Dalam sebuah Hadits Rasulullah SAW menjelaskan bahwa orang yang benar benar cerdas adalah

Rasulullah SAW pernah menyatakan dalam salah satu sabdanya, “Orang yang cerdas ialah orang yang menahan hawa nafsunya dan berbuat (amal saleh) untuk (bekal) kehidupan setelah mati.” (HR. Tirmidzi).

Pertanyaannya kemudian, mengapa kriteria kecerdasan seseorang dalam ajaran Islam dikaitkan dengan menahan nafsu, serta beramal saleh untuk bekal hidup setelah mati?

Jawaban atas pertanyaan di atas adalah sebagai berikut: Pertama, seseorang yang mampu mengendalikan diri dari hawa nafsu adalah orang yang berpikir jauh ke depan. Dia tidak hanya berpikir sesaat saja, sesuai nafsu dan keinginannya. Karena, bisa jadi nafsu yang menguasai dirinya akan berdampak negatif di kemudian hari. Dengan demikian, seseorang yang mampu mengedalikan diri dan menahan diri dari hawa nafsu, adalah orang yang cerdas.

Kedua, setiap manusia akan menjumpai kematian. Dan orang yang paling siap menghadapi kematian dengan memperbanyak amal saleh adalah orang yang akan bahagia. Dan, orang yang mempersiapkan dirinya untuk meraih kebahagiaan, tentu adalah orang yang paling beruntung. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa orang yang cerdas adalah orang yang mempersiapkan bekal untuk kehidupan akhirat dengan sebaik-baiknya. Karena kebahagiaan hakiki, hanya akan didapatkan di akhirat kelak.

Berkenaan dengan hal itu, Al-Qur’an dalam sebuah ayat memberikan satu kriteria lengkap dan jelas bahwa yang dimaksud orang yang berakal ( cerdas dan berpengetahuan) adalah ulul albab. Yaitu orang yang selalu menghiasi diri dan mengisi waktunya dengan zikir dan pikir agar mendapat keridaan-Nya.

“Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal (ulul albab), (yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadaan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata): “Ya Tuhan kami, tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia. Maha Suci Engkau, maka peliharalah kami dari siksa neraka.” (QS. Ali Imran: 190 – 191).

Ulul albab adalah orang-orang yang memiliki tauhid yang teguh dan tangguh, keimanan yang kokoh, mengerjakan hal-hal besar, cerdas (berilmu pengetahuan), dan termasuk orang-orang yang diridai Allah, untuk meraih kebahagiaan dengan anugerah besar berupa akhlak yang mulia. Sebagaimana digambarkan dalam al-Qur’an, “Dan ingatlah hamba-hamba Kami: Ibrahim, Ishaq dan Ya’qub yang mempunyai perbuatan-perbuatan yang besar dan ilmu-ilmu yang tinggi. Sesungguhnya Kami telah mensucikan mereka dengan (menganugerahkan kepada mereka) akhlak yang tinggi yaitu selalu mengingatkan (manusia) kepada negeri akhirat. Dan sesungguhnya mereka pada sisi Kami benar-benar termasuk orang-orang pilihan yang paling baik.” (Q.S. Shaad: 45-47).

Dari sejumlah keterangan ayat di atas, jelaslah kriteria kecerdasan dalam pandangan Islam. Kecerdasan berkaitan erat dengan sikap dan perilaku kita. Orang yang cerdas akan senantiasa menghiasi diri dengan akhlak mulia, amal shaleh, dan berorientasi pada kehidupan akhirat.

Ruang Inspirasi, Ahad (8/2/2020).

Ilustrasi orang plaing cerdas menurut Rasulullah SAW. Foto: Unsplash.com/masjidmpd

Cara pandang terhadap kecerdasan seseorang berbeda-beda. Seperti selalu mendapatkan nilai tertinggi, memiliki ilmu pengetahuan yang luas, bekerja di perusahaan ternama, atau memiliki penghasilan yang fantastis. Tak ada yang salah, makanya ada banyak definisi yang dapat mengartikan maksud dari kata cerdas tersebut.

