BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar BelakangDewasa ini, ilmu pengetahuan dan teknologi telah berkembang dengan pesat. Hal ini dapat dilihat dari banyaknya gedung pencakar langit yang berdiri kokoh dan jumlah pemukiman yang semakin meningkat. Namun harus diakui bahwa perkembangan yang pesat juga mengandung dampak negatif bagi kehidupan. Beberapa bahan bangunan yang digunakan seperti gypsum, batu pasir, semen dan granit mengandung sumber radiasi alam. Sumber radiasi alam tersebut berasal dari kerak bumi yang bersifat radioaktif karena mengandung uranium, thorium, dan kalium yang memancarkan radiasi ke lingkungan Erawati, dkk, 2009. , , dan , termasuk radionuklida primordial yang sudah ada sejak bumi alam semesta terbentuk. banyak terkandung dalam air laut sedangkan tempat-tempat sumber air panas mengadung sejumlah uranium, thorium dan radium. Dalam deret peluruhannya, dan memancarkan radiasi alfa dan beta. Unsur-unsur dalam deret peluruhan tersebut akan terus memancarkan radiasi hingga stabil dan untuk mencapai kestabilan unsur tersebut akan memancarkan radiasi gamma. Uranium terdapat dalam kerak bumi pada hampir semua jenis batuan, terutama batuan asam seperti granit, maka gas radon akan selalu terbentuk setiap saat. Unsur radioaktif tersebut cenderung berdifusi menerobos menuju permukaan bumi dan terlarut dalam udara. Selanjutnya anak luruh dari kedua gas radioaktif tersebut dapat menempelkan diri pada debu-debu dalam udara Sofyan, 1998. Kadar gas di dalam udara bergantung pada kadar uranium dan thorium di suatu tempat. Berbagai bahan bangunan seperti asbes, beton, gypsum dan granit mengandung dalam konsentrasi tinggi yang dapat menjadi sumber migrasi radon di dalam ruangan. Pada reaksi inti akan menghasilkan gas radon dan memancarkan radiasi alfa dimana radiasi alfa berpotensi menyebabkan kanker paru- paru Anies, 2009. Pada penelitian ini diambil satu contoh bahan bangunan yaitu granit. Kebanyakan kalangan menengah ke atas menggunakan granit untuk berbagai fasilitas rumahnya, seperti untuk meja makan, meja kamar mandi, lantai dan lain-lain. Hal ini yang melatarbelakangi penelitian dilakukan yaitu untuk mengetahui seberapa besar bahaya kandungan radionuklida pada lantai yang berbahan granit.1.2 Tujuan Penelitian
Radiofarmaka adalah senyawa kimia yang mengandung atom radioaktif dalam strukturnya dan digunakan untuk diagnosis atau terapi. Dengan kata lain, radiofarmaka merupakan obat radioaktif. Sediaan radiofarmaka dibuat dalam berbagai bentuk kimia dan fisik yang diberikan dengan berbagai rute pemberian untuk memberikan efek radioaktif pada target bagian tubuh tertentu. Beberapa contoh rute pemberian: per oral (kapsul dan larutan), intravena, intraperitoneal, intrapleural, intratekal, inhalasi, instilasi melalui tetes mata, kateter urin, kateter intraperitoneal dan shunts. Bentuk fisika dan kimiawi sediaan radiofarmaka dapat berupa unsur (Xenon 133, krypton 81m), ion sederhana (iodida, pertechnetate), molekul kecil yang diberi label radioaktif, makromolekul yang diberi label radioaktif, partikel yang diberi label radioaktif, sel yang diberi label radioaktif. Informasi selanjutnya dapat dilihat pada tabel 18.1.Kedokteran Nuklir Radiofarmaka dimanfaatkan dalam berbagai jenis pemeriksaan dalam kedokteran nuklir. Pemeriksaan tersebut terbagi menjadi 3 kategori:
