Contoh kasus Permasalahan pasar oligopoli

Contoh kasus Permasalahan pasar oligopoli

Persaingan antar pelaku usaha merupakan hal yang tidak terhindarkan dalam ekosistem bisnis. Hal tersebut tercermin pada konsep pasar dalam ilmu ekonomi, dimana terdapat dua macam persaingan antar produsen yang membagi pasar menjadi dua kategori berbeda yaitu pasar persaingan sempurna dan pasar persaingan tidak sempurna. Pada pasar persaingan sempurna, produsen tidak memiliki power untuk menetapkan harga pasar, sedangkan pada pasar persaingan tidak sempurna mereka memiliki advantage untuk dapat mengatur harga di pasar.

Salah satu contoh sistem dalam pasar persaingan tidak sempurna adalah oligopoli. Pada sistem pasar tersebut, jumlah produsen sangat terbatas sehingga mereka dapat berlaku lebih bebas untuk mengatur kondisi pasar, terutama dari segi harga. Disamping itu, jumlah yang terbatas juga membuat persaingan menjadi lebih jelas bagi pelaku bisnis di pasar oligopoli. Akibatnya, mereka akan saling mengawasi satu sama lain. Bahkan, keputusan perusahaan terkait harga dan jumlah kuantitas yang akan dijual di pasar akan bergantung pada keputusan perusahaan lain (kompetitor).

Berdasarkan teori, adanya ketergantungan dalam pengambilan keputusan untuk setiap perusahaan menyebabkan persaingan yang sangat ketat dalam segi harga maupun kualitas barang yang ditawarkan. Akibatnya, harga dalam pasar oligopoli cenderung rigid atau tidak fluktuaktif karena tidak ada insentif bagi perusahaan untuk merubah harga. Perusahaan tidak akan merubah harga jual barangnya apabila kompetitor tidak lebih dulu melakukan aksi dalam pasar. Di sisi lain, persaingan untuk menggaet konsumen justru akan terjadi melalui advertising (iklan) dan pengembangan kualitas barang atau jasa yang ditawarkan. Setiap pelaku bisnis akan berlomba-lomba memberikan layanan dan kesan yang baik bagi konsumen. Semakin banyak konsumen yang dapat dipenuhi kepuasannya, perusahaan akan dengan mudah meraup keuntungan. Pada sudut pandang ini, persaingan antar perusahaan menjadi persaingan yang sehat karena mereka akan berlomba memperbaiki perusahaan yang kemudian akan memberikan keuntungan bagi konsumen. Perusahaan untung, konsumen pun senang.

Pada nyatanya, perusahaan sebagai salah satu pelaku ekonomi tidak selalu rasional. Ada beberapa perusahaan yang rela menyusahkan dirinya hanya untuk mendapat market share yang besar dan untuk membuat perusahaannya lebih dikenal oleh konsumen. Misalnya, ada beberapa perusahaan yang bersedia terlibat dalam price war hanya untuk mencapai tujuan-tujuan tersebut. Mereka bersedia untuk menjual barang atau jasa yang ditawarkan dengan harga yang jauh dibawah harga pasar hanya untuk menarik minat konsumen.

Harga produk yang murah tentu saja akan memberikan keuntungan pada konsumen. Namun di sisi lain akan berdampak buruk bagi produsen. Tekanan untuk memberikan produk dengan harga yang paling murah membuat produsen menghalalkan segala cara untuk memberikan produk dengan harga seminim mungkin. Misalnya, melalui pemangkasan biaya service dan research and development pada industri penerbangan murah. Munculnya Low Cost Carrier (LCC) terbukti berhasil mendorong jumlah penumpang (ICAO, 2015). Namun, beberapa berpendapat bahwa LCC memiliki andil dalam penurunan kualitas di industri pernerbangan. Di Indonesia, LCC mulai berkembang sejak tahun 2001. Pada tahun tersebut terdapat deregulasi aturan industri penerbangan, sehingga perusahaan yang minim modal dan hanya memiliki satu pesawat juga dapat masuk ke dalam pasar. Sejak saat itu, tidak jarang terjadi kecelakaan pesawat yang memang tergolong sebagai pesawat LCC. Menurut KNKT, terdapat korelasi antara peningkatan jumlah penumpang/jumlah perjalanan udara dan kenaikan tingkat kecelakaan (rate of accident) dalam industri penerbangan. Kebanyakan, penyebab kecelakaan tersebut adalah human error, faktor teknis, cuaca/lingkungan, fasilitas, dan infrastruktur. Namun, belum ada studi empiris yang secara eksplisit meneliti korelasi hubungan antara keduanya.

