Dalam karawitan Jawa tengah presiden sering disebut

Dalam karawitan Jawa tengah presiden sering disebut
Dalam karawitan Jawa tengah presiden sering disebut
SENIMAN JAWA: Adi Sulistyo memainkan alat musik bonang di sanggar Yayasan Sasana Langen Budaya Magelang yang didirikannya.(PUPUT PUSPITASARI/ JAWA POS RADAR SEMARANG)

RADARSEMARANG.ID, Adi Sulistyo getol melestarikan kesenian Jawa. Guru berusia 32 tahun ini menguasai karawitan, tari, hingga seni pedalangan. Bahkan, dia disebut-sebut sebagai dalang muda di Magelang.

PUPUT PUSPITASARI, Magelang, Radar Semarang

NAMANYA tercatat sebagai lulusan Sekolah Menengah Karawitan Indonesia (SMKI) Jogjakarta 2007. Dia ingat, semasa sekolah dibekali uang Rp 50 ribu-Rp 75 ribu oleh orang tuanya untuk hidup seminggu di Kota Gede, Jogjakarta. Cukup nggak cukup, harus dicukup-cukupkan. Begitu lah kira-kira kondisi Adi kala remaja.

Tapi jiwa seninya yang kuat menolong kehidupannya di Kota Gudeg. Belum genap tiga tahun menempuh pendidikan seni karawitan, Adi Sulistyo kerap manggung sebagai pengiring pentas wayang. Lumayanlah. Ia disangoni Rp 40 ribu-Rp 50 ribu sekali pentas.

“Zaman itu, duit segitu sudah banyak sekali. Tapi ya itu, pas sekolah ngantuk luar biasa, matanya bendul-bendul karena semalaman wayangan, hahahaha,” kata Adi, Selasa, (1/6).

Bukannya kapok, Adi malah ketagihan. Ia tidak peduli kelelahan. Jiwa anak mudanya memberontak. Selain cari pengalaman, penghasilan bisa membuatnya hidup lebih nyaman. Bisa beli ini, dan itu pakai uang sendiri. Bebas. Tak merepotkan orang tua. “Pelajar dapat uang segitu kan udah seneng tho, hehe,” celetuknya.

Selepas dari SMKI, ia melanjutkan kuliah di kota yang sama. Mengambil jurusan Sastra Jawa. Dari sinilah membuat dia makin cinta dengan budaya Jawa. Sekarang dia menjadi guru seni di SMP Negeri 2 Magelang. Juga mendirikan Yayasan Sasana Langen Budaya.

Wartawan koran ini berkunjung ke sanggarnya. Tempat ia meracik komposisi musik gamelan, melatih siswa berkarawitan, sekaligus tempat mengasah keterampilan mendalang.

Tampak beragam jenis gamelan ada di sana. Ada bonang, gong, kendang, gender, demung, dan lainnya. Alat-alat ini merupakan bantuan dari Kementerian Kebudayaan atas eksistensinya berkontribusi terhadap pelestarian budaya Jawa.

Menurut Adi, latihan karawitan di tengah pandemi tidaklah sulit. Sebelum ada Covid-19, tempat duduk para penabuh sudah diatur berjarak. Sudah otomatis. Karena dua sampai tiga alat musik dipegang satu orang.

“Itu jaraknya sudah satu meter-satu meter. Cuma bedanya, sejak pandemi ini, kita latihan pakai masker, dan tidak lam-lama,” ujarnya.

Dikatakan, pandemi tidak membuat seniman malas beraktivitas. Hanya jadwal manggung saja yang terbatas. Dia bersyukur, pertunjukan seni sudah diperbolehkan. Walau dengan penerapan protokol kesehatan. Penonton terbatas, disiarkan secara virtual.

“Ini menyelamatkan. Karena teman-teman yang bergantung pada pementasan saja, begitu nggak ada (tanggapan, Red), sertifikat mereka sampai “disekolahkan”,” katanya sambil tersenyum.

Masih di ruang ini, ada sebuah etalase berukuran besar. Tempat menyimpan kostum tari, juga 37 koleksi kostum wayang orang.

Ia ingin, semua yang dimilikinya itu bermanfaat bagi masyarakat. Karena target dia, memasyarakatkan kesenian tradisional. Sehingga banyak yang makin mencintai kebudayaan lokal.

Dia menaruh harapan besar kepada pemerintah. Agar kesenian karawitan bisa masuk dalam mata pelajaran. Tidak hanya jadi ekstrakurikuler saja. Yang hanya dilirik anak-anak tertentu. Yang punya minat di sana. “Padahal yang seperti ini kan jarang,” ucapnya.