Namun, dari contoh tersebut kecerdasan sangat berkaitan dengan urusan dunia. Bagaimana jika kamu dengan bijak mengartikannya juga urusan akhirat.

Allah SWT berfirman dalam QS. An-Nisa ayat 78 yang artinya:

"Di mana saja kamu berada, kematian akan mendapatkan kamu, kendatipun kamu di dalam benteng yang tinggi lagi kokoh...."

Dari kaca mata manusia, kecerdasan selalu berurusan dengan dunia. Berbeda dengan cara pandang Rasulullah SAW yang menyebutkan kalau orang yang memiliki kecerdasan adalah mereka yang selalu mengingat kematian. Seperti yang terdapat dalam hadis yang diriwayatkan Ibnu Umar RA,

"Manusia yang paling utama adalah manusia yang paling baik akhlaknya. Manusia yang cerdas adalah orang yang paling banyak mengingat kematian dan paling baik dalam mempersiapkan bekal untuk menghadapi kehidupan setelah kematian. Mereka adalah orang-orang berakal."

Kenapa pula mereka yang selalu mengingat kematian termasuk orang yang cerdas? Sebab, mereka akan selalu memperbanyak amalan baik dan ibadah yang nanti akan mengantarkan mereka ke surga. Selain itu, mereka juga tidak hanya terpaku pada duniawi yang bersifat sementara.

Bahkan, salah seorang sahabat Rasulullah SAW pun pernah bertanya, "Wahai Rasulullah, siapa manusia yang paling cerdas?"

Rasulullah SAW menjawab, "Yang paling banyak mengingat mati, kemudian yang paling baik dalam mempersiapkan kematian, itulah orang yang paling cerdas." (HR Ibnu Majah, Thabrani, dan Al Haitsami)

Sebagai manusia yang diciptakan Allah SWT sebagai makhluk yang sempurna, sudah seharusnya untuk selalu mensyukuri nikmat yang diberi. Caranya, tak pernah lalai dalam mempersiapkan bekal terbaik di akhirat kelak.

Allah SWT berfirman dalam QS. Al-Qashash ayat 77 yang artinya:

"...Janganlah kamu melupakan bahagianmu dari (kenikmatan) duniawi dan berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik, kepadamu...."

Sebagai manusia pula, jangan pernah menyianyiakan kehidupan dengan mengutamakan duniawi saja, tetapi juga perihal akhirat. Tanam benih amal baik sebanyak-banyaknya, berikan pupuk kebaikan. Semoga kita semua mampu menjadi manusia cerdas di mata Rasulullah SAW. Aamin.

Dalam sebuah Hadits Rasulullah SAW menjelaskan bahwa orang yang benar benar cerdas adalah
Orang Cerdas dan Bodoh Menurut Nabi (Ilustrasi freepik.com).

Orang Cerdas dan Bodoh Menurut Nabi ditulis oleh Ustadz Muhammad Hidayatulloh, Pengasuh Kajian Tafsir al-Quran Yayasan Ma’had Islami (Yamais), Masjid al-Huda Berbek, Waru, Sidoarjo.

PWMU.CO – Ngaji Ramadhan kali ini berangkat dari hadist riwayat at-Tirmidzi sebagai berikut:

عَنْ أبي يَعْلَى شَدَّادِ بْن أَوْسٍ عن النَّبيّ ﷺ قَالَ: الكَيِّس مَنْ دَانَ نَفْسَهُ, وَعَمِلَ لِما بَعْدَ الْموْتِ, وَالْعَاجِزُ مَنْ أَتْبَعَ نَفْسَه هَواهَا, وتمَنَّى عَلَى اللَّهِ رواه التِّرْمِذيُّ وقالَ: حديثٌ حَسَنٌ, وقال الترمذي وغيره من العلماء: معني (دان نفسه): أي حاسبها

Dari Syaddad bin Aus dari Nabi SAW bersabda: ”Orang yang cerdas adalah orang yang menyiapkan dirinya dan beramal untuk hari setelah kematian. Sedangkan orang yang bodoh adalah orang yang jiwanya selalu mengikuti hawa nafsunya dan hanya berangan-angan kepada Allah.”