Penggunaan Radiofarmaka Jumlah bahan radioaktif yang diberikan pada pasien dalam kedokteran nuklir, disebut juga sebagai dosis, umumnya dinyatakan dalam ukuran millicuries (mCi, atau 10-3 Ci). Satu Curie (Ci) setara dengan 3,7 x 1010 disintegrasi (kerusakan atom) per detik. Dalam satuan Unit International, kekuatan bahan radioaktif diukur dalam satuan becquerels (Bq). Satu Bq setara dengan 1 disintegrasi per detik; sehingga, 1 mCi = 37 MBq. Jumlah radiasi yang diabsorbsi oleh jaringan tubuh disebut dosis radiasi dan dinyatakan dengan satuan rad (dosis radiasi yang diabsorbsi). Satu rad setara dengan 100 ergs energi yang diabsorbsi oleh 1 gram jaringan. Satuan Unit Internasional (IU) dosis yang diabsorbsi, Gray (Gy), setara dengan 1 joule energi yang diabsorbsi oleh 1 kg jaringan (1 Gy = 100 rad). Penggunaan kedokteran nuklir untuk tujuan diagnostik harus berprinsip bahwa penggunaan bahan radioaktif yang diberikan harus dalam dosis yang serendah mungkin namun sudah dapat diperoleh informasi yang diinginkan. Perlu dijaga bahwa dosis radiasi yang diabsorbsi harus serendah mungkin. Selain itu, kondisi aseptik harus dijaga selama penyiapan karena bahan diberikan melalui injeksi intravena. Tabel 18.1 Bentuk fisika dan kimiawi radiofarmaka.
Tabel 18.2 Bentuk sediaan dan rute pemberian radiofarmaka.
Tabel 18.3 Radiofarmaka yang digunakan dalam Kedokteran Nuklir.
a : kecuali dinyatakan lain Persyaratan khusus dalam keamanan dan efikasi harus dipenuhi karena sifat radioaktif fitofarmaka. Prosedur khusus juga diperlukan untuk melindungi pasien dari paparan radiasi yang tidak perlu, melindung petugas dari material radioaktif yang dibawa, dan melindungi masyarakat dari paparan limbah radioaktif. FARMASI NUKLIR Sebagai sediaan farmasi yang berbahaya, radiofarmaka perlu penanganan khusus dalam proses pengadaan, penyiapan, penyimpanan dan pendistribusian, terutama untuk pemberian ke pasien dalam lingkungan fasilitas kedokteran nuklir. Teknik penanganan Teknik farmasi nuklir dibagi menjadi dua kategori yaitu:
Pemanfaatan radionuklida dilakukan untuk tujuan diagnosis atau terapi beberapa gangguan penyakit pada otak, kelenjar tiroid, jantung, paru-paru, hati, limpa dan sistem pencernaan, ginjal dan tulang. OTAK Radiofarmaka untuk pemeriksaan organ pada sistem saraf pusat (SSP) dibagi menjadi lima kelompok utama yaitu: 1. Nondiffusible tracers Merupakan senyawa yang pertama kali digunakan untuk pencitraan otak. Kelompok ini secara umum mempunyai karakteristik sebagai senyawa hidrofilik terionisasi dengan mekanisme lokalisasi pada lesi otak yang tidak spesifik. Umumnya, senyawa dalam kelompok ini tidak dapat memasuki otak melalui sawar darah otak (Blood-brain barrier, BBB) utuh. Namun, pada kondisi dimana sawar darah otak terganggu oleh kondisi patologi, senyawa ini meninggalkan ruang vaskuler dan terkonsentrasi pada lesi. Senyawa yang termasuk pada kelompok ini diantaranya 99mTc-natrium perteknetat, 99m Tc-pentetat (99mTc-DTPA), 99mTc-gluseptat (99mTc-GH), dan senyawa untuk digunakan pada metoda positron emission tomography (PET) yaitu 82Rb-rubidium klorida. 