Tapi jika seni karawitan menjadi mata pelajaran wajib di sekolah, maka semakin banyak generasi muda yang bisa menabuh gamelan. Dan menyanyi lagu karawitan. “Kita harus menciptakan dulu atmosfer-atmosfer seni budaya, supaya belajar kesenian seperti ini itu sangat keren,” tandasnya bersemangat.

Di luar negeri, ia menyebut ada jurusan etnomusikologi. Yang membuat pelajar maupun mahasiswa di sana mempelajari hubungan etnis manusia dengan seni musik yang diciptakan. Tidak heran, warga asing sangat tertarik dengan musik gamelan. Hal ini diketahui saat dirinya memwakili Indonesia untuk mengisi acara dan workshop musik Jawa di luar negeri.

Baca juga:  Masker Bisa Dicuci, Produksi Hand Sanitizer Terkendala Bahan

Di seni karawitan, tidak hanya bermusikalisasi Jawa saja. Lebih dari itu. Kesenian ini mengajari tentang rasa, kekompakan, konsentrasi, sejarah, dan adab. “Penabuh itu cara duduknya diatur. Harus tegap dan sebagainya. Artinya, ada nilai-nilai yang diajarkan. Meskipun bermusik, tapi ada adabnya,” tuturnya dengan sorot mata yang tajam.

Ada keunikan lain. Pemandu irama ada pada penabuh kendang. Kecepatan tempo, berhenti, dan mulainya lagu ditandai oleh pukulan kendang. “Ini melatih konsentrasi.”

Karawitan juga bisa memberi nyawa pada seni pertunjukan wayang. Membuat pentas wayang tidak membosankan. Dalam syair-syair lagu karawitan, menggunakan bahasa sastra Jawa.

Ketertarikan dengan seni pertunjukan Jawa itu semakin mendalam. Ia merambah ke dunia pedalangan. Ia akui punya hobi bercerita. Ndalang membuat dirinya punya kesempatan lebih luas untuk menebar kebaikan. Lakon yang dibawakan dalam pentas wayang kulit, sarat pesan. Ia suka dramatisasi cerita pada dunia pewayangan.

“Bahkan dalam mengambil keputusan sehari-hari, saya ambil dari cerita pewayangan,” akunya dengan serius.

Seperti cerita wayang Arjuna. Tokoh yang dikenal senang mencari ilmu. Juga punya kehebatan dalam berperang. Sehingga jadi penguasa Negara Amarta. Anaknya Abimanyu, juga jadi penerus. Diturunkan lagi kepada Parikesit, putra Abimanyu.

“Pokoknya bagaimana caranya, agar pesan-pesan, dan nilai-nilai dari cerita pewayangan ini sampai kepada masyarakat. Itu tantangan yang membuat saya tertarik dengan dunia ini,” imbuhnya.

Kemampuan berkesenian Adi juga teruji dalam cabang seni lainnya. Yakni tari. Dia merupakan pencipta Tari Kipas Sejuta Bunga. Yang mengharumkan nama Kota Magelang di tingkat Provinsi Jawa Tengah, maupun dalam ajang Menoreh Art Festival 2019. Dalam kesempatan itu, predikat juara satu berhasil diraihnya.

Baca juga:  Beri Materi Kuliah sambil Momong Anak

Selain itu, ia pernah mendapat apresiasi dari Taipei Chinese Orchestra pada 2019, karena mengisi acara More Than Gamelan-Fantasies of Ten Thousand Islands. Lalu dari Kedutaan Besar RI Bangkok. Yang ditandatangani oleh Djumantoro Purbo (Wakeppri)-atas nama Duta Besar RI untuk Kerajaan Thailand.

“Saya suka musik, dan tari itu yang original. Nggak asal comot sana, comot sini, semua saya garap sendiri,” ungkapnya.

Tari ini diciptakan hanya dua minggu. Sepulang dari Thailand. “Tiba-tiba saya ingin buat gerakan tari membentuk kembang, modelnya konfigurasi, jadilah seperti itu,” akunya sambil melempar senyum.

Ada hal menarik selama mengerjakan karyanya itu. Bagi dia, tari adalah eksploitasi tubuh. Sedangkan di SMP tempatnya mengajar, adalah sekolah religi. “Itu yang saya pikirkan terus. Gimana caranya membuat sebuah tarian tanpa mengeksploitasi tubuh. Dan cita-cita saya itu tercapai di karya saya ini,” ujarnya penuh rasa bangga.