Definisi Al-Kayyis

Al-Kayyis dari akar kata kaasa yakiisu kaisan wakiyaasatan yang bermakna ‘aqala, dharufa, fathuna. Yakni memahami, mengerti, cerdas, pandai. Sedangkan dalam definisi dalam hadits di atas al-kayyis adalah orang yang menyiapkan dirinya untuk bekal kehidupannya setelah mati. Bersungguh-sungguh menjalankan amanah Allah dan Rasul-Nya dengan sebaik-baiknya.

Al-kayyis merupakan ciri khas bagi seorang Mukmin. Di mana jangkauan kehidupan bagi seorang Mukmin bukan semata di dunia ini. Tetapi sekaligus kehidupan akhirat. Oleh karenanya target kehidupan seorang Mukmin bukan hanya survive dalam kehidupan dunia semata, tetapi juga harus sukses dan bahagia dalam kehidupan di akhirat.

Orientasi Akhirat

Maka seorang Mukmin tidak hanya berfikir pragmatis yang menyebabkan mereka terjebak pada pola hidup hedonisme dan konsumerisme. Lalu dengan sikap itu pula menyebabkan terjebak pada sifat al-kibr atau sombong.

Karena tolak ukur keberhasilan kehidupan dunia diukur berdasar keberhasilan mencapai segala-galanya itu. Sehingga target kehidupannya adalah meraih sebanyak-banyaknya materi dan kepuasan duniawi. Maka jika telah terjadi demikian, kebenaran bukan lagi menjadi acuan kehidupannya, norma dan hukum agama akan diabaikannya.

Dengan berfikir akan adanya kehidupan setelah kematian ini, akan menimbulkan semangat untuk memanfaatkan kehidupan ini dengan sebaik-baiknya. Berpacu dengan waktu untuk senantiasa berbuat yang terbaik bagi manfaat sebesar-besarnya bagi kehidupan masyarakatnya. Senantiasa mengacu dan taat pada ketentuan yang telah digariskan atau ditetapkan oleh Allah dan rasul-Nya.

Orang yang cerdas adalah orang yang mampu menerawang pada kehidupan yang akan datang. Kemudian mampu memprediksi terhadap kemungkinan yang terjadi pada kehidupan yang akan datang tersebut. Dengan kemampuan itu ia mampu mengantisipasi kemungkinan-kemungkinan negatif yang akan terjadi.

Tetapi bukan berarti ia menjadi tukang ramal atau peramal, apalagi meramal nasib seseorang. Karena jelas hal itu bukanlah kebenaran dan wajib tidak dipercayainya, karena bisa jadi malah terjebak pada kesyirikan.

Beriman Hari Akhir Jadi Rukun Iman

Itulah sebabnya beriman kepada hari akhir merupakan bagian yang terintegrasi pada rukun iman. Tentu beriman bukan sekedar beriman tanpa membawa implikasi nyata dalam kehidupannya. Tetapi benar-benar mampu membentuk kesadaran bahwa harus ada yang disiapkan untuk menjadi bekal dalam kehidupannya untuk hari itu.

Baginya, kehidupan itu bukan hanya untuk hari ini saja, tetapi tentu masih ada haris esok atau lusa. Walapun untuk esok atau lusa itu kita tidak tahu sudah di mana, apakah masih di dunia ataukah sudah di alam barzakh?

Allah SWT menyampaikan hal dalam firman-Nya:

يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ ٱتَّقُواْ ٱللَّهَ وَلۡتَنظُرۡ نَفۡسٞ مَّا قَدَّمَتۡ لِغَدٖۖ وَٱتَّقُواْ ٱللَّهَۚ إِنَّ ٱللَّهَ خَبِيرُۢ بِمَا تَعۡمَلُونَ

Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan hendaklah setiap diri memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok (akhirat). Dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan. (al-Hasyr 18)

Untuk itu, menyiapkan diri dan seluruh anggota keluarga kita dalam rangka menghadapi kenyataan yang pasti tak terelakkan tersebut merupakan keniscayaan yang tidak dapat diabaikan. Memaknai hidup ini dengan benar dengan senantiasa menjalankan ketaatan kepada-Nya tanpa ada rasa keberatan sedikitpun di dalamnya.