Selain merugikan konsumen karena pemangkasan biaya service dan research and development, praktik price war juga dapat merugikan produsen seperti yang terjadi pada kasus supermarket di Amerika. Empat supermarket di Amerika yaitu Tyson, JBS, Cargill, dan Smithfiel yang masing-masing memiliki lebih dari satu brand makanan dan minuman, menguasai hampir 50% dari pangsa pasar. Supermarket tersebut sebagai distributor terntunya dapat memperoleh banyak untung karena banyaknya konsumen. Namun di sisi lain, kenyataannya mereka berlaku tidak adil pada produsen, yang tidak lain adalah para petani dan peternak (Singh, 2012). Saat ini, sistem produsen-distibutor yang digunakan keempat supermarket tersebut bukanlah sistem kuno dimana distributor membeli barang yang ditawarkan produsen, melainkan mereka membuat kontrak kerjasama yang mewajibkan produsen berlaku seperti apa yang mereka mau. Misal, peternak harus bisa memberikan sapi atau ayam dengan standar berat yang sesuai dengan yang diminta oleh supermarket. Jika tidak, pihak supermarket tidak segan untuk memutus kerjasama begitu saja dan membuat peternak merugi. Akibatnya, saat ini di Amerika terjadi ketimpangan yang luar biasa antara supermarket dan produsen. Harga jual daging dapi meningkat lebih dari 40% dalam beberapa decade terakhir, sedangkan pendapatan kotor petani kecil dan menengah justru turun 32%. 72% peternak ayam di Amerika hidup dibawah garis kemiskinan.

Tidak hanya pada bisnis konvensional, price war juga dapat terjadi pada bisnis yang berbasis digital seperti on demand service app. Di Amerika, price war yang terjadi antara dua perusahaan jasa transportasi online, Uber dan Lyft, berdampak buruk bagi produsen (yang dalam konteks ini adalah driver). Pasalnya sejak Uber dan Lyft bersaing untuk memberikan tarif layanan paling murah melalui penawaran promo dan potongan harga, driver menjadi pihak yang pertama dirugikan. Mereka hanya mampu memperoleh pendapatan dibawah standar upah minim federal meski telah bekerja 17 jam per hari. Tarif murah memang berhasil meningkatkan jumlah konsumen, tetapi kenaikan tersebut tidak sebanding dengan kenaikan pendapatan para driver. Namun, driver tidak dapat berbuat banyak karena tidak punya pilihan. Selain merugikan driver, persaingan yang membakar banyak uang perusahaan tersebut juga berdampak pada pasar. Rendahnya harga jual yang disebabkan oleh price war yang sebenarnya hanya terjadi antara dua perusahaan tersebut memaksa kompetitor lain yang tidak cukup kuat bersaing untuk keluar dari pasar (Montgomery, 2014). Berkurangnya jumlah perusahaan di dalam pasar tentunya cukup merugikan konsumen karena berarti bahwa pilihan bagi mereka dalam mengkonsumsi suatu barang dan jasa menjadi terbatas. Berdasarkan fakta diatas, dapat disimpulkan bahwa pada kenyataannya persaingan pada pasar oligopoli justru akan memberikan dampak buruk bagi konsumen maupun produsen, seperti mengurangi pendapatan, mengurangi pilihan, hingga menyebabkan konsumen mendapat kualitas barang dan jasa yang tidak cukup baik.

Potensi kecurangan yang menyebabkan kerugian pada praktik price war tentunya sangat perlu diawasi dan diatur agar dampaknya tidak semakin parah. Dalam hal ini, pihak yang berwenang dalam pengawasan usaha seperti Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) yang ada di Indonesia tentunya harus lebih aware untuk menetapkan dan menindak praktik price war. Seiring berkembangnya jenis usaha, terutama di era ekonomi digital, tentunya perlu banyak penyesuaian teknik pengawasan dan batasan baru untuk meregulasi aktvitas di seluruh sektor usaha, baik konvensional maupun digital.

Contoh kasus Permasalahan pasar oligopoli

Article written by Faradilla Rahma Sari
Director of RISED.