Tarian ini punya kekhasan. Gerakannya cepat. Berganti tiap detik. Harus ditarikan 49 orang. Tidak bisa kurang, maupun lebih. Jika ingin lebih banyak penari, maka harus kelipatanya. “Menarikan tiap gerakan harus kompak. Kalau ompong karena ada penari yang salah, bubar. Nggak membentuk bunga.”

Tiap penarik bergerak. Membentuk bunga dari kuncup, mekar, sampai gerakan bunga yang tertiup angin. “Mengayun-ayun,” timpalnya.

Warna kipas dalam tarian ini hanya dipilih dua. Hijau, dan pink atau merah muda. Warna hijau melambangkan taman. Pink simbol bunga.

Dari kesenangannya menciptakan tari, ia pun mendapuk penari Magelang Rekyan Endiyarsa Putri Nirmala. Yang kemudian diperistri olehnya. “Saya ini kambing. “Kakak pembimbing”, hahaha,” ujarnya terpingkal-pingkal. (*/aro)

Dalam karawitan Jawa tengah presiden sering disebut
Dalam karawitan Jawa tengah presiden sering disebut

DALAM sebuah pagelaran kesenian tradisonal Jawa wayang kulit salah satu instrumen penting yaitu dalang sebagai pemeran utamaa dibantu pemeran pendamping lainnya yaitu nayaga, dan sindhen.

Pesindhèn atau sindhèn adalah sebutan bagi wanita yang bernyanyi mengiringi orchestra gamelan, yang umumnya sebagai penyanyi satu-satunya.

Dalam kamus Bahasa Jawa, sinden/sin·den/ /sindén/ n penyanyi wanita pada seni gamelan atau dalam pertunjukan wayang (golek, kulit), sedangkan menyinden/ me-nyin-den/ v menyanyikan lagu pada seni karawitan atau pada pertunjukan wayang (golek, kulit): meskipun sejak umur tujuh belas tahun sudah belajar -, sekarang ia lebih menekuni rias pengantin. Pesindhèn yang baik harus mempunyai kemampuan komunikasi yang luas dan keahlian vokal yang baik serta kemampuan untuk menyanyikan tembang.

Menurut Ki Mujoko Raharjo (1997:24) Sinden berasal dari kata “pasindhian” yang berarti yang kaya akan lagu atau yang melagukan (melantunkan lagu). Sinden juga disebut waranggana “wara” berarti seseorang berjenis kelamin wanita, dan “anggana” berarti sendiri.

Pada zaman dahulu waranggana adalah satu-satunya wanita dalam panggung pergelaran wayang ataupun pentas klenengan. Sinden memang seorang wanita yang menyanyi sesuai dengan gendhing yang di sajikan baik dalam klenengan maupun pergelaran wayang.

Istilah Sinden juga digunakan untuk menyebut hal yang sama di beberapa daerah seperti Banyumas, Yogyakarta, Sunda, Jawa Timur dan daerah lainnya, yang berhubungan dengan pergelaran wayang maupun klenengan. Sinden tidak hanya tampil solo (satu orang) dalam pergelaran saat ini pada pertunjukan wayang bisa mencapai delapan hingga sepuluh orang bahkan lebih untuk pergelaran yang sifatnya spektakuler.

Sinden adalah nembang mbarengi gamelan. Penjelasannya adalah vokal putri yang menyertai karawitan dilakukan oleh seorang pesinden, dahulu istilahnya taledhek, bahkan sekarang ada yang menyebut nama lain yang manis yang swarawati atau waranggana. Dalam sumber yang akan dikaji sinden dapat juga disebut waranggana “wara” yang berarti wanita, dan “anggana” yang berarti sendiri, dalam hal ini berarti wanita yang sendiri dalam seni karawitan maupun seni pertunjukan wayang, dan dalam Kamus Bahasa Kawi “waranggana” berarti bidadari. (Wojowaskito:1983)

Urutan menurut bahasa sinonimnya yaitu taledhek-sinden-waranggana-widowati-swarawati. Semua mempunyai arti yang sama dengan sinden yang dimaksud dalam keterangan diatas. Waranggana dibagi menjadi 2, yakni Waranggana Tayub dan Waranggana Pesinden. Waranggana Tayub adalah penari wanita kesenian tayub yang juga memiliki keahlian menembang, sedangkan Waranggana Pesinden hanya memiliki keahlian menari saja dan khusus untuk pertunjukan wayang kulit. (Bahrul Huda:2005:64)

Sinden mempunyai keindahan dalam seni swara yang dapat dinikmati bagi semua masyarakat umum yang mendengarkan dan melihat seni pertunjukan itu baik dalam seni karawitan maupun dalam pertunjukan wayang kulit. Misalnya seorang dalang sedang suluk, maka secara bersamaan menyanyikan tembang adalah pesinden dan wiraswara atau penggerong, yaitu koor yang dinyanyikan oleh beberapa orang pria.