Karena Semua Akan Mati

Berpisah dengan kehidupan dunia merupakan hal yang pasti. Tidak ada yang dapat menghindar darinya. Sekuat apapun seseorang menjaga diri darinya, pasti jika saatnya tiba tidak akan bisa menolaknya. Walaupun dalam hal ini menjaga kesehatan jasmani juga merupakan kebutuhan.

Tetapi maksud dari semua itu adalah agar bagaimana kita dapat terus memaksimalkan kemampuan dan kapasitas diri untuk berbuat dan berbuat yang terbaik demi kehidupan ini semuanya. Hidup adalah atas landasan keyakinan dan perjuangan.

Umur panjang tetapi tidak berguna juga bisa jadi sia-sia. Maka yang terpenting bukan persoalan umur ini panjang ataukah tidak, tetapi pemanfaatannyalah yang harus mendapatkan perhatian yang lebih serius. Karena kalau hanya menyia-nyiakan waktu untuk sesuatu yang tidak jelas manfaatnya, maka apalah gunanya. Kerugian di akhirat yang akan diterimanya.

Al-kayyis haruslah kita rebut. Jadilah kita termasuk orang-orang mukmin yang cerdas dan paham akan makna dan arti kehidupan ini. Yakni yang mampu menjaga keseimbangan antara kepentingan dunia dan akhirat.

وَٱبۡتَغِ فِيمَآ ءَاتَىٰكَ ٱللَّهُ ٱلدَّارَ ٱلۡأٓخِرَةَۖ وَلَا تَنسَ نَصِيبَكَ مِنَ ٱلدُّنۡيَاۖ وَأَحۡسِن كَمَآ أَحۡسَنَ ٱللَّهُ إِلَيۡكَۖ وَلَا تَبۡغِ ٱلۡفَسَادَ فِي ٱلۡأَرۡضِۖ إِنَّ ٱللَّهَ لَا يُحِبُّ ٱلۡمُفۡسِدِينَ

Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bahagianmu dari (kenikmatan) duniawi dan berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik, kepadamu. Dan janganlah kamu berbuat kerusakan di (muka) bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan. (al-Qashash 77).

Definisi Al-Aajizu

Al-aajizu didefinisikan oleh Rasulullah SAW sebagai man atba’a nafsahu hawaaha watamanna ‘alallahi yakni orang yang jiwanya selalu megikuti hawa nafsunya dan hanya berangan-angan kepada Allah. Maka al-aajizu adalah orang yang lemah karena tidak mampu mengendalikan dirinya sendiri.

Al-Aajizu Verus Al-Kayyisu

Al-aajizu merupakan lawan kata dari al-kayyisu. Al-aajizu asal maknanya adalah  orang yang lemah, sehingga kelemahan merupakan suatu kebodohan. Kelemahan yang dimaksud bukanlah kelemahan secara fisik, tetapi yang lebih penting adalah kelemahan spiritual.

Ketika seorang hamba tidak lagi memiliki semangat spiritual maka ia telah kehilangan tujuan dan arah perjalanan kehidupannya. Ibarat perahu ia tidak tahu kemana harus berlabuh, sehingga perjalanannya hanya mengikuti arus angin, kemana arah angin ke sanalah ia ikut berjalan.

Seorang hamba pastilah memiliki tujuan yang jelas untuk apa dan mau apa dalam kehidupanan ini. Maka seorang hamba pastilah termasuk al-kayyisu sebagaimana dalam hadits di atas. Yaitu memiliki pendirian dan prinsip hidup yang jelas atas landasan keyakinan yang diyakininya. Dan jika seorang hamba tidak termasuk al-kayyisu maka ia terjebak pada sifat al-aajizu yaitu orang yang lemah dan tidak berdaya terhadap berbagai godaan duniawi. 

Dalam pengertian lain seorang hamba seharusnya menjadi manusia-manusia yang cerdas dalam menentukan sikap. Tidak membiarkan diri larut dalam ketidak pastian tujuan kehidupannya. Apalagi suka membiarkan waktu berlalu begitu saja tanpa ada manfaatnya, seolah tiada lagi kegiatan yang dapat dilakukannya.

