yang meningkat saat penguapan air meningkat.

"Percepatan siklus air memiliki implikasi baik di lautan maupun di benua, di mana badai bisa menjadi semakin intens," kata Estrella Olmedo, penulis utama studi ini, dalam siaran pers. "Jumlah airyang lebih tinggi yang bersirkulasi di atmosfer ini juga dapat menjelaskan peningkatan curah hujan yang terdeteksi di beberapa daerah kutub, di mana fakta bahwa hujan turun, bukan salju, mempercepat pencairan."

Apa yang bisa kita lakukan untuk memperbaiki siklus air?

Sudah jelas bahwa pengurangan drastis emisi bahan bakar fosil tidak akan mudah, dan setiap perbaikan yang nyata tidak akan cepat. Namun, beberapa perbaikan yang lebih cepat untuk menstabilkan siklus air mungkin dilakukan.

Memulihkan lahan basah dan memikirkan kembali pertanian, untuk menggabungkan teknik pertanian yang menghemat air dan melestarikan serta membangun tanah, dapat membantu mempertahankan dan memulihkan kapasitas tanah untuk menyerap, memurnikan, dan menyimpan air.

Mengembalikan sungai dan saluran air ke keadaan yang lebih alami juga dapat membantu mengurangi beberapa kerusakan. Proyek-proyek untuk menghilangkan bendungan termasuk yang sudah usang di Eropa dan di tempat lain merupakan langkah besar dalam pemulihan dataran banjir, dalam menyerap air dan membantu mengisi kembali cadangan air tanah.

Kota-kota juga dapat beralih ke solusi berbasis alam untuk mendukung siklus air, dengan membuat permukaan kota lebih permeabel. "Kota spons" menggunakan permukaan berpori untuk memungkinkan air tersaring melalui jalan-jalan, alun-alun, dan ruang lainnya. Air yang tersimpan dapat digunakan selama periode kekeringan, sekaligus membantu memerangi banjir.

Apa yang dipertaruhkan?

Kota-kota dan wilayah di daerah aliran sungai Hindu Kush dan pegunungan Himalaya di Asia Tengah mungkin perlu mulai beralih ke solusi seperti ini di tahun-tahun mendatang. Miliaran orang di sana mengandalkan akumulasi musiman salju dan es yang tersimpan di pegunungan dan gletser untuk mendapatkan air tawar mereka.

Namun, sepertiga dari ladang es utama di kawasan ini diperkirakan akan hilang pada akhir abad ini, demikian menurut sebuah studi tahun 2019 oleh Pusat Internasional untuk Pengembangan Gunung Terpadu di Nepal - dan itu jika kita berhasil menjaga pemanasan global tetap 1,5 derajat Celsius (2,7 Fahrenheit).

Pegunungan Hindu Kush dan Himalaya di Asia Tengah menyimpan es terbanyak di dunia setelah kawasan kutub. Tanpa aliran air lelehan yang konsisten, kelangkaan air akan meningkat bagi miliaran orang. Dan sementara air tanah dapat menutupi sebagian kekurangannya. Namun, diproyeksikan akan berkurang dalam beberapa dekade mendatang karena perubahan iklim.

Pertanian telah menjadi lebih sulit di tempat-tempat seperti wilayah Ladakh yang dikelola India, di pegunungan Hindu Kush Himalaya, di mana para ilmuwan telah mencatat penurunan curah hujan salju dan gletser mencair selama beberapa dekade terakhir.

"Ini adalah krisis iklim yang belum pernah seburuk ini sebelumnya," kata Philippus Wester dari International Centre for Integrated Mountain Development. "Dampaknya terhadap masyarakat di wilayah ini, yang sudah menjadi salah satu wilayah pegunungan yang paling rapuh dan rawan bahaya di dunia, akan berkisar dari peningkatan peristiwa cuaca ekstrem, penurunan hasil pertanian, dan bencana yang lebih sering terjadi."