2. Diffusible tracers Kelompok ini mempunyai kapasitas untuk memasuki otak normal melalui sawar darah otak (Blood-brain barrier, BBB) utuh. Hal ini mungkin karena senyawa ini merupakan kompleks lipofilik netral yang berdifusi secara pasif melalui sel endotelial kapiler otak. Senyawa yang termasuk dalam kelompok ini diantaranya adalah 99mTc eksametazim (99mTc-HMPAO) dan 99mTc-bisitat (99mTc-ECD). 3. Penanda metabolisme Merupakan agen yang terlokalisasi pada area otak yang berhubungan dengan aktivitas metabolik dan hipermetabolik. Penanda metabolik yang utama digunakan dalam pencitraan PET adalah 18F-fluodeoksiglukosa (18F-FDG). 4. Radiofarmaka untuk pemeriksaan larutan serebrospinal Radiofarmaka yang digunakan untuk pemeriksaan ruang larutan serebospinal ini meliputi senyawa yang tetap ada pada ruang larutan serebospinal setelah injeksi lumbar diberikan. Senyawa ini digunakan untuk mengevaluasi distribusi dan pergerakan larutan serebospinal pada berbagai tahapan penyakit. Sebagai contoh hidrosefalus secara rutin diperiksa dengan menggunakan 111In-pentetat (111In-DTPA). 5. Radiofarmaka untuk pencitraan reseptor otak Radiofarmaka untuk pencitraan reseptor otak terutama digunakan untuk penelitian. Komponen reseptor avid yang diberi label 99mTc dan radionuklida lainnya sedang dikembangkan. TIROID Radionuklida pada kelenjar tiroid digunakan untuk menilai fungsi kelenjar tiroid dengan pemeriksaan radioactive iodine uptake (RAIU), dalam pengobatan hipertiroidisme dan kanker tiroid, dan pencitraan untuk mendeteksi penyakit dalam kelenjar tiroid dan deteksi adanya metastasis tiroid dengan memindai seluruh tubuh. Pemeriksaan yang lazim digunakan dalam kedokteran nuklir untuk mengevaluasi pasien yang diduga mengalami gangguan tiroid adalah pemeriksaan RAIU, pemindaian kelenjar tiroid, dan terapi radioiodin. Pemeriksaan Radioactive Iodine Uptake (RAIU) Pemeriksaan ini dapat membantu proses diagnosis hipertiroidisme dan berguna dalam menentukan dosis terapi 131I yang tepat. Penerapan bersama RAIU dan pemindaian tiroid berguna untuk membedakan penyebab hipertiroidisme, seperti penyakit Grave, penyakit Plummer (toxic multinodular goiter) dan tiroiditis subakut. Untuk mengukur serapan radioiodin, sejumlah kecil radioiodin diberikan per oral. Radioaktif yang dapat digunakan 123I atau 131I-natrium iodida. 131I-natrium iodida lebih sering digunakan, karena lebih murah dan lebih mudah diperoleh. Pengukuran serapan biasanya dilakukan pada jam ke-4 dan jam ke-24 setelah pemberian bahan radioaktif. Dosis lazim 131I-natrium iodida adalah 4-10 µCi (148-370 kBq). Hasil pemeriksaan dikatakan normal jika nilainya 5 - 15% untuk serapan jam ke-4 dan 10 - 35% untuk serapan jam ke-24. Pada orang-orang tertentu yang mengalami hipertiroid, hasil pemeriksaan serapan jam ke-4 akan lebih besar daripada serapan jam ke-24. Pada kondisi ini, dapat digunakan dosis 131I yang lebih besar karena terjadi pengembalian iodin yang lebih cepat dari normal pada kelenjar tiroidnya. Pemindaian tiroid Pemindaian tiroid digunakan untuk menilai fungsi kelenjar berdasarkan kondisi struktur. Berguna untuk membedakan penyakit keganasan berat dengan keganasan ringan. 