Padahal sebagai seorang Muslim, jika tiada kegiatan yang bermanfaat maka harusnya mampu berkreativitas untuk membuat kegiatan atau program-program yang bermanfaat tersebut. Karena sungguh begitu banyak program kegiatan yang masih dapat dilakukan dengan keadaan yang sangat minim sarana sekalipun. Al-kayyisu selalu tidak pernah kehabisan ide untuk melakukan berbagai aktifitas kegiatan bagi kepentingan umatnya.

Seorang Muslim adalah orang yang sukses memenej dirinya. Mampu menjadi menejer yang baik bagi seluruh anggota badannya. Dan tidak akan melakukan kesalahan yang sama dua kali. Sekaligus mampu pula menjalankan amanah kehidupan ini dengan sebaik-baiknya.

Maka seorang Muslim tidak larut hanya mengikuti hawa nafsunya yang menjadikan dirinya menjadi makhluk yang rendah. Kerendahan yang disebabkan karena selalu menghalalkan segala cara dalam memperoleh keinginan duniawinya.

Orang demikian walaupun mungkin kelihatan mentereng dan mulia di hadapan orang lain, tetapi sesungguhnya pribadinya rapuh dan lemah, karena ada pertentangan dalam dirinya sendiri.

Teriakan pemberontakan dalam dirinya diredamnya sedemikian rupa sehingga menjadikan ia risau dan tidak merasa nyaman dalam hidupnya. Membohongi dirinya sendiri yang sesungguhnya ia tahu bahwa perbuatannya itu adalah suatu yang melanggar terhadap hukum dan ketentuan yang ada.

Jangan Panjang Angan-Angan

Juga seorang Mukmin bukan hanya memanjangkan angan-angannya. Yaitu hanya dengan bermodalkan angan-angan kepada Allah SWT. Seolah Allah akan pasti menyelamatkan dirinya. Sudah merasa cukup dengan apa yang telah dilakukannya. Ibadahnya sudah merasa cukup, berbuat baiknya sudah merasa cukup, shadaqahnya sudah merasa cukup, pendek kata merasa sudah cukup dengan aktivitas yang dapat menjadikan ia ditolong oleh Allah SWT.

Padahal angan-angan bukanlah ciri keimanan, atau iman itu bukanlah hanya angan-angan, tetapi karya nyata sebagai bagian dari wujud pengabdian kepada Allah, merupakan bukti konkrit dari keimanan itu yaitu membutuhkan perjuangan.

Maka orang yang beriman adalah orang yang kreatif. Tidak pernah berdiam diri melihat berbagai tindakan ketidak adilan dan kesewenang-wenangan. Juga tidak rela melihat kondisi umat dalam kondisi terpuruk. Kepekaanya terhadap kondisi lingkungannya selalu terasah dan menawarkan solusi bagi penuntasannya.

Maka seorang mukmin bukanlah termasuk al-aajizu, yakni yang lemah, yang malas, yang hanya pandai berangan-angan dan menjadikan ia menjadi bodoh. Seorang mukmin adalah al-kayyisu yakni yang cerdas, yang semangat untuk menuju ke arah yang lebih baik, juga memiliki jangkauan kehidupan yang bukan hanya sebatas di dunia, tetapi sekaligus mencapai kebehagiaan di akhirat.

Tentu dengan demikian akan sangat berbeda ciri dari al-kayyisu dan al-aajizu itu. Baik dari cara ia memandang kehidupan ini atau juga cara ia meterjemahkan kehidupan ini dalam aktivitas-aktivitasnya. Semangat menuntut ilmu tiada jemu akan terus di pupuk seiring dengan tumbuhnya nilai keimanan dalam dirinya. Selanjutnya kehidupannya akan menemukan irama dan ritme yang indah dan membahagiakan karena sejalan dengan iradah Allah SWT. 

Semoga kajian Orang Cerdas dan Bodoh Menurut Nabi ini bermanfat! (*)

Editor Mohammad Nurfatoni