Beberapa sumber yang dapat menjelaskan kemunculan sinden di telusuri pada kebudayaan jawa berupa peninggalan candi Borobudur. Pada relief candi Borobudur sekitar 1800-an dan candi-candi prambanan hindu sekitar tahun 915 terdapat banyak adegan-adegan gadis-gadis menari, para musisi bermain seruling, sitar, silofon, kuningan dan bambu, tanduk, kerang, dan simbal serta beberapa orang penyanyi perempuan serta penonton yang menyaksikan. (J S Brandon:1989:26)

Pada abad XIX oleh R.ng. Djagakusuma dalam memainkan gamelan yaitu dalam wadah karawitan dengan memakai penyanyi laki-laki yang mempunyai peran sebagai penggiring tari bedaya dan upacara ritual di istana, kemudian mulai menyebar di luar istana bersama pertunjukan wayang kulit dan pertunjukan tari. (Sutrisno:1976:130)

Sinden pada saat itu berfungsi sebagai perjamaan atau pagelaran tari bedaya ketawang dan tari bedaya Srimpi. Bertugas nyindeni bedhayan-bedhayan untuk laki-laki (penggerong) dan untuk perempuan sinden, keduanya bertugas membawa gamelan pusaka dalam gerebek besar. Sedangkan sinden yang ada di dalam keraton di bagi menjadi dua fungsi. Pertama, bertugas sebagai penggiring tari bedhaya dan kedua sinden yang bertugas menyindeni gendhing-gendhing yang bukan bedhayan seperti niyaga, taledhek, badut, wiraswara.(Isnin Solihin:2005:80)

Sinden adalah istilah yang digunakan untuk menyebut seni suara vokal atau koor (yang juga dapat dilakukan oleh sekelompok) pesinden wanita atau pesinden pria (seperti contoh sindenan bedaya srimpi) maupun vokal putri (yang
sekarang lazim dilakukan oleh pesinden waranggana atau swarawati) dengan lagu yang berirama ritmis yaitu tidak ketat mengikuti gendhing.(Supanggah:1988:30)

Sinden sangat berhubungan erat dengan kajian masalah yang diterima dan umum dalam masyarakat Jawa yaitu dalam kisah sejarah karawitan, sejarah wayang kulit, sejarah tari bedhaya Keraton Surakarta dan Keraton Yogyakarta serta dalam sejarah kesenian tayub.

Pada pergelaran wayang zaman dulu, Sinden duduk di belakang Dalang, tepatnya di belakang tukang gender dan di depan tukang Kendhang. Hanya seorang diri dan biasanya istri dari Dalangnya ataupun salah satu pengrawit dalam pergelaran tersebut.

Tetapi seiring perkembangan zaman, terutama di era Ki Narto Sabdho yang melakukan berbagai pengembangan, Sinden selalu tempatnya menghadap ke penonton tepatnya di sebelah kanan Dalang dan membelakangi simpingan wayang dengan jumlah lebih dari dua orang.

Di era modern sekarang ini Sinden mendapatkan posisi yang hampir sama dengan artis penyanyiCampursari, bahkan Sinden tidak hanya dibutuhkan untuk mahir dalam menyajikan lagu tetapi juga harus menjaga penampilan, dengan berpakaian yang rapi dan menarik. Sinden tidak jarang menjadi “pepasren” (penghias) sebuah panggung pertunjukan wayang. Bila Sindennya cantik-cantik dan muda yang nonton akan lebih kerasan dalam menikmati pertunjukan wayang.

Perkembangan wayang saat ini bahkan Sinden tidak hanya didominasi wanita tetapi telah muncul beberapa orang Sinden laki-laki yang mempunyai suara merdu seperti wanita, tetapi dalam dandannya Sinden ini tetap memakai pakaian adat jawa selayaknya pengrawit pria lainnya dan beberapa waktu lalu Sinden laki-laki ini malah menjadi trend para Dalang untuk menghasilkan nilai lebih pada pergelarannya.

Profesi seorang Sinden selalu tidak bisa lepas dari iringan musik jawa yang sangat akrab di dengar di kalangan masyarakat Jawa Timur dan Jawa Tengah sejak zaman kerajaan, musik itu terdengar tradisional karena menggunakan alat-alat tradisional yang dibuat dari hasil bumi seperti gamelan, seruling, gong, genong dan lain-lain. Harmonisasi musik itu bernama Musik Campursari

Karangnangka 13 Nopember 2020

Sumber :
Diolah dari Literatur dan Kepustakaan