123I-natrium iodida dan 99mTc-natrium pertehnetat digunakan untuk pemindaian tiroid. Keduanya ditangkap oleh kelenjar tiroid (seperti dipindahkan kedalam sel folikel tiroid). Namun hanya iodin yang diatur dan dibentuk kedalam hormon tiroid. Baik 123I-natrium iodida dan 99mTc-natrium pertehnetat cukup adekuat untuk pemindaian anatomi, namun 123I lebih akurat untuk pemindaian fungsional. 131I juga dapat digunakan untuk pemindaian tiroid, namun jarang digunakan karena dosis radiasinya tinggi terhadap kelenjar, sehingga waktu paruhnya panjang mencapai 8,04 hari dan emisi partikel beta. 123I-natrium iodida adalah bahan radioaktif yang lebih banyak dipakai karena karakteristik pemindaian yang baik. Waktu paruhnya pendek sekitar 13 jam, energi gama (159 keV) yang terdeteksi secara efesien dengan kamera gama, dan tidak terdapat emisi beta. Namun demikian, 123I-natrium iodida lebih mahal dan sulit diperoleh dibanding 99mTc-natrium pertehnetat. 99mTc-natrium pertehnetat lebih mudah diperoleh dari generator 99Mo-99mTc dan lebih murah sehingga 99mTc-natrium pertehnetat lebih sering dipilih sebagai bahan radioaktif untuk pemindaian tiroid. Pengobatan Radioiodin Pengobatan radioiodin merupakan pilihan penting dalam pengobatan hipertiroidisme akibat penyakit Graves, adenoma toksik tiroid, dan toxic multinodular goite atau penyakit Plummer. Pengobatan hipertiroidisme dapat dilakukan dengan obat antitiroid, bedah atau terapi menggunakan 131I natrium iodida. Keamanan Pengobatan Radioiodin Pasien yang menjalani pengobatan menggunakan terapi radioiodin 131I perlu berhati-hati untuk meminimalkan paparan radiasi lain. Pasien yang diterapi dengan dosis lebih besar dari 30mCi (1110 MBq) 131I perlu dirawat di rumah sakit dalam ruangan khusus dan dimonitor sampai dosis yang terpakai di bawah 30 mCi (1110 MBq), hal ini dapat disesuaikan dan tergantung pada kondisi spesifik masing-masing pasien. JANTUNG Pemeriksaan kedokteran nuklir klinis, sekarang ini pada umumnya menggunakan metoda Single-Photon Emission Computed (SPECT) dan metoda Positron Emission Tomography (PET). Radiofarmaka yang digunakan untuk memeriksa penyakit jantung terdiri dari empat kelompok utama yaitu (1) bahan perfusi untuk memeriksa aliran darah arteri koroner dan iskemik, (2) bahan pengumpul darah untuk memeriksa fungsi jantung, (3) bahan untuk memeriksa infark miokard, dan (4) bahan metabolisme untuk menilai viabilitas miokard. Bahan utama yang digunakan dalam pencitraan SPECT adalah sel darah merah berlabel 99mTc untuk pemeriksaan pengumpul darah, 201Tl-thallous klorida, 99mTc-sestamibi, dan 99mTc-tetrofosmin untuk pemeriksaan perfusi miokardia. 18F-fludeoksiglukosa (18F-FDG) adalah bahan utama PET yang digunakan untuk pemeriksaan viabilitas miokard. Waktu paruhnya yang panjang memungkinkan bahan ini tetap tersedia pada daerah farmasi nuklir PET. Bahan lain yang digunakan pada pencitraan PET antara lain 82Rb-rubidium klorida, 15O-air, dan 13N-amonia untuk pemeriksaan perfusi, dan 11C-asetat dan 11C-palmitat untuk pemeriksaan metabolisme. Tabel 18.4 Bahan Pencitraan Miokard.
PARU-PARU Radiofarmaka untuk pencitraan paru-paru dapat dibagi menjadi dua kelompok utama, bahan perfusi paru, dan bahan ventilasi paru. Pencitraan untuk melihat fungsi paru-paru dalam kedokteran nuklir dilakukan untuk mengevaluasi fungsi ventilasi dan perfusi paru. Fungsi ini dapat dilihat dengan melakukan inspirasi gas inert seperti Xenon 133Xe atau aeorosol berlabel radioaktif seperti 99mTc-DTPA. Indikasi pencitraan ventilasi dan perfusi paru terutama untuk pemeriksaan pasien yang diduga mengalami embolisme paru akut. Indikasi lainnya adalah pemeriksaan pasien transplantasi paru (misalnya cystic fibrosis), pemeriksaan pasien yang diduga mengalami embolisme paru kronis sebagai penyebab hipertensi paru, pemeriksaan pra-operasi pasien obstruksi paru kronis, dan pemeriksaan fungsi paru diferensial sebelum operasi lobektomi atau pneumonektomi. HATI, LIMPA, DAN SISTEM SALURAN CERNA Sekarang ini, Magnetic Resonance Imaging (MRI), Computed Tomography (CT) dan ultrasound lazim dipakai untuk memeriksa anatomi hati, sistem hepatobilier dan limpa. Namun, pencitraan dengan menggunakan radionuklida memberikan lebih banyak informasi mengenai fisiologi dan fungsi organ-organ tersebut. Beberapa pemeriksaan kedokteran nuklir pada organ hati, limpa dan sistem saluran cerna adalah pencitraan hati-limpa, scintigraphy hepatobilier, pemeriksaan perdarahan saluran cerna, dugaan adanya Meckel’s diverticulum, refluks gastroesofagal dan pengosongan lambung. Radiofarmaka technetium yang pada awalnya dirancang untuk pemeriksaan hati dan limpa, sekarang digunakan juga untuk pemeriksaan fungsi saluran cerna, termasuk pemeriksaan refluks gastroesofagal, pengosongan lambung dan tempat perdarahan saluran cerna. Sebagai contoh, radiofarmaka untuk mendeteksi perdarahan saluran cerna adalah 99mTc - koloid sulfur dan 99mTc - Sel darah merah. Penggunaan 99mTc - koloid sulfur untuk perdarahan dengan kondisi bersihan darah cepat, perbandingan ‘target-penyebab’ yang tinggi (high target-to-background ratio), terjadi perdarahan aktif. Sedangkan Tc - Sel darah merah diberikan untuk kondisi perdarahan seperti bersihan darah lambat, perbandingan ‘target-penyebab’ yang rendah (low target-to-background ratio), dan untuk perdarahan intermiten (perdarahan yang kadang muncul kadang tidak) GINJAL Metode scintigraphy an pada kanker tiroid, dan untuk memindai keseluruhan tubuh untuk mendetekasi metastasis tiroid.iat dan tidak termasuk kosmetelah dikembangkan untuk menilai fungsi glomerolus dan tubulus ginjal, untuk mendeteksi keberadaan tumor atau kista, dan juga untuk mengukur fungsi relatif antara kedua ginjal kiri dan kanan. Selain itu, scintigraphy ginjal berperan penting dalam evaluasi perfusi ginjal, fungsi ginjal, dan pada kasus tertentu juga berperan untuk melihat abnormalitas anatomi. Pencitraan menggunakan radionuklida dapat memberikan kombinasi informasi anatomi dan fisiologi ginjal. Pemeriksaan ginjal dengan radiofarmaka berdasarkan pada dua prinsip yaitu, prinsip yang berhubungan dengan bahan radioaktif yang digunakan untuk memeriksa bersihan ginjal, yang kemudian dapat dibagi lagi menjadi bahan radioaktif untuk memeriksa GFR dan bahan radioaktif untuk memeriksa fungsi tubulus; dan prinsip yang berhubungan dengan bahan radioaktif untuk melakukan pencitraan ginjal yang digunakan untuk menilai morfologi ginjal dan fungsi relatif ginjal. Contoh radiofarmaka untuk menilai GFR adalah 125I-iothalamat; 99mTc-pentetat (99mTc-DTPA); menilai ERPF adalah 131I-o-iodohippurat (131I-OIH) dan 99mTc-mertiatid (99mTc-MAG3). Radiofarmaka untuk pencitraan ginjal: 99mTc-gluseptat (99mTc-GH) dan 99mTc-succimer (99mTc-DMSH). Berikut ini beberapa radiofarmaka yang digunakan pada organ ginjal beserta kegunaannya. Injeksi Technetium Tc 99m Pentetat (99mTc-DTPA) Bahan ini digunakan untuk mengevaluasi aliran darah gross ke ginjal dan untuk memvisualisasi gangguan/halangan aliran urin pada sistem pengumpulan dan ureter. Pada prinsipnya, 99mTc-DTPA ini digunakan untuk menilai perfusi ginjal, fungsi ginjal relatif, dan gangguan uropati. Injeksi Technetium Tc 99m Succimer (99mTc-DMSA) Digunakan untuk mendeteksi abnormalitas fokal pada korteks ginjal, dan juga bermanfaat untuk menilai fungsi relatif ginjal kanan dan ginjal kiri. Injeksi Technetium Tc 99m Gluseptat (99mTc-GH) Digunakan untuk mengevaluasi perfusi renal, gangguan uropati, fungsi relatif ginjal, dan massa ginjal. Injeksi Technetium Tc 99m Mertiatid (99mTc-MAG3) Digunakan untuk memvisualisasi sistem pengumpul ginjal, evaluasi obstruksi urinari, dan menilai fungsi tubulus ginjal. Injeksi natrium iotalamat I 125 Digunakan sebagai bahan diagnostik untuk mengukur GFR. Injeksi natrium iodohipurat I 131 Digunakan untuk mengukur aliran plasma ginjal efektif (Effective Renal Plasma Flow, ERPF). TULANG Pencitraan tulang dilakukan untuk berbagai tujuan, diantaranya untuk pemeriksaan penyakit metastase, infeksi, dan luka trauma. Keunggulan dari pencitraan tulang adalah sensitivitasnya yang tinggi, sehingga dimanfaatkan untuk menilai lesi patologis pada tulang pada tahap awal timbulnya penyakit. Kelemahan pencitraan tulang adalah tidak dapat mendeteksi jenis patologi tulang. Radiofarmaka yang paling sering digunakan untuk pemeriksaan tulang adalah 99m Tc-difosfonat seperti 99m Tc-MDP (methylene diphosphonate) dan 99m Tc-HDP (99m Tc-oxydronate). Dosis untuk pencitraan tulang dan distribusi dosis lazim dewasa 99m TC-HDP atau 99m TC-MDP adalah 20 mCi (740 MBq) melalui rute intravena. Pencitraan pada umumnya dilakukan 2 - 3 jam setelah pemberian melalui injeksi untuk memberikan waktu plasma dan latar belakang aktivitas jaringan yang akan ditampilkan. Sekitar 40% sampai 50% dari dosis yang diinjeksikan, terlokalisasi pada tulang, dan sisanya dikeluarkan melalui urin. Dosis untuk pemindaian tulang pada dewasa, dosis yang diberikan biasanya 20-30 mCi (740 sampai 1110 MBq) melalui intravena. Pada anak, dosis ditentukan berdasarkan berat badan, biasanya 250-300 µCi/kg (9,25 – 11,1 MBq/kg) dengan minimum 1-2,5 mCi (37-92,5 MBq). Jika terdapat kontraindikasi, pasien harus dalam kondisi terhidrasi dengan baik setelah pemberian